Wednesday, December 10, 2008

Jakarta si Penjual Mimpi

Aku sering terheran-heran melihat orang-orang Jakarta yang sepertinya tak kenal lelah. Suatu kali aku pulang agak larut malam, kira-kira pukul 11 malam. Saat itu jalanan masih cukup ramai. Kendaraan masih banyak. Tidak cuma satu atau dua motor saja yang lewat. Dan kebanyakan mereka jalannya kencang sekali. Trus, suatu kali pagi-pagi, kira-kira pukul 5, aku keluar rumah karena memang ada urusan yang membuatku harus berangkat pagi, jalanan sudah agak macet! Ealah ....

Aku tak tahu dari mana datangnya orang-orang itu. Dan harus diakui, Jakarta memang padat. Orang-orang sepertinya datang berbondong-bondong memenuhi kota ini, berusaha untuk mendapatkan hidup yang layak.

Aku jadi ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika aku baru lulus kuliah, rasanya aku tak tahu harus mencari pekerjaan di mana. Dan dari omong punya omong, rupanya banyak dari temanku yang akhirnya pergi ke Jakarta. Kalau tidak ke Jakarta, rasanya tidak afdol. Kurang mantap. Lagi pula, sebagai seorang lulusan S1, rasanya lowongan pekerjaan yang di daerah kurang ada yang pas. Kalaupun ada, biasanya gajinya kecil sekali. Belum lagi, jenjang kariernya ya segitu-gitu saja. Tak menarik. Ya, memang ada beberapa perusahaan atau institusi yang cukup besar, dan memberi gaji cukup menarik. Tapi sayangnya mereka jarang membuka lowongan secara terbuka. Lagi pula, dari sekian ribu sarjana, berapa banyak sih perusahaan yang bisa menampung? Karena itu, memang masuk akal jika orang banyak yang mencoba mencari peruntungan di Jakarta.

Ketika saya lulus kuliah, dengar-dengar sih gaji pertama untuk lulusan S1 sekitar 1,5 juta. Hmmm... itu adalah gaji yang cukup menggiurkan bagi seorang anak muda yang belum punya banyak pengalaman. Kalau di daerah? Belum tentu dapat gaji separuh dari itu. Lagi pula, di daerah tak banyak pilihan. Mau nego gaji berapa untuk seorang sarjana yang baru "kinyis-kinyis" keluar dari universitas? Orang yang sudah punya banyak pengalaman pun gajinya tak seberapa.

Belum lagi di saat kami kumpul-kumpul--reuni kecil-kecilan--teman-temanku yang bekerja di Jakarta itu kok kesannya sudah mapan ya? Yaaa itu bisa dilihat dari bajunya, dari handphone-nya, dari tasnya, dari cerita-cerita mereka (mulai dari bos yang hendak memberi kesempatan untuk pergi ke luar negeri sampai teman-teman sekantor mereka yang sudah mulai kredit mobil). Semua itu kan ciri-ciri kemapanan, to?

Waktu bergulir. Aku sudah bekerja di daerah selama sekitar 6 tahun, dan sekarang karena ikut suami, aku tinggal di Jakarta. Aku memilih bekerja sebagai freelancer--mengerjakan proyek terjemahan dan editan dari rumah. Beberapa teman bertanya, apakah aku tidak mau bekerja di kantor selama di Jakarta ini. Toh sudah ada pengalaman. Aku jawab tidak. Kenapa? Aku sudah puas menjadi seorang karyawati yang setiap hari harus ngantor. Dan kalau di Jakarta ini aku ngantor, berarti aku harus siap untuk "bertempur" di jalanan yang macet setiap pagi--pagi dan sore. Itu masih belum seberapa. Tahu sendiri, suasana kantor itu seperti apa: bos yang menyebalkan dan mau menang sendiri, teman kantor yang sikut-sikutan karena ingin mencapai puncak karier, gosip yang bikin kuping memerah. Hhh ... rasanya kok tidak sebanding ya dengan tenaga yang harus kukeluarkan? Toh dengan menjadi freelancer, pendapatanku nggak jelek-jelek amat kok.

Minggu kemarin temanku berkata begini, "Kalau saja aku dipindah ke Madiun, rasanya aku bakal langsung mengiyakan deh. Tanpa pikir panjang." Dia sudah bekerja sekitar 10 tahun di Jakarta raya ini. Itu berarti dia harus berangkat pagi-pagi dan pulang malam. "Capek," katanya. Tapi di ujung kalimat dia menambahkan, "Tapi kalau di Jakarta ini apa saja mudah jadi uang. Uang mudah dicari, nggak kaya di daerah."

Hmmm ... Jakarta memang benar-benar jago dalam menjual mimpi. Di sini mencari pekerjaan lebih mudah dicari, uang juga akan lebih mudah datang (tapi sekaligus lebih cepat menguap juga). "Asal kita nggak malu, apa aja bisa jadi duit di Jakarta," kata Mbak Yana, pemilik rumah yang kami kontrak ini.

Masalahnya, apakah seumur hidup kita mau mengejar duit? Percaya deh, tak akan ada puasnya jika kita terus mengejar duit. Capek! Aku sendiri bersyukur tidak dari lulus kuliah bekerja dan tinggal di Jakarta. Aku tak tahu seperti apa jadina diriku kalau aku merelakan diriku "dibentuk" oleh Jakarta. Mungkin aku akan jadi bodoh dan tanpa sadar membiarkan hidupku dikendalikan oleh "orang lain" atau "institusi yang mengaku hendak menyejahterakan karyawannya".

Thursday, December 04, 2008

Semua Kue untuk Semua Saudara dan Teman

Barangkali aku memang bukan seorang saudara yang baik: bukan keponakan yang baik, dan bukan pula cucu yang baik. Sudah beberapa bulan ini aku menebalkan telingaku dan mencoba menjawab seramah mungkin saat ditanya kapan aku berkunjung ke rumah om, tante, dan
saudara dari Bapak yang terhitung sebagai kakek di Jakarta ini.

"Kapan main ke rumah Tante? Nanti telepon saja. Trus ketemu di mana gitu yang gampang buatmu. Tante jemput deh."

"Main ya ke tempat Mbah. Begini nih ancer-ancernya bla ... bla ... bla. Gampang kan? Ya, main ya! Mbah tunggu lo."

"Mbok sempatkan main ke rumah Om. Wong sudah di Jakarta lo! Nggak terlalu jauh kan dari rumahmu?"

Yah, begitulah kira-kira ucapan saudara-saudaraku. Sebagai anak muda, kunjungilah yang tua. Lagi pula mereka itu adalah saudara-saudara saya. Bukan orang lain.

Jadi, kenapa sampai sekarang aku belum juga mengunjungi mereka? Sudah setengah tahun lebih aku di Jakarta tetapi kok rasanya tidak pernah sempat ya? Kenapa?

Soalnya ... mmm ... aku banyak kerjaan. He he he. Alasan klise. Dan sepertinya itu tidak perlu dijadikan alasan. Toh aku tidak bekerja sepanjang waktu kan?

Soalnya ... mmm ... aku tidak tahu jalan. Beberapa saudaraku tampaknya tidak keberatan untuk menjemput aku dan suamiku. Jadi, kenapa tidak segera mengangkat telepon menghubungi mereka dan meminta dijemput?

Kalau hitung-hitungan waktu, kalau aku bilang aku tidak sempat berkunjung, itu berarti aku bohong. Toh aku sempat nonton film, sempat main ke tempat teman asramaku dulu, sempat jalan-jalan bersama suami. Dan biasanya sih aku cenderung tidak menolak ajakan teman-temanku untuk main. He he he.

Relasi bentuknya macam-macam. Bisa persaudaraan, pertemanan, persahabatan. Ada saudara jauh. Ada pula teman dekat. Ada juga teman yang cuma kita kontak saat ada keperluan. (Nggak usah malu-malu mengakui, aku juga begitu kok.) Ada teman "maya" alias kita ingat saja tetapi tak pernah kita hubungi. Dan dari semua jenis relasi itu, kita sendirilah yang meletakkan seberapa banyak "hati" yang kita berikan pada relasi tersebut agar tetap hangat dan nyambung.
Kurasa kita sering "pilih kasih". Ada orang yang sering banget kita hubungi. Ada juga orang yang baru kita dengar namanya saja membuat kita mules--saking sebalnya.

Jujur saja, ada teman-teman tertentu yang menurutku bagaikan magnet. Aku dengan sukarela datang ke rumahnya walaupun jauh. Ada suatu kerinduan untuk senantiasa berkumpul dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dan teman-teman ini rasanya lebih dekat dibandingkan saudara-saudaraku (bukan saudara kandung lo!). Dengan mereka rasanya kok rasanya aku lebih nyaman ya?

Jadi, sepertinya memang betul aku bukan saudara yang baik. Dan tak jarang aku bukan teman yang baik pula. Lha buktinya hanya teman-teman atau saudara-saudara tertentu yang dengan setia kuhubungi. Dan hanya pada orang-orang tertentu pula aku senantiasa menghangatkan relasi dengan memberi sepotong hati.

Kadang aku ingin juga bisa memberikan perhatian yang seimbang pada semua teman dan saudara. Ibaratnya, semua dapat potongan kue yang sama besar. Semua senang. Semua bahagia. Tapi kok susah amat ya? Ada yang punya resepnya nggak?

Monday, December 01, 2008

Berhajat di Mana?

"Wah, kamu ini benar-benar orang kota ya!" begitu kata suamiku kemarin. Kalimat itu ia utarakan karena aku bilang, "Sebaiknya orang menggelar resepsi pernikahan itu di gedung saja. Tidak usah di rumah."
"Kenapa?" tanya suamiku.
"Merepotkan para tetangganya." Aku pun memercinci berbagai kerepotan yang harus dilakukan para tetangga jika seseorang mengadakan resepsi di rumahnya. Lalu aku dibilang orang kota seperti tadi.

Minggu kemarin tetanggaku menggelar acara resepsi pernikahan. Dan aku hanya bisa pasrah mendengar suara yang hingar bingar dari loud speaker-nya. Awalnya sih tidak terlalu mengganggu. Tapi setelah dari pukul 6 pagi sampai kira-kira selepas magrib mendengar suara yang gaduh, aku kok lama-lama terganggu juga ya.

Aku sebenarnya mengacungkan jempol buat sang pengantin dan keluarganya. Hebat betul, mereka tahan menggelar hajatan seharian. Lha kemarin pas nikahanku saja, aku capek betul lo. Padahal aku cuma didandani mulai dari pukul 7 pagi. Misa pemberkatan mulai pukul 9 dan selesai pukul 11.30. Setelah berurusan dengan pihak catatan sipil, aku mulai masuk gedung resepsi. Lalu mulailah aku duduk-berdiri, menebar senyum, bersalaman, dan berulang kali mengucapkan terima kasih kepada para tamu. Resepsi selesai pukul 15.00. Jadi, total aku stand by untuk acara pernikahan itu selama 8 jam. Itu sama lamanya dengan aku duduk ngantor seharian. Tapi kok rasanya lebih capek jadi penganten ya? Badan rasanya seperti digebuki.

Dan kalau dibandingkan dengan tetanggaku kemarin? Wah, staminaku kalah jauuuh! Di rumah tetanggaku kemarin, musik yang hingar bingar diputar mulai dari pukul 6 pagi. Lalu mulai pukul 9 sampai pukul 6 sore, para tamu masih berdatangan. Dan sepertinya pada malam hari, masih kudengar orang-orang bertamu. Itu kan seharian namanya. Gile!

Jujur saja, yang membuatku terganggu adalah pemasangan tenda di gang dan suara yang hingar bingar. Gang depan rumahku cukup sempit. Kira-kira dua meter lebarnya. Jadi, tenda yang dipasang itu benar-benar menutup jalan, bahkan pemasangannya pun masuk ke rumah tetangga di kiri, kanan, dan depannya. Sementara itu, daerah perumahan ini cukup padat. Jadi, suara obrolan biasa dari ujung gang pun bisa terdengar. Kenapa mesti memasang loud speaker yang membuat telinga budeg?

Aku tak tahu sebenarnya aku ini orang kota atau orang kampung. Delapan belas tahun aku habiskan hidupku di Madiun. Rumahku termasuk di pinggir jalan besar, jadi mungkin bisa dibilang kota kali ya? Tapi bagaimanapun Madiun toh kota kecil yang seuprit. Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jakarta raya ini. Lalu, kira-kira sebelas tahun aku tinggal di Jogja. Lima tahun pertama selama di Jogja, aku juga tinggal di asrama yang terletak di pinggir jalan besar. Sisanya aku habiskan di rumahku di kampung ujung utara Jogja sana. Kubilang kampung karena memang masih sepi. Tetangga dekatku saja cuma 4 rumah. Sekitar rumahku masih banyak tanah kosong. Dan penduduk sekitar situ masih banyak yang bertani dan beternak. Sederhana sekali.

Ketika tinggal di Dusun Krapyak di Jogja utara itu, aku merasakan bahwa duniaku berbeda sekali dengan orang-orang sekitar. Kalau aku berangkat kerja, orang-orang di situ biasanya sudah sibuk di sawah. Kadang, sepulang dari kantor aku main sampai malam. (Aku sendiri bingung, ke mana saja ya kuhabiskan waktuku sepulang kantor itu? Rasanya hampir setiap hari aku pulang pukul 7 petang dan kadang sampai pukul 8 malam, padahal jam kantorku usai pukul 4 sore.) Bisa dibilang aku pasif sekali di kegiatan kampungku. Aku hampir tak pernah bersentuhan dengan kegiatan ibu-ibu di sana. Alasannya, pertama, aku berada di luar rumah dari pukul 8 pagi sampai 7 petang. Kedua, ibu-ibu dan para pemuda di sana religius sekali. Jadi, kegiatan mereka biasanya ya seputar kegiatan keagamaan. Bahkan para pemuda yang "rewang" di resepsi pernikahan mesti menggunakan baju yang mencerminkan agama mereka. Dengan begitu, aku sepertinya tak mendapat tempat lagi. Bahkan kata abangku yang pernah ikut rapat RT, di rapat itu para bapak sembahyang dulu dan mengupas ayat-ayat kitab suci mereka selama 1 jam lebih .... (Aku tidak mengerti, kenapa setiap acara di masyarakat malah jadi acara keagamaan sih?)

Nah, ketika di Jakarta ini, aku pikir aku akan berhadapan dengan orang-orang kota yang sibuk pol. Tapi rupanya di daerahku banyak orang-orang yang sudah tua. Tampaknya mereka sering berada di rumah dan tak jarang mereka kongkow di ujung gang. Beberapa ibu bahkan gemar duduk-duduk di muka rumah sambil mengobrol.

Lagi-lagi aku merasa berbeda dengan mereka. Aku memang tinggal di rumah, tetapi aku bekerja. Jadi, bukan berarti aku cuma duduk manis di rumah saja. Editan dan terjemahan selalu menungguku dengan setia di komputer. Jadi, rasanya aku malas sekali untuk ikut "ubyang-ubyung" alias ikut kongkow dengan ibu-ibu itu. Rasanya kok itu bukan duniaku ya?

Harus kuakui, kemampuanku bersosialisasi itu rendah. Dan teman-temanku pun bisa dihitung. Kadang aku memang butuh berada bersama banyak orang. Tapi aku tak bisa lama-lama di tengah keramaian.

Jadi sebenarnya aku bingung waktu suamiku kemarin bilang aku adalah orang kota. Sepertinya aku lebih suka tinggal di kampung yang sepi dan para penduduknya tidak terlalu rese'. Ya, bolehlah kita sesekali berkumpul. Ngobrol ngalor-ngidul. (Dan yang penting tak perlu kumpul-kumpul acara RT sambil membahas masalah agama yang sepertinya lebih pas dibicarakan di rumah ibadat masing-masing.) Tapi tak usahlah mengganggu ruang privasi orang lain. Ujung-ujungnya aku mau bilang, kalau mau ngadain hajatan, di gedung aja. Idealnya, di satu kelurahan ada satu gedung serbaguna yang sewanya murah. Jadi, berjahatlah di situ. He he he.

Thursday, November 27, 2008

Menulis = BAB

Sudah kira-kira tiga hari ini aku absen menggunakan PC di rumahku. Sebagai gantinya, aku memakai desknote suamiku yang leletnya minta ampun. Tapi daripada nggak kerja sama sekali, ya mending aku pakai desknote uzur itu, kan?

Suamiku sedang mengerjakan tugas kuliahnya--paper tentang antropologi agama. Dan beberapa minggu sebelum mengerjakan tugas ini, dia sudah sibuk membaca buku-buku yang berkaitan dengan tugasnya itu. Entah sudah berapa banyak buku yang ia baca, aku tak menghitungnya. Yang jelas banyak deh. Belum lagi dia cukup lama memelototi ensiklopedi dan buku-buku dalam bentuk PDF. Untung saja dia itu pada dasarnya suka membaca apa saja. Dan walaupun aku sering bilang ke orang-orang kalau aku suka membaca, toh jam terbang membacaku masih kalah jauuuh dari dia. Lha dia itu ibaratnya ensiklopedia berjalan ....

Nah, tadi siang, ketika dia sudah mengetik paper kira-kira 3/4 bagian, dia bilang begini, "Duh lega deh. Rasanya kayak (maaf) beol. Bret...breet...breet. Semua yang kubaca akhirnya bisa kutumpahkan dalam bentuk tulisan." Kemarin pas dia sedang serius banget, tampangnya memang serem. Kayak orang lagi kebelet beol gitu lo. Susah diajak becanda. He he he. Mendengar hal itu aku jadi ingat ucapan Idrus kepada Pramoedya, "Pram, kau itu bukan nulis, tapi berak!"

Melihat bahan bacaan suamiku dan membandingkan ucapan Idrus serta ucapan suamiku tadi, aku jadi berpikir, bahwa salah satu syarat mutlak untuk bisa menulis itu adalah otak yang ada isinya. Bukan, maksudku bukan sekadar pintar. Tapi yang aku maksud adalah kita mesti memenuhi otak kita dengan beragam bacaan. Kalau yang diinginkan tulisan yang bermutu, maka bacalah buku-buku bermutu--yang menambah isi otak. Bukan sekadar buku yang menghibur.

Kurasa, itulah salah satu kendala perbukuan di Indonesia. Belakangan ini banyak sekali buku yang menghibur, apa pun sebutan genrenya. Mungkin salah satu kalian ada yang menyeletuk, "Buku yang isinya ilmu acap kali bahasanya kering. Jadi, males banget mau baca." Iya sih. Tapi kurasa hasrat yang sangat kuat untuk menambah wawasan akan melibas keengganan membaca buku-buku sulit. Selain itu, kendala yang lain adalah, di Indonesia ini sedikit sekali penerbit yang menerbitkan buku-buku serius yang bagus. Padahal kalau di luar negeri sana, banyak lo. Dan biarpun membahas sesuatu yang serius, penulis yang jago biasanya memaparkannya dengan enak. Jadi pembaca tak perlu "takut" saat membaca buku--takut akan terdampar ke padang pasir karena saking garingnya pemaparan suatu tema. Barangkali kita masih "trauma" membaca buku-buku serius karena pas sekolah dulu, buku-buku pelajaran kita memang tidak enak dibaca. Lagi pula, pembahasannya pun dangkal. (Lha wong kurikulumnya saja tidak jelas, gimana mau ada buku pelajaran yang bagus?) Kalau memang suka membaca dan ada duit, belilah buku-buku terbitan luar. Soalnya kalau mau mengandalkan penerbit dalam negeri sepertinya memang agak susah. Apalagi sekarang trennya adalah buku-buku lucu, jadi kurasa itulah yang membanjiri toko buku sekarang. Pihak marketing dan distributor buku pun mungkin akan berpikir seribu kali kalau diminta menjual buku-buku serius. (Lagi pula, jarang banget dari mereka yang membaca buku-buku yang dijualnya. Aku berani taruhan kalo soal ini.)

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang beriringan. Rasanya tak mungkin jika orang menulis tanpa sebelumnya memenuhi otaknya dengan bacaan. Ini ibarat makan dan buang air besar alias BAB. Gampangnya, kita BAB karena sebelumnya kita makan. Jadi, kalau ingin jadi penulis,
membacalah.

Thursday, November 20, 2008

Kalau Karyawan Kencing Berdiri, Maka Bos Pasti Kencing Berlari ....

Tahu nggak, siapa teman terbaikku ketika aku sedang di rumah sendirian? Yang jelas bukan sejenis lelembut dan semacamnya. Sejak memutuskan bekerja sendiri alias jadi freelancer dan tinggal di Jakarta untuk ikut suami, aku praktis sering di rumah sendiri. Memang sih, suamiku kadang libur dan masuk siang. Tapi kalau dia mesti masuk pagi dan pulang pas aku sudah mau tidur, sepanjang hari aku ditemani oleh penyiar radio plus acara-acaranya. Selain itu aku jadi hapal dengan iklan-iklan di radio. Lalu jam berapa saja ada berita, jam berapa penyiar radio mulai kumat konyolnya sehingga aku senyum-senyum sendiri di depan komputer.

Nah, salah satu iklan radio yang aku sukai adalah iklan Bank Danamon. Kira-kira begini nih kata-katanya:
"Gimana, sudah kamu pilih calon suamimu?"
"Belum, Bu."
"Elho, calon yang waktu itu gimana?"
"Yang teman SMA-ku itu?"
"He eh ... dia itu hebat lo. Kalo kita mau punya rumah bisa, mau punya motor bisa, mau punya kios di pasar, juga bisa. Pokoknya serba bisa."
"Memangnya dia pengusaha apa, Bu?"
"Lebih hebat malah. Kalau ada yg mau membesarkan usaha, bisa."
"Dia itu hebat lo. Dia ada di mana saja. Enerjik, jujur, tulus, berdedikasi
"Begitu hebatnya. Kerja di mana dia?"
"Di Danamon."

Pertama kali aku mendengar iklan itu, aku tidak menyangka kalau itu iklan bank. Dan aku tidak bisa menebak, kira-kira itu iklan produk apa. Tapi ternyata itu iklan bank.

Menurutku iklan itu menarik. Tidak seperti iklan-iklan lain yang memperkenalkan produk suatu perusahaan, iklan Bank Danamon itu mengiklankan para pegawainya. Dalam bayanganku, perusahaan yang para pegawai yang diiklankan di media massa tentu perusahaan yang bersih. Hal ini mengingatkanku pada obrolan di I-Radio dengan KPK setiap hari Selasa. Dari obrolan itu aku tahu bahwa orang-orang di KPK itu tak pernah menyentuh game saat di kantor. Juga tak pernah memakai fasiltas kantor untuk kepentingan pribadi. Mereka tak pernah menggunakan telepon kantor untuk mengecek apakah Adik sudah pulang sekolah atau belum. Dan kupikir, kendaraan KPK akan berjajar rapi di garasi kantor saat tak digunakan untuk bertugas. Aku membayangkan, tingkat kepercayaan antar pegawai--baik yang posisinya setara maupun antara atasan dan bawahan--di perusahaan atau instansi yang seperti itu sangat tinggi. Itu berarti tak ada main belakang, semua transparan. Semua aturan jelas. Bersih. Tak perlu lagi merasa iri karena semua mendapat perlakuan yang sama. Si bos pun tak perlu menjelaskan kenapa dia selalupergi dengan si A, karena semua bawahannya percaya si bos selalu transparan. Bersih. Yang dikatakan A, maka A pula yang akan dilakukannya. Tak perlu saling berkhobah untuk menyindir dan membuat sadar karyawan yang molor.

Aku tak pernah bekerja di Danamon dan mungkin aku juga tidak menjadi bagian dari KPK (walaupun belakangan ini ada lowongan di KPK). Tapi aku membayangkan, pasti bangga menjadi karyawan di suatu perusahaan yang tingkat kepercayaan antar karyawannya tinggi, yang bersih, yang tak ada ganjelan di sana-sini. (Perusahaan yang seperti itu tidak ada hubungannya dengan perusahaan yang memegang nilai-nilai suatu agama tertentu. Kita sendiri tahu, Indonesia ini kan "beragama" sekali. Tapi apa yang terjadi? Kita masih melihat masih terjadi kekacauan di sana-sini.)

Tapi tunggu sebentar, apa iya sih kita ingin perusahaan kita bersih? Seberapa besar keinginan kita untuk benar-benar efektif di tempat kerja? Sebenarnya ini enggak mudah. Soalnya, kalau kita ingin benar-benar bersih dan efektif, itu berarti kita mesti menghapus semua game di komputer kita. Kita juga tak bisa membawa kamera pulang untuk memotret anak kita yang sedang lucu-lucunya. Kita juga tak bisa melenggang ke rumah dengan memakai motor atau mobil kantor--karena tak ada aturan yang mengatakan bahwa kendaraan kantor adalah fasilitas yang bisa dibawa pulang. Kita juga tak bisa main Friendster atau ngeblog pakai internet kantor. Hmmm ... siapa saja ya yang bakal protes dengan semua pembatasan itu? :p

Berhubung aku ndak punya kantor, bos, atau fasilitas kantor, jadi semua itu rasanya ndak terlalu ngefek. He he he. Dan kalau di kantormu, kamu masih bisa mengupdate blog, rasanya sah-sah saja kalau bosmu kadang-kadang main belakang. Kalau karyawan kencing berdiri, maka bos pasti kencing berlari ... ;)

Tuesday, October 28, 2008

Menyerbu Carrefour

Aku tidak terlalu suka berbelanja ke Carrefour karena beberapa kali kecewa mendapatkan barang yang tidak bagus: mulai kacang hijau yang sudah lama sampai panci yang baru sebentar dibeli sudah rusak. Jadi, tiap kali ada brosur diskon besar di Carrefour, aku tak pernah tertarik. Jera, deh! Mending beli di pasar.

Tetapi karena diminta menemani ibu temanku untuk berburu magic jar di Carrefour Buaran, aku akhirnya kemarin (27/10) menyambangi toko kelontong besar itu. "Berangkat jam berapa, Bu?" tanya saya."Katanya sih bukanya jam 9. Jadi, ya berangkat sekarang."
Sebenarnya aku bertanya-tanya, apa iya sih bukanya jam 9? Pagi amat, sih. Tapi ibu temanku bilang, dia mau membeli rice cooker yang sedang diskon besar-besaran hari itu. Cuma Rp 100.000,00, dan barangnya tidak banyak. Oke deh! Akhirnya jam 9 teng-teng, kami berangkat.

Sesampainya di sana, ternyata sudah banyak orang yang mengantri di depan rolling door Carrefour yang masih tertutup. Mungkin seratus orang lebih. Rupanya bukanya pukul 09.30. Memang, Plaza Buaran sudah buka dan beberapa toko sudah ada yang buka. Tetapi toko kelontong besar itu baru akan dibuka beberapa menit lagi. Aku heran, kok ternyata banyak juga orang yang tidak ngantor dan rela berdesak-desakan di depan toko yang masih tutup.

Ketika rolling door itu dibuka, orang-orang langsung menyerbu masuk. Aku sampai khawatir kalau ada orang yang pingsan karena terinjak-injak. Kami yang datang belakangan, cuma bisa melongo melihat tingkah orang-orang itu. Bahkan, pintu otomatis yang ada di dekat kasir itu sampai roboh! Beberapa orang sandalnya tertinggal di sana-sini. Aku sendiri tak suka ikut berdesak-desakan. Rasanya bodoh sekali jika ikut-ikutan mereka. Enggak deh.

Akhirnya memang tak semua orang mendapatkan rice cooker. Ibu-ibu banyak yang kecewa. Bahkan beberapa di antaranya sempat protes dengan petugas toko. Mungkin mereka sudah antri dari pagi banget, jadi wajar kalau kecewa. Aku sih, cuma senyum-senyum saja. Males banget deh, kalau hanya demi mendapatkan barang murah aku mesti ikut arus seperti itu. Lagi pula, apa iya sih mereka benar-benar butuh rice cooker? Kurasa mereka memanfaatkan momen saja. Sebenarnya tidakkah ini mencurigakan? Bagaimanapun Carrefour itu kan penjual, yang selalu ingin untung. Jadi, pasti ada "udang di balik batu", apa pun itu. Dan rasanya kok pihak toko tidak mempersiapkan dengan baik akibat pengumuman diskon besar itu, ya? Pengunjung menyerbu masuk bagaikan air dam yang baru dibuka pintunya. Pihak toko kewalahan. Dan ketika tahu orang-orang sudah berjubel mengantri, kok mereka tidak menyuruh pengunjung antri?

Tetapi yang jelas, kejadian kemarin membuatku semakin malas untuk ke Carrefour. Rasanya aku enggak rela memberikan uangku kepada pemilik toko kelontong besar itu; toh belum tentu dapat barang bagus dan pelayanan yang baik ...

Monday, October 13, 2008

SUVENIR
(hal kecil yang dianggap penting, yang sebenarnya sama sekali nggak penting)

Bagi yang sedang mempersiapkan pernikahan atau yang sudah menikah, barangkali sudah pernah merasakan pusingnya menemukan suvenir yang pas. Ya pas duitnya, pas fungsinya. Kalau bisa sih nemu suvenir yang murah, bagus, tidak gampang rusak, tidak kelihatan murahan, unik, dan berguna. Ukuran harga yang murah itu perlu. Kecuali bagi mereka yang duitnya sisa banyak, yaaa ... barangkali syarat "murah" itu tidak masuk hitungan.

Kemarin waktu aku menikah, aku sebenarnya tidak akan menyediakan suvenir. Kenapa? Sebenarnya sih aku ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa pernikahan tanpa suvenir itu tetap sah. Dan itu, tidak masalah. Kalau pun "dirasani" orang, berapa lama sih mereka bakal mempergunjingkan kami? Lama-lama gunjingan mereka toh akan berhenti. Kalau tidak berhenti, ya tebalkan telinga saja. Gampang. Lagi pula, beberapa kali aku mendapatkan suvenir "instan", alias baru dipakai sekali, langsung rusak. Sayang banget. Daripada duit dihambur-hambur untuk menyediakan suvenir yang (ternyata) mutunya jelek, lebih baik tak ada suvenir sama sekali. Iya, kan?

Tapi yah, mempertahankan pendapat di depan orangtua, ternyata tidak mudah. Awalnya ibuku setuju kalau tidak pakai suvenir. Tapi satu bulan menjelang hari H, ibuku mulai ribut. Duuuh! Pusing juga lama-lama. Akhirnya aku pun mencari suvenir yang murah dan berguna. Hmm ... apa ya? Notes! Itu saja. Aku bilang ke temanku supaya membuatkan cover, lalu aku memesan notes mungil ke sebuah percetakan kecil yang kata temanku cukup murah. Aku lupa berapa lama notes itu jadi. Tapi seingatku cepat juga kok. Dan harganya pun tidak mahal. Aku sengaja memilih notes sebagai suvenir karena kupikir toh banyak orang masih menulis. Dan notes itu kan bisa dipakai buat menulis pesan, daftar belanjaan, agenda harian, dll. Dan sekali lagi, harga cetak notes itu tidak mahal. Asal, ndak neko-neko lo. Enggak pakai cover dengan kertas bagus atau bagian dalamnya disablon. Lagi pula, kalau kita langsung pesan ke percetakan, jatuhnya tidak mahal.

Ngomong-ngomong soal suvenir, aku jadi berpikir, sebenarnya siapa sih yang "mengharuskan" kita untuk memberi suvenir. Maksudku, sebenarnya apa pendorong terbesarnya? Karena semua orang memberi suvenir? Apakah suvenir itu suatu keharusan yang diberikan sebagai tanda terima kasih? Apakah ucapan terima kasih itu tidak cukup jika berupa suguhan makanan yang banyak macamnya pas resepsi? Apakah kita datang ke resepsi pernikahan teman atau famili kita karena menginginkan suvenirnya? Bagi sebagian perempuan, aku kira memang memiliki rasa "penasaran" bakal mendapat suvenir apa. Tapi kurasa, itu terjadi karena setiap kali datang ke acara pernikahan, mereka mendapat suvenir. Coba kalau masyarakat kita tidak membudayakan suvenir, tentu tak akan ada rasa penasaran itu.

Bagiku, pendorong terbesar yang membuatku mengadakan suvenir adalah permintaan ibuku. Tak lebih. Lha kalau aku tidak menyediakan suvenir, ibuku bakal berlelah-lelah membuat pernak-pernik sendiri. Wah! Aku tentu tidak tega melihat ibuku pontang-panting, dong. Jadi, daripada ribut, mending aku merelakan beberapa ratus ribu untuk menyediakan notes-notes mungil. Lagi pula, tahu kan bagaimana ribetnya dan seberapa tinggi tingkat stres di seputar acara pernikahan? Ada banyak hal yang mendadak meminta perhatian kita. Mulai dari usulan anggota keluarga kita, undangan yang belum tersebar dengan merata, jenis makanan kecil yang akan dihidangkan, dll. Fiuuuh!

Aku sering heran, kenapa sepertinya masyarakat kita lebih mementingkan hal-hal remeh--seperti suvenir? Padahal untuk acara pernikahan, menurutku ada hal yang lebih penting daripada suvenir. Kesannya pas acara kawinan itu yang penting adalah hal yang tampak: dekornya bagus apa enggak, makanannya ada berapa macam, riasan pengantinnya bagus apa enggak. (Padahal tahu nggak, sanggul pengantin perempuan itu berat, lo. Dan lama-lama bikin pusing! Di balik kepusingan pengantin, orang-orang bertepuk tangan dan merasa senang. Is it what you looking for, huh?)

Aku kadang ingin melihat acara pernikahan yang benar-benar sakral. Tidak neko-neko; tidak diadakan gede-gedean supaya tampak "wah"; pengantin dan keluarganya bisa tersenyum lebar karena tidak memikirkan utang yang harus diangsur setelah ini; orang-orang yang datang pun bisa merasakan "nyes"-nya acara itu. Tak ada pergunjingan. Tak ada celaan. Dan, semuanya bahagia.

Monday, July 28, 2008

Menjadi Petani

"Dulu waktu aku masih kecil, aku bercita-cita bekerja di depan komputer," ujar salah seorang temanku, Mira. "Ha? Nggak ada yang lebih lucu, Mir?" sahut temanku yang lain. Kami memang spontan menertawakannya. Rasanya cita-cita itu begitu polos dan yah ... lucu saja. Dia tidak ingin menjadi dokter, guru, atau presiden. Itulah sederetan profesi yang biasa diucapkan anak kecil. (Atau sebenarnya itu cita-cita yang ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya?)

Aku sendiri lupa, apa cita-citaku dulu ketika masih kecil. Yang jelas, aku tidak ingin menjadi guru seperti ayahku. Mungkin itu karena melihat murid-murid SPG yang berpraktik mengajar di SD-ku dulu, selalu dikerjai oleh teman-temanku. Dan lagi, mereka tampak grogi sekali. Jarang sekali ada yang kelihatan PD dan betul-betul pintar.

Selain itu, aku juga tak pernah bercita-cita menjadi petani--seperti Kakek. Menurutku, pekerjaan Kakek sangat berat. Setiap kali ia pulang dari sawah, aku melihat selalu saja ada tanah yang menempel, entah di kaki atau tangannya. Bajunya pun selalu kotor terkena lumpur. Aku juga tak tahu bagaimana Kakekku sanggup membiayai ayahku sekolah sampai bisa menjadi seorang guru. Yang jelas, rumah Kakek baru dibeton ketika aku sudah bekerja. Ketika aku masih kecil, rumah Kakek tampak kusam. Kurasa, Kakek memang tak memikirkan memperbaiki rumahnya.

Seingatku, aku tak pernah bercita-cita menjadi petani. Bagiku, menjadi petani itu tidak enak. Sudah pekerjaannya berat, baju yang dipakai bekerja tidak keren, harus mau kotor pula. Lagi pula, menjadi petani itu identik dengan kemiskinan. Nah, siapa yang mau?

Mungkin sebenarnya aku juga bercita-cita seperti Mira. Aku ingin bekerja di lingkungan yang bersih, mengenakan baju bagus. Jadi bekerja di depan komputer--entah sebagai apa--memang sepertinya menarik. Jauh lebih menarik daripada menjadi petani.

Barangkali itu pula yang membuat sampai sekarang nasib petani tidak membaik. Tak ada yang mau menjadi petani. Bahkan ketika alat-alat pertanian dan ilmu pertanian semakin modern, profesi petani masih tidak menarik. Walaupun kita hidup di negara agraris, rasanya aku nyaris tak pernah menjumpai anak muda yang ingin menjadi petani. Padahal, kalau tidak ada yang mau menjadi petani, kita akan makan apa?

Wednesday, July 02, 2008

Kota Metropolitan? Ah, Yang Bener! ...

Sebagai orang biasa yang "kesasar" di Jakarta, aku ke mana-mana naik kendaraan umum. Seringnya sih naik Metromini atau KWK. Jadi, aku bisa melihat pojok-pojok Jakarta. Nah, dari pengamatanku itu, aku jadi berpikir, "Kok bisa sih Jakarta disebut kota metropolitan? Apa karena dia didapuk sebagai ibukota negara? Atau karena di situ ada buanyak fasilitas yang tidak dipunyai daerah/kota lain di Indonesia tercinta ini?" (Padahal fasilitasnya paling pol cuma banyak mal.)

Bagaimanapun, aku masih terheran-heran pula jika Jakarta ini mendapatkan Adipura. Oalah, Pak Walikota itu apa ndak pernah sobo Terminal Senen yang baunya bikin hidung jadi kebal? (Ya, tentu ndak pernah to ya? Lha wong ke mana-mana naik mobil yang wangi je!)

Aku memang baru sekali berlama-lama di Terminal Senen. Dan ya, aku sungguh mengelus dada. Lha wong kotor dan bau kok ya, pihak pemberi Adipura itu tega-teganya memberi Adipura kepada Jakarta Pusat. Ini ngece (menghina) atau benar-benar mau memberi penghargaan? Lha kalau mau memberi penghargaan itu lak ya mestinya dinilai benar-benar to? Mosok sama aku yang orang biasa2 saja, standar kebersihannya masih kalah jauh?

Dan lagi, Jakarta itu punya fasilitas "ndangdutan" di jalan lo. Alias, banyak jalanan yang rusak. Jadi, kendaraan yg lewat siap-siap geal-geol saat melintasinya. Lumayan kali ya buat olahraga pantat? Hehehe

Tapi ya, aku tuh bingung kenapa to Jakarta itu disebut kota metropolitan? Kalau menurutku sih, itu cuma kampung yang diaspal. Ndak lebih. Jadi, Jakarta kota metropolitan? Ah, yang bener? ...

Monday, June 23, 2008

Siapa yang Mencintai Jakarta?

Ketika aku menuruni jembatan penyeberangan di dekat jl. Layur (dekat jl. Pemuda, Jakarta Timur), maka aku harus mempersiapkan hidungku agar tidak kaget saat bau busuk menghambur menusuk-nusuk hidung. Jembatan yang turunannya di dekat jalan Jati Rawamangun itu berada di atas sebuah got yang sama sekali tidak mengalir. Sampah yang sudah tidak jelas bentuknya memenuhi got itu. Air got itu pun warnanya sudah abu-abu. Pekat. Jadi bisa kebayang kan, seperti apa baunya? (Aku pun jadi maklum kalau Jakarta Timur tidak mendapatkan Adipura. Wong gotnya saja bau buanget! Tapi pertanyaannya, apakah di Jakarta bagian lain juga tidak punya got serupa? Hehehe?)

Temanku yang kosnya di sekitar situ pernah bilang begini, "Di daerahku, tak pernah ada got yang sampai sebau ini. Bisa marah-marah Pak RT-ku. Walaupun kerja bakti tidak dilaksanakan setiap minggu, toh daerah rumahku di dekat Monjali (Monumen Jogja Kembali) sana tidak pernah sekotor ini."

Benar juga kata temanku itu. Di depan rumahku di Madiun ada pula sebuah got. Walaupun alirannya tidak lancar-lancar banget, toh baunya tidak menyengat. Yang jelas, tidak semua sampah dicemplungkan di situ.

Kadang aku bertanya-tanya, sebenarnya siapa ya yang mencintai Jakarta? Orang yang tinggal di Jakarta selama bertahun-tahun saja tidak pernah peduli apakah lingkungan sekitarnya bersih atau tidak. Kalau pun mereka tahu bahwa lingkungan di situ kotor, sepertinya juga tidak ada usaha untuk membersihkannya. Tentu, tentu saja capek dong kalau hari Minggu masih harus kerja bakti. Iya kan? Kerja dari Senin sampai Jumat kan sudah bikin capek dan stres. Akhir minggu adalah saatnya untuk berleha-leha dan istirahat. Jadi, kerja bakti? Capek deh!
Kalau mau diibaratkan, Jakarta ini seperti seorang perempuan yang tidak pernah dicintai. Cantik sih, cantik. Tapi kalau harus mencintainya, orang sepertinya akan berpikir seribu kali deh. Dia paling enak untuk dieksplorasi habis-habisan, karena dia kaya dan punya semuanya. Dia paling gampang dimanfaatkan. Tapi dia bukan perempuan yang pantas untuk mendapatkan cinta.

Jadi sekali lagi, siapa yang mencintai Jakarta ya? Hayo ngacung!

Wednesday, May 28, 2008

Jakarta yang Absurd (part 3)

Setelah kira-kira 12 tahun tinggal di Jogja, ukuranku tentang jauh-dekatnya suatu tempat berubah. Tidak seperti ketika aku masih di Madiun, kota kelahiranku, di Jogja suatu tempat yang jauhnya 5 km termasuk dekat. Kalau di Madiun, 5 km rasanya sudah jaauuuh ... sekali. Di Madiun, lima kilometer itu adalah jarak dari rumah ke kantor ibuku yang lama. Dulu, bagiku kantor ibuku jauh sekali, ibarat sudah luar kota.

Ketika di Jogja, perjalananku dari rumah ke kantor kira-kira kutempuh selama 20 menit. Jaraknya kira-kira 10 km. Beberapa kali aku pulang malam. Sampai rumah pukul 7 malam itu sudah biasa. Jam kantorku memang usai pukul empat sore. Tapi, aku memang hobi main, jadi aku suka mampir ke sana kemari sekalian sambil mencari makan malam. Tapi perjalanan dari rumah ke kantor atau sebaliknya, paling lama kuhabiskan di jalan selama 30 menit. Tidak lebih.

Sekarang di Jakarta semuanya berubah. Suamiku menghabiskan waktu di jalan untuk menuju tempat kerjanya selama 1,5-2 jam. Itu semua karena situasi jalan yang tidak bisa diprediksi. Macet di mana-mana. Padahal kalau jalanan sangat lancar, perjalanan cuma butuh setengah jam. Tapi jangan berharap banyak dengan lalu lintas Jakarta! Nggak lucu kan orang gantung diri karena stres memikirkan kemacetan di jalan? "Nggak segitunya deh," begitu mungkin komentar Dimas temanku.

Nah, beberapa hari yang lalu, adiknya suamiku hendak berkunjung ke rumahku. Mumpung kuliahnya libur. Menyadari lalu lintas Jakarta yang semrawut aku jadi bisa tidak berharap dia akan sampai di rumahku dalam waktu 10 menit, setelah dia mengatakan bahwa dia berangkat "sekarang". Dan benar, dia sampai di tempat tinggalku kira-kira 2,5 jam kemudian.

Di Jogja, untuk bisa sampai ke Solo, aku cuma butuh waktu 1 jam (naik kereta Prameks). Itu pun sudah melewati Klaten dan Delanggu--dua kota yang bertetangga dengan Jogja. Lha kalau di Jakarta? Sama-sama di Jakarta Timur saja, orang perlu menyisihkan waktu 1 jam untuk perjalanan. Ealah ... Jakarta ... Jakarta.

Dulu kalau suamiku ke Jogja dan mau stasiun karena hendak pulang ke Jakarta, kami sering eyel-eyelan soal waktu. Kalau keretanya berangkat pukul 8 malam, pukul 6 sore dia sudah memintaku untuk mengantarkannya ke stasiun. Beberapa kali kubilang, "Ini bukan Jakarta. Kita berangkat jam 7 dari rumah pun, kamu tidak akan ketinggalan kereta. Wong kita paling cuma butuh waktu setengah jam untuk sampai stasiun." Tapi dia tidak percaya, dan tetap memintaku untuk mengantarkannya pukul 6 sore. Dan benar, ketika kuantarkan, kami akhirnya menunggu kereta selama 1,5 jam di stasiun! Padahal, 1,5 jam di Jogja itu bisa untuk makan dengan santai di tempat makan favorit kami ....

Ukuran waktu dan jarak di Jakarta memang absurd. Dan kalau kamu berelasi dengan orang sudah menetap di Jakarta bertahun-tahun, soal jarak dan waktu ini bisa jadi bahan untuk eyel-eyelan! Coba saja. Dan kini jam di samping kamar kerjaku sudah menunjukkan pukul 18.15. Dan suamiku bilang, dia akan sampai rumah 2 jam lagi! Ealah ... niatnya tadi menunggu dia untuk makan malam bareng, tapi apa daya? Perutku sudah berteriak minta diisi. Bisa ngambek nanti naga di dalam perutku kalau baru 2 jam lagi baru kuberi makan.

Wednesday, May 21, 2008

Jakarta yang Absurd (part 2)

Kemarin aku jalan-jalan ke Arion. Dalam perjalanan, metromini yang kutumpangi itu disambangi oleh pengamen bertampang galak dan berbaju sobek-sobek. Bukan compang-camping sih, tapi memang sepertinya pengamen itu gaya bajunya seperti itu. Mau menciptakan model baru, kali ya? Entahlah.

Ketika dia naik, aku langsung curiga, "Wah, jangan-jangan dia maksa nih minta duitnya." Tidak jelas, pengamen itu bernyanyi apa, yang jelas suaranya lantang sekali. Separo berpuisi tapi diberi irama. Dia menyampaikan kritik sosial; mengkritik pemerintah yang cuma bisa menyengsarakan rakyat, tapi kupikir dia sendiri tidak jauh berbeda dengan pejabat pemerintah yang bisanya menakut-nakuti rakyatnya dengan peraturan yang tidak jelas. Dengan tampang galaknya dan dengan gayanya meminta uang yang sedikit memaksa itu, itu dia berubah menjadi monster.

Hmmm ... ini adalah bagian dari keabsurdan Jakarta. Aku tidak tahu, pengamen itu dibesarkan di keluarga seperti apa. Apakah dia punya anak dan istri? Apakah dia bermimpi bisa membeli rumah gedong dengan mengamen tidak jelas seperti itu? (Yee, mimpi kali Bang!) Kalau dia mengamen di acara-acara besar dengan suara seperti Delon, naaa ... itu baru memungkinkan baginya untuk mengubah jalan hidupnya. Tapi untuk bisa menyanyi dengan baik, orang perlu belajar vokal. Lha tahu sendiri kan, berapa duit yang mesti diluarkan untuk les vokal?

Keabsurdan Jakarta telah menciptakan orang-orang "sakit" yang tidak tahu apa tujuan hidupnya selain untuk mencari makan dan kalau bisa menjadi orang kaya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah orang-orang yang mendapat training serta pelatihan dari Pak Eko tentang Seven Habit-nya Stephen Covey jadi semakin sadar bahwa ada tujuan hidup yang lebih penting daripada sekadar makan dan minum?

Jalanan yang kulalui masih padat. Mobil, bus kota, sepeda motor berjejalan memenuhi jalanan. Kadang aku pengin iseng bertanya kepada mereka, "Mau ke mana sih Pak, Bu, Mbak, Mas? Kok sepertinya sibuk dan buru-buru banget." Aku yakin, sebagian besar dari mereka digerakkan oleh kepentingan kantor atau pekerjaan.

Dan mbak-mbak pramuniaga itu masih berjalan di antara rak-rak barang jualan, lengkap dengan dandanan mereka yang menor. Dengan ramahnya mereka melayani pembeli. He he he, padahal kalau dipikir-pikir, berapa sih gaji mereka? Laba penjualan dari supermarket tempat mereka berjualan itu hanya sepersekian persen yang masuk menjadi gaji mereka. Padahal, aku yakin mereka capek setelah seharian bekerja, berdiri dan mondar-mandir melayani pembeli, lengkap dengan tempelan aksesoris dan make-up yang cukup tebal. Kenapa mereka mau bekerja seperti itu? Untuk sekadar mengisi waktu luang? He, yang bener aje. Pasti sebagian besar dari mereka bekerja untuk mencari makan. Apakah kepentingan konsumen menjadi kepentingan mereka? Belum tentu. Jangan-jangan mereka berlaku sopan karena suruhan atasan. Karena kalau tidak, mereka akan dipecat. Atau kalau tidak, mereka berpikir bahwa jika pelanggan toko mereka pergi, maka mereka tidak bisa gajian di akhir bulan.

Hmmm ... jangan-jangan aku ketularan absurd juga. Aku cuma berharap di kota ini, aku tetap waras. Kesadaranku tetap berdiri tegak. Tapi siapa yang bisa menjamin? He?

Tuesday, May 13, 2008

Jakarta yang Absurd (part 1)

Ini adalah hari-hari awalku di Jakarta. Rasanya jiwaku masih di Jogja. Aku selalu bangun dengan perasaan bahwa ini cuma mimpi. Biasanya aku ke Jakarta hanya untuk main atau karena ada tugas kantor. Tapi kali ini aku harus ikut suami, jadi bisa dibilang ini adalah pergi untuk memenuhi panggilan hidupku.

Aneh rasanya. Keanehan ini tidak ada hubungannya dengan relasiku dengan suami. Tapi lebih pada bagaimana aku melihat Jakarta. Beberapa waktu lalu, ketika seorang temanku yang juga pindah kerja di Jakarta mengatakan bahwa kota ini absurd, aku cuma bisa tertawa. Aku bisa membayangkan bagaimana temanku itu terseok-seok untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja di Jakarta, sementara hampir 30 tahun hidupnya tak pernah keluar dari Jogja berhati nyaman. Dia mengeluh, di kantor barunya itu dia dianggap udik. Tapi kalau aku lebih suka mengatakan ini beda kultur saja. Dan aku cuma tertawa mendengar ceritanya. Hehehe, wong dia lucu banget kalau bercerita. Penuh ekspresi dan lengkap dengan logat Jogjanya.

Tapi sekarang aku tidak bisa menertawakan dia lagi. Aku mulai menertawakan diriku dan orang-orang di sekelilingku. He, benar ... kota ini absurd. Ibarat orang, kota ini tidak punya tujuan hidup, cuma muter-muter tidak jelas; apa saja dikerjakan, tapi tak ada ujungnya kecuali ujung-ujungnya duit. Semua orang sibuk mencari duit. Dan bodohnya, orang-orang ini kalau ditanyai informasi, jawabannya tidak jelas. Misalnya begini, waktu aku mau mengisi pulsa XL extra 100 ribu, aku mendapat jawaban yang bervariasi. Dari temanku Ema, yang mau berbaik hati akan membelikannya dalam perjalanan ke kantor, dia dikasih tahu oleh penjual pulsa bahwa XL extra 100 ribu sudah tidak ada lagi di pasaran. Sudah ditarik dari peredaran! Weh la dalah ... XL kok aneh-aneh saja ya, pikirku. Masak iya sih, XL betul-betul mau menghapuskan layanan extra yang bisa sms gratis ke sesama XL itu? Biasanya kan si XL woro-woro lewat SMS ke pelanggannya. Trus, aku akhirnya pergi sendiri ke penjual pulsa di sekitar tempat tinggalku. Jawaban yang kuterima apa coba? Si Mbak yang manis penjaga gerai itu bilang bahwa sekarang XL tidak membedakan antara extra dan reguler. Nah lo! Aku jadi bertanya-tanya lagi, si XL ini maunya apa sih? Trus, aku pergi ke gerai sebelahnya, dan di situ penjualnya bilang XL extra 100 ribu harganya Rp 101.000,00. Hehehe, untungnya aku keukeuh untuk mencari pulsa XL extra 100 ribu. Kalau tidak, kena tipu deh! Padahal kalau dipikir-pikir informasi yang tidak benar itu kan dari penjual pulsa yang saben hari melayani pembeli pulsa dan hidupnya cuma berkutat di jual beli pulsa to? Ealah ....

Sekarang aku percaya dengan kata-kata temanku, bahwa orang-orang Jakarta itu bodoh. Banyak sekali yang bodoh. Mereka cuma pinter "nggambleh", jual omongan dan ujung-ujungnya duit.

Monday, May 12, 2008

I Miss Jogja

I do miss Jogja. Kangen betul. Rasanya aku di sini seperti hidup di dunia lain. Entah aku yang nggak pinter adaptasi, atau gimana... aku nggak tahu. Aku merasa Jakarta adalah kota yang absurd. Aku pengin kembali ke dunia orang "waras", bukan di dunia "orang yang gila uang dan ignorant".

Friday, May 02, 2008

Malas (Berkemas)

Tinggal beberapa malam lagi aku bisa tidur di kamarku yang nyaman. Besok Senin rencananya (kalau dapat tiket), aku akan melanjutkan perjalanan ke kota ibukota raya. Ikut suami. (yeah! akhirnya ....)

Tapi kalau mau jujur, aku malas sekali berkemas. Apalagi meninggalkan Jogja. Tidak, aku tidak kawin paksa kok kemarin. Jadi sebenarnya tidak masalah dengan suamiku. Tapi Jakartanya itu lo! Kota super macet yang full polusi itu sebenarnya kota yang tak ingin kutinggali. Mau dibilang ndeso, ya nggak apa-apa, tapi aku memang lebih suka tinggal di kota kecil atau kota yang sedang-sedang saja besarnya. Asal ada komputer, koneksi internet, dan toko buku, rasanya itu cukup buatku.

Semalam aku ke Kinoki. Itu adalah kunjungan pertamaku, dan entah kapan aku akan mengunjunginya lagi. Sambil ngobrol ngalor ngidul nggak jelas dengan "kakaknya Jessy" (hehehe, bener to Dim?), aku menghabiskan separo malam. Duh, nyaman betul ya rasanya!

Tapi aku jadi ingat dengan kamarku. Masih ada beberapa barang yang harus masuk ransel dan kardus. Ya ampun, malas banget berkemas! Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi di Jakarta nanti. Tapi aku berharap, aku tidak kehilangan teman-temanku yang cuma segelintir itu ....

Thursday, May 01, 2008

Sumbangan

Sore itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Dari jendela kulihat ada dua orang berkerudung berdiri di depan pintu. Mereka bukan temanku. Ragu-ragu aku hendak membukanya. Tapi sudahlah, toh mereka perempuan. Dan dengan baju religius yang cukup tertutup rapat, kukira mereka tak akan berbuat jahat.

"Permisi, Mbak. Kami hendak bersilaturahmi," kata salah seorang dari mereka.
Agak bingung aku mendengarnya. Bersilaturahmi? Mau kenalan ya maksudnya?, pikirku. Tapi untuk apa kenalan? Warga barukah mereka?

"Bolehkah kami masuk?" tanyanya.

Dengan bingung aku mempersilakan mereka masuk. Di rumahku tidak ada kursi tamu yang khusus, jadi ya ... mereka duduk di kursi seadanya yang baru saja kuatur. (Aku memang jarang sekali menerima tamu secara formal. Biasanya yang datang adalah teman-teman. Dan mereka sudah biasa duduk lesehan dengan santai di depan TV.)

Si Mbak yang pertama mengatakan bahwa ia sedang mencari sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah di daerah Semanu, Gunung Kidul. Lalu, temannya mengeluarkan sebuah map dari tas kemudian diberikan kepadaku.

Aku lalu mengingat-ingat uang yang ada di dompetku. Mampus! Aku enggak punya uang yang kira-kira pantas untuk menyumbang. Seingatku, yang ada cuma recehan dan selembar uang seratus ribu. Aduh, bagaimana ya?

Aku sendiri rasanya separuh ditodong. Kalau mau menolak langsung, kok kesannya aku nggak punya rasa kemanusiaan, atau minimal toleransi. Salahkah mereka membangun rumah ibadah? Tentu tidak. Tapi kok ya, begini caranya mencari dana? Selain tidak punya uang yang kira-kira pantas untuk disumbangkan, aku jadi berpikir kenapa mereka meminta sumbangan kepadaku? (Yang seratusan ribu tadi kalo disumbangkan, bisa-bisa aku kelaparan seminggu deh...) Dilihat dari jarak geografis, Gunung Kidul dan Sleman itu jaraknya bisa 2 jam perjalanan naik motor. Itu pun bisa lebih, kalau daerahnya sudah pelosok nun jauh di pucuk gunung. Jadi, aku tidak punya sense of belonging. Lain kan kalau rumah ibadah itu mau dibangun di kampungku?

Aku lalu iseng tanya-tanya ke mbak itu. Ternyata dia bukan warga Semanu juga. Ibunya memang asli sana, tapi dia sendiri besar dan tinggal di daerah Tamansiswa. Weh, tumben amat ada anak muda yang peduli dengan daerah kelahiran sang ibu. Trus, dia seorang siswa kursusan akuntasi di daerah jalan Timoho sana. Seingatku, di daerah situ cuma ada APMD, Tamsis, dan Janabadra. Jadi, bisa dibilang, dia tidak bersekolah di perguruan yang besar.

Akhirnya, aku bertanya, "Sudah izin Pak RT apa belum, Mbak?"
"Belum. Ini cuma minta sumbangan secara pribadi kok, Mbak," jawabnya cepat.

Hehehe ... mbaknya itu lucu. Aku jadi berpikir, aneh betul orang ini, belum kenal kok sudah minta sumbangan pribadi. (Tadi pas salaman, dia pun tidak menyebutkan nama.) Kalau sumbangan pribadi tuh biasanya dari orang-orang dekat, seperti kalau tetanggaku ada hajatan. Itu nggak usah diminta pun, saya kasih.

Lalu akhirnya aku mengatakan supaya dia minta izin Pak RT terlebih dahulu. "Biar saya lebih jelas, Mbak." Akhirnya map biru itu pun dimasukkan lagi ke dalam tas, dan mereka permisi untuk melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka pergi, aku jadi teringat dulu aku pun pernah berusaha mendapatkan dana segar untuk program KKN. Dulu waktu di asrama, sewaktu dies natalis, kami juga sering mencari dana demi kelancaran acara. Awalnya sih kami berpikir, caranya adalah minta orang tua. Tapi kok kasihan amat, ya ... mereka sudah dibebani dengan uang kuliah kami yang tidak sedikit. Lalu, kami juga berpikir untuk minta uang ke orang-orang yang kira-kira berduit dan dermawan. Tapi akhirnya aku dan teman-teman sepakat tidak melakukan cara itu. Kami mengumpulkan baju bekas, dan menjualnya di pasar tradisional. Hasilnya lumayan lo!

Setahuku, penggalangan dana bisa dilakukan dengan macam-macam cara. Salah satunya dengan berjualan; bisa dengan menjual kolak waktu bulan puasa atau membuat parsel di hari-hari khusus. Kalau mau, apa pun bisa dijual kok (asal nggak jual diri lo! hehehe). Cara lainnya adalah dengan mengadakan pertunjukan amal.

Kalau pun mau minta sumbangan pribadi, rasanya lebih pas kalau sumbangan itu diminta dari orang-orang yang punya "kepentingan" juga atau punya "ikatan" khusus (entah itu alumni atau warga setempat). Jadi nggak, ujug-ujug datang dan minta sumbangan gitu, Mbak ....

Tuesday, April 29, 2008

Back To Normal!

Sudah dua hari ini rasanya aku benar-benar lega. Ibarat ikan yang selama beberapa waktu lalu tidak tinggal di air, aku serasa dikembalikan ke habitatku. Jadi pengennya menyelam dalam-dalam, berputar-putar mengelilingi kolam, dan ... menjadi diriku sendiri!

Seminggu kemarin aku pulang dalam rangka menikah. Yeah! Kalau soal menikah sih sebenarnya itu not a big deal. Maksudku, aku semuanya baik-baik saja. Aku dan suami sudah cukup mengenal dengan baik, jadi tidak ada acara terkaget-kaget atau semacamnya.

Masalahnya, selama beberapa hari itu, aku serasa masuk dalam dunia lain. Dunia lain milik orangtuaku, keluarga besarku, tetangga-tetanggaku, teman-teman ortuku, dan seterusnya. Sejak awal aku sudah membayangkan bagaimana ribetnya acara yang akan kujalani. Bapak minta dibuatkan undangan sekian ratus, padahal aku cuma pengen mengundang puluhan orang saja. Just my inner people. Orang-orang dekatku; terutama yang kenal betul dengan kami. Tapi yah, ternyata ortuku tidak bisa begitu. Jadilah, aku "tutup mata", tahu jadi saja. Pasrah bongkokan.

Tapi rupanya aku tidak bisa benar-benar pasrah bongkokan. Suliiiit banget! Aku seperti dipaksa untuk menjadi orang lain. Bahkan, aku sering terkaget-kaget ketika sadar bahwa orang-orang yang sedang sibuk ndak karuan itu ternyata sibuk untuk mempersiapkan acaraku! Duh! Aku jadi merasa bersalah. Aku rasanya ingin berteriak, "Hey! Aku tidak membutuhkan semua kesibukan ini!" Aku jadi bertanya-tanya, mengapa mereka sibuk melakukan ini dan itu? Mengapa? Untuk membuatku senang? Untuk membuat acaranya meriah? No, no, no. Sebenarnya aku lebih suka acara yang sangat simpel. Kalau bisa sih, cuma menghadap pastor, diberkati, sudah. Kalau mau makan-makan, aku lebih suka makan dengan orang-orang dekatku, ke restoran favorit kami. Begitu cukup. Tak perlulah sibuk dan pontang-panting ke sana kemari: memesan tenda, mengambil kebaya, pesan daging, dan seterusnya.

Mari kita duduk sama-sama. Bikin saja wedang teh yang kental, hangat, dan manis. Lalu, beli saja gorengan atau kalau mau yang agak berat, kita pesan saja nasi goreng telor atau soto ayam. Nah, lalu kita ngobrol sama-sama. Tanyailah kami bagaimana kami bertemu, apa pemikiran kami tentang keluarga, apa saja cita-cita kami .... Sesederhana itu. Mudah. Hangat dan tidak ribet.

Sungguh, seminggu di rumah justru membuatku stres. Walaupun bisa dibilang aku tidak ngapa-ngapain, aku tapi benar-benar tak bisa paham mengapa orang-orang itu sibuk. Dan karena itulah, aku jadi stres.

Di saat-saat seperti itu aku justru merindukan keseharianku yang biasa nongkrong di depan komputer, bangun siang, ke GG, ngobrol dengan teman-teman, puter-puter Jogja. Saat-saat itu, aku benar-benar kangen Jogja dan teman-teman. Hhhh!

Dan sekarang, setelah hari Jumat itu berlalu, aku bisa bernapas lega. Apalagi ketika aku sudah menjejakkan Jogja ... mencium aroma Jogja, berkumpul lagi dengan teman-teman, bisa nongkrong di depan komputer, main game ... yuhuuuu!!! I'm back to normal! Bahagia deh!!!

Monday, April 21, 2008

ngobrol

bagi sebagian besar orang, barangkali aku digolongkan orang yang pendiam. tidak banyak bicara. kalau di depan ada orang dan selembar koran, aku tentu akan lebih memilih membuka koran dan menenggelamkan diriku di antara ribuan huruf. tapi, bagi segelintir orang, mereka akan tahu bahwa sebenarnya aku banyak bicara. suka ngobrol.

maka, kebutuhan untuk mencari tempat ngobrol yang enak bisa jadi suatu kebutuhan tertentu dalam diriku. tapi aku biasanya memang rada pemilih dalam memilih tempat ngobrol. aku rela merogoh kantong lebih dalam untuk mendapatkan suasana yang enak dan nyaman. tempat yang terlalu ramai dan meriah, biasanya bukan pilihanku.

selain tempat ngobrol yang asyik, sebenarnya yang penting adalah teman ngobrol yang asyik pula. dan sebenarnya teman ngobrolku, bisa dihitung dengan jari. tak lebih dari lima orang seingatku. sedikit kan? maka, mendapat teman ngobrol baru yang bisa diajak bertukar pikiran, bicara dari hati ke hati, membicarakan hal yang penting sampai tidak penting, punya selera yang hampir sama, adalah suatu keistimewaan yang tak terbeli bagiku.

hari-hari belakangan ini, aku mendapat teman ngobrol yang baru. asyik banget. jadi, kalau kubilang akhir-akhir ini Jogja sepertinya memanjakanku, mungkin salah satunya karena dia juga.

sayang, aku sebentar lagi harus meninggalkan Jogja. tapi aku berharap Jogja-Jakarta tidak dirasa terlalu jauh... so, let's continue our talk, my dear friend! we still can talk heart to heart. i'll be there!

...
dim, sorry gift-nya cuma tulisan :) kangen nih ngobrol2 lagi hehehe ...

Thursday, April 17, 2008

Tumpukan Kenangan

Hari-hari ini aku mengusung beberapa barangku di meja kerjaku yang sudah ditempati selama enam tahunan ke rumah. Memang, dibandingkan yang lain, mejaku rasanya yang paling rame. Banyak barang yang ada nongkrong di situ; terutama buku, katalog, hand out dari seminar atau pelatihan, dan sebagainya. Kadang kutemukan barang-barang yang tidak penting, seperti selipan buku, kertas-kertas tagihan, undangan kawinan teman yang sudah dua tahun silam ....

Kalau aku menyadari tinggal beberapa hari aku di Jogja, rasanya barang-barang itu jadi "barang berharga". Ada berlapis-lapis kenangan yang terkandung di barang-barang itu.

Aku jadi ingat waktu nonton jazz di depan monumen SO 1 Maret di ujung Malioboro. Awalnya sih aku rada ogah2an. Tapi rupanya Tompi memang keren! Dan aku seperti terbius menyaksikannya. Di tengah-tengah penampilannya, aku sebenarnya sadar, penampilan Tompi itu akan berakhir. Jadi setiap detik adalah saat yang berharga. Sangat berharga. Nantinya, penampilannya itu akan fade away ... menghilang. Dan babak selanjutnya akan menggantikannya. Penampilan Tompi itu tak akan terulang lagi. Jam terus merambat; itu berarti aku harus pulang, mencari becak atau taksi, dan mengurus perutku yang lapar.

Sebenarnya setiap jamku di ruang penerbitan itu juga sangat berharga. Hanya saja kadang aku tidak menyadarinya. Memang, di ruang kerjaku yang dulu tidak ada Tompi yang menyanyi secara live. Tapi di situ ada banyak orang yang memberikan lapisan kenangan pada benda-benda di mejaku, di hati dan pikiranku, di flash disk-ku, dan seterusnya.

Sekarang aku berada di sini, di jam ini. Di "menit-menit terakhir ini" rasanya semua begitu memanjakanku. Teman-teman seruangan rasanya begitu kocak. Teman-teman yang lain juga terasa hangat, begitu tulus, begitu helpful. Rasanya aku ingin berlama-lama di sini. Memanjakan hati dan pikiranku, membiarkan mereka menyentuh hatiku sekali lagi.

Lapisan kenangan itu semakin tebal rasanya. Menyelimutiku dengan lembut, dan membuatku ingin berkubang di situ .... Rasanya aku mencintai semua yang ada di sini.

Monday, March 31, 2008

Klise

Kadang kupikir kita ini dikelilingi banyak hal klise yang begitu kuat. Klise yang kumaksud di sini bukan film negatif lo, tetapi suatu gagasan yang sering dipakai. Misalnya, gagasan bahwa orang miskin itu selalu tulus, orang kaya itu nyebelin dan sombong, dsb.

Klise yang paling banyak berhamburan sih di layar kaca--terutama sih di sinetron-sinetron. Biasanya di situ orang-orang miskin digambarkan sebagai orang yang bodoh, tulus, tahunya cuma nrimo dan nrimo. Atau, orang kaya digambarkan sebagai orang yang culas, serakah, dan pengen menang sendiri.

Tapi ya, namanya juga cerita. Kenyataan yang kita jumpai kadang berbicara lain. Misalnya, sudah bukan rahasia lagi kalau banyak pengemis yang sengaja membebat kaki mereka dengan perban yang sudah dituangi obat merah banyak-banyak. Kalau seperti itu kan bisa dikatakan bahwa biar miskin, mereka suka menipu juga. Dan pas hari Minggu kemarin (30/3/08), aku sempat melihat tayangan SIGI di SCTV. Di situ ditayangkan ada orang yang sengaja membuat sabun dan sampo palsu. Walaupun wajah si pembuat itu dikaburkan, tapi kalau ditilik dari cara pembuatannya yang seadanya, dan bagaimana ia memasarkan barang-barang palsu itu, sepertinya dia bukan orang yang kaya. Waktu menontonnya, aku sempat sebel sih! Kok ada ya orang yang tega melakukan hal-hal seperti itu?

Bagiku sendiri, aku masih perlu belajar untuk melihat seseorang dari hatinya. Tidak cuma melihat tampang dan penampilan. Tidak juga cuma percaya begitu saja apa kata orang tentang si A, si B, si C. Mungkin si pembuat sampo dan sabun palsu dan pengemis yang menipu itu menyebalkan dan merugikan banyak orang, tetapi apakah ada gunanya ya kalau kita membencinya?

Friday, March 28, 2008

Kecanduan

Aku merasa akhir-akhir ini nggak bisa lepas dari yang namanya k-o-m-p-u-t-e-r. Mungkin kalo Mbah Kung--yang seorang petani itu--kehilangan paculnya, begini juga rasanya.

Paskah kemarin aku pulang ke Madiun. Rencananya sih nggak lama2 di rumah. Tapi karena satu dan lain hal (halah, koyo opo ae sih!), aku akhirnya berlama-lama di rumah. Alasan utamanya sih karena aku sakit perut. Biasalah ... perempuan. Jadi, daripada aku meringis-meringis di kereta, kan mending aku bobok manis di rumah to?

Nah, selama di rumah itu aku tidak bersentuhan dengan komputer babar blas! Padahal aku masih ada tanggungan mengerjakan terjemahan, plus satu "pesanan" tulisan. Aku sebenarnya sudah membawa sebuah buku agar aku bisa meneruskan terjemahanku. Tapi kok rasanya tidak lancar ya? Ada yang kurang, gitu rasanya. Sepertinya jari-jariku lebih luwes kalo menyentuh keyboard komputer. Akibatnya, aku jadi malas melanjutkan pekerjaan.

Di saat-saat seperti itu, rasanya kebutuhan untuk punya laptop tuh gedeeee banget. Serasa nggak tertahankan. Tapi kok ya duit di rekening belum juga bertambah. Apa bisa beli laptop pake krikil yg kukumpulkan di depan rumah? Hehehe. Duh ...! Apa di surga ada pabrik laptop ya? Kalau minta dikirimi satuuuuu aja dari sana, apa bisa ya?

Beginilah kalau aku sudah kecanduan komputer....

Wednesday, March 19, 2008

Pengumuman di Hari Terakhir

Ini hari terakhirku sebagai karyawan tetap di sebuah penerbitan. Memang, memang sudah lama aku gembar-gembor kalau aku pengen jadi freelancer. Sebenarnya, rencananya baru bulan Mei aku "kerja serabutan", dan mulai pertengahan Maret sampai pertengahan April aku jadi part timer. Tapi karena setelah dipikir-pikir lebih "menguntungkan" kalau aku langsung jadi freelancer saja, aku pun memutuskan bahwa minggu depan aku akan jadi freelancer.

Kerjaannya sih nggak jauh-jauh dari aktivitasku selama ini: mengedit, menulis, menerjemahkan. Seputar itulah. Pengennya sih, setelah jadi freelancer, jadi tambah teman, dan semoga tambah duit juga hehehe.

Tapi tahu nggak, hari ini kok rasanya agak2 aneh ya. Aku tersadar bahwa di bulan-bulan depan sudah tidak ada lagi yang menggajiku setiap tanggal 28. Duit yang masuk ke rekeningku semuanya tergantung pada usaha dan keprigelanku dalam memenuhi deadline. Setelah enam tahun jadi pekerja kantoran, baru kali ini aku akan lepas dari kungkungan ruangan ber-AC dan meninggalkan teman-teman seruangan konyol bin ajaib (terutama kalau para bos sedang tindak-tindak atau berkencan he he he).

Lalu, minggu depan aku akan benar-benar mulai bekerja sendiri. Terserah deh mau ngapain. Mau duduk sambil baca buku, ya boleh. Mau nulis-nulis yang nggak mutu, ya oke-oke saja. Mau ngebut cari duit? Boleh-boleh saja.

Jadi ya, sekarang aku umumkan kepada khalayak ramai: "Minggu depan saya jadi freelancer lo! Kalau membutuhkan saya dan mau menawarkan kerja sama, silahkan lo. Monggo. Kontak saya di krismariana@yahoo.com. Oke?"

Tuesday, March 18, 2008

Ketika Hari Hujan

Sebenarnya aku ini suka hujan--tapi kalau sedang di rumah. Aku suka dinginnya. Apalagi kalau di rumah berlimpah makanan. Wah, enaaaak! Trus, apalagi kalau ada temen ngobrol yang asyik markosip. Betul-betul mak nyus tuh!

Tapi lain soal kalau harus menembus hujan. Payahnya, hal inilah yang belakangan ini aku alami. Mau nggak mau aku harus menerobos curahan air hujan. Lha mau gimana lagi kalau setelah hujan itu aku tongkrongin, ternyata ndak berhenti juga, apakah aku harus menginap di kantor tercinta ini?

Akhirnya, aku selalu menyiapkan benda-benda ini di dalam tasku:
-celana pendek (untuk ganti celana panjangku, biar besok masih bisa dipakai)
-handuk (kalau-kalau harus mandi di kantor atau di kos tesa)
-sabun cair (kalau mandi, mesti pakai sabun kan?)

Oiya, selain itu aku juga selalu pakai sandal jepit ding! Murah meriah. Jadi sepatu sandal yang bagus tetap awet karena enggak kehujanan....

Friday, March 14, 2008

Kenapa Ya?

Kenapa ya, kita ini sulit menerima perbedaan?

Hayo? Kenapa hayooo?

Aku nggak tahu. Tapi memang kadang merasa tidak enak saja kalau berbeda. Dulu perasaan tidak enak itu sangat kuat, tetapi entah mengapa sekarang aku merasa perasaan tidak enak itu tidak sekuat dahulu. Bahkan aku justru merasa aneh dengan orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan.

Kupikir-pikir, perasaan tidak enak itu muncul karena kita diomongin negatif oleh orang lain. Orang memberi cap bahwa kita adalah orang yang aneh, tidak umum. Dan ujung-ujungnya, berbeda itu tidak boleh. Misalnya nih, untuk urusan kawinan. Orang tua biasanya merasa tidak nyaman kalau kita para generasi muda ini ingin sesuatu yang berbeda. Contohnya: tidak perlu lah kita mengundang orang sekampung atau dua kampung untuk meramaikan pernikahan. Orang muda mikirnya: Memangnya, yang sederhana saja nggak bisa?
Orang tua mikirnya: Nanti apa kata tetangga-tetangga? Mantu kok diam-diam. Anggaplah ini sebagai suatu kebanggaan.

Padahal tuh ya, kalau mengundang banyak orang tuh kan mesti sedia banyak duit? Kalau orang muda sih mikirnya, ya... temen-temen dekat saja lah yang diundang. Kenapa mesti bapak itu, atau ibu anu ikut diundang? Toh kita nggak kenal-kenal banget. (Dan lagian, kenapa kalau si A atau si B tidak diundang, mereka menjadi tersinggung?) Daripada duit dihambur-hamburkan untuk memberi makan orang sekampung yang nggak kekurangan duit, lebih baik duitnya digunakan untuk hal yang lebih berguna, kan?

Lagian kenapa sih, kita mesti takut diomongin orang hanya karena kita berbeda?

Wednesday, March 05, 2008

Mari Kita Bicara

Kadang kupikir, aku ini termasuk orang yang agak susah kalau mau ngomong apa adanya. Itu terjadi terutama kalau ada masalah dengan teman. Aku takut si lawan bicara jadi tersinggung, trus ujung-ujungnya suasana makin kacau. Padahal, kalau nggak diomongkan, masalah nggak akan segera selesai. Malah jadi gerundelan. Sakit hati akut deh!

Mungkin karena itulah aku jadi suka dengan iklannya Teh Sari Wangi. Ajakan minum teh dijadikan sarana untuk bicara dari hati ke hati. Memang, untuk sampai ke pokok masalah, kita mesti pinter-pinter bicara. Trus, harus hati-hati juga dalam memilih kata-kata.

Seingatku, dulu waktu pelajaran Bahasa Indonesia di SMP (atau SD, ya?), ada pelajaran bagaimana menyampaikan uneg-uneg. Kupikir, selain berkaitan dengan budaya, ini juga berkaitan dengan bagaimana kita bisa mengendalikan emosi. Nah, masalahnya, zaman sekolah dulu hal-hal yang seperti ini jarang dipelajari. Yang dianggap jenius adalah anak yang jago matematika atau fisika. Jadinya, pelajaran bahasa, budi pekerti, etika dianggap sesuatu yang bakal dimengerti dengan sendiri. Padahal kan nyatanya tidak begitu.

Dari iklan Teh Sari Wangi itu, aku belajar bahwa untuk bisa bicara dari hati ke hati diperlukan keberanian. Kadang kita cuma bisa nggerundel atau malah "ngempet". Selain itu, kita perlu juga mencari waktu yang pas, memilih kata-kata yang tidak menyutkan lawan bicara. Dengan begitu, win-win solution semoga bisa tercapai. Jadi, mari kita bicara ;)

Monday, February 25, 2008

Bike to Work Ala Pak Tumiji dan Mas Kopingho

Empat belas Februari ternyata enggak cuma hari Valentine. Hari itu adalah peringatan ultahnya Pak Tumiji--seorang OB di kantor kami. Seperti biasa, kalau di kantor kami ada yang berulang tahun, maka kami akan beramai-ramai mengerubutinya, bernyanyi-nyanyi "Selamat Ulangtahun" sampai suara kami serak, dan berdoa bareng. Bagiku sendiri, hal itu adalah kado tersendiri: tanda bahwa kita diperhatikan. (Katanya sih, dikasihi dan diperhatikan itu adalah salah satu hal yang dibutuhkan agar kita tetap waras, hehehe.)

Lalu, sebelum kami mendoakan Pak Tumiji, dia ditanya, "Pengennya apa, Pak?"

Jawaban yang sederhana pun meluncur dari mulutnya, "Saya pengen sepeda motor. Sepertinya menyenangkan kalau bisa ke kantor ini naik motor." Hmmm .... Bagi seorang Pak Tumiji, membeli sepeda motor pasti tidak gampang. Mungkin dia perlu puasa beberapa bulan hanya makan nasi dan kecap supaya cukup membayar uang muka dan cicilan motor.

Aku sebenarnya terharu mendengar permintaan Pak Tumiji ini. Lalu aku ingat dengan Mas Kopingho, seorang petugas bersih-bersih di asramaku dulu. Dia juga selalu naik sepeda "federal"-nya yang butut menyusuri jalan Kaliurang untuk menuju asrama. Dibandingkan Pak Tumiji yang perlu 2 jam bersepeda untuk sampai kantorku, Mas Kopingho mungkin hanya butuh waktu 45 menit untuk sampai Syantikara. Tapi kalau dibandingkan aku? Aku sebenarnya cukup enak karena nggak perlu ngos-ngosan bertarung dengan bus kota atau motor lain untuk sampai di kantor. Aku cukup mengatur gas motorku, dan tanpa berkeringat serta kepanasan, aku sampai di kantor dalam waktu 20 menit.

Kalau dipikir-pikir Pak Tumiji dan Mas Kopingho sebenarnya adalah anggota komunitas Bike To Work. Hanya saja, mereka tidak naik sepeda bermerek yang enteng genjotannya, apalagi pakai helm plus kacamata penahan sinar matahari. Jauh sebelum komunitas mengumumkan keberadaannya, mereka sudah bersepeda untuk ke tempat kerja--karena hanya itu transportasi yang mereka punya. Bukan, alasannya bukan untuk sekalian berolahraga sebelum ngantor. Alasannya pasti juga bukan untuk membantu mengurangi polusi yang akhir-akhir ini sudah sangat mengganggu. Aku yakin, alasannya karena naik sepeda itu murah. Dengan naik sepeda mereka tidak perlu keluar duit untuk bensin--sehingga tidak perlu mengurangi jatah lauk dan nasi sekeluarga.

Thursday, February 21, 2008

Nothing to Lose *)

Harus kuakui aku suka nge-game. (Apa ya istilah bahasa Indonesianya yang pas?) Dan sekarang aku masih lumayan kecanduan dengan si Chicken Invaders. Kurang kerjaan banget kan, kalo perempuan seumurku masih suka ngejar-ngejar ayam di antara (mantan) planet Pluto sampai matahari?

Nah, meskipun sudah memainkannya selama berbulan-bulan, tapi baru beberapa waktu terakhir ini aku bisa ... menaaaaang! Hore! Aku bisa memecahkan telor raksasa yang mengejarku sambil menembakkan peluru ajaibnya.

Mau tahu rahasianya? Senjata yang ampuh? Mouse yang enak?

Hal-hal itu memang mendukung kemenanganku. Tapi sebenarnya bukan itu kunci utamanya. Kuncinya adalah sikap nothing to lose. Aku betul-betul melepaskan keinginan untuk menang. "Ah, ini kan cuma mainan. Menang atau kalah nggak pengaruh apa-apa sama gajiku." Hehehe. Dan aku jadi lebih tenang menggeser-geser mouse-ku supaya dapat menghindari tembakan si telur raksasa tadi.

Kupikir-pikir, banyak hal dalam hidup ini perlu disikapi dengan nothing to lose. Dilepasin aja, gitu gampangnya. Lepaskan perasaan selalu ingin menang. Lepaskan juga keinginan untuk selalu dipuji. Lepaskan keinginan-keinginan yang justru menghambat kita. Rileks. Tenang. Biasanya sih, dari pengalamanku, kalau aku bersikap seperti itu, aku malah mendapatkan yang kuinginkan lo!

Sebenarnya ini sesuatu yang paradoks. Maksudku gini, kita memang perlu yakin bahwa kita mampu meraih cita-cita atau mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi di sisi lain, kita juga perlu berpasrah diri. Serahkan semua keinginan kita kepada Dia yang selalu memelihara kita sampai sekarang. Aku yakin, setiap hari kita ini dicukupkan rejekinya.

(Jadi gitu, Em .... Santai sajalah. Kalau emang pekerjaan itu buat kamu, nanti juga akan datang sendiri. Toh, kamu sudah berusaha kan? Semua rejeki itu datangnya dari Gusti. Orang-orang di sekelilingmu itu cuma jadi penghantar.)

*) sebuah catatan utk temanku, sureman ....

Tuesday, February 19, 2008

Sungkan

Tau kan apa arti judul di atas? Itu rasa yang muncul ketika kita merasa tidak nyaman saat harus berhadapan dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi, lebih berpengaruh, atau saat berhadapan dengan orang yang baru kita kenal.

Sebagai orang Jawa, aku sepertinya menyandang rasa sungkan sejak lahir. Kadang aku ini merasa tidak enak saat harus menegur orang yang tampaknya "lebih tinggi" dibandingkan aku. Juga, aku merasa sungkan ketika aku harus ngomong apa adanya terhadap orang lain. Takut nanti dijotak, dirasani, dijauhi, atau hubungan kami menjadi tidak harmonis lagi. (Belum lagi takut kalo jangan-jangan gaji ikut terpotong ;))

Padahal kalau dipikir-pikir, menegur orang yang salah, atau ngomong apa adanya itu penting. Kalau kita menyimpan sesuatu yang "ngganjel", biasanya lama kelamaan hubungan itu akan jadi hubungan yang basa-basi. Lalu, tumbuh deh, apa yang disebut prasangka, sakit hati, dll. Nggak enak kan?

Kalau kita mau jujur, kita perlu belajar berkomunikasi dengan baik deh. Tapi, gimana caranya ya?

Monday, February 18, 2008

Mengobrol*)

Semalam aku, Tesa, dan Ema (hayo, yg cowok yg mana?) makan-makan. Ceritanya kami mau mengobrol untuk kesekian kalinya. Semoga ini bukan yang terakhir. Walaupun beberapa saat lagi, jelas kami akan sulit berkumpul dan "nggambleh"--ngobrol ngalor-ngidul, tapi aku yakin kami bakal punya waktu lagi untuk ngrumpi.

Kalau kurasa-rasakan, memang mengobrol dengan teman-teman dekat itu adalah aktivitas yang menyenangkan. Rasanya sepulang dari mengobrol kemarin itu, aku jadi bersemangat. Aku tidak merasa sendirian di belantara alam semesta ini.

Sungguh, aku berharap ... nanti aku akan bertemu dengan teman-teman baru yang menyenangkan, tapi juga nggak lupa dengan teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam "pembentukanku" selama ini. Tulisan ini memang pendek, tapi ini adalah salah satu bentuk ucapan terima kasihku buat teman-teman yang sudah dan akan meninggalkan meja kerja.

*) sebuah ucapan terima kasih buat teman-teman.
Sebuah Pelajaran

Belum lama ini aku mendapat kabar kalo seorang temanku mengidap kista di organ reproduksinya. Hhh! Kabar itu mengingatkanku akan pengalamanku beberapa waktu lalu, ketika aku akhirnya memutuskan untuk operasi (setelah didorong2 oleh beberapa orang di sekelilingku). Ada kista dalam perutku. dengan berbagai pertimbangan, aku akhirnya manut untuk dibedah.

Hiks!

Kalau ingat itu, aku jadi paranoid dengan dokter SpOG. Rasanya aku jadi pesakitan yang serba salah di depan bapak-bapak dokter itu. Tidak ada jalan keluar yang benar-benar memuaskan.

Trus, beberapa waktu lalu, aku telpon-telponan dg temanku. Ternyata dia dulu kena kista juga. Bedanya, dia ke sinshe dan sembuh. Mahal sih obatnya. Dan biayanya tidak bisa diganti oleh kantor tempat dia bekerja. Ini pula yang dulu jadi pertimbanganku.

Kadang kalau melihat bekas operasi di perutku ini, aku jadi menyesal. Masih ada rasa tidak terima, takut, sebel saat mengingatnya. Gimana gitu rasanya :( Coba dulu aku lebih rajin mencari pengobatan alternatif. Seandainya aku tidak begitu saja mau didorong2 oleh orang di sekelilingku... Ah!

Tapi sudahlah. Bagaimanapun ada pelajaran-pelajaran penting yg aku dapatkan ketika kista itu masih ada di perutku dan aku memutusan untuk operasi. Pelajaran untuk lebih bersyukur, lebih terbuka akan kehendak Tuhan, untuk empati pada orang-orang sakit.

Friday, February 15, 2008

Perpisahan Kecil

Sore ini acaraku adalah makan-makan dg teman-teman seruangan. Horeeee! Acara makan-makan ini diawali dengan berfoto bersama. Wah, kalau udah begini, heboh banget. Ketawa teruuuuussss! Rasanya kalau begini, hidup ini enteng banget. Seneng. Gembira. Suasana kantor menyenangkan banget.

Tapi tau kenapa aku dan temen2 kaya begini? Karena Ema dan Lena sudah mau pindah. Besok Lena sudah berangkat ke Jakarta. Ema hari Selasa depan sudah nggak akan duduk di bangku pojok lagi. Di detik-detik terakhir ini, rasanya kita kok jadi menikmati kebersamaan banget ya. Tapi kalau inget mereka berdua bakal hengkang dari ruangan akuarium tercinta ini, rasanya jadi sedih. Hiks :(( Satu per satu dari kami akan mengundurkan diri. Kami hendak melanjutkan hidup masing-masing; memenuhi panggilan hidup. Bulan ini baru dua orang, dan beberapa bulan lagi masih ada lagi dari kami yang pergi. Termasuk aku.

Yah, akhirnya kami harus berpisah.

Tapi yang membuatku merasa agak "lega" adalah, Lena dan Ema akan kerja ke Jakarta. Di sana juga aku akan memenuhi panggilan hidup beberapa bulan ke depan. Aku sih berharap besok di Jakarta kami masih akan sering ketemu. Masih sering ngobrol ....

Oke deh ... terus berjuang kawan!

Thursday, February 14, 2008

Dicari: Tukang Parkir Idaman

Kemarin sore aku kelupaan ambil duit di bank langgananku (hehe, kaya tukang bakso langganan aja sebutannya). Akhirnya, aku mampir di ATM di daerah Gejayan. Aku sejak awal sangat sadar bahwa kalau aku mengambil duit di ATM situ, berarti aku harus membayar ongkos parkir. Lima ratus rupiah. Jumlah yang nggak banyak memang. Tapi aku lupa2 ingat, di dompetku masih ada nggak ya receh gopekan?

Dan benar, sekeluarnya aku dari ruang ATM, pak parkir sudah menungguiku mengulurkan duit lima ratus. Karena nggak ada uang pas, akhirnya aku mengulurkan uang seribuan. Oh, rupanya si bapak sudah siap dengan kembalian lima ratusannya. Setelah itu, dia pun ngeloyor pergi.

Dalam hati aku bingung, apa bedanya dia sama pengamen yang bersuara fals di perempatan jalan ya? Apa coba? Malah rasanya dia "menodongku". Harus ngasih duit. Nggak bisa nggak. Padahal kalau dipikir2, dia nggak memberiku jasa apa2. Wong aku mengeluarkan motor sendiri, kok. Dia sama sekali nggak membantuku. Seingatku dia cuma menyentuh jok motorku untuk meletakkan kupon parkir. (Halah, kalau cuma gitu sih, anak kecil aja bisa Pak!)

Trus apa gunanya ada petugas parkir ya?

Kayaknya perlu deh dipasang pengumuman lowongan pekerjaan:

DICARI: PETUGAS PARKIR IDAMAN.

JOB DESKRIPSI:
-MENGATUR MOTOR YANG DIPARKIR DENGAN BENAR DAN IKHLAS
-MEMBANTU PENGENDARA MOTOR UNTUK MENGELUARKAN SEPEDA MOTORNYA DARI TEMPAT PARKIR

SYARAT:
-RAMAH
-TIDAK MATA DUITAN
-MAU BEKERJA KERAS

Gimana? Setuju nggak?

Wednesday, February 13, 2008

Ya Ampun!

Ya ampun, sekarang ternyata sudah Februari. Sudah Februari pertengahan lagi. Itu berarti ada beberapa teman yang sudah ancang2 untuk meninggalkan meja kerjanya di ruangan kerjaku.

Dan aku?

Sebenarnya aku pun mulai menghitung hari ... untuk menjadi freelancer. (Udah mantep belum ya?) Menjadi freelancer sebenarnya hal yang kuimpikan beberapa waktu terakhir ini. Hmmm ... kadang aku merasa sayang juga meninggalkan meja kerjaku sebagai editor yang kusambangi hampir setiap hari selama 6 tahun belakangan ini. E-n-a-m t-a-h-u-n! Kok nggak terasa ya?

Halo ... halo! Bulan depan aku akan jadi freelancer lo! Kalau ada yg butuh sentuhan tangan dan pikiranku, let me know ya! (Hehehe, promosi nih ceritanya)

Thursday, January 31, 2008

Pengennya Apa?

Iya, pengennya apa sih? Bingung kan, ujug2 tanya "Pengen apa?". Tapi sebenarnya apa sih yang sedang diomongkan?

Begini, kemarin sore aku sudah mancal sepeda motorku dan siap pulang. Tapi aku harus bersabar sebentar karena ada mobil yang akan lewat. Rupanya penumpang mobil itu baru saja mampir dari kantor sebelah, alias Mirota Bakery. Cari luar jendela mereka terlihat sebuah kardus kecil wadah kue. Lalu, si penumpang satu mencomot sebuah kue dan memasukkannya ke mulut. Nyam! Enak pasti. Roti yang dijual di Mirota memang enak, tetapi cukup mahal untuk ukuran kantongku. Untuk satu roti yg ukuran sedang, harganya hampir setara dengan jatah makan siangku. Padahal kalo makan kue saja, mana kenyang? Aku berpikir, wah enaknya makan kue sore-sore begini. Apalagi ndak usah pake mancal motor menembus angin sore yg dingin. Pasti seneng ya?

Kadang aku suka mengamati orang-orang yang ada di dalam mobil. Atau orang-orang yang bersliweran di jalan raya. Ada yang tertawa dengan kawan sebelahnya. Ada yg merengut. Ada yang tanpa ekspresi. Tapi kalau melihat orang yang tertawa, aku jadi ikut merasa senang. Lha, tapi kalau aku sendirian naik motor, aku kan ndak bisa tertawa. Maksudku, kalo aku tertawa sendiri, bisa-bisa dikira orang ndak waras nanti.

Nah, kupikir-pikir, kita ini sebenarnya kan cuma pengen seneng. Hidup senang. Bahagia. Kalau bisa, semuanya lancar. Pekerjaan lancar. Cari jodoh juga lancar. Kita pengen bisa tertawa lepas. Kita pengen bisa tersenyum tanpa ada yang disembunyikan di belakang. Lalu ketika melihat orang yang tertawa lepas dengan memakai baju bagus, mobil keluaran terbaru, kita berpikir, "Wah kayaknya enak ya kalau punya barang2 bagus. Aku pasti bahagia."

Tapi apa bener begitu?

Tadi pagi, aku baca artikel yang mengatakan bahwa pendorong yang paling sehat dalam hidup ini adalah Tuhan. Maksudnya, jadikanlah Tuhan itu sebagai gembala kita. Kita cukup mengarahkan hidup demi dan semata-mata hanya untuk Dia.

Wah, kok kayaknya hidup ini jadi paradoks ya? Lalu, sebenarnya aku ini pengen apa sih? Apa sih yang jadi pendorong terbesarku? Apa coba?

(Padahal aku baru saja merasa agak-agak jealous dengan temanku yang kariernya cemerlang kaya bintang di atas langit sono .... Hehehe. Kenapa rasanya itu terasa penting, ya? Tapi apakah itu memang penting? Apakah nanti aku bisa membanggakan diri di hadapan Tuhan bahwa aku sudah bekerja di ...., gajiku sudah segini lo, Tuhan. Apa ada gunanya ya?)

Monday, January 28, 2008

Membela Tuhan?

Beberapa waktu yang lalu, aku membuka sebuah blog. Isinya sempat membuatku bergidik. Gimana nggak merinding, kalau yang ditulis di situ isinya memojokkan iman. Di situ tertulis beberapa hal yang mendiskreditkan kepercayaanku.

Aku sempat berpikir, "Wah kok kayaknya semakin banyak saja ya, orang yang fundamentalis. Fanatik. Dan saking fanatiknya, mereka akhirnya menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain. Lagi pula, di negara ini, sepertinya jarang banget keadilan ditegakkan. Salah-salah kita yang ndak tau apa-apa ini malah kena hukuman."

Aku masih memelototi blog itu. Lalu, aku tergelitik dengan sebuah tampilan komentar yang sepertinya ditulis oleh orang beragama X (kalau dilihat dari namanya). Dan sepertinya dia orang beragama X beneran menilik dari isi komentarnya. Tapi yang justru membuatku geli campur sebel adalah, dia menulis komentar yang isinya balas menjelek-jelekkan.

Lha terus, apa bedanya antara si pemberi komentar dengan si penulis artikel?

Di situ aku tidak menemukan kasih. Merasakannya barang secuil pun tidak. Padahal, jika dilihat sekilas, keduanya menganut agama tertentu. Lha, kok ternyata yang ada malah perang mulut eh, perang tulisan ding! Debat kusir. Duh, capek deh!

Jika ditelusuri lebih jauh, apakah mereka enggak pernah belajari untuk berbuat kasih ya? Untuk saling mengasihi musuh. Untuk menghormati orang yang memiliki pendapat atau keyakinan berbeda. Apakah mereka mau membela Tuhan? Kalau itu maksudnya, kayaknya percuma deh. Soalnya Tuhan itu ibarat samudra raya, dan kita cuma titik-titik air. Kalau mau membela Dia, apakah bisa? Tuhan kurasa tidak perlu dibela. Dia sudah jauh lebih berkuasa daripada kita. Kalau Dia mau, Dia bisa langsung menghukum orang yang justru berbuat merendahkan sesamanya. PR besar kita adalah hidup selaras dengan kehendak-Nya. Hidup saling mengasihi. Toh, kita ini kan sodara satu sama lain.

Bagiku, ini adalah kegelisahan yang kurasakan akhir-akhir ini. Aku percaya bahwa di Indonesia tercinta ini orangnya baik-baik. Aku percaya, bahwa hampir semua dari kita percaya akan adanya Tuhan. Tapi kok bisa dibilang tidak terjadi perubahan yang positif di masyarakat ya? Orang masih saja cuek dengan lingkungan dan sesama, boros, tidak empati, dan sebagainya. Intinya sih, orang tidak lagi tumbuh dalam takut akan Tuhan. Tuhan cuma ada pada hari-hari besar keagamaan atau saat kita berdoa, melakukan ritual keagamaan. Selanjutnya? Taruh saja Tuhan di sudut meja tempat kita meletakkan Kitab Suci atau buku doa kita.

Yah, kata orang kalau menginginkan perubahan, kita sendiri dulu yang mesti berubah. Jadi, hari ini, aku mungkin perlu "kaca besar" untuk bercermin, apa saja yang perlu dibenahi dari diriku, sehingga aku nggak cuma bisa nulis dan mengeluh terus, hehehe.

Btw, yuk kita introspeksi bareng-bareng :D

Wednesday, January 23, 2008

Fotonya "Jupe"

Beberapa waktu lalu aku mendapat sebuah suvenir pernikahan. Bentuknya kalender meja. Seperti biasa, di suvenir itu terpasang foto kedua mempelai. Yah, seperti layaknya para temanten lain yang sengaja foto prewedding, di foto itu mereka berdandan ala pangeran dan putri. Mungkin mau meniru dongeng-dongeng ala Cinderella, gitu lah.

Nah, karena aku sudah punya kalender meja, akhirnya kalender itu kuberikan ke temanku. So far, kalender itu jadi salah satu "penghias" meja kerja.

Tapi, ketika beberapa teman mampir, keluarlah komentar macam-macam. Kebanyakan sih menyayangkan baju mempelai wanita. Hehehe, memang rada kurang bahan sih bagian atasnya. Jadi belahan dadanya cukup terlihat. Dan dasar temen-temenku rada kreatif saat melontarkan "pujian", lalu keluarlah ucapan yang sebenarnya bentuknya tidak lagi berupa pujian, tapi ... justru menyayangkan dan mempertanyakan kenapa dia mau berfoto dengan baju seperti itu.

Wah, ini jadi pelajaran penting nih buatku dan cewek-cewek lain, dan juga para pasangan yang mau mejeng untuk prewedding. Ati-ati kalau pakai baju. Bagaimanapun kita masih orang timur, jadi sebagian orang masih belum bisa menerima saat melihat orang yang memakai baju yang bahannya "kurang". Lagi pula, kalo itu buat suvenir ... kan yang nerima nggak cuma orang muda saja. Tapi juga orang-orang yang sudah tua. Kesannya jadi kurang sopan.

Jadi? Intinya hati-hati kalau mau mejeng di dalam foto hehehe. Tentunya nggak ada yang mau jadi bahan ejekan, bukan? :D