Wednesday, May 21, 2008

Jakarta yang Absurd (part 2)

Kemarin aku jalan-jalan ke Arion. Dalam perjalanan, metromini yang kutumpangi itu disambangi oleh pengamen bertampang galak dan berbaju sobek-sobek. Bukan compang-camping sih, tapi memang sepertinya pengamen itu gaya bajunya seperti itu. Mau menciptakan model baru, kali ya? Entahlah.

Ketika dia naik, aku langsung curiga, "Wah, jangan-jangan dia maksa nih minta duitnya." Tidak jelas, pengamen itu bernyanyi apa, yang jelas suaranya lantang sekali. Separo berpuisi tapi diberi irama. Dia menyampaikan kritik sosial; mengkritik pemerintah yang cuma bisa menyengsarakan rakyat, tapi kupikir dia sendiri tidak jauh berbeda dengan pejabat pemerintah yang bisanya menakut-nakuti rakyatnya dengan peraturan yang tidak jelas. Dengan tampang galaknya dan dengan gayanya meminta uang yang sedikit memaksa itu, itu dia berubah menjadi monster.

Hmmm ... ini adalah bagian dari keabsurdan Jakarta. Aku tidak tahu, pengamen itu dibesarkan di keluarga seperti apa. Apakah dia punya anak dan istri? Apakah dia bermimpi bisa membeli rumah gedong dengan mengamen tidak jelas seperti itu? (Yee, mimpi kali Bang!) Kalau dia mengamen di acara-acara besar dengan suara seperti Delon, naaa ... itu baru memungkinkan baginya untuk mengubah jalan hidupnya. Tapi untuk bisa menyanyi dengan baik, orang perlu belajar vokal. Lha tahu sendiri kan, berapa duit yang mesti diluarkan untuk les vokal?

Keabsurdan Jakarta telah menciptakan orang-orang "sakit" yang tidak tahu apa tujuan hidupnya selain untuk mencari makan dan kalau bisa menjadi orang kaya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah orang-orang yang mendapat training serta pelatihan dari Pak Eko tentang Seven Habit-nya Stephen Covey jadi semakin sadar bahwa ada tujuan hidup yang lebih penting daripada sekadar makan dan minum?

Jalanan yang kulalui masih padat. Mobil, bus kota, sepeda motor berjejalan memenuhi jalanan. Kadang aku pengin iseng bertanya kepada mereka, "Mau ke mana sih Pak, Bu, Mbak, Mas? Kok sepertinya sibuk dan buru-buru banget." Aku yakin, sebagian besar dari mereka digerakkan oleh kepentingan kantor atau pekerjaan.

Dan mbak-mbak pramuniaga itu masih berjalan di antara rak-rak barang jualan, lengkap dengan dandanan mereka yang menor. Dengan ramahnya mereka melayani pembeli. He he he, padahal kalau dipikir-pikir, berapa sih gaji mereka? Laba penjualan dari supermarket tempat mereka berjualan itu hanya sepersekian persen yang masuk menjadi gaji mereka. Padahal, aku yakin mereka capek setelah seharian bekerja, berdiri dan mondar-mandir melayani pembeli, lengkap dengan tempelan aksesoris dan make-up yang cukup tebal. Kenapa mereka mau bekerja seperti itu? Untuk sekadar mengisi waktu luang? He, yang bener aje. Pasti sebagian besar dari mereka bekerja untuk mencari makan. Apakah kepentingan konsumen menjadi kepentingan mereka? Belum tentu. Jangan-jangan mereka berlaku sopan karena suruhan atasan. Karena kalau tidak, mereka akan dipecat. Atau kalau tidak, mereka berpikir bahwa jika pelanggan toko mereka pergi, maka mereka tidak bisa gajian di akhir bulan.

Hmmm ... jangan-jangan aku ketularan absurd juga. Aku cuma berharap di kota ini, aku tetap waras. Kesadaranku tetap berdiri tegak. Tapi siapa yang bisa menjamin? He?

4 comments:

Anonymous said...

Ketidakwarasanmu malah timbul karena menilai ketidakwarasan mereka..;)

Hati-hati mbakyu..

Btw wes lanyah ngomong "loe" karo "gw" durung, he?

Ora rindu Jogja..? Seharian tadi terang dan kemarin hujan :)

Pojok Hablay on 7:56 PM said...

sensor untuk melihat itu semua jangan dihapus, kris. ketika sudah terlalu biasa, kita jadi bebal dan gak bisa lihat banyak hal yang tidak benar yang terjadi di sekitar kita

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 7:04 PM said...

Melihat segala macam yang ada di Jakarta maka waktu akan menjadi hal yang berharga untuk dimaknai...semoga keluarga baru ini terus memiliki waktu bersama yang berkualitas!

noel on 8:01 AM said...

eh, sempat blusukan ke blog-ku terus baca http://zandalzepitus.blogspot.com/2008/05/wancine-tangi-ngger.html
belum?

Aku curiga jangan-jangan ada penolakan-tidak-sadar oleh penduduk jakarta terhadap kotanya sendiri. It means, puluhan tahun jutaan manusia di sini mengalami pembelokan kesadaran secara kolektif.

Bukan salahnya Jakarta. Tapi barangkali karena Jakarta telah mengorbankan dirinya menjadi ibukota negeri yang pincang ini.

Pincang-pincang tapi kusayang.