Thursday, December 04, 2008

Semua Kue untuk Semua Saudara dan Teman

Barangkali aku memang bukan seorang saudara yang baik: bukan keponakan yang baik, dan bukan pula cucu yang baik. Sudah beberapa bulan ini aku menebalkan telingaku dan mencoba menjawab seramah mungkin saat ditanya kapan aku berkunjung ke rumah om, tante, dan
saudara dari Bapak yang terhitung sebagai kakek di Jakarta ini.

"Kapan main ke rumah Tante? Nanti telepon saja. Trus ketemu di mana gitu yang gampang buatmu. Tante jemput deh."

"Main ya ke tempat Mbah. Begini nih ancer-ancernya bla ... bla ... bla. Gampang kan? Ya, main ya! Mbah tunggu lo."

"Mbok sempatkan main ke rumah Om. Wong sudah di Jakarta lo! Nggak terlalu jauh kan dari rumahmu?"

Yah, begitulah kira-kira ucapan saudara-saudaraku. Sebagai anak muda, kunjungilah yang tua. Lagi pula mereka itu adalah saudara-saudara saya. Bukan orang lain.

Jadi, kenapa sampai sekarang aku belum juga mengunjungi mereka? Sudah setengah tahun lebih aku di Jakarta tetapi kok rasanya tidak pernah sempat ya? Kenapa?

Soalnya ... mmm ... aku banyak kerjaan. He he he. Alasan klise. Dan sepertinya itu tidak perlu dijadikan alasan. Toh aku tidak bekerja sepanjang waktu kan?

Soalnya ... mmm ... aku tidak tahu jalan. Beberapa saudaraku tampaknya tidak keberatan untuk menjemput aku dan suamiku. Jadi, kenapa tidak segera mengangkat telepon menghubungi mereka dan meminta dijemput?

Kalau hitung-hitungan waktu, kalau aku bilang aku tidak sempat berkunjung, itu berarti aku bohong. Toh aku sempat nonton film, sempat main ke tempat teman asramaku dulu, sempat jalan-jalan bersama suami. Dan biasanya sih aku cenderung tidak menolak ajakan teman-temanku untuk main. He he he.

Relasi bentuknya macam-macam. Bisa persaudaraan, pertemanan, persahabatan. Ada saudara jauh. Ada pula teman dekat. Ada juga teman yang cuma kita kontak saat ada keperluan. (Nggak usah malu-malu mengakui, aku juga begitu kok.) Ada teman "maya" alias kita ingat saja tetapi tak pernah kita hubungi. Dan dari semua jenis relasi itu, kita sendirilah yang meletakkan seberapa banyak "hati" yang kita berikan pada relasi tersebut agar tetap hangat dan nyambung.
Kurasa kita sering "pilih kasih". Ada orang yang sering banget kita hubungi. Ada juga orang yang baru kita dengar namanya saja membuat kita mules--saking sebalnya.

Jujur saja, ada teman-teman tertentu yang menurutku bagaikan magnet. Aku dengan sukarela datang ke rumahnya walaupun jauh. Ada suatu kerinduan untuk senantiasa berkumpul dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dan teman-teman ini rasanya lebih dekat dibandingkan saudara-saudaraku (bukan saudara kandung lo!). Dengan mereka rasanya kok rasanya aku lebih nyaman ya?

Jadi, sepertinya memang betul aku bukan saudara yang baik. Dan tak jarang aku bukan teman yang baik pula. Lha buktinya hanya teman-teman atau saudara-saudara tertentu yang dengan setia kuhubungi. Dan hanya pada orang-orang tertentu pula aku senantiasa menghangatkan relasi dengan memberi sepotong hati.

Kadang aku ingin juga bisa memberikan perhatian yang seimbang pada semua teman dan saudara. Ibaratnya, semua dapat potongan kue yang sama besar. Semua senang. Semua bahagia. Tapi kok susah amat ya? Ada yang punya resepnya nggak?

2 comments:

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 9:57 AM said...

he.he..he...ada lagi teman di dunia maya yang benar-benar maya kayak saya..belum pernah ketemu kok ngaku-ngaku teman ya...

Anonymous said...

Aku yo mengalami hal yang serupa jhe waktu sempat singgah di Jakarta 1 bulan, Oktober kemarin.

Aku yo heran kenapa nek ketemu saudara rasanya lebih males ketimbang ketemu teman ;)

Tapi nek aku berpikir lumrah wae lah, saudara itu jadi dekat karena darah saja, sementara teman jadi saudara karena hubungan yang tak lepas pada satu masa tertentu yang biasanya menyenangkan :)