Wednesday, February 25, 2009

Yang Terkenang dari Slumdog Millionaire dan The Kingdom

Tidak, tidak ... aku tidak akan membahas dua film itu. Slumdog Millionaire memang keren. Membuatku terkekeh-kekeh, terharu, dan ikut berbunga-bunga.

Dan The Kingdom? Ugh! Bunyi dar ... der ... dor yang memenuhi ruangan komputer kami membuatku terbangun. Itulah risiko punya suami yang gemar menonton film he he he. Apalagi hari ini dia libur mengajar. Jadi, pagi-pagi dia sudah nongkrong di depan komputer untuk menyetel film The Kingdom. Aku tidak menonton sejak awal--karena belum bangun. He he he. Tapi aku sempat melihat klimaks cerita film itu.

Tahu bagaimana yang aku rasakan saat melihat adegan-adegan di film itu? Jantungku berdebar kencang, dan biuh ... kakiku lemes bo! Sial! Dan aku mendadak merasa jadi orang bodoh. Lha wong cuma film lo, kok sampai deg-degan dan lemas lo? He he he. Keterlaluan.

Kembali ke film Slumdog Millionaire, sampai saat ini aku masih ingat satu potongan kalimat di film itu. Ketika Jamal ditanya kenapa dia bisa menjawab pertanyaan apa yang dipegang Rama di tangan kanannya, dia langsung teringat kematian ibunya yang mengenaskan. Dia bilang, "Jika bukan karena Rama dan Allah, aku masih punya ibu sampai saat ini."

Di film itu dikisahkan ibu Jamal tewas di tengah pertikaian agama--Hindu dan Islam. (Kata kakakku yang pernah tinggal di India selama beberapa bulan, di sana hubungan antara Hindu dan Islam memang tidak manis. Menegangkan. Agama yang dominan biasanya memang suka menekan. Ini terjadi di mana saja lo. Jadi bukan soal mau menjelekkan suatu agama tertentu.) Saat itu Jamal, Salim (kakaknya), dan ibu mereka sedang mencuci di sebuah sungai. E, tiba-tiba mereka diserang. Tanpa ampun, ibu Jamal yang panik langsung dipukul sampai mati. Tragis. Dan Jamal dan Salim yang masih kecil akhirnya kabur menyelamatkan diri. Nah, di tengah pelariannya itu, dia melihat patung (atau anak kecil ya?) yang berkostum Rama. Kejadian itu terekam betul di benaknya, plus si Rama kecil tersebut. Jadi, dia ingat betul apa yang ada di tangan kanan Rama.

Pertikaian antar agama kerap kali memang menyakitkan. Tak jarang sampai berdarah-darah dan sampai mati. Ya ampun! Kenapa sih?

Dan tadi pagi, saat melihat film The Kingdom, lagi-lagi aku melihat pertikaian yang membuat orang tak bersalah mati. Inti ceritanya sih tentang teroris di Arab Saudi yang melakukan pengeboman di daerah permukiman orang-orang kulit putih yang bekerja di perminyakan. Di film itu digambarkan bagaimana sekelompok teroris membuat bom. Mengerikan. Banyak orang mati. Dan salah satu korbannya justru kepala polisi Arab Saudi yang masih punya anak kecil. Hiks ... menyedihkan. Jangan tanya detail film itu ya? Aku sudah lemes duluan waktu nonton adegan tembak-tembakannya!

Kadang tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa agamalah yang menjadi sumber masalah. Orang yang beragama X membunuh orang beragama Y. Alasannya? Ya, karena mereka beda
agama, masing-masing memegang keyakinannya sendiri. Akhir-akhir ini rasanya semakin meruncing saja kecenderungan orang untuk menolak orang yang berbeda dengannya. Dan kadang-kadang seseorang melakukan itu untuk membela Tuhan. Please deh! Ngapain Tuhan dibela? Kalau kita mengakui Dia mahakuasa, Dia bisa membela diri-Nya sendiri. Kuasa-Nya yang melebihi apa pun itu bisa menggulingkan kita dengan sekali tiup.

Tapi aku pikir, kenapa ada saja kebencian yang tumbuh terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Kenapa? Karena kita kurang mengasihi mereka. Kita menganggap orang yang berbeda itu musuh yang harus ditumpas. Padahal musuh bisa dikasihi, kok. Tergantung kita, mau berbesar hati atau tidak. Lagi pula, kenapa harus memakai memberi label musuh kepada mereka?

Ah, embuhlah! Nggak tahu aku. Aku bosan mendengar orang saling membunuh, mengebom, karena alasan agama. Kenapa mereka tidak kalian anggap sebagai saudara yang pantas dikasihi, kawan?

Monday, February 23, 2009


Layanan Sederhana yang Membuat Tersenyum
Setelah beberapa bulan puasa menyantap salad bar di American Grill (Amgril), beberapa hari yang lalu aku dan suamiku akhirnya ke Amgril lagi. Kami berdua sesama penyuka salad. Dan di mana lagi kita bisa menikmati salad sepuasnya kalau tidak ke Amgril? Sebenarnya menurut kantong kami agak mahal sih, tapi karena sudah lama banget tidak menikmati salad, tak ada salahnya dong jika kami memanjakan lidah ke sana :)

Seperti biasa, kami berlama-lama di restoran itu. Yah, namanya juga all you can eat (salad saja), gitu lo! Dan, benar-benar puas deh. Sayurnya banyak. Dressingnya juga macam-macam. Belum lagi es krimnya bisa nambah sebanyak apa pun! Whew! (Gimana nggak tambah gendut, Kris? Hi hi hi.)

Saking lamanya di situ, aku tidak sadar kalau di luar mendung. Dan, hujan pun turun dengan derasnya. Waduh! Gimana ya? Padahal tadi rencananya setelah dari Amgril (di Kelapa Gading), kami akan belanja ke Tip Top di Rawamangun. Kalau mau belanja di Farmers kayaknya mahal deh. Tapi kalau hujan begini, bagaimana dong? Males banget kalau mesti berdiri di pinggir jalan mencari angkot ke Rawamangun.

Akhirnya kami memutuskan ke Farmers saja, yang satu kompleks dengan Amgril. Tetapi biar sekompleks, toh kami harus mengeluarkan payung supaya tidak basah kuyup. Jaraknya sih dekat, paling cuma beberapa meter. Nah, pas mau masuk mal tempat Farmers, seorang petugas berkata kepada suamiku, "Pak, maaf payungnya saya masukkan plastik dulu." Petugas itu lalu membuka plastik cukup panjang, yang pas untuk segulungan payung lipat. Dengan begitu, air hujan yang membasahi payung kami tidak menetes sepanjang. Dan yang pasti, ringkas!

Layanan yang simpel itu membuat suamiku tersenyum. "Sederhana sih layanannya, tapi ini cukup membantu orang yang mau masuk dan belanja di sini," begitu katanya. Iya, betul. Kalau di rumah sendiri sih, biasanya aku membuka lebar-lebar payung yang masih basah, dan kuangin-anginkan di teras depan. Kalau di mal, mana bisa begitu? Untungnya petugas mal cukup "cerdas" dengan menyediakan plastik untuk payung. Lagi pula itu dengan begitu, mereka tak perlu terlalu repot mengepel lantai yang basah kuyup karena tetesan air hujan dari payung para pelanggan.

Layanan yang sederhana, hal-hal kecil yang dilakukan untuk mempermudah pelanggan, akan sangat dihargai pelanggan. Senyuman ramah yang hangat, ucapan selamat ulang tahun, sapaan yang hangat, adalah hal-hal kecil yang membuat pelanggan Anda tersenyum. Menjalin pertemanan dengan para pelanggan juga tak ada salahnya. Toh, relasi yang baik dan hangat akan lebih menguntungkan, kan?

Sunday, February 22, 2009


Hare Gene Masih Idealis??


Jumat kemarin aku dicurhati temanku via SMS yang sedang BT dengan teman kerjanya. Dia adalah guru SD di ujung timur Jakarta.

Begini SMS-nya:
Aku kesel banget sama temanku. Aku pengen orang tua yang anaknya brekele (baca: malas dan nilainya jelek) dipanggil ke sekolah. biar mereka siap-siap ngajari belajar anaknya di rumah. tapi temanku nggak mau. katanya anak-anak yg brekele dinaikin kelas aja, biar ortu ngasih dana (uang) ke kita. sedih, deh. kok moral guru kaya gitu ya? katanya, kalau aku idealis, selamanya aku akan kere, jadi umar bakre ...

Dari beberapa temanku yang jadi guru, aku tahu bahwa ada beberapa orangtua murid yang memberi uang atau kado saat anaknya naik kelas dan/atau mendapat nilai bagus. Jumlah uangnya bervariasi. Kalau tidak salah minimal seratus ribu (setidaknya ini di Jakarta, lo). Kadang memberi kado, misalnya tas, voucer pulsa, dll.

Memang sih, ada guru yang menolak saat dikasih kado atau uang. Dan temanku adalah salah satu dari guru semacam itu. Kalau kadonya tidak berlebihan, kadang dia masih mau. Sedangkan jika uang yang ditawarkan, dia nggak mau. Tapi ya tetap saja masih ada saja guru yang dengan senang hati menerima uang ekstra atau kado dari orang tua murid. Ya, guru tersebut punya banyak kebutuhan kali ya? Mesti bayar cicilan rumah, cicilan sepeda motor, beli susu buat anaknya, belanja kebutuhan sehari-hari, dll. Jadi, dia akhirnya mau-mau saja menerima "derma" dari orangtua murid.

Aku berpikir, guru, apalagi guru SD, mestinya idealis. Kalau tidak idealis, bagaimana anak-anak bisa memiliki prinsip yang kokoh untuk bekal hidupnya nanti? Tapi memang biasanya, orang idealis tidak punya banyak duit. He he he. Jadi bagaimana teman-teman, masih mau idealis? Mesti siap-siap nggak punya duit lo! :)

Saturday, February 21, 2009

Ana

Suatu siang di hari Minggu beberapa tahun yang lalu.

Aku :"Na, mbok aku pinjem motormu ya."
Ana :"Lha mbok pinjem saja. Tapi ..."
Aku :"Wis, bensinnya tak isi penuh nanti."
Ana :"Ora ngono. Motorku ini setangnya agak miring. Kamu ati-ati ya?"
Aku :"Oh, cuma setangnya to? Beres lah."

Dan siang itu aku melaju ke rumah temanku di pucuk Jogja sana dengan motor pinjaman dari Ana. Sebetulnya aku tidak terlalu dekat dengan Ana. Aku mengenalnya sebagai mahasiswa kakakku. Dia cuma satu tahun di bawahku.

Menurutku Ana adalah seorang anak yang manis. Imut. Kalem. Dan karena itu aku suka menggoda seorang temanku yang beberapa kali kepergok sedang jalan bareng Ana. "Wis to, karo Ana wae! Hehehe," kataku. Tapi temanku itu ternyata cuma senang PDKT saja. Dasar!

Dan beberapa waktu yang lalu, mungkin sekitar satu atau dua tahun yang lalu, aku dan kakakku dapat undangan pernikahan Ana. "Weh, cepet tenan arek iki," batinku. Setelah menikah beberapa kali dia masih suka main ke kantorku untuk menemui Dian, temanku di departemen lain.

Setahuku Dian memang dekat dengan Ana. Karena itu, tampaknya Ana cukup prihatin melihat Dian yang tidak segera menyelesaikan skripsi. "Mbak, aku tuh sudah berulang kali bilang ke Dian, kalau dia butuh bantuan untuk skripsi, tak bantu deh. Tapi kok dia kayaknya aras-arasen (enggan) ya mengerjakan skripsi?" Hehehe, ya mana aku tahu to Na?

Aku lupa kapan terakhir bertemu Ana. Seingatku sih beberapa waktu sebelum aku keluar dari tempat kerjaku yang lama. Dia menjual tempat HP yang sampai sekarang masih sering kupakai. "Berapaan, Na?" tanyaku waktu itu ketika ia membawa satu tas kresek besar berisi tempat HP. "Lima ribu saja," katanya.
"Wah, murah. Aku beli dua, ya!"
Aku memilih dua kantong HP warna cokelat--biar nggak cepat kelihatan kotor. Hehehe.
"Na, mbok ditawarkan ke teman-teman."
"Wah, isin aku Mbak!"
"Yo wis, sini, aku bawa masuk. Aku tawarkan ke mereka."
Lumayan, beberapa temanku akhirnya beli tempat HP yang dibawa Ana.

Tadi siang, ketika bangun tidur, aku menjumpai SMS di HPku dari temanku, Lena. "Kris, Ana meninggal. Barusan aku di-SMS Dian."

He? Ana? Ana yang kecil dan manis itu?

Ternyata memang Ana sudah meninggal. Katanya dia stres memikirkan suaminya yang sakit parah. Kata Dian, suami Ana sudah sebulan ini dirawat di rumah sakit. Radang otak atau apa lah.
Nggak jelas sakitnya. E, lha kok Ana duluan yang dipanggil Gusti.

Na, aku yakin kamu sudah tenang di sisi Bapa. Tapi kok rasanya kamu cepat sekali pergi to? Wis, Na ... sore ini aku tak misa dulu. Aku doain kamu nanti. Dan semoga suamimu, Leo, dan semua keluargamu tabah.

Aku kok mendadak pengin nangis ya?

Friday, February 20, 2009


Angkot dan Rokok

Angkot. Alat transportasi itu kini seakan sesuatu yang mau tak mau menjadi bagian dari diriku. Ya, selama tinggal di Jakarta ini, aku mau tak mau harus berteman dengan angkot. Mau tak mau? Iya, lha kalau mau beli mobil sendiri belum mampu. Mending uangnya ditabung untuk beli rumah. Lagi pula, lalu lintas di Jakarta ini terlalu semrawut. Kalaupun punya mobil sendiri, pasti biayanya akan mahal sekali. Belum bensinnya, servisnya, sopirnya, stresnya kena macet, pajaknya, dll. Wis lah, tak numpak angkot wae. Ya, sesekali naik taksi sih. Tapi sesekali saja ...

Mestinya salah satu hal yang mesti aku siapkan dari rumah ketika akan naik angkot adalah tabung oksigen. Lha? Lha iya. Tabung oksigen, plus oksigennya dong. Kalau cuma tabungnya saja, ya buat apa? Memangnya kenapa? Soalnya, ... hhh ... di dalam angkot selalu saja ada orang yang merokok. Entah sopirnya, keneknya, atau penumpangnya. Hu ... hu ... hu ... rasanya aku mau nangis dan merampas rokok yang masih kemebul di mulut si perokok itu. Kan aku jadi sesak napas :((

Aku tak tahu, apa sih yang ada di benak para perokok itu? Kenapa mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah mencuri. Mencuri opo? Ya mencuri. Mencuri hak orang lain untuk mendapatkan udara yang bersih. Wong di dalam ruangan yang sempit lo, kok ya tega-teganya merokok. Padahal tak jarang di dalam angkot itu ada ibu hamil, ada bayi, ada anak balita, ada aku (hehehe), ada orang yang sudah tua, ada orang yang kurang sehat, dll. Mestinya kami ini kan berhak menghirup udara yang bersih. E ... lha kok perokok itu tanpa minta izin langsung klepas-klepus. Opo ndak sebaiknya para perokok itu mulutnya dikareti saja? Atau diseteples? Biar kuapok, nggak merokok di tempat umum.

Aku sering merasa orang-orang yang biasa-biasa seperti aku ini tidak punya banyak pilihan--terutama dalam hal sarana publik. Aku kan sudah bayar pajak, tapi tetep saja fasilitas umum yang memadai, bersih, dan sehat, kok masih jauh di awang-awang ya? Misalnya ya soal angkot itu tadi.

Tapi yang mengherankan adalah orang-orang yang bekerja di perusahaan rokok itu kok kayaknya makmur ya? (Ini memang nggak termasuk buruh sih, yang aku maksudkan ya para karyawan dan bos-bosnya itu lo.) Salah satunya adalah temanku, yang suaminya kerja di sebuah perusahaan rokok besar. Tanpa bekerja pun, dia sudah bisa hidup enak. Fasilitas yang bagus selalu tersedia. Ini kan tidak adil sebenarnya. Berbagai kenikmatan itu kan mereka dapatkan dari laba penjualan rokok to? Dan siapa yang membeli rokok? Di antaranya ya sopir angkot dan kalangan rakyat biasa. Dan, siapa yang menikmati asap rokoknya? Ya orang-orang yang mau tak mau bersinggungan dengan para perokok. Ya aku, ya ibu-ibu hamil itu, ya anak-anak yang bapaknya perokok, ya teman-temanku yang pacarnya perokok, ya kalian yang selalu sesak napas kalau mencium asap rokok. Heran, barang tidak sehat begitu kok ya dijual to Mas? (Kalau besok punya anak, tak akan kuperbolehkan dia bekerja di perusahaan rokok, biarpun bayarannya satu milyar! Bagiku, bekerja di sana sama saja dengan ikut komplotan pencuri.)

Apa sih yang ada di pikiran para penggede perusahaan rokok itu? Membuka lapangan pekerjaan untuk para buruh? Wis to, nggak usah ndobos dan muluk-muluk. Bilang saja, cari bathi, mendapatkan laba sebanyak-banyaknya! Iya to? Biar kalian itu tetep bisa naik pesawat blebar-bleber ke sana ke mari, biar bisa menyekolahkan anak-anak kalian ke luar negeri, biar bisa hidup enak tiap hari (kalau sakit ya mampu mondok di kelas VIP, dokternya yang pinter; kalau mau beli bensin ya nggak usah mikir; kalau mau belanja ya setidaknya ke Singapore lah. Inggih nopo, mboten?) Sedikit labanya untuk menggaji ibu-ibu dan bapak-bapak yang jadi buruh pabrik. Nggak usah munafik lah .... Kalau perusahaan rokok itu bisa memberi beasiswa kepada anak-anak Indonesia, dan mereka merasa berjasa besar kepada negara ini, oh ... apa nggak malu? Wong sudah menjual racun, mendapat laba, trus menutupi kebusukan kalian itu dengan melakukan kebaikan kepada orang yang tidak mampu? Apa maksudnya to Pak, Bu? Mau jadi Robin Hood ya, Pak? Main film komedi saja deh. Nggak usah bikin dan jualan rokok.

Wednesday, February 18, 2009


Tak Cukup Hanya Perasaan

Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan teman asramaku dulu, Nana. Ngobrol ngalor ngidul. Kangen-kangenan. Kami sudah lama tidak bertemu--seingatku sejak tahun 2001. Atau lebih? Ah, lupa.

Seperti biasa, teman asrama selalu "nyantol di hati". Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, mungkin karena kami dulu serumah. Tiap hari bertemu; mulai dari bangun tidur sampai mau tidur. Ya, kuliah memang bisa beda-beda. Tapi setiap kami pulang kuliah atau beraktivitas, ketemunya ya mereka-mereka itu. Dan pada pertemuan kemarin itu kami bernostalgia. Mengingat teman-teman yang dulu sekamar dan yang beda unit.

Salah satu yang kami bicarakan adalah kekecewaan Nana karena "ditolak" untuk bertemu dengan seorang teman kami --sebut saja--namanya Lila. Entah kenapa Lila tidak mau bertemu Nana lagi. Padahal dulu mereka kadang sering bareng. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Nana, bahwa dulu Lila itu pernah bermasalah dengan pacarnya. Menurut Nana sih, cowoknya itu sikapnya keras banget. Jadi sering memaksakan kehendak. (Yee ... baru pacaran sudah sering maksa.)

Akhirnya mereka pun putus. Dan Nana jadi tumpahan curhat si Lila. Setelah putus, si Lila masih saja menyayangkan putusnya mereka dan pengin balik lagi. Nana, yang kenal betul watak si cowok, berkali-kali mengatakan bahwa keputusan mereka untuk putus itu sudah benar. Tapi ya ... mungkin karena masih sayang atau bagaimana, Lila ngotot ingin balik. Lha, terang saja Nana jadi sewot. "Lha belum jadi suami saja sudah sering maksa gitu, masak mau diterusin?"

Menurutku Nana benar. Setelah putus, kita mungkin ingin balik lagi ke mantan pacar, padahal kita sadar betul kalau mantan cowok kita ini begini, begini, begitu, begitu. Enggak cocoklah gampangnya. Kalau dari awal sudah ada ganjelan yang tidak bisa diselesaikan, jangan pernah percaya bahwa ganjelan itu bisa hilang dengan sendirinya setelah menikah.

Tapi kalau masih sayang?

Hmmm ... menurutku, sayang itu adalah perasaan. Bagaimana pun memilih pasangan hidup itu tidak hanya membutuhkan perasaan, tetapi juga logika. Perasaan sih perlu, tapi kayaknya perasaan bisa pudar. Karena itu, pertimbangan akal sehat sangatlah dibutuhkan. So, sah-sah saja kita pilih-pilih pasangan. Walaupun sudah didorong kanan kiri untuk segera menikah, keputusan ada di tangan kita. Toh, nantinya kita sendiri yang menjalani hidup pernikahan. Orang-orang yang sering bertanya, "Kapan nikah?" itu hanyalah penonton. Mereka tidak benar-benar terlibat dalam hidup pernikahan kita.

Jadi teman-teman, silahkan pilih-pilih dan beranilah mengambil keputusan dengan disertai pertimbangan akal sehat ;)

Monday, February 16, 2009


Menonton Jagad X Code, Nonton Sekaligus Nostalgia


Beberapa waktu lalu, sewaktu akan nonton Happy Go Lucky dengan suami dan Adel, suamiku menunjuk sebuah poster film. "Eh kayaknya lucu nih!" Film itu berjudul Jagad X Code. Bagi beberapa orang, judul film itu memang agak menyesatkan. Emma, temanku, mengira judul itu dibaca: "Jagad Eks Kod" (baca: pengucapannya), bukan "Jagad Kali Code". Tapi tak apalah, dimaklumi. Kesalahpengertian itu mestinya sudah diantisipasi oleh sang pembuat (judul) film.

Nah, minggu kemarin, di hari liburnya, suamiku mengajak nonton Jagad X Code. Aku sih mau-mau aja, wong dibayari. Hehehe. Lagi pula, menilik beberapa pemainnya seperti Yati Pesek, Didik Nini Towok, dan Marwoto, aku menebak ini pasti film lucu-lucuan yang mengambil setting Jogja. Dan benarlah dugaanku.

Film itu mengambil setting di pinggiran Kali Code, Jogja. Bagiku, menonton film itu seperti nostalgia. Wong, pengambilan gambarnya itu sekitar kantorku dulu (kantorku dulu memang di pinggir Kali Code :p). Kalau nggak salah sih pengambilan gambar itu dilakukan di kios ban-ban di sebelah utara gedung kantorku, di jembatan Kali Code di dekat McDonald jalan Sudirman (jembatan itu sering kami lewati pas mau makan siang di warung Padang dekat Tio Ciu), lalu Malioboro, alun-alun, Pasar Ngasem, Taman Sari, dan kalau nggak salah sih di sekitar Sagan, belakang Super Indo.

Film itu mengisahkan Jagad (Ringgo Agus Rahman), Bayu (Mario Irwiensyah), dan Gareng (Opie Bahtiar), tiga anak Code yang masih lontang-lantung. Di tengah masa pengangguran mereka yang nggak jelas itu, mereka bertemu dengan Semsar, seorang preman Malioboro yang menyuruh mereka mencari flask disk di tas seorang perempuan. Sayangnya, mereka itu benar-benar polos dan gaptek sehingga tidak tahu flask disk itu benda macam apa. Akhirnya mereka berhasil menjambret tas dari perempuan yg dimaksud oleh Semsar. Setelah mengeluarkan isi tas itu, mereka akhirnya mengambil sebuah benda yang mereka yakini sebagai flask disk. Film itu kemudian bergulir di seputar usaha mereka untuk menyerahkan benda tersebut kepada Semsar, perkenalan mereka dengan Regina (Tika Putri), seorang gadis klepto, anak pengusaha kaya di Jogja, dan usaha mereka untuk mendapatkan uang/pekerjaan.

Sebagai sebuah film untuk menyegarkan suasana, film ini lumayan sebenarnya. Tetapi menurutku film ini kurang "Jogja". Mungkin karena pemain utamanya justru bukan orang Jogja (Ringgo dan kedua temannya). Ke-Jogja-an di film itu diisi oleh Butet, Djaduk, Didik Nini Towok, Marwoto, dan Yati Pesek. Menurutku film itu akan lebih mantap kalau salah satu pemain utamanya adalah orang Jogja atau orang yang sudah lama bermukim di Jogja (yang sudah fasih berbahasa Jawa ala anak-anak muda Jogja). Rasanya Donny Verdian atau Aat Poank (teman kantorku dulu), pas deh kalau ikut jadi pemain utama. Hehehe. (Don, tampangmu kan wis koyo Cino, ora ndeso-ndeso banget lah. Nek mung ngganteni Ringgo ketoke iso kok. Atau, kowe At, tampangmu kan wis sering muncul neng TV jadi, tur kowe kan nek ngomong medok banget, jadi ketok le asli Jogja hehehe. Ora mung ngem-ce ae At. Gek dadi artis hehehehe. Sopo ngerti iso luwih terkenal mbanganne bosmu lo :p)

Salah satu alasanku menonton film itu adalah karena musiknya Djaduk. Menurutku sih keren :)

Thursday, February 12, 2009

Dicari: Bos yang Baik

Obrolan dengan beberapa teman, kejadian belakangan ini, serta pengalamanku dulu, membuatku bertanya-tanya, seperti apa sih pemimpin yang baik itu?

Kemarin temanku bercerita soal bosnya yang menurutnya, "Sangat merepotkan. Ya, cuma itu istilah yang pas buat bos itu." Dari ceritanya sih, memang bosnya itu sangat merepotkan anak buahnya. Bosnya itu pengennya dilayani terus, dia nggak mau repot sedikit pun. Misalnya, saat anak-anak buahnya sangat sibuk dan butuh mobil untuk ngangkut barang, e ... mobil satu-satunya yang di kantornya itu malah dipakai untuk puter-puter kota untuk melihat placing barang. Padahal kalau si bos mau, dia bisa naik taxi atau melakukannya lain hari. Lagi pula, cuma si bos dan seorang asistennya yang pergi. Sementara itu, barang-barang yang mesti diantar sangat mendesak sifatnya.

Lalu ini keluhan temanku yang satu lagi. "Kok bos itu nggak mikir dulu ya sebelum menyuruh anak buahnya mengerjakan sesuatu? Mikirin strateginya dulu, kek. Nggak asal nyuruh." Ceritanya dia diminta untuk mengerjakan laporan yang segambreng. Banyak, deh! Sampai dia lembur-lembur segala. Dan pas laporannya sudah hampir selesai, bosnya dengan santai bilang, "Laporan yang itu di-pending dulu, ya!" Ugh! Temanku gondok bukan main. "Hal kaya gitu, nggak cuma terjadi sekali dua kali. Berkali-kali! Bodoh benar sih bosku." Hi hi, aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Memang sih, kedengarannya memang bodoh.

Ah, bos-bos itu memang unik. Dan satu hal yang perlu diingat, mereka juga manusia yang sebenarnya butuh ditegur jika melakukan kesalahan. Masalahnya, tidak semua anak buah punya nyali untuk menegur atasan--apalagi di budaya Jawa ini yang level rasa sungkannya masih sangat tinggi. Apalagi kalau si bos pada dasarnya tidak suka dikritik. Wah, bisa mandeg deh kariernya.

Aku pikir atasan yang baik adalah atasan yang mau membuka hati, telinga, dan mata. Membuka hati, berarti dia dituntut untuk peka dengan keadaan sekeliling. "Bos, pedulilah terhadap keadaan anak-anak buahmu itu." Membuka telinga, berarti dia bisa mendengarkan anak buahnya. Dan membuka mata, dia tidak hanya melihat apa yang hanya tampak di permukaan, tetapi juga melihat apa yang sebenarnya. Seorang bos juga dituntut untuk bisa memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Teladan yang baik itu tidak cuma si bos tidak datang terlambat ke kantor, tetapi yang penting sih aku rasa bos bisa menunjukkan integritasnya. Dengan kata lain, si bos tidak cuma bisa bicara, tetapi dia melakoni apa yang dia ucapkan. Jadi, anak buah pun bisa benar-benar respek sama dia. Dan entah kenapa, aku suka melihat atasan yang sayang sama keluarganya. Yang peduli dengan anak-anak dan pasangannya. Jangan sampai deh punya bos yang suka lirak-lirik cewek, apalagi sampai selingkuh, duh ...! Kalau punya bos yang kaya gitu, kayaknya aku nggak akan bisa respek deh sama dia.

Aku teringat cerita seorang temanku. "Saat aku dikenalkan dengan teman-teman si bos, dia tidak menunjukkan bahwa aku anak baru yang masih belajar." Nah, ini nih, bos yang asyik. Dia tidak menghalangi anak buahnya mengenal orang-orang yang berada di atasnya atau para klien yang potensial. Dengan begitu, anak buah jadi bisa berkembang juga. Bagaimanapun dikurung terus di dalam kantor dan tidak diberi jalan untuk berkembang, adalah hal yang tidak menyenangkan.

Aku sering merasa beruntung karena dengan menjadi freelancer, aku tidak lagi berhubungan langsung dengan bos-bos yang kadang memang membuat BT. Dulu sih memang dongkol kalau ada kebijakan bos yang rasanya tidak masuk akal, tetapi sekarang aku bisa tertawa ketika teman-temanku bercerita soal bos-bos mereka yang unik bin ajaib. Hi ... hi ... hi.

Tuesday, February 10, 2009

Donat yang (sengaja) Tak Terbeli

Dulu, ketika masih kecil (eh, nggak kecil2 amat ding, SD atau SMP gitu), tante dan om saya yang tinggal di Jakarta suka membawa Dunkin Donat kalau pas lagi ke Madiun--menyambangi kami. Bagiku donat itu enaaaak banget. Beda dengan donat yang biasa ada di warungnya Mbak Siti, depan rumah. Rasanya puas banget kalau makan donat oleh-oleh tante/om. Enaaaak. Yah, namanya anak kecil yang tinggal di kota kecil macam Madiun, makanan yang berbau kota besar kok terasa enak di lidah ya? Atau karena gratisan? Hihihi. Entahlah.

Dan waktu aku akhirnya tinggal di Jogja, aku nyaris melonjak gembira waktu ada gerai Dunkin Donat dibuka di beberapa tempat. Horeee! Aku berniat membeli donat enak itu setidaknya sebulan sekali. Yah, paling tidak semester sekali, deh. Tapi dasar mahasiswa yang harus pintar-pintar-berhemat-supaya-uang-saku-cukup, aku cuma terbengong2 waktu melihat harga donat yang membuatku ngiler itu. Lha harga 1 donat itu bisa untuk makan nasi plus lauk ikan, telor, dan sayur sepuasnya, je. Akhirnya, aku memutuskan untuk "menunda" membeli donat mahal itu. "Nanti deh, kalau sudah kerja."

Dan akhirnya aku lulus kuliah dan bekerja. Gaji cukup dong kalau untuk beli donat?

Cukup sih. Tapi kok rasanya aku tetap sayang ya untuk membeli donat mahal itu? Aku mulai berhitung. Harga dua buah donat itu setara dengan harga bensin untuk seminggu. Ugh! Tidak ... tidak! Nanti saja deh, kalau aku sudah dapat kerjaan sambilan. Kan lumayan tuh pendapatanku; selain gaji bulanan, honor menerjemahkan 1 buku yang berukuran sedang, minimal sama dengan gaji sebulan. Bisa lebih sih, kalau aku mau lebih rajin lagi.

Dan akhirnya aku mendapatkan honor terjemahan plus editing yang lumayan. Horeee! Duitnya dikemanain?

Beberapa kali aku lewat gerai Dunkin Donat--entah saat berbelanja di Mirota Kampus atau pas lagi mampir ke Gramedia. Aku beli donat?

Tidak. Jelas tidak.

Duitku akhirnya masuk ke kasir toko buku karena aku memborong beberapa buku, untuk membeli bakso ayam di depan Gramedia (ya ampun! sudah berbulan-bulan aku tidak mencicipi bakso ayam plus telor dan jeroan ayam itu), dan sisanya tercatat di buku tabungan.

Nah, beberapa waktu lalu aku janjian bertemu dengan teman asramaku dulu, Nana. Kami bertemu di Arion Mall. Yah, walaupun kami berdua tak pernah suka ke mal, tapi adakah tempat lain di Jakarta ini untuk sekadar duduk-duduk tanpa bayar? Ada sih, asal kami rela duduk di pinggir jalan dan merelakan paru-paru kami dipenuhi dengan asap knalpot. Hehehe. Jadi, akhirnya kami memilih nongkrong di Dunkin Donat.

Wah, kesempatan nih, bisa beli donat. Iya, kan?

Tidak. Kami akhirnya cuma beli minum. Karena kami masih kenyang setelah makan di Hok Ben, dan rasanya cuma teh hangat saja yang bisa diterima perut kami. Hehehe.

Aku sebenarnya heran dengan diriku sendiri. Aku ini orang yang tidak gampang menuruti keinginan. Entah kenapa. Aku tak tahu. Aku tahu, aku senang sekali makan donat. Apalagi sekarang ada begitu banyak pilihan donat--selain Dunkin, ada J-Co, dan entah apa lagi namanya, aku tak ingat. Tapi walaupun aku sudah pengiiiiin banget, begitu menjumpai gerai penjual donat itu, aku kadang cuma melirik sedikit, dan lewat begitu saja.

Aku tak tahu sejak kapan hal ini terjadi pada diriku. Kalau kuingat-ingat, pas SD aku juga jarang sekali jajan. Padahal di kantin sekolahku dijual bakso, dan sebenarnya aku suka sekali bakso. Tapi rasanya tak lebih dari sepuluh kali aku makan bakso di kantin SD-ku. Aneh bin ajaib deh.

Thursday, February 05, 2009

Macet ... Macet ... Macet!

Rasanya semua orang sudah tahu jika salah satu "trade mark" Jakarta adalah kemacetan lalu lintas. Ya, betul. Kemacetan adalah hal yang sudah sangat amat biasa di sini. Bahkan aku sering menggunakan alasan ini kalau datang terlambat ke suatu tempat. Hihi ... buka kartu.

Tetapi mungkin lebih tepatnya adalah aku masih belum bisa beradaptasi dengan lalu lintas Jakarta. Aku selalu lupa bahwa ketika di Jakarta aku menggantungkan diriku pada angkot--entah itu metromini, KWK, busway, atau kereta (naik kereta baru sekali ding!). Dan ini tentu berbeda sekali jika dibandingkan ketika masih di Jogja, aku selalu naik motor ke mana-mana. Di sana, belum tentu aku naik angkot setahun sekali. Dan angkot di Jakarta ini tabiatnya macam-macam; mulai dari sebentar-sebentar ngetem sampai kebut-kebutan di jalan. Trus mereka juga tidak kebal dengan kemacetan lalu lintas (Kecuali kereta atau busway kali ya?) Dan bodohnya lagi, aku selalu lupa dengan hal itu! :p

Sederhananya sih, di Jakarta ini kita tak bisa memprediksi apa yang terjadi di jalan. Jalanan bisa macet, jalanan bisa banyak genangan (karena hujan datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan menimbulkan genangan di mana-mana), dan angkot bisa sering ngetem.

Tapi satu hal yang aku amati adalah jalanan di Jakarta ini sering penuh oleh kendaraan pribadi. Dan yang lebih menyebalkan adalah kendaraan pribadi itu paling-paling isinya cuma satu dua orang. Kadang cuma sopir aja. Dan kita yang berada di dalam kendaraan umum berjubel enggak karu-karuan. Ugh! Pengen nonjok! (Shhh! Tenaaaang ... jangan emosi dulu!)

Jadi, sebenarnya sangat masuk akal jika orang-orang yang mampu beli kendaraan pribadi akhirnya memilih untuk naik kendaraannya sendiri. Naik angkot? Oh no! Lha uang masih berlebih kok untuk beli bensin, bayar pajak kendaraan, bayar sopir, servis mobil, dll. Kalau uang cuma pas-pasan, ya nikmatilah naik kendaraan umum. Ya, nikmatilah. Semua ada hikmahnya. (Huuuu! Basi!)

Berapa orang ya yang memintaku untuk menikmati Jakarta? Rata-rata orang yang berkata kepadaku supaya menikmati Jakarta adalah orang yang tidak setiap hari mencicipi kemacetan Jakarta (biasanya sih orang yang tinggal di luar Jakarta) atau orang yang punya kendaraan sendiri. Jenis orang yang terakhir ini kan kalau macet biar dongkol masih bisa menikmati karena ia berada di dalam kendaraannya sendiri yang ber-AC, tidak berjubel dan tidak bau keringat, ada musiknya, dll. Bandingkan saja jika mereka naik kendaraan umum yang berjubel dan masih saja ada orang yang merokok. (Kadang aku pengen menempeli mulut para perokok itu dengan lakban agar tidak sembarangan klepas-klepus. Bau, tauk! Bikin sesak napas dan pusing kepala. Heran, deh, kenapa orang tidak sadar ya bahwa merokok itu merugikan? Tapi meminta orang untuk sadar ibarat meminta surga turun dengan segera. Butuh waktu dan sabaaaaar!) Aku rasa orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan kendaraan pribadi akan nangis-nangis jika harus naik kendaraan umum yang enggak karuan itu.

Aku kadang berpikir, jika saja ada kendaraan umum yang nyaman, murah, dan bisa diandalkan ketepatan waktunya, pasti orang-orang yang naik kendaraan pribadi akan meninggalkan kendaraannya di rumah. Apalagi kalau pajak kendaraan pribadi tinggi banget. Kenapa mesti beli kendaraan pribadi jika kendaraan umum sudah enak? Tapi rasanya ini masih sulit diterapkan. Soalnya tak ada political will untuk melakukannya. Apakah kita perlu usul ke pemeritah ya, bahwa kita mau kok untuk iuran seribu atau lima ribu rupiah per orang agar tercipta kendaraan umum yang nyaman, murah, dan bisa diandalkan. Tapi, kurang apa enggak ya urunan duit segitu? Dan apakah harus sampai segitunya?

Monday, February 02, 2009

Susah-susah Gampangnya Menerjemahkan Teks
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia


Pernah bekerja di sebuah penerbitan buku membuatku jadi tahu apa yang dikerjakan sebelum sebuah buku terbit. Dulu tahunya cuma beli buku trus baca sampai habis. Gitu aja. Dan sebelum kerja di penerbitan, aku juga tidak terlalu memerhatikan bahasa. Baru setelah sedikit-sedikit menulis artikel, aku jadi mulai memerhatikan susunan kalimat, hubungan antar kalimat dalam sebuah paragraf, tanda baca, dll. Itu adalah hal-hal sepele, tapi penting. Ibarat memasak masakan, hal-hal itu seperti bumbu. Kalau masakan kebanyakan garam, kan tidak enak :)

Nah, biasanya yang memerhatikan hal-hal itu adalah orang yang memang sudah biasa menulis atau dia adalah seorang penulis. Minimal orang yang suka membaca. Yang lain? Wah, jangan terlalu banyak berharap.

Suatu kali aku ditelepon kakakku. Berikut ini adalah kutipan obrolan kami.
Kakak: "Kemarin aku butuh orang untuk menerjemahkan angket, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dosenku minta yang menerjemahkan adalah orang yang benar-benar pernah tinggal di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Dan dia minta yang menerjemahkan nggak cuma satu orang. Supaya bisa dibandingkan. Jadi, aku pakai dua orang. Tapi kok hasilnya nggak bagus ya? Lebih bagus waktu aku minta kamu yg menerjemahkan."

Aku: (Hihihi ... GR juga nih dibilang terjemahanku bagus.) "Yah, emang begitu kok."

Kakak: "Begitu piye to?"

Aku: "Orang yang nggak biasa dengan bahasa tulis, belum tentu bisa menerjemahkan dengan baik. Mungkin dia mengerti apa maksud teks aslinya, tetapi dia belum tentu bisa menuliskan terjemahan itu dengan baik. Biasanya sih menuliskan terjemahannya asal."

Kakak: "Asal bagaimana?"

Aku: "Ya, asal. Apa yang muncul di kepala langsung ditulis. Kalimatnya tidak ditata. Orang yang enggak bisa menulis, memang tidak biasa menyusun kalimat. Menyusun kalimat butuh keterampilan tersendiri. Pilihan kata yang dipakai juga belum tentu bagus."

Kakak: "Oh gitu ya? Kalau begitu, aku kayaknya butuh orang yang bisa merapikan terjemahan itu deh. Kamu ada teman nggak?"

Aku: "Ada. Bla ... bla ... bla."

Obrolan selanjutnya nggak perlu dituliskan ya. Kepanjangan nanti :)

Menurutku, orang Indonesia yang bisa cas cis cus bahasa Inggris, belum tentu bisa menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan baik. Tidak jaminan. Kalau dia bukan pembaca atau penulis yang baik, biasanya sih ... nggak usah ngarepin deh. Penerjemah yang bagus biasanya juga penulis yang bagus pula. Misalnya, Sapardi, HB. Yasin, Pramoedya, dll. Bahasa lisan dan bahasa tulis itu berbeda. Dan sayangnya di Indonesia, bahasa tulis memang belum terlalu bagus.

Penerjemahan bukan soal menerjemahkan kata per kata, tetapi nuansa yang terkandung di dalamnya harus ikut diterjemahkan. Diksi atau pilihan kata merupakan hal yang mutlak harus diperhatikan. Hal-hal seperti itu diasah lewat kebiasaan membaca dan menulis :)