Berhajat di Mana?
"Wah, kamu ini benar-benar orang kota ya!" begitu kata suamiku kemarin. Kalimat itu ia utarakan karena aku bilang, "Sebaiknya orang menggelar resepsi pernikahan itu di gedung saja. Tidak usah di rumah."
"Kenapa?" tanya suamiku.
"Merepotkan para tetangganya." Aku pun memercinci berbagai kerepotan yang harus dilakukan para tetangga jika seseorang mengadakan resepsi di rumahnya. Lalu aku dibilang orang kota seperti tadi.
Minggu kemarin tetanggaku menggelar acara resepsi pernikahan. Dan aku hanya bisa pasrah mendengar suara yang hingar bingar dari loud speaker-nya. Awalnya sih tidak terlalu mengganggu. Tapi setelah dari pukul 6 pagi sampai kira-kira selepas magrib mendengar suara yang gaduh, aku kok lama-lama terganggu juga ya.
Aku sebenarnya mengacungkan jempol buat sang pengantin dan keluarganya. Hebat betul, mereka tahan menggelar hajatan seharian. Lha kemarin pas nikahanku saja, aku capek betul lo. Padahal aku cuma didandani mulai dari pukul 7 pagi. Misa pemberkatan mulai pukul 9 dan selesai pukul 11.30. Setelah berurusan dengan pihak catatan sipil, aku mulai masuk gedung resepsi. Lalu mulailah aku duduk-berdiri, menebar senyum, bersalaman, dan berulang kali mengucapkan terima kasih kepada para tamu. Resepsi selesai pukul 15.00. Jadi, total aku stand by untuk acara pernikahan itu selama 8 jam. Itu sama lamanya dengan aku duduk ngantor seharian. Tapi kok rasanya lebih capek jadi penganten ya? Badan rasanya seperti digebuki.
Dan kalau dibandingkan dengan tetanggaku kemarin? Wah, staminaku kalah jauuuh! Di rumah tetanggaku kemarin, musik yang hingar bingar diputar mulai dari pukul 6 pagi. Lalu mulai pukul 9 sampai pukul 6 sore, para tamu masih berdatangan. Dan sepertinya pada malam hari, masih kudengar orang-orang bertamu. Itu kan seharian namanya. Gile!
Jujur saja, yang membuatku terganggu adalah pemasangan tenda di gang dan suara yang hingar bingar. Gang depan rumahku cukup sempit. Kira-kira dua meter lebarnya. Jadi, tenda yang dipasang itu benar-benar menutup jalan, bahkan pemasangannya pun masuk ke rumah tetangga di kiri, kanan, dan depannya. Sementara itu, daerah perumahan ini cukup padat. Jadi, suara obrolan biasa dari ujung gang pun bisa terdengar. Kenapa mesti memasang loud speaker yang membuat telinga budeg?
Aku tak tahu sebenarnya aku ini orang kota atau orang kampung. Delapan belas tahun aku habiskan hidupku di Madiun. Rumahku termasuk di pinggir jalan besar, jadi mungkin bisa dibilang kota kali ya? Tapi bagaimanapun Madiun toh kota kecil yang seuprit. Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jakarta raya ini. Lalu, kira-kira sebelas tahun aku tinggal di Jogja. Lima tahun pertama selama di Jogja, aku juga tinggal di asrama yang terletak di pinggir jalan besar. Sisanya aku habiskan di rumahku di kampung ujung utara Jogja sana. Kubilang kampung karena memang masih sepi. Tetangga dekatku saja cuma 4 rumah. Sekitar rumahku masih banyak tanah kosong. Dan penduduk sekitar situ masih banyak yang bertani dan beternak. Sederhana sekali.
Ketika tinggal di Dusun Krapyak di Jogja utara itu, aku merasakan bahwa duniaku berbeda sekali dengan orang-orang sekitar. Kalau aku berangkat kerja, orang-orang di situ biasanya sudah sibuk di sawah. Kadang, sepulang dari kantor aku main sampai malam. (Aku sendiri bingung, ke mana saja ya kuhabiskan waktuku sepulang kantor itu? Rasanya hampir setiap hari aku pulang pukul 7 petang dan kadang sampai pukul 8 malam, padahal jam kantorku usai pukul 4 sore.) Bisa dibilang aku pasif sekali di kegiatan kampungku. Aku hampir tak pernah bersentuhan dengan kegiatan ibu-ibu di sana. Alasannya, pertama, aku berada di luar rumah dari pukul 8 pagi sampai 7 petang. Kedua, ibu-ibu dan para pemuda di sana religius sekali. Jadi, kegiatan mereka biasanya ya seputar kegiatan keagamaan. Bahkan para pemuda yang "rewang" di resepsi pernikahan mesti menggunakan baju yang mencerminkan agama mereka. Dengan begitu, aku sepertinya tak mendapat tempat lagi. Bahkan kata abangku yang pernah ikut rapat RT, di rapat itu para bapak sembahyang dulu dan mengupas ayat-ayat kitab suci mereka selama 1 jam lebih .... (Aku tidak mengerti, kenapa setiap acara di masyarakat malah jadi acara keagamaan sih?)
Nah, ketika di Jakarta ini, aku pikir aku akan berhadapan dengan orang-orang kota yang sibuk pol. Tapi rupanya di daerahku banyak orang-orang yang sudah tua. Tampaknya mereka sering berada di rumah dan tak jarang mereka kongkow di ujung gang. Beberapa ibu bahkan gemar duduk-duduk di muka rumah sambil mengobrol.
Lagi-lagi aku merasa berbeda dengan mereka. Aku memang tinggal di rumah, tetapi aku bekerja. Jadi, bukan berarti aku cuma duduk manis di rumah saja. Editan dan terjemahan selalu menungguku dengan setia di komputer. Jadi, rasanya aku malas sekali untuk ikut "ubyang-ubyung" alias ikut kongkow dengan ibu-ibu itu. Rasanya kok itu bukan duniaku ya?
Harus kuakui, kemampuanku bersosialisasi itu rendah. Dan teman-temanku pun bisa dihitung. Kadang aku memang butuh berada bersama banyak orang. Tapi aku tak bisa lama-lama di tengah keramaian.
Jadi sebenarnya aku bingung waktu suamiku kemarin bilang aku adalah orang kota. Sepertinya aku lebih suka tinggal di kampung yang sepi dan para penduduknya tidak terlalu rese'. Ya, bolehlah kita sesekali berkumpul. Ngobrol ngalor-ngidul. (Dan yang penting tak perlu kumpul-kumpul acara RT sambil membahas masalah agama yang sepertinya lebih pas dibicarakan di rumah ibadat masing-masing.) Tapi tak usahlah mengganggu ruang privasi orang lain. Ujung-ujungnya aku mau bilang, kalau mau ngadain hajatan, di gedung aja. Idealnya, di satu kelurahan ada satu gedung serbaguna yang sewanya murah. Jadi, berjahatlah di situ. He he he.
Monday, December 01, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Nganu Jeng..
itu pertanda bahwa Jakarta itu sebenarnya kampung tapi dibedaki :)
Lha buktinya, perilaku mereka sangat seperti itu.
Tapi satu hal yang kusesali selama hidup di Indonesia kemarin adalah kenapa aku ngga jadi pengusaha TOA Pengeras Suara aja ya..:)
Karena perasaan orang-orang kita kan dikit-dikit pake pengeras suara hehehe...
Post a Comment