Jakarta si Penjual Mimpi
Aku sering terheran-heran melihat orang-orang Jakarta yang sepertinya tak kenal lelah. Suatu kali aku pulang agak larut malam, kira-kira pukul 11 malam. Saat itu jalanan masih cukup ramai. Kendaraan masih banyak. Tidak cuma satu atau dua motor saja yang lewat. Dan kebanyakan mereka jalannya kencang sekali. Trus, suatu kali pagi-pagi, kira-kira pukul 5, aku keluar rumah karena memang ada urusan yang membuatku harus berangkat pagi, jalanan sudah agak macet! Ealah ....
Aku tak tahu dari mana datangnya orang-orang itu. Dan harus diakui, Jakarta memang padat. Orang-orang sepertinya datang berbondong-bondong memenuhi kota ini, berusaha untuk mendapatkan hidup yang layak.
Aku jadi ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika aku baru lulus kuliah, rasanya aku tak tahu harus mencari pekerjaan di mana. Dan dari omong punya omong, rupanya banyak dari temanku yang akhirnya pergi ke Jakarta. Kalau tidak ke Jakarta, rasanya tidak afdol. Kurang mantap. Lagi pula, sebagai seorang lulusan S1, rasanya lowongan pekerjaan yang di daerah kurang ada yang pas. Kalaupun ada, biasanya gajinya kecil sekali. Belum lagi, jenjang kariernya ya segitu-gitu saja. Tak menarik. Ya, memang ada beberapa perusahaan atau institusi yang cukup besar, dan memberi gaji cukup menarik. Tapi sayangnya mereka jarang membuka lowongan secara terbuka. Lagi pula, dari sekian ribu sarjana, berapa banyak sih perusahaan yang bisa menampung? Karena itu, memang masuk akal jika orang banyak yang mencoba mencari peruntungan di Jakarta.
Ketika saya lulus kuliah, dengar-dengar sih gaji pertama untuk lulusan S1 sekitar 1,5 juta. Hmmm... itu adalah gaji yang cukup menggiurkan bagi seorang anak muda yang belum punya banyak pengalaman. Kalau di daerah? Belum tentu dapat gaji separuh dari itu. Lagi pula, di daerah tak banyak pilihan. Mau nego gaji berapa untuk seorang sarjana yang baru "kinyis-kinyis" keluar dari universitas? Orang yang sudah punya banyak pengalaman pun gajinya tak seberapa.
Belum lagi di saat kami kumpul-kumpul--reuni kecil-kecilan--teman-temanku yang bekerja di Jakarta itu kok kesannya sudah mapan ya? Yaaa itu bisa dilihat dari bajunya, dari handphone-nya, dari tasnya, dari cerita-cerita mereka (mulai dari bos yang hendak memberi kesempatan untuk pergi ke luar negeri sampai teman-teman sekantor mereka yang sudah mulai kredit mobil). Semua itu kan ciri-ciri kemapanan, to?
Waktu bergulir. Aku sudah bekerja di daerah selama sekitar 6 tahun, dan sekarang karena ikut suami, aku tinggal di Jakarta. Aku memilih bekerja sebagai freelancer--mengerjakan proyek terjemahan dan editan dari rumah. Beberapa teman bertanya, apakah aku tidak mau bekerja di kantor selama di Jakarta ini. Toh sudah ada pengalaman. Aku jawab tidak. Kenapa? Aku sudah puas menjadi seorang karyawati yang setiap hari harus ngantor. Dan kalau di Jakarta ini aku ngantor, berarti aku harus siap untuk "bertempur" di jalanan yang macet setiap pagi--pagi dan sore. Itu masih belum seberapa. Tahu sendiri, suasana kantor itu seperti apa: bos yang menyebalkan dan mau menang sendiri, teman kantor yang sikut-sikutan karena ingin mencapai puncak karier, gosip yang bikin kuping memerah. Hhh ... rasanya kok tidak sebanding ya dengan tenaga yang harus kukeluarkan? Toh dengan menjadi freelancer, pendapatanku nggak jelek-jelek amat kok.
Minggu kemarin temanku berkata begini, "Kalau saja aku dipindah ke Madiun, rasanya aku bakal langsung mengiyakan deh. Tanpa pikir panjang." Dia sudah bekerja sekitar 10 tahun di Jakarta raya ini. Itu berarti dia harus berangkat pagi-pagi dan pulang malam. "Capek," katanya. Tapi di ujung kalimat dia menambahkan, "Tapi kalau di Jakarta ini apa saja mudah jadi uang. Uang mudah dicari, nggak kaya di daerah."
Hmmm ... Jakarta memang benar-benar jago dalam menjual mimpi. Di sini mencari pekerjaan lebih mudah dicari, uang juga akan lebih mudah datang (tapi sekaligus lebih cepat menguap juga). "Asal kita nggak malu, apa aja bisa jadi duit di Jakarta," kata Mbak Yana, pemilik rumah yang kami kontrak ini.
Masalahnya, apakah seumur hidup kita mau mengejar duit? Percaya deh, tak akan ada puasnya jika kita terus mengejar duit. Capek! Aku sendiri bersyukur tidak dari lulus kuliah bekerja dan tinggal di Jakarta. Aku tak tahu seperti apa jadina diriku kalau aku merelakan diriku "dibentuk" oleh Jakarta. Mungkin aku akan jadi bodoh dan tanpa sadar membiarkan hidupku dikendalikan oleh "orang lain" atau "institusi yang mengaku hendak menyejahterakan karyawannya".
Wednesday, December 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
Saya setuju dengan ucapan bahwa semua bisa jadi uang di Jakarta...
Tapi sedikit banyak saya mulai berpikir Kris bahwa ketika orang terjun ke Jakarta, atau dimanapun ia berada, semua membawa resiko masing-masing bukan?
Lalu perkara "capek", aku pernah berpikir kenapa aku "ngegym", hasilnya pun cuma capek.. tapi ada hasil lain yaitu "fit" dan syukur2 berbadan lebih bagusan dan tidak gombyor-gombyor...
Jadi, aku sekarang menjadi lebih berpikir pragmatis bahwa hidup ini memang sesuatu yang layak diperjuangkan. Bekerja itu melelahkan, sama halnya dengan air itu selalu turun ke bawah. Jadi ketika hidup itu ada untuk capek bekerja ya bersyukurlah karena kita normal ;)
Masalah uang yang tak sebanding dengan pengorbanan, ah kalau itu urusan Tuhan..:)
Tuhan yang akan selalu mencukupkan. Bukan! Bukan mencukupkan rejekinya saja tapi juga mencukupkan rasa syukur kita untuk semua yang telah diberiNya tanpa berujar apa yang telah kita keluarkan.
Soal kungkungan institusi yang "katanya" menyejahterakan kita, uhmm soal itu aku berpikir bahwa semuanya toh telah termaktub dalam perjanjian kerja ketika kita hendak mulai kerja. So, kita nggak bisa bilang "buruk" tentang perusahaan/institusi itu. Kalau memang ada kesalahan ya kita keluar meski resikonya ya ngga ada uang. Kupikir itu semua adalah seni dalam berkehidupan.
Kawan, satu hal yang kudapat dari sebulan berada di tanah ini, aku berusaha mencintai kotaku dengan segala isinya dan menjauhkan diri dari rintihan keluhan dan cemoohan terhadapnya.
God bless us, Kris!
*bajindul.. kok commentku dadi dowo yo ahuahuahua*
Lalu, bagaimana sebaiknya Jakarta?
@siapaku: hehehe, nggak tahu juga sih jakarta sebaiknya gimana. kalau boleh usul sih, gimana kalau separuh penghuni jakarta itu ikut transmigrasi aja :p
Kenapa transmigrasi ya? Apa yang menyebabkan jakarta kelebihan orang? Siapa sebaiknya yang harus ikut transmigrasi? Sebagian pendatang, sebagian orang asli jakarta, atau dua-duanya?
@siapaku: aduh, bingung juga ya mas. kalau aku bisa jawab semua pertanyaan mas tadi, wah, aku pasti terpilih jadi gubernur jakarta nanti. repot. suamiku bisa nggak keurus. hehehe.
Aih ... Kris.
"Selamat datang" di Jakarta ya.
Untuk orang seperti kamu, ngantor di rumah merupakan pilihan yang tepat.
Jika nanti mulai ngrasa capek, bored, monoton, makin sering "bertempur di jalanan", saatnya ambil sedikit jarak dari Jakarta. Cuti, rehat, pulang kampung, nulis artikel, compile tulisan jadi buku, reunian bareng teman lama, atau naik gunung dan berenang di danau (di desaku)--sampai tiba masanya kamu kangen kembali pada seabrek mega mal dan bau asap kendaraan di Jakarta. Karena Kris, kadang kita tidak hanya suka pada hening dan ramahnya jogja tapi juga glamour dan bisingnya Jakarta, kan? Yang penting jangan terbuai oleh mimpi-mimpi semu yang jadi alasan orang berbondong mengadu nasib ke Jakarta.
Post a Comment