Thursday, November 27, 2008

Menulis = BAB

Sudah kira-kira tiga hari ini aku absen menggunakan PC di rumahku. Sebagai gantinya, aku memakai desknote suamiku yang leletnya minta ampun. Tapi daripada nggak kerja sama sekali, ya mending aku pakai desknote uzur itu, kan?

Suamiku sedang mengerjakan tugas kuliahnya--paper tentang antropologi agama. Dan beberapa minggu sebelum mengerjakan tugas ini, dia sudah sibuk membaca buku-buku yang berkaitan dengan tugasnya itu. Entah sudah berapa banyak buku yang ia baca, aku tak menghitungnya. Yang jelas banyak deh. Belum lagi dia cukup lama memelototi ensiklopedi dan buku-buku dalam bentuk PDF. Untung saja dia itu pada dasarnya suka membaca apa saja. Dan walaupun aku sering bilang ke orang-orang kalau aku suka membaca, toh jam terbang membacaku masih kalah jauuuh dari dia. Lha dia itu ibaratnya ensiklopedia berjalan ....

Nah, tadi siang, ketika dia sudah mengetik paper kira-kira 3/4 bagian, dia bilang begini, "Duh lega deh. Rasanya kayak (maaf) beol. Bret...breet...breet. Semua yang kubaca akhirnya bisa kutumpahkan dalam bentuk tulisan." Kemarin pas dia sedang serius banget, tampangnya memang serem. Kayak orang lagi kebelet beol gitu lo. Susah diajak becanda. He he he. Mendengar hal itu aku jadi ingat ucapan Idrus kepada Pramoedya, "Pram, kau itu bukan nulis, tapi berak!"

Melihat bahan bacaan suamiku dan membandingkan ucapan Idrus serta ucapan suamiku tadi, aku jadi berpikir, bahwa salah satu syarat mutlak untuk bisa menulis itu adalah otak yang ada isinya. Bukan, maksudku bukan sekadar pintar. Tapi yang aku maksud adalah kita mesti memenuhi otak kita dengan beragam bacaan. Kalau yang diinginkan tulisan yang bermutu, maka bacalah buku-buku bermutu--yang menambah isi otak. Bukan sekadar buku yang menghibur.

Kurasa, itulah salah satu kendala perbukuan di Indonesia. Belakangan ini banyak sekali buku yang menghibur, apa pun sebutan genrenya. Mungkin salah satu kalian ada yang menyeletuk, "Buku yang isinya ilmu acap kali bahasanya kering. Jadi, males banget mau baca." Iya sih. Tapi kurasa hasrat yang sangat kuat untuk menambah wawasan akan melibas keengganan membaca buku-buku sulit. Selain itu, kendala yang lain adalah, di Indonesia ini sedikit sekali penerbit yang menerbitkan buku-buku serius yang bagus. Padahal kalau di luar negeri sana, banyak lo. Dan biarpun membahas sesuatu yang serius, penulis yang jago biasanya memaparkannya dengan enak. Jadi pembaca tak perlu "takut" saat membaca buku--takut akan terdampar ke padang pasir karena saking garingnya pemaparan suatu tema. Barangkali kita masih "trauma" membaca buku-buku serius karena pas sekolah dulu, buku-buku pelajaran kita memang tidak enak dibaca. Lagi pula, pembahasannya pun dangkal. (Lha wong kurikulumnya saja tidak jelas, gimana mau ada buku pelajaran yang bagus?) Kalau memang suka membaca dan ada duit, belilah buku-buku terbitan luar. Soalnya kalau mau mengandalkan penerbit dalam negeri sepertinya memang agak susah. Apalagi sekarang trennya adalah buku-buku lucu, jadi kurasa itulah yang membanjiri toko buku sekarang. Pihak marketing dan distributor buku pun mungkin akan berpikir seribu kali kalau diminta menjual buku-buku serius. (Lagi pula, jarang banget dari mereka yang membaca buku-buku yang dijualnya. Aku berani taruhan kalo soal ini.)

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang beriringan. Rasanya tak mungkin jika orang menulis tanpa sebelumnya memenuhi otaknya dengan bacaan. Ini ibarat makan dan buang air besar alias BAB. Gampangnya, kita BAB karena sebelumnya kita makan. Jadi, kalau ingin jadi penulis,
membacalah.

2 comments:

Anonymous said...

Aku setuju denganmu, Kris!
Menulis tanpa membaca itu seperti kereta yang jalan tanpa rel...

Asal jangan setelah mbaca tulisan Pram, trus tulisan kita jadi mirip2 Pram. Setelah membaca Umar Kayam njuk tiba-tiba ada Mr Rigen dan Mr Prasodjo - nya dalam tulisannya :)

Ya tho.. sukses untukmu dan suamimu!
Berkah dalem!

Eben Ezer Siadari on 5:03 AM said...

kalau menurutku, menulis itu seperti petani. cari bibit, nyangkul, dan macam-macam lagi kerja-kerja 'abstrak.' pas memetik buahnya lah yg paling nikmat, yakni pekerjaan 'menulis' itu sendiri. kalau pas lagi dapet duitnya sih, nggak klimaks lagi...

salam kenal mbak kris.... baru baca skarang kalau dulu mbak kris sempat ninggalin komen di tulisanku tentang mudik.. hehehe