Monday, June 29, 2009


Nge-Teh

Ketika di asrama dulu, ada beberapa teman yang aku tahu suka sekali minum teh. Salah satunya adalah Mbak Tutik. Seingatku, hampir setiap sore dia membuat teh hangat. Dan tak jarang dia menawariku, "Gelem teh ra?" (Mau teh nggak?) Ya, begitulah rezeki kecil saat di asrama. Tawaran dibuatkan teh manis kok nolak? Jelas tidak dong. Apalagi kalau ada tempe mendoan atau tahu isi hasil perburuan di Sagan.

Dari Mbak Tutiklah aku tahu beberapa merek teh yang menurutnya enak. Terus terang aku lupa merek-merek teh yang enak menurut dia, tapi salah satunya kalau tidak salah adalah Teh Catoet (semoga tidak salah tulis). Bagaimana enaknya? Tidak tahu. Hahaha.

Memang lidahku ini bodoh, tak bisa membedakan teh mana yang benar-benar enak, dan mana teh yang hanya memberi warna cokelat biasa--tanpa rasa teh yang asli. Jadi, dulu kalau di asrama ada dua tempat air besar satu berisi air putih dan satu lagi berisi teh, maka aku tak bisa membedakan rasanya. Yang satu bening, yang satu cokelat. Tapi soal rasa, sama saja tuh!

Bagiku, kenikmatan yang melekat dari acara ngeteh sore adalah kedekatan kami. Obrolan yang tak jelas juntrungannya. Kadang membicarakan teman-teman di kampus, kadang membicarakan si A, kadang cerita soal masa kecil, dan tentunya ... cerita soal cowok dong! Hihihi. Dan kegiatan ongkang-ongkang di sore hari itu pun kami akhiri karena kami satu per satu harus mandi dan ikut makan malam bersama di asrama.

Ketika aku bekerja kantoran, OB di kantorku, Pak Mar, pintar membuat teh manis. Jika Pak Mar tidak masuk, biasanya teh yang terhidang di meja kami kurang nikmat. Tak bisa aku menggambarkannya. Yang jelas kekentalannya kurang, dan gulanya kebanyakan menurutku. Lidahku bisa membedakan mana teh buatan Pak Mar dan mana yang bukan. Sayang, ketika aku sudah tak berkantor lagi di sana, aku dicuekin Pak Mar ketika minta teh manis. Huuu :(

Ketika menikah, ndilalah ... aku bersuamikan lelaki yang suka wedangan alias menikmati minuman hangat. Salah satu minuman hangat kesukaannya adalah teh. Tapi kali ini aku belajar membedakan mana teh yang enak dan mana yang sekadar memberi warna cokelat. Dulu aku tak pernah ambil pusing ketika minum teh. Tapi sekarang? Jangan tanya. Aku tahu lo, kalau teh celup merek S*** W**** itu tak enak. Harumnya juga kurang. Tak ada rasa teh yang melekat di lidah saat kita meminumnya.

Suamiku yang penikmat teh itu mengajariku bagaimana membuat teh yang enak. Tapi tetap saja aku tak bisa menyamai teh buatannya. Teh buatannya selalu yang paling pas di lidah. Dia selalu tahu seberapa banyak jumputan daun teh dan takaran gula yang pas untuk satu cangkir teh. Dan teh pilihannya pun tak pernah mengecewakan di lidah. Darinya aku tahu rasa teh yang sebenarnya: segar, wangi, dan ada rasa pahit di ujung lidah. Kami biasanya memilih jenis teh hijau atau teh oolong. Kadang ketika main ke Bandung, kami menyempatkan mencari teh Upet yang mudah sekali ditemui di sana. Biar hanya teh celup, teh Upet ini cukup nikmat dibandingkan teh celup lainnya. Harganya pun cukup miring jika dibandingkan teh Dilma atau teh bermerek lainnya.

Kadang aku berpikir, di Indonesia ini ada banyak sekali perkebunan teh. Tapi kenapa ya masih jarang orang Indonesia yang tahu mana teh yang enak dan mana yang biasa-biasa saja. Kita terbuai begitu saja dengan iklan-iklan teh di media massa, dan membeli teh hanya karena iklan. Padahal produk teh yang sering diiklankan di televisi itu tidak enak lo. Percayalah. Kurasa teh terbaik kita larinya ke luar negeri, diekspor. Sebenarnya tak masalah jika kita mengekspornya. Tapi kalau anak negeri sendiri jadi tak kenal teh yang enak, sayang kan?

Friday, June 26, 2009

Bagaimana Beradaptasi Atas Kesenjangan Ini?


Ada satu hal yang membuatku tidak nyaman di Jakarta ini, yaitu begitu jelasnya kesenjangan sosial terhampar di depan mata. Di sini, aku dengan mudah menjumpai mobil merek Alphard atau Jaguar yang rasanya biar sampai mati seorang buruh pabrik di Pulogadung tak akan mampu membelinya. Atau, aku akan mudah menjumpai rumah-rumah semi permanen yang tak layak huni di pinggiran rel kereta, sementara itu ada saja orang yang dengan mudahnya membangun rumah gedong bagai istana. Gumun, jan gumun tenan aku. Aku heran sekali melihat hal ini. Dan jujur, melihat hal ini kok rasanya hatiku clekit-clekit, ya? Aku tak tahu adaptasi macam apa yang harus kulihat saat melihat kesenjangan seperti itu. Menutup mata seolah-olah semua itu bukan urusanku? Menganggap biasa dan wajar-wajar saja? Menggerutu? Menuliskannya di blog?

Setiap kali keluar rumah, pemandangan yang kontras semacam itu mau tak mau harus "kunikmati". Di sini aku bisa melihat pemandangan orang yang melarat benar-benar melarat dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mati konyol. Selain itu, orang di kalangan sosial yang lebih tinggi ada yang berusaha menutup mata melihat kenyataan ini, ada yang "take for granted", ada yang berusaha naik ke tingkat sosial yang lebih tinggi dengan menjadi "social climber".

Beberapa waktu lalu aku terbengong bengong saat mendengar di radio bahwa gaji Boediono semasa menjabat sebagai Gubernur BI kabarnya mencapai 150 juta. Ya... ya... mungkin itu jumlah wajar mengingat kapasitas dan posisinya. Tapi tetap saja, aku tak habis pikir, gaji segitu tiap bulan buat apa saja ya? Buat beli rumah tiap bulan sih rasanya mampu lo. Padahal para buruh itu harus berdemo di bawah terik matahari hanya untuk memperjuangkan UMR yang jumlahnya mungkin hanya dianggap "uang kecil" bagi beberapa petinggi perusahaan. Sementara itu, para buruh itu mungkin tak sanggup beli rumah yang cukup sehat untuk dihuni atau menyekolahkan anak mereka di sekolah yang bagus. Nah, kesenjangan semacam itu jamak terjadi di sini.

Ya ... memang, gaji seorang buruh tak bisa sama dengan gaji direkturnya. Setiap orang mendapatkan upah sesuai dengan kapasitasnya. Mungkin ada yang bilang buruh atau orang-orang kecil itu bekerja dengan hanya dengan menggunakan modal tenaga, sedangkan para manajer atau petinggi perusahaan mesti bekerja dengan menggunakan pikiran dan mereka pun bekerja keras agar perusahaannya yang menopang hajat hidup orang banyak tidak gulung tikar. Tapi kurasa, kita tak bisa mengecilkan arti pekerjaan yang dilakukan dengan hanya bermodalkan tenaga. Kalau tak percaya, cobalah untuk menarik gerobak sampah yang penuh muatan. Ciumlah bau sampah yang aduhai itu dan nikmatilah beratnya mengangkut sampah. Bagaimana? Mudahkah? Suatu pekerjaan yang menyenangkan?

Aku tak tahu bagaimana baiknya mengatasi kesenjangan sosial itu. Tapi yang kuperhatikan di sini adalah tampaknya kebanyakan orang membangun kenyamanan bagi diri mereka sendiri. Jarang sekali ada yang mengusahakan kenyamanan bersama. Dan ini memang sulit, kecuali bagi mereka yang mau melepaskan kepentingan pribadi dan punya pengaruh yang cukup besar. Pertanyaannya: Siapa yang mau melakukan hal itu?

Memang mau tak mau kita harus menerima bahwa ada orang yang berpendapatan amat banyak dan ada pula yang sangat sedikit. Tapi kurasa, orang-orang kecil yang berpenghasilan minim itu berhak memperoleh akses untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik. Masalahnya kan, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik di Indonesia ini adalah barang mewah. Lha wong berobat ke dokter umum untuk sakit flu, kita harus menyiapkan uang minimal 100 ribu, lo. (Aku bahkan pernah "dikemplang" oleh sebuah apotik yang merangkap klinik di dekat tempat tinggalku untuk terpaksa mengeluarkan uang sebanyak 300 ribu lebih hanya untuk berobat sakit flu! Huh!) Coba pikir, jika seorang buruh yang katakanlah gajinya 1 juta sebulan, bagaimana dia mau berobat ke dokter spesialis yang mungkin akan membuatnya merogoh kantong sampai 400 ribu? Dan uang sebanyak itu harus ia usahakan sendiri. Mau mengandalkan askeskin alias askes untuk orang-orang miskin? Belum tentu bisa lo.

Sebenarnya, aku rela membayar pajak lebih banyak, asal uang pajak itu dipakai untuk benar-benar menyejahterakan rakyat. Misalnya, dengan uang rakyat itu sekolah benar-benar gratis, jadi tak ada pungutan uang gedung dan semacamnya; semua rakyat bisa berobat gratis dan obat pun tidak mahal; dibangun perpustakaan yang bagus sehingga setiap orang bisa memperoleh informasi dan pengetahuan yang dapat membuatnya semakin utuh sebagai manusia.

Nah, teman-teman, setelah kulontarkan uneg-uneg ini ... tolong katakan padaku, adaptasi macam apa yang harus kulakukan saat melihat kesenjangan yang membuat otakku tak berhenti bertanya-tanya ini. It's always painful when I see this reality and I do nothing.

Wednesday, June 24, 2009

Kopdar

Kopdar. Kopi darat. Istilah itu mulai kukenal ketika aku mulai menulis di dunia maya. Dulu, ketika menulis, aku sama sekali tidak terbayang untuk kopdar dengan pembaca tulisanku. Soalnya nggak PD, masak sih ada yang mau membaca tulisanku? Tulisanku kan ibarat omongan orang yang ceblang-ceblung alias tidak jelas juntrungannya. Seringnya cuma curhat, dan kadang-kadang saja aku menuliskan isi pikiranku yang kurang bermutu ini. Tapi aku tetap menulis di dunia maya. Yah, daripada nggrundel tidak jelas, kan lebih baik posting tulisan to? Syukur-syukur ada yang menanggapi. Nggak ditanggapi ya tidak apa-apa. Toh aku bukan siapa-siapa.

Lalu, kapan aku mulai kopdar? Kapan ya persisnya? Aku lupa-lupa ingat. Tapi mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Mungkin nanti aku perlu konfirmasi kepda yang bersangkutan. Yang jelas, aku kopdar pertama kali dengan Donny Verdian alias DV. Singkat cerita, kami bertemu di Cafe Djendelo, lantai 2 Toga Mas Jogja. Dasar wong ndeso yang tidak pernah ke kafe, aku pun clingak-clinguk ketika pertama kali menjejakkan kaki ke sana. Waduh, nggon opo to iki? (Waduh, tempat apa to ini?) pikirku. Lha biasanya aku kalau keluar makan ya ke tempat makan biasa, je. Nggak pernah aku ke tempat yang berjenis kafe seperti itu. Dan aku waktu itu juga tidak tahu DV itu seperti apa sosoknya. Tapi setelah celingak-celinguk beberapa saat, akhirnya aku bertemu juga dengan DV. Oh, iki to sing jenenge Donny. Kesan pertamaku: Hmmm ... kayaknya anak gaul nih! Hihihi. Aku yang waktu itu baru pulang dari kantor merasa “salah kostum” berada di situ dan bertemu dengan DV yang anak gaul. Tapi biarlah. Anggap saja ini pengalaman pertama dengan sesama penulis di dunia maya. Akhirnya kami pun ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari obrolan soal tulisan sampai pertanyaan: “Wis duwe yang po durung?” (Sudah punya pacar apa belum?) Halah!

Pulang dari kopdar itu, aku jadi mikir, “Oh, begitu to yang namanya kopdar.” Asyik juga bisa bertemu dengan teman baru dari dunia yang baru pula. Selama ini teman-temanku ya seputar teman kantor. Sebenarnya pengen juga ikut kegiatan di sana-sini. Tapi waktu itu aku masih agak-agak trauma ikut kegiatan di luar, karena sekalinya ikut, e... malah sering dapat SMS yang tidak jelas. Huh! Mending aku menghabiskan waktu untuk menulis, membaca, atau mengerjakan terjemahan. Lebih jelas. Jelas dapat duit, maksudnya! Hahaha.

Selain dengan DV, aku kopdar dengan siapa lagi? Pertama, dengan seorang teman yang sama-sama berasal dari Madiun tetapi kini bekerja di Jakarta. Sebenarnya dia teman kakakku sih, tapi waktu masih di Madiun, kami malah tidak saling kenal. Lalu beberapa waktu lalu juga kopdar dengan Bang Eben, si pemilik blog Sarimatondang yang pandai bercerita. Selain itu, Oni yang sekarang menjadi suamiku juga kukenal lewat milis penulisan dunia maya dan dilanjutkan dengan kopdar :)

Nah, kemarin waktu aku pulang ke Jogja, aku mengontak Bu Tuti Nonka. Siapa tahu kami bisa kopdar, begitu pikirku. Dan ternyata Bu Tuti bersedia menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk kopdar dengan aku! Yey! Kami janjian bertemu di Bumbu Desa, Sagan, Jogja. Awalnya aku bingung, Bumbu Desa itu mana sih? Daerah Sagan itu kan daerah yang sering aku lewati dulu. Masak aku sampai tidak tahu kalau ada tempat makan Bumbu Desa di situ? Kebangetan! Rupanya Bumbu Desa baru dibangun kira-kira setahun belakangan ini. Wooo ... jadi masuk akal kalau aku tidak terlalu ngeh. Wong setahun terakhir ini aku kan lebih banyak di Jakarta ketimbang keluyuran di Jogja. (Huuu .... Alasan!)

Hari Sabtu siang itu, aku dan suamiku meluncur ke Bumbu Desa sekitar pukul 12.30 dari rumah. Walaupun belum pernah ketemu Bu Tuti, tidak sulit mengenali beliau. Di blognya kan banyak banget fotonya, jadi sekali lihat langsung tahu deh! Hehehe. Ternyata cantik aslinya daripada yang di foto, lo! Sesampainya di sana, kulihat Bu Tuti sedang menikmati minuman yang dipesannya. Rupanya Bu Tuti juga mengundang Uda Vizon (dan istri) dan Muzda untuk ikut kopdar. Asyik juga bertemu dan mengobrol dengan teman-teman baru. Yang lebih asyik lagi, Bu Tuti waktu itu membagikan novel karyanya kepada kami yang berjudul Keberangkatan. Salut deh dengan Bu Tuti! Tulisannya sudah bertebaran di mana-mana rupanya! Tapi sebenarnya aku malu juga saat itu soalnya kami (aku dan suamiku) makannya paling lama karena mengambil lauk kebanyakan. Duuuh! Aku jadi tidak enak dengan Bu Tuti nih. Maafkan kami ya, Bu Tuti ....

Kami menghabiskan waktu di sana kira-kira sekitar 1 jam. Mendung yang menggantung di langit Jogja akhirnya menghantar kepulangan kami masing-masing.

Hmmm ... berikutnya aku kopdar dengan siapa lagi ya?

Tuesday, June 02, 2009

Bagaimana Mengatasi Kemacetan Jakarta?

Ini sebuah petikan obrolanku dengan seorang teman beberapa hari yang lalu:
T (teman): Dulu pas kamu di Jogja, perjalanan dari rumah ke kantor berapa lama?
A (aku): Yaaa, kira-kira 20-30 menit lah. Emang kenapa, Mbak?
T: Sekarang aku baru merasakan beratnya jadi komuter di Jakarta. Perjalanan naik motor dari rumah ke kantor sekitar 24 km, dan memakan waktu kira-kira 50 menit. Itu kalau berangkat pagi, dan jalanan tidak terlalu macet. Duh, mana lagi mabok hamil, kena asap motor. Capek.

Ya, ya, aku bisa paham betul beratnya jadi komuter di Jakarta. Menjadi komuter di Jakarta berarti siap menembus jalanan yang penuh polusi, macet, panas. Dan sungguh, aku tidak bisa menikmati hal seperti itu. Masih mending kalau naik bus TransJakarta, tidak terlalu kena macet dan bebas asap rokok. Tapi jangan tanya seberapa penderitaannya kalau kita harus mengantre bus itu pas jam pulang kantor ya!

Dulu, ketika masih di Jogja, aku menganggap jarak antara rumah dan kantor sudah jauuuh sekali. Waktu itu aku harus menempuh jarak kira-kira 11 km dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit. Bagiku itu jarak yang lumayan jauh dan perjalanan yang memakan waktu. Tapi sekarang, semua itu menjadi tidak ada artinya. Perjalanan selama 30 menit di Jakarta itu adalah hitungan waktu untuk jarak dekat. Jadi, kalau dulu temanku bilang, "Ah, deket kok. Cuma setengah jam paling dari sini" itu memang benar. Setengah jam di Jakarta itu dekat sekali.

Menanggapi keluhan temanku itu aku mengatakan begini, "Sebenarnya kemacetan Jakarta itu bisa diatasi dengan mudah." "Bagaimana caranya?" tanyanya. Caranya kupikir adalah membatasi penduduk Jakarta. Ini tidak bisa tidak. Bagaimanapun yang membuat macet adalah kita-kita yang ada di Jakarta ini. Jakarta sudah kebanyakan orang! Jadi, kalau setengah penduduk Jakarta ini dipindahkan ke luar Jakarta, kurasa kemacetan akan berkurang. Tentunya orang-orang itu tidak asal dipindahkan begitu saja. Perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah Jakarta dan pemerintah daerah. Kenapa orang-orang banyak yang datang ke Jakarta? Karena Jakarta identik dengan banyaknya lapangan pekerjaan. Selain itu pembangunan di Jakarta dan di daerah lain memang "njomplang", tidak seimbang. Jadi, di daerah mesti dibuka lapangan kerja seluas-luasnya agar orang-orang tidak "gembrudug" alias berbondong-bondong datang ke Jakarta.

Aku sadar, semua yang kutuliskan di atas memang cuma teori. Aku yakin sebenarnya bapak-bapak yang duduk di pemerintahan itu sudah tahu apa saja yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kota Jakarta dan daerah-daerah lain. Tapi, tahu dan melaksanakan adalah dua hal yang berbeda, kan?

Monday, June 01, 2009

Ketika Editor Bergelut dengan Naskah
(Sebuah Cerita dan Tips Singkat)


Dulu, kupikir menyunting naskah tulisan orang Indonesia akan lebih mudah daripada menyunting naskah terjemahan. Tapi ternyata sulit juga, euy! Cukup membuat aku geregetan dan bertanya-tanya, "Penulis ini mau ngomong apa sih?"

Salah seorang temanku pernah mengatakan bahwa menyunting naskah tulisan orang lokal itu susah karena "tidak ada contekannya". Hihihi. Begini maksudnya, kalau kita menyunting naskah terjemahan, kita kan sudah memegang buku aslinya. Nah, jadi kalau ada salah terjemahan, kan tinggal lihat buku aslinya. Tapi yah, masing-masing ada kesulitan dan kemudahannya.

Dan beberapa hari ini aku "ketiban sampur" untuk menyunting naskah lokal. Sebenarnya bukan serta merta ketiban sampur, soalnya aku yang minta kerjaan. Hehehe. Memang begini kalau jadi pekerja lepas, kadang-kadang aku perlu "meminta" pekerjaan dari penerbit. Selain untuk menambah jumlah angka di rekeningku, juga untuk menjaga relasi :)

Nah, kali ini aku mendapat naskah hasil tulisan penulis lokal berupa renungan. Ketika pertama kali memegang naskah setebal 90-an halaman itu dan membaca sekilas, aku membatin, "Ah, gampang nih! Paling tiga hari jadi." Tapi, wee ... jare sopo? Kata siapa tiga hari bakal kelar? Sebenarnya bisa-bisa saja, tapi itu berarti aku tidak ke pasar, tidak mencuci baju, tidak mencuci piring, tidak menyapu dan mengepel rumah. Hmmm ... seandainya bisa begitu ya? Hehehe, tapi lha wong aku ini editor lepas yang nyambi ibu rumah tangga je. Jadi, ya begitulah.

Dan ternyata naskah renungan itu membuatku merenung kenapa penulis ini sepertinya mengajak "berantem" denganku. Lho kok begitu? Iya, soalnya aku kadang harus mengernyitkan dahi karena tidak mudeng dengan apa yang dia tulis. Kadang aku pengen bertanya langsung dengan sang penulis karena sepertinya dia begitu cepat mengambil kesimpulan. Nulisnya asal! Tak jarang idenya melompat-lompat. Wah, padahal ini kan menyunting naskah, bukan mainan lompat tali. Hehehe. Jadi, aku akhirnya harus memotong kalimat-kalimat yang tidak perlu, terpaksa usul agar beberapa tulisan tidak dimuat, dan menambah kata atau kalimat supaya tulisan itu enak dibaca. Dan akhirnya ... selesailah aku menyunting naskah itu hari ini. Horrreeee!!! Aku merayakannya dengan membeli martabak manis di depan gang. Nyam! :)

Jadi, begini ya teman-teman, kalau kalian mengajukan naskah ke penerbit, tolong baca lagi tulisan kalian. Jangan menyusahkan editor ya? Hehehe. Tapi sebenarnya bagaimana sih naskah yang disenangi editor? Yang pertama, editor suka dengan naskah yang rapi. Setidaknya tidak keliru dalam menempatkan tanda baca dan spasinya cukup longgar jadi enak dibaca. Yang kedua, editor suka dengan naskah yang memuat hal-hal yang baru. Tema mungkin bisa sama dengan penulis lain, tapi tiap kepala dan kreativitas masing-masing orang kan beda-beda. Misalnya, ada banyak cerita tentang orang yang sedang jatuh cinta, tapi kisahnya sangat beragam to? Tinggal pinter-pinternya penulis mengemas tulisannya sehingga bisa menarik perhatian editor. Ketiga, kalau bisa sih penulis sudah tahu pasar tulisannya dengan jelas. Jadi, begitu diterbitkan bukunya akan langsung dijual ke pasar yang bersangkutan. Setidaknya tiga itu dulu deh. Intinya sih, curilah hati eh, perhatian editor. Selamat mencoba! :)