Tuesday, May 13, 2008

Jakarta yang Absurd (part 1)

Ini adalah hari-hari awalku di Jakarta. Rasanya jiwaku masih di Jogja. Aku selalu bangun dengan perasaan bahwa ini cuma mimpi. Biasanya aku ke Jakarta hanya untuk main atau karena ada tugas kantor. Tapi kali ini aku harus ikut suami, jadi bisa dibilang ini adalah pergi untuk memenuhi panggilan hidupku.

Aneh rasanya. Keanehan ini tidak ada hubungannya dengan relasiku dengan suami. Tapi lebih pada bagaimana aku melihat Jakarta. Beberapa waktu lalu, ketika seorang temanku yang juga pindah kerja di Jakarta mengatakan bahwa kota ini absurd, aku cuma bisa tertawa. Aku bisa membayangkan bagaimana temanku itu terseok-seok untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja di Jakarta, sementara hampir 30 tahun hidupnya tak pernah keluar dari Jogja berhati nyaman. Dia mengeluh, di kantor barunya itu dia dianggap udik. Tapi kalau aku lebih suka mengatakan ini beda kultur saja. Dan aku cuma tertawa mendengar ceritanya. Hehehe, wong dia lucu banget kalau bercerita. Penuh ekspresi dan lengkap dengan logat Jogjanya.

Tapi sekarang aku tidak bisa menertawakan dia lagi. Aku mulai menertawakan diriku dan orang-orang di sekelilingku. He, benar ... kota ini absurd. Ibarat orang, kota ini tidak punya tujuan hidup, cuma muter-muter tidak jelas; apa saja dikerjakan, tapi tak ada ujungnya kecuali ujung-ujungnya duit. Semua orang sibuk mencari duit. Dan bodohnya, orang-orang ini kalau ditanyai informasi, jawabannya tidak jelas. Misalnya begini, waktu aku mau mengisi pulsa XL extra 100 ribu, aku mendapat jawaban yang bervariasi. Dari temanku Ema, yang mau berbaik hati akan membelikannya dalam perjalanan ke kantor, dia dikasih tahu oleh penjual pulsa bahwa XL extra 100 ribu sudah tidak ada lagi di pasaran. Sudah ditarik dari peredaran! Weh la dalah ... XL kok aneh-aneh saja ya, pikirku. Masak iya sih, XL betul-betul mau menghapuskan layanan extra yang bisa sms gratis ke sesama XL itu? Biasanya kan si XL woro-woro lewat SMS ke pelanggannya. Trus, aku akhirnya pergi sendiri ke penjual pulsa di sekitar tempat tinggalku. Jawaban yang kuterima apa coba? Si Mbak yang manis penjaga gerai itu bilang bahwa sekarang XL tidak membedakan antara extra dan reguler. Nah lo! Aku jadi bertanya-tanya lagi, si XL ini maunya apa sih? Trus, aku pergi ke gerai sebelahnya, dan di situ penjualnya bilang XL extra 100 ribu harganya Rp 101.000,00. Hehehe, untungnya aku keukeuh untuk mencari pulsa XL extra 100 ribu. Kalau tidak, kena tipu deh! Padahal kalau dipikir-pikir informasi yang tidak benar itu kan dari penjual pulsa yang saben hari melayani pembeli pulsa dan hidupnya cuma berkutat di jual beli pulsa to? Ealah ....

Sekarang aku percaya dengan kata-kata temanku, bahwa orang-orang Jakarta itu bodoh. Banyak sekali yang bodoh. Mereka cuma pinter "nggambleh", jual omongan dan ujung-ujungnya duit.

4 comments:

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 6:27 AM said...

He..he..he...siapa suruh datang Jakarta...sendiri suka sendiri mau...he..he...he...(Maaf ini menertawakan diri sendiri juga loh...)

noel on 9:36 AM said...

Indikasi baru cultureshock: jadi nulas nulis blog terus hehe

Anonymous said...

Hikmah yang nggak akan lama lagi datang dari kepindahanmu ke Jakarta, kuyakin adalah peningkatan produktivitas menulismu!

Ayo nulis! Ditulis maneh!

Eny Budi Utami on 7:33 PM said...

hei, Menik...
sudah di Jakarta.. here I am.
ketemuan yuuk..