Wednesday, December 10, 2008

Jakarta si Penjual Mimpi

Aku sering terheran-heran melihat orang-orang Jakarta yang sepertinya tak kenal lelah. Suatu kali aku pulang agak larut malam, kira-kira pukul 11 malam. Saat itu jalanan masih cukup ramai. Kendaraan masih banyak. Tidak cuma satu atau dua motor saja yang lewat. Dan kebanyakan mereka jalannya kencang sekali. Trus, suatu kali pagi-pagi, kira-kira pukul 5, aku keluar rumah karena memang ada urusan yang membuatku harus berangkat pagi, jalanan sudah agak macet! Ealah ....

Aku tak tahu dari mana datangnya orang-orang itu. Dan harus diakui, Jakarta memang padat. Orang-orang sepertinya datang berbondong-bondong memenuhi kota ini, berusaha untuk mendapatkan hidup yang layak.

Aku jadi ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika aku baru lulus kuliah, rasanya aku tak tahu harus mencari pekerjaan di mana. Dan dari omong punya omong, rupanya banyak dari temanku yang akhirnya pergi ke Jakarta. Kalau tidak ke Jakarta, rasanya tidak afdol. Kurang mantap. Lagi pula, sebagai seorang lulusan S1, rasanya lowongan pekerjaan yang di daerah kurang ada yang pas. Kalaupun ada, biasanya gajinya kecil sekali. Belum lagi, jenjang kariernya ya segitu-gitu saja. Tak menarik. Ya, memang ada beberapa perusahaan atau institusi yang cukup besar, dan memberi gaji cukup menarik. Tapi sayangnya mereka jarang membuka lowongan secara terbuka. Lagi pula, dari sekian ribu sarjana, berapa banyak sih perusahaan yang bisa menampung? Karena itu, memang masuk akal jika orang banyak yang mencoba mencari peruntungan di Jakarta.

Ketika saya lulus kuliah, dengar-dengar sih gaji pertama untuk lulusan S1 sekitar 1,5 juta. Hmmm... itu adalah gaji yang cukup menggiurkan bagi seorang anak muda yang belum punya banyak pengalaman. Kalau di daerah? Belum tentu dapat gaji separuh dari itu. Lagi pula, di daerah tak banyak pilihan. Mau nego gaji berapa untuk seorang sarjana yang baru "kinyis-kinyis" keluar dari universitas? Orang yang sudah punya banyak pengalaman pun gajinya tak seberapa.

Belum lagi di saat kami kumpul-kumpul--reuni kecil-kecilan--teman-temanku yang bekerja di Jakarta itu kok kesannya sudah mapan ya? Yaaa itu bisa dilihat dari bajunya, dari handphone-nya, dari tasnya, dari cerita-cerita mereka (mulai dari bos yang hendak memberi kesempatan untuk pergi ke luar negeri sampai teman-teman sekantor mereka yang sudah mulai kredit mobil). Semua itu kan ciri-ciri kemapanan, to?

Waktu bergulir. Aku sudah bekerja di daerah selama sekitar 6 tahun, dan sekarang karena ikut suami, aku tinggal di Jakarta. Aku memilih bekerja sebagai freelancer--mengerjakan proyek terjemahan dan editan dari rumah. Beberapa teman bertanya, apakah aku tidak mau bekerja di kantor selama di Jakarta ini. Toh sudah ada pengalaman. Aku jawab tidak. Kenapa? Aku sudah puas menjadi seorang karyawati yang setiap hari harus ngantor. Dan kalau di Jakarta ini aku ngantor, berarti aku harus siap untuk "bertempur" di jalanan yang macet setiap pagi--pagi dan sore. Itu masih belum seberapa. Tahu sendiri, suasana kantor itu seperti apa: bos yang menyebalkan dan mau menang sendiri, teman kantor yang sikut-sikutan karena ingin mencapai puncak karier, gosip yang bikin kuping memerah. Hhh ... rasanya kok tidak sebanding ya dengan tenaga yang harus kukeluarkan? Toh dengan menjadi freelancer, pendapatanku nggak jelek-jelek amat kok.

Minggu kemarin temanku berkata begini, "Kalau saja aku dipindah ke Madiun, rasanya aku bakal langsung mengiyakan deh. Tanpa pikir panjang." Dia sudah bekerja sekitar 10 tahun di Jakarta raya ini. Itu berarti dia harus berangkat pagi-pagi dan pulang malam. "Capek," katanya. Tapi di ujung kalimat dia menambahkan, "Tapi kalau di Jakarta ini apa saja mudah jadi uang. Uang mudah dicari, nggak kaya di daerah."

Hmmm ... Jakarta memang benar-benar jago dalam menjual mimpi. Di sini mencari pekerjaan lebih mudah dicari, uang juga akan lebih mudah datang (tapi sekaligus lebih cepat menguap juga). "Asal kita nggak malu, apa aja bisa jadi duit di Jakarta," kata Mbak Yana, pemilik rumah yang kami kontrak ini.

Masalahnya, apakah seumur hidup kita mau mengejar duit? Percaya deh, tak akan ada puasnya jika kita terus mengejar duit. Capek! Aku sendiri bersyukur tidak dari lulus kuliah bekerja dan tinggal di Jakarta. Aku tak tahu seperti apa jadina diriku kalau aku merelakan diriku "dibentuk" oleh Jakarta. Mungkin aku akan jadi bodoh dan tanpa sadar membiarkan hidupku dikendalikan oleh "orang lain" atau "institusi yang mengaku hendak menyejahterakan karyawannya".

Thursday, December 04, 2008

Semua Kue untuk Semua Saudara dan Teman

Barangkali aku memang bukan seorang saudara yang baik: bukan keponakan yang baik, dan bukan pula cucu yang baik. Sudah beberapa bulan ini aku menebalkan telingaku dan mencoba menjawab seramah mungkin saat ditanya kapan aku berkunjung ke rumah om, tante, dan
saudara dari Bapak yang terhitung sebagai kakek di Jakarta ini.

"Kapan main ke rumah Tante? Nanti telepon saja. Trus ketemu di mana gitu yang gampang buatmu. Tante jemput deh."

"Main ya ke tempat Mbah. Begini nih ancer-ancernya bla ... bla ... bla. Gampang kan? Ya, main ya! Mbah tunggu lo."

"Mbok sempatkan main ke rumah Om. Wong sudah di Jakarta lo! Nggak terlalu jauh kan dari rumahmu?"

Yah, begitulah kira-kira ucapan saudara-saudaraku. Sebagai anak muda, kunjungilah yang tua. Lagi pula mereka itu adalah saudara-saudara saya. Bukan orang lain.

Jadi, kenapa sampai sekarang aku belum juga mengunjungi mereka? Sudah setengah tahun lebih aku di Jakarta tetapi kok rasanya tidak pernah sempat ya? Kenapa?

Soalnya ... mmm ... aku banyak kerjaan. He he he. Alasan klise. Dan sepertinya itu tidak perlu dijadikan alasan. Toh aku tidak bekerja sepanjang waktu kan?

Soalnya ... mmm ... aku tidak tahu jalan. Beberapa saudaraku tampaknya tidak keberatan untuk menjemput aku dan suamiku. Jadi, kenapa tidak segera mengangkat telepon menghubungi mereka dan meminta dijemput?

Kalau hitung-hitungan waktu, kalau aku bilang aku tidak sempat berkunjung, itu berarti aku bohong. Toh aku sempat nonton film, sempat main ke tempat teman asramaku dulu, sempat jalan-jalan bersama suami. Dan biasanya sih aku cenderung tidak menolak ajakan teman-temanku untuk main. He he he.

Relasi bentuknya macam-macam. Bisa persaudaraan, pertemanan, persahabatan. Ada saudara jauh. Ada pula teman dekat. Ada juga teman yang cuma kita kontak saat ada keperluan. (Nggak usah malu-malu mengakui, aku juga begitu kok.) Ada teman "maya" alias kita ingat saja tetapi tak pernah kita hubungi. Dan dari semua jenis relasi itu, kita sendirilah yang meletakkan seberapa banyak "hati" yang kita berikan pada relasi tersebut agar tetap hangat dan nyambung.
Kurasa kita sering "pilih kasih". Ada orang yang sering banget kita hubungi. Ada juga orang yang baru kita dengar namanya saja membuat kita mules--saking sebalnya.

Jujur saja, ada teman-teman tertentu yang menurutku bagaikan magnet. Aku dengan sukarela datang ke rumahnya walaupun jauh. Ada suatu kerinduan untuk senantiasa berkumpul dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dan teman-teman ini rasanya lebih dekat dibandingkan saudara-saudaraku (bukan saudara kandung lo!). Dengan mereka rasanya kok rasanya aku lebih nyaman ya?

Jadi, sepertinya memang betul aku bukan saudara yang baik. Dan tak jarang aku bukan teman yang baik pula. Lha buktinya hanya teman-teman atau saudara-saudara tertentu yang dengan setia kuhubungi. Dan hanya pada orang-orang tertentu pula aku senantiasa menghangatkan relasi dengan memberi sepotong hati.

Kadang aku ingin juga bisa memberikan perhatian yang seimbang pada semua teman dan saudara. Ibaratnya, semua dapat potongan kue yang sama besar. Semua senang. Semua bahagia. Tapi kok susah amat ya? Ada yang punya resepnya nggak?

Monday, December 01, 2008

Berhajat di Mana?

"Wah, kamu ini benar-benar orang kota ya!" begitu kata suamiku kemarin. Kalimat itu ia utarakan karena aku bilang, "Sebaiknya orang menggelar resepsi pernikahan itu di gedung saja. Tidak usah di rumah."
"Kenapa?" tanya suamiku.
"Merepotkan para tetangganya." Aku pun memercinci berbagai kerepotan yang harus dilakukan para tetangga jika seseorang mengadakan resepsi di rumahnya. Lalu aku dibilang orang kota seperti tadi.

Minggu kemarin tetanggaku menggelar acara resepsi pernikahan. Dan aku hanya bisa pasrah mendengar suara yang hingar bingar dari loud speaker-nya. Awalnya sih tidak terlalu mengganggu. Tapi setelah dari pukul 6 pagi sampai kira-kira selepas magrib mendengar suara yang gaduh, aku kok lama-lama terganggu juga ya.

Aku sebenarnya mengacungkan jempol buat sang pengantin dan keluarganya. Hebat betul, mereka tahan menggelar hajatan seharian. Lha kemarin pas nikahanku saja, aku capek betul lo. Padahal aku cuma didandani mulai dari pukul 7 pagi. Misa pemberkatan mulai pukul 9 dan selesai pukul 11.30. Setelah berurusan dengan pihak catatan sipil, aku mulai masuk gedung resepsi. Lalu mulailah aku duduk-berdiri, menebar senyum, bersalaman, dan berulang kali mengucapkan terima kasih kepada para tamu. Resepsi selesai pukul 15.00. Jadi, total aku stand by untuk acara pernikahan itu selama 8 jam. Itu sama lamanya dengan aku duduk ngantor seharian. Tapi kok rasanya lebih capek jadi penganten ya? Badan rasanya seperti digebuki.

Dan kalau dibandingkan dengan tetanggaku kemarin? Wah, staminaku kalah jauuuh! Di rumah tetanggaku kemarin, musik yang hingar bingar diputar mulai dari pukul 6 pagi. Lalu mulai pukul 9 sampai pukul 6 sore, para tamu masih berdatangan. Dan sepertinya pada malam hari, masih kudengar orang-orang bertamu. Itu kan seharian namanya. Gile!

Jujur saja, yang membuatku terganggu adalah pemasangan tenda di gang dan suara yang hingar bingar. Gang depan rumahku cukup sempit. Kira-kira dua meter lebarnya. Jadi, tenda yang dipasang itu benar-benar menutup jalan, bahkan pemasangannya pun masuk ke rumah tetangga di kiri, kanan, dan depannya. Sementara itu, daerah perumahan ini cukup padat. Jadi, suara obrolan biasa dari ujung gang pun bisa terdengar. Kenapa mesti memasang loud speaker yang membuat telinga budeg?

Aku tak tahu sebenarnya aku ini orang kota atau orang kampung. Delapan belas tahun aku habiskan hidupku di Madiun. Rumahku termasuk di pinggir jalan besar, jadi mungkin bisa dibilang kota kali ya? Tapi bagaimanapun Madiun toh kota kecil yang seuprit. Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jakarta raya ini. Lalu, kira-kira sebelas tahun aku tinggal di Jogja. Lima tahun pertama selama di Jogja, aku juga tinggal di asrama yang terletak di pinggir jalan besar. Sisanya aku habiskan di rumahku di kampung ujung utara Jogja sana. Kubilang kampung karena memang masih sepi. Tetangga dekatku saja cuma 4 rumah. Sekitar rumahku masih banyak tanah kosong. Dan penduduk sekitar situ masih banyak yang bertani dan beternak. Sederhana sekali.

Ketika tinggal di Dusun Krapyak di Jogja utara itu, aku merasakan bahwa duniaku berbeda sekali dengan orang-orang sekitar. Kalau aku berangkat kerja, orang-orang di situ biasanya sudah sibuk di sawah. Kadang, sepulang dari kantor aku main sampai malam. (Aku sendiri bingung, ke mana saja ya kuhabiskan waktuku sepulang kantor itu? Rasanya hampir setiap hari aku pulang pukul 7 petang dan kadang sampai pukul 8 malam, padahal jam kantorku usai pukul 4 sore.) Bisa dibilang aku pasif sekali di kegiatan kampungku. Aku hampir tak pernah bersentuhan dengan kegiatan ibu-ibu di sana. Alasannya, pertama, aku berada di luar rumah dari pukul 8 pagi sampai 7 petang. Kedua, ibu-ibu dan para pemuda di sana religius sekali. Jadi, kegiatan mereka biasanya ya seputar kegiatan keagamaan. Bahkan para pemuda yang "rewang" di resepsi pernikahan mesti menggunakan baju yang mencerminkan agama mereka. Dengan begitu, aku sepertinya tak mendapat tempat lagi. Bahkan kata abangku yang pernah ikut rapat RT, di rapat itu para bapak sembahyang dulu dan mengupas ayat-ayat kitab suci mereka selama 1 jam lebih .... (Aku tidak mengerti, kenapa setiap acara di masyarakat malah jadi acara keagamaan sih?)

Nah, ketika di Jakarta ini, aku pikir aku akan berhadapan dengan orang-orang kota yang sibuk pol. Tapi rupanya di daerahku banyak orang-orang yang sudah tua. Tampaknya mereka sering berada di rumah dan tak jarang mereka kongkow di ujung gang. Beberapa ibu bahkan gemar duduk-duduk di muka rumah sambil mengobrol.

Lagi-lagi aku merasa berbeda dengan mereka. Aku memang tinggal di rumah, tetapi aku bekerja. Jadi, bukan berarti aku cuma duduk manis di rumah saja. Editan dan terjemahan selalu menungguku dengan setia di komputer. Jadi, rasanya aku malas sekali untuk ikut "ubyang-ubyung" alias ikut kongkow dengan ibu-ibu itu. Rasanya kok itu bukan duniaku ya?

Harus kuakui, kemampuanku bersosialisasi itu rendah. Dan teman-temanku pun bisa dihitung. Kadang aku memang butuh berada bersama banyak orang. Tapi aku tak bisa lama-lama di tengah keramaian.

Jadi sebenarnya aku bingung waktu suamiku kemarin bilang aku adalah orang kota. Sepertinya aku lebih suka tinggal di kampung yang sepi dan para penduduknya tidak terlalu rese'. Ya, bolehlah kita sesekali berkumpul. Ngobrol ngalor-ngidul. (Dan yang penting tak perlu kumpul-kumpul acara RT sambil membahas masalah agama yang sepertinya lebih pas dibicarakan di rumah ibadat masing-masing.) Tapi tak usahlah mengganggu ruang privasi orang lain. Ujung-ujungnya aku mau bilang, kalau mau ngadain hajatan, di gedung aja. Idealnya, di satu kelurahan ada satu gedung serbaguna yang sewanya murah. Jadi, berjahatlah di situ. He he he.