Monday, July 28, 2008

Menjadi Petani

"Dulu waktu aku masih kecil, aku bercita-cita bekerja di depan komputer," ujar salah seorang temanku, Mira. "Ha? Nggak ada yang lebih lucu, Mir?" sahut temanku yang lain. Kami memang spontan menertawakannya. Rasanya cita-cita itu begitu polos dan yah ... lucu saja. Dia tidak ingin menjadi dokter, guru, atau presiden. Itulah sederetan profesi yang biasa diucapkan anak kecil. (Atau sebenarnya itu cita-cita yang ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya?)

Aku sendiri lupa, apa cita-citaku dulu ketika masih kecil. Yang jelas, aku tidak ingin menjadi guru seperti ayahku. Mungkin itu karena melihat murid-murid SPG yang berpraktik mengajar di SD-ku dulu, selalu dikerjai oleh teman-temanku. Dan lagi, mereka tampak grogi sekali. Jarang sekali ada yang kelihatan PD dan betul-betul pintar.

Selain itu, aku juga tak pernah bercita-cita menjadi petani--seperti Kakek. Menurutku, pekerjaan Kakek sangat berat. Setiap kali ia pulang dari sawah, aku melihat selalu saja ada tanah yang menempel, entah di kaki atau tangannya. Bajunya pun selalu kotor terkena lumpur. Aku juga tak tahu bagaimana Kakekku sanggup membiayai ayahku sekolah sampai bisa menjadi seorang guru. Yang jelas, rumah Kakek baru dibeton ketika aku sudah bekerja. Ketika aku masih kecil, rumah Kakek tampak kusam. Kurasa, Kakek memang tak memikirkan memperbaiki rumahnya.

Seingatku, aku tak pernah bercita-cita menjadi petani. Bagiku, menjadi petani itu tidak enak. Sudah pekerjaannya berat, baju yang dipakai bekerja tidak keren, harus mau kotor pula. Lagi pula, menjadi petani itu identik dengan kemiskinan. Nah, siapa yang mau?

Mungkin sebenarnya aku juga bercita-cita seperti Mira. Aku ingin bekerja di lingkungan yang bersih, mengenakan baju bagus. Jadi bekerja di depan komputer--entah sebagai apa--memang sepertinya menarik. Jauh lebih menarik daripada menjadi petani.

Barangkali itu pula yang membuat sampai sekarang nasib petani tidak membaik. Tak ada yang mau menjadi petani. Bahkan ketika alat-alat pertanian dan ilmu pertanian semakin modern, profesi petani masih tidak menarik. Walaupun kita hidup di negara agraris, rasanya aku nyaris tak pernah menjumpai anak muda yang ingin menjadi petani. Padahal, kalau tidak ada yang mau menjadi petani, kita akan makan apa?

2 comments:

Anonymous said...

Jadi, kamu mau bertani di Jakarta?
Atau mau balik ndeso dan jadi petani saja?

Sudah berisi, Bu ?

noel on 1:39 PM said...

Yoh ....

Teka-teki untuk semua:
1. Apakah petani harus tinggal di desa?
2. Apakah petani cucup lulus SD?
3. Apakah bujangan petani usia 30an bisa berpenghasilan 5 juta sebulan?
4. Jika Dian Sastro nikah sama seorang petani what d u think?
5. Mengapa agen kartu kredit (yang mati-matian cari konsumen) jarang menawari petani?
6. mengapa pekerjaan "petani" jarang ditulis di KTP (atau form registrasi rekening bank sekalipun)?
7. Jangan-jangan sebelum kita memilih berbuat sesuatu, ada ide dalam kepala kita tentang petani itu apa dan gimana?
8. Jika kita care dengan petani, apakah bukan karena kita malah telah mengesahkan status kembang kempis petani?
9. Petani itu status profesional atau status anak desa pengangguran tanpa pilihan?
10. Kita ikut salah. Yo po ra?
11. Lha terus piye?