Friday, February 20, 2009


Angkot dan Rokok

Angkot. Alat transportasi itu kini seakan sesuatu yang mau tak mau menjadi bagian dari diriku. Ya, selama tinggal di Jakarta ini, aku mau tak mau harus berteman dengan angkot. Mau tak mau? Iya, lha kalau mau beli mobil sendiri belum mampu. Mending uangnya ditabung untuk beli rumah. Lagi pula, lalu lintas di Jakarta ini terlalu semrawut. Kalaupun punya mobil sendiri, pasti biayanya akan mahal sekali. Belum bensinnya, servisnya, sopirnya, stresnya kena macet, pajaknya, dll. Wis lah, tak numpak angkot wae. Ya, sesekali naik taksi sih. Tapi sesekali saja ...

Mestinya salah satu hal yang mesti aku siapkan dari rumah ketika akan naik angkot adalah tabung oksigen. Lha? Lha iya. Tabung oksigen, plus oksigennya dong. Kalau cuma tabungnya saja, ya buat apa? Memangnya kenapa? Soalnya, ... hhh ... di dalam angkot selalu saja ada orang yang merokok. Entah sopirnya, keneknya, atau penumpangnya. Hu ... hu ... hu ... rasanya aku mau nangis dan merampas rokok yang masih kemebul di mulut si perokok itu. Kan aku jadi sesak napas :((

Aku tak tahu, apa sih yang ada di benak para perokok itu? Kenapa mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah mencuri. Mencuri opo? Ya mencuri. Mencuri hak orang lain untuk mendapatkan udara yang bersih. Wong di dalam ruangan yang sempit lo, kok ya tega-teganya merokok. Padahal tak jarang di dalam angkot itu ada ibu hamil, ada bayi, ada anak balita, ada aku (hehehe), ada orang yang sudah tua, ada orang yang kurang sehat, dll. Mestinya kami ini kan berhak menghirup udara yang bersih. E ... lha kok perokok itu tanpa minta izin langsung klepas-klepus. Opo ndak sebaiknya para perokok itu mulutnya dikareti saja? Atau diseteples? Biar kuapok, nggak merokok di tempat umum.

Aku sering merasa orang-orang yang biasa-biasa seperti aku ini tidak punya banyak pilihan--terutama dalam hal sarana publik. Aku kan sudah bayar pajak, tapi tetep saja fasilitas umum yang memadai, bersih, dan sehat, kok masih jauh di awang-awang ya? Misalnya ya soal angkot itu tadi.

Tapi yang mengherankan adalah orang-orang yang bekerja di perusahaan rokok itu kok kayaknya makmur ya? (Ini memang nggak termasuk buruh sih, yang aku maksudkan ya para karyawan dan bos-bosnya itu lo.) Salah satunya adalah temanku, yang suaminya kerja di sebuah perusahaan rokok besar. Tanpa bekerja pun, dia sudah bisa hidup enak. Fasilitas yang bagus selalu tersedia. Ini kan tidak adil sebenarnya. Berbagai kenikmatan itu kan mereka dapatkan dari laba penjualan rokok to? Dan siapa yang membeli rokok? Di antaranya ya sopir angkot dan kalangan rakyat biasa. Dan, siapa yang menikmati asap rokoknya? Ya orang-orang yang mau tak mau bersinggungan dengan para perokok. Ya aku, ya ibu-ibu hamil itu, ya anak-anak yang bapaknya perokok, ya teman-temanku yang pacarnya perokok, ya kalian yang selalu sesak napas kalau mencium asap rokok. Heran, barang tidak sehat begitu kok ya dijual to Mas? (Kalau besok punya anak, tak akan kuperbolehkan dia bekerja di perusahaan rokok, biarpun bayarannya satu milyar! Bagiku, bekerja di sana sama saja dengan ikut komplotan pencuri.)

Apa sih yang ada di pikiran para penggede perusahaan rokok itu? Membuka lapangan pekerjaan untuk para buruh? Wis to, nggak usah ndobos dan muluk-muluk. Bilang saja, cari bathi, mendapatkan laba sebanyak-banyaknya! Iya to? Biar kalian itu tetep bisa naik pesawat blebar-bleber ke sana ke mari, biar bisa menyekolahkan anak-anak kalian ke luar negeri, biar bisa hidup enak tiap hari (kalau sakit ya mampu mondok di kelas VIP, dokternya yang pinter; kalau mau beli bensin ya nggak usah mikir; kalau mau belanja ya setidaknya ke Singapore lah. Inggih nopo, mboten?) Sedikit labanya untuk menggaji ibu-ibu dan bapak-bapak yang jadi buruh pabrik. Nggak usah munafik lah .... Kalau perusahaan rokok itu bisa memberi beasiswa kepada anak-anak Indonesia, dan mereka merasa berjasa besar kepada negara ini, oh ... apa nggak malu? Wong sudah menjual racun, mendapat laba, trus menutupi kebusukan kalian itu dengan melakukan kebaikan kepada orang yang tidak mampu? Apa maksudnya to Pak, Bu? Mau jadi Robin Hood ya, Pak? Main film komedi saja deh. Nggak usah bikin dan jualan rokok.

4 comments:

imelda on 3:48 PM said...

Tidak bisa juga jika smeua yang negatif itu dihapus dari muka bumi. Selain rokok tentu saja ada "produk negatif" yang memang sengaja ditimbulkan manusia. Candu/narkotika, pelacuran produk minuman keras dll. Dengan adanya yang negatif-negatif inilah juga perekonomian bergerak toh.

Memang orang Indonesia itu harus diajarkan lagi sopan santun. Karena di negara maju, semua orang sudah tahu bahwa tidak boleh merokok di tempat umum apalagi dalam kendaraan umum. Sekali lagi mentalitas bangsa yang dipertanyakan.

Seharusnya, selain gembar-gembor akibat merokok yang dicantumkan itu, perusahaan rokok juga mengajarkan konsumennya untuk taat pada peraturan, yaitu tidak merokok di tempat publik. Yang pasti di Jepang JT (Japan Tobacco) membuat iklan rokok yang ramah lingkungan meskipun tidak bisa 100% ramah lingkungannya, paling tidak ada usaha.

EM

Anonymous said...

Itulah Jeung...
Itulah yang namanya tatanan kapitalisme modern :)

Seorang penjahat bisa mendadak dipandang sebagai pahlawan :)

Tapi ya ndak usah heran, tugas kita cuma satu kok, menyesuaikan diri untuk menjadi semakin lebih baik.

Ya, ndak ?
Wes, siap-siap buat kena asep rokok lagi ya.

Hari minggu nih, sampun sowan gereja nopo dereng ? :)

AndoRyu on 8:45 AM said...

Di Jepang perokok semakin dipersulit. Sudah ada larangan merokok ditempat umum (hrs ditempat khusus), merokok sambil berjalan, hingga pemberlakuan kartu TASPO buat orang yg ingin membeli rokok lwt vending machine.

Di lab ku sendiri keliatan koq pengaruhnya. Tahun kemaren dari seluruh 26 member lab, 5 orang adalah perokok. Ketika 4 perokok lulus, tahun ini sama sekali nggak ada perokok didalam lab. Perokok terakhir yg belum lulus, yah aku sendiri dan aku udah berenti setahun yg lalu. Alasannya klise, bokek. Apalagi pajak tembakau dinaikkan pemerintah membuat harga rokok makin mahal. Jadilah hidup berhemat. Benar kata pepatah, "Hemat pangkal sehat" hehehe....

pesan moral: bohong kalau perokok bilang nggak bisa berhenti merokok.

krismariana widyaningsih on 5:54 PM said...

@ Emiko & DV
Ya, kadang aku merasa nggak rela saja melihat bapak-bapak2 sopir angkot itu rajin merokok, sementara itu para penggede di perusahaan rokok hanya memikirkan bagaimana mendapatkan laba sebesar2nya. kalau rokok itu konsumennya orang2 yang berduit sih kali aku lebih "rela", soalnya mereka kan punya uang lebih kalau2 mereka sakit, kena kanker paru misalnya. Bisa berobat ke rumah sakit bagus, dapat dokter bagus. Lha kalau orang2 kecil itu piye? Mereka buat nyekolahin anak aja masih susah. Lha kalau sakit parah? Apa nggak ngenes? Mestinya pajak rokok itu dibuat tinggi. Anggaplah sebatang rokok harganya 20 ribu, orang kecil kan jadi mikir2 kalau merokok...

@ Yusahrizal:
Hehehe, dulu perokok juga ya? Bagus lah kalau sudah berhenti. Paling nggak duit buat rokok sekarang bisa buat beliin coklat temen2 cewek di kampus hihihi. Lumayan kan? ;))