Thursday, February 12, 2009

Dicari: Bos yang Baik

Obrolan dengan beberapa teman, kejadian belakangan ini, serta pengalamanku dulu, membuatku bertanya-tanya, seperti apa sih pemimpin yang baik itu?

Kemarin temanku bercerita soal bosnya yang menurutnya, "Sangat merepotkan. Ya, cuma itu istilah yang pas buat bos itu." Dari ceritanya sih, memang bosnya itu sangat merepotkan anak buahnya. Bosnya itu pengennya dilayani terus, dia nggak mau repot sedikit pun. Misalnya, saat anak-anak buahnya sangat sibuk dan butuh mobil untuk ngangkut barang, e ... mobil satu-satunya yang di kantornya itu malah dipakai untuk puter-puter kota untuk melihat placing barang. Padahal kalau si bos mau, dia bisa naik taxi atau melakukannya lain hari. Lagi pula, cuma si bos dan seorang asistennya yang pergi. Sementara itu, barang-barang yang mesti diantar sangat mendesak sifatnya.

Lalu ini keluhan temanku yang satu lagi. "Kok bos itu nggak mikir dulu ya sebelum menyuruh anak buahnya mengerjakan sesuatu? Mikirin strateginya dulu, kek. Nggak asal nyuruh." Ceritanya dia diminta untuk mengerjakan laporan yang segambreng. Banyak, deh! Sampai dia lembur-lembur segala. Dan pas laporannya sudah hampir selesai, bosnya dengan santai bilang, "Laporan yang itu di-pending dulu, ya!" Ugh! Temanku gondok bukan main. "Hal kaya gitu, nggak cuma terjadi sekali dua kali. Berkali-kali! Bodoh benar sih bosku." Hi hi, aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Memang sih, kedengarannya memang bodoh.

Ah, bos-bos itu memang unik. Dan satu hal yang perlu diingat, mereka juga manusia yang sebenarnya butuh ditegur jika melakukan kesalahan. Masalahnya, tidak semua anak buah punya nyali untuk menegur atasan--apalagi di budaya Jawa ini yang level rasa sungkannya masih sangat tinggi. Apalagi kalau si bos pada dasarnya tidak suka dikritik. Wah, bisa mandeg deh kariernya.

Aku pikir atasan yang baik adalah atasan yang mau membuka hati, telinga, dan mata. Membuka hati, berarti dia dituntut untuk peka dengan keadaan sekeliling. "Bos, pedulilah terhadap keadaan anak-anak buahmu itu." Membuka telinga, berarti dia bisa mendengarkan anak buahnya. Dan membuka mata, dia tidak hanya melihat apa yang hanya tampak di permukaan, tetapi juga melihat apa yang sebenarnya. Seorang bos juga dituntut untuk bisa memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Teladan yang baik itu tidak cuma si bos tidak datang terlambat ke kantor, tetapi yang penting sih aku rasa bos bisa menunjukkan integritasnya. Dengan kata lain, si bos tidak cuma bisa bicara, tetapi dia melakoni apa yang dia ucapkan. Jadi, anak buah pun bisa benar-benar respek sama dia. Dan entah kenapa, aku suka melihat atasan yang sayang sama keluarganya. Yang peduli dengan anak-anak dan pasangannya. Jangan sampai deh punya bos yang suka lirak-lirik cewek, apalagi sampai selingkuh, duh ...! Kalau punya bos yang kaya gitu, kayaknya aku nggak akan bisa respek deh sama dia.

Aku teringat cerita seorang temanku. "Saat aku dikenalkan dengan teman-teman si bos, dia tidak menunjukkan bahwa aku anak baru yang masih belajar." Nah, ini nih, bos yang asyik. Dia tidak menghalangi anak buahnya mengenal orang-orang yang berada di atasnya atau para klien yang potensial. Dengan begitu, anak buah jadi bisa berkembang juga. Bagaimanapun dikurung terus di dalam kantor dan tidak diberi jalan untuk berkembang, adalah hal yang tidak menyenangkan.

Aku sering merasa beruntung karena dengan menjadi freelancer, aku tidak lagi berhubungan langsung dengan bos-bos yang kadang memang membuat BT. Dulu sih memang dongkol kalau ada kebijakan bos yang rasanya tidak masuk akal, tetapi sekarang aku bisa tertawa ketika teman-temanku bercerita soal bos-bos mereka yang unik bin ajaib. Hi ... hi ... hi.

10 comments:

Anonymous said...

Bos juga manusia juga :)
masih banyak kekurangan tapi pastinya ounya kelebihan hehehe

krismariana widyaningsih on 6:26 PM said...

@tukang obat bersahaja:
iya sih, mereka adalah manusia biasa. tp yg saya sayangkan, kadang kelebihan yg mereka punyai bukan kelebihan dalam kapasitasnya sebagai bos hehehe.

Anonymous said...

Hehehe, hubungan bos - bawahan sebenarnya tak lebih beda dengan hubungan suami - istri.

Bedanya hanya pada kita melakukan segala sesuatu demi gaji (untuk bos - bawahan) dan kita melakukan segala sesuatu untuk suami/istri demi... aha, demi CINTAAA!!!!

Huahuahuahua...

Anonymous said...

Hahahaha....sebagai bawahan kita tak bisa memilih bos...tapi sebagai bos, kita juga tak bisa memilih bawahan.
Jadi, sama-sama memusingkannya. DV udah pinter tuh...mirip hubungan suami isteri, ada pasang surutnya.

krismariana widyaningsih on 11:01 PM said...

@ DV
Emang sih, benernya kaya hubungan suami istri...

@Edratna
Bu, sekarang saya milih bos sendiri, mau sama bos penerbit A atau B, tergantung siapa yg ngasih bayaran lebih tinggi hehehe. makanya saya keluar aja dari kerjaan lama. bosnya itu2 aja, nggak ganti2. boseeeen... hehehe. enakan freelance :)

AndoRyu on 7:16 AM said...

Lha? emangnya kalau dirumah yang jadi bos siapa nih? Apa kriterianya termasuk ngasih duit "gaji" tiap bulan? hehehehe.....

Anonymous said...

Itulah enaknya jadi bos. Dan ada peraturan tentang bos, lho. Peraturan nomor satu, bos gak pernah salah. Peraturan nomor dua, jika bos salah ingatlah peraturan nomor satu.
Salam kenal, bu. Mainlah ke blog aku untuk ketawa-ketawa....

krismariana widyaningsih on 4:33 PM said...

@ Yusahrizal:
Di rumah nggak ada bos... Yg ada cuma bendahara, minta duitnya kalau ada keperluan. Mau tiap hari juga bisa... hehehehe

@Alris:
Iya, aturan itu biar nggak dipasang sebenernya diam2 diterapkan. *jadi inget mantan bosku* hehehe

Anonymous said...

ah...andai aku seorang bos....enak ga ya jadi bos....
main ke blog rhe dong....
di http://rheifania.wordpress.com

krismariana widyaningsih on 3:49 AM said...

@ Rhe:
Jadi bos kayaknya susah2 gampang. Yg jelas, gaji emang lebih tinggi drpd anak buah. Tapi kalau kinerjanya dodol, bisa dicaci maki orang sekantor. Emang enak? Hehehe