Macet ... Macet ... Macet!
Rasanya semua orang sudah tahu jika salah satu "trade mark" Jakarta adalah kemacetan lalu lintas. Ya, betul. Kemacetan adalah hal yang sudah sangat amat biasa di sini. Bahkan aku sering menggunakan alasan ini kalau datang terlambat ke suatu tempat. Hihi ... buka kartu.
Tetapi mungkin lebih tepatnya adalah aku masih belum bisa beradaptasi dengan lalu lintas Jakarta. Aku selalu lupa bahwa ketika di Jakarta aku menggantungkan diriku pada angkot--entah itu metromini, KWK, busway, atau kereta (naik kereta baru sekali ding!). Dan ini tentu berbeda sekali jika dibandingkan ketika masih di Jogja, aku selalu naik motor ke mana-mana. Di sana, belum tentu aku naik angkot setahun sekali. Dan angkot di Jakarta ini tabiatnya macam-macam; mulai dari sebentar-sebentar ngetem sampai kebut-kebutan di jalan. Trus mereka juga tidak kebal dengan kemacetan lalu lintas (Kecuali kereta atau busway kali ya?) Dan bodohnya lagi, aku selalu lupa dengan hal itu! :p
Sederhananya sih, di Jakarta ini kita tak bisa memprediksi apa yang terjadi di jalan. Jalanan bisa macet, jalanan bisa banyak genangan (karena hujan datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan menimbulkan genangan di mana-mana), dan angkot bisa sering ngetem.
Tapi satu hal yang aku amati adalah jalanan di Jakarta ini sering penuh oleh kendaraan pribadi. Dan yang lebih menyebalkan adalah kendaraan pribadi itu paling-paling isinya cuma satu dua orang. Kadang cuma sopir aja. Dan kita yang berada di dalam kendaraan umum berjubel enggak karu-karuan. Ugh! Pengen nonjok! (Shhh! Tenaaaang ... jangan emosi dulu!)
Jadi, sebenarnya sangat masuk akal jika orang-orang yang mampu beli kendaraan pribadi akhirnya memilih untuk naik kendaraannya sendiri. Naik angkot? Oh no! Lha uang masih berlebih kok untuk beli bensin, bayar pajak kendaraan, bayar sopir, servis mobil, dll. Kalau uang cuma pas-pasan, ya nikmatilah naik kendaraan umum. Ya, nikmatilah. Semua ada hikmahnya. (Huuuu! Basi!)
Berapa orang ya yang memintaku untuk menikmati Jakarta? Rata-rata orang yang berkata kepadaku supaya menikmati Jakarta adalah orang yang tidak setiap hari mencicipi kemacetan Jakarta (biasanya sih orang yang tinggal di luar Jakarta) atau orang yang punya kendaraan sendiri. Jenis orang yang terakhir ini kan kalau macet biar dongkol masih bisa menikmati karena ia berada di dalam kendaraannya sendiri yang ber-AC, tidak berjubel dan tidak bau keringat, ada musiknya, dll. Bandingkan saja jika mereka naik kendaraan umum yang berjubel dan masih saja ada orang yang merokok. (Kadang aku pengen menempeli mulut para perokok itu dengan lakban agar tidak sembarangan klepas-klepus. Bau, tauk! Bikin sesak napas dan pusing kepala. Heran, deh, kenapa orang tidak sadar ya bahwa merokok itu merugikan? Tapi meminta orang untuk sadar ibarat meminta surga turun dengan segera. Butuh waktu dan sabaaaaar!) Aku rasa orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan kendaraan pribadi akan nangis-nangis jika harus naik kendaraan umum yang enggak karuan itu.
Aku kadang berpikir, jika saja ada kendaraan umum yang nyaman, murah, dan bisa diandalkan ketepatan waktunya, pasti orang-orang yang naik kendaraan pribadi akan meninggalkan kendaraannya di rumah. Apalagi kalau pajak kendaraan pribadi tinggi banget. Kenapa mesti beli kendaraan pribadi jika kendaraan umum sudah enak? Tapi rasanya ini masih sulit diterapkan. Soalnya tak ada political will untuk melakukannya. Apakah kita perlu usul ke pemeritah ya, bahwa kita mau kok untuk iuran seribu atau lima ribu rupiah per orang agar tercipta kendaraan umum yang nyaman, murah, dan bisa diandalkan. Tapi, kurang apa enggak ya urunan duit segitu? Dan apakah harus sampai segitunya?
Thursday, February 05, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:7:17 PM
|
Category :
curhat,
Jakarta,
kendaraan umum,
lalulintas
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
masalahnya orang Indonesia ngga bisa diatur sih. Liat aja Singapura bisa loh.
Dan pemimpin tidak berani membuat gebrakan untuk memperbaiki kendaraan umum dan DIA sendiri juga pakai kendaraan umum.
Di Jepang mobil pribadi hanya dipakai untuk week end saja.
EM
@Mbak Imel
Singapur tuh bisa diatur karena pake cakar singa. Soal tabiat orangnya sih sama aja.
Di Jepang kalo pake obil pribadi tiap hari justru makan ongkos. Udah duit bensin, parkir mahal, dll. Mending naik bus atau kereta listrik
*omongan orang yg gak punya mobil pribadi*
@ Ikkyu_san:
Iya sih, mestinya para pejabat itu naik angkot juga. jadi biar bisa ngerasain gimana merananya dioper waktu naik metromini, duduk di sebelah sopir yang terus menerus merokok, kena angin yang bertiup kenceng karena jendela bis nggak bisa ditutup. hehehe.
@ Yusahrizal:
Btw, yg kutulis itu juga omongan orang yg nggak punya mobil pribadi. kalau punya, kali nulisnya beda. hehehe.
Marah sama pemakai mobil pribadi? Lho? Mestinya marah sama pemerintah, yang nggak bisa nyediain transportasi massal yang nyaman. Lha kalau ada mobil di rumah, terus disuruh berdesak di angkot, panas, bau keringat dan rokok, ya mana orang mau ...
@ Tuti Nonka
Rasanya tidak berlebihan jk dikatakan bahwa pemerintah tumbuh bersama masyarakat. Mungkin kita2 juga yg membuat pemerintah kita jadi kurang beres.
Sepakat dengan Imel (Ikkyu San), persoalannya adalah aturan dan manusia yang diatur serta manusia yang membuat aturan itu sendiri.
Sorry, aku mungkin terbilang orang yang tidak tinggal di Jakarta dan selalu memintamu untuk menikmati Jakarta, tapi adakah kata lain selain "menikmati" supaya aku bisa tetap menghiburmu, kawan ? :)
So, nikmatilah, nikmatilah, nikmatilah...
@ DV
aku selalu mencoba menikmati njakarta, don. tp nek soal lalu lintas ki duuuh! nek awake dewe gek kesel, rasane pengen dadi polisi deh. tak tilang kuabeh! lha neng kene ki lampu bang jo gak ono gunane. wong2 nrobos lampu abang sak seneng'e dewe.angkot2 ngebut gak karuan. mobil pribadi sing isine minim uakeh buanget! dalanan kebak. huuu :(
Post a Comment