Friday, May 29, 2009
Bagaimana (Aku) Memilih Buku?
Dua kali aku menyambangi Gramedia Grand Indonesia (GI) selama sepekan ini. Mumpung sedang digelar diskon 30% untuk semua item kecuali barang elektronik.
Pertama aku datang ke sana hari Selasa tgl 26 Mei 09 lalu. Dari rumah aku sudah mengangan-angankan beberapa buku yang akan kubeli. Tidak banyak, paling tiga, begitu pikirku. Yang pertama, aku memilih buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard. Belakangan ini aku suka membaca buku sejarah. Dan dari pengalamanku, tulisan Denys Lombard ini enak dibaca, apalagi dia memang ahli sejarah. Karyanya yang sudah banyak dikenal barangkali adalah Nusa Jawa Silang Budaya, seri 1-3. Keren deh! Yang kedua, aku pengen membeli Botchan. Buku ini mengisahkan sesuatu yang tidak biasa, yaitu soal guru muda di Jepang yang memberontak terhadap "sistem" di sekolah. Sepertinya menarik, pikirku. Yang ketiga, aku pengen menambah koleksiku untuk karya-karya Astrid Lindgren. Aku sudah lama pengen membeli Karlson, Manusia Atap. Sepertinya lucu. Dan memang aku suka tulisan-tulisan Astrid Lindgren. Biasanya dia bercerita tentang kenakalan anak-anak kecil yang sama sekali tak terpikirkan olehku. Kadang memang sepertinya keterlaluan, tapi lucu aja sih.
Pas sampai di Gramedia, aku langsung mencomot tiga buku itu. Lalu, mulailah aku berkeliling-keliling. Waktu itu, aku datang sekitar pukul 14.00, jadi tidak terlalu ramai, karena masih jam kantor. Aku pikir, inilah salah satu keuntungan orang yang tidak kerja kantoran :) Tapi aku tidak boleh terlena, karena pukul 16.00 jalan Sudirman akan mulai padat dan jangan sampai terjebak kemacetan! Akhirnya aku mengambil buku anak-anak seri Detektif Daisy & Ridley berjudul Hilangnya Jenderal Jefferson dan 40 Kasus Singkat untuk Kalian Pecahkan. Sub judulnya menarik: Uji Logika dan Ketelitian Kalian! Asyik kan? Sudah lama aku tidak menemukan buku teka-teki semacam ini. Aku berkeliling lagi ke bagian buku-buku sejarah. Aku menemukan buku yang beberapa kali mencuri hatiku tapi entah kenapa urung kubeli. Judulnya: Batavia Awal Abad 20, karya H. C. C. Clockener Brousson, terbitan Masup Jakarta. Membayangkan Jakarta yang jadul sepertinya asyik!
Ada beberapa hal yang kupertimbangkan dalam memilih buku. Yang pertama adalah siapa penulisnya. Ada beberapa penulis yang karya-karyanya selalu kupilih karena aku tak pernah kecewa membaca tulisan mereka. Dua di antaranya adalah Denys Lombard dan Astrid Lingdren. Jadi, biasanya aku membeli buku-buku tulisan mereka. Biasanya lo, tidak selalu. Karena kadang aku kurang suka beberapa topiknya. Yang kedua, aku selalu melihat penerbitnya. Terus terang ada beberapa penerbit yang sudah ku-blacklist. Biasanya itu adalah penerbit yang tidak teliti dalam proses penyuntingan. Pernah aku membeli buku terbitan penerbit X (penerbit ini sekarang sudah cukup punya nama dan lumayan besar), tetapi aku hanya tahan membaca paling pol 10 halaman. Kenapa? Karena aku sering menemui salah cetak--misalnya ada huruf yang hilang. Aku sebenarnya bisa maklum jika sesekali ada huruf yang tercecer (namanya juga manusia, kadang kan ada salahnya), tetapi kalau terlalu sering? Wah, aku curiga, jangan-jangan ini naskah dari penerjemah atau penulis yang langsung dicetak begitu saja tanpa dilakukan proof. Yang ketiga, tentu saja aku melihat temanya. Kalau menarik, ya beli; kalau tidak, ya lupakan.
Kemarin aku datang lagi ke Gramedia GI. Kali ini aku datang bersama suamiku. Dan sebagian besar buku yang kali beli adalah buku-buku pilihannya. Kemarin kami membawa pulang Story of Philosophy terbitan Kanisius. Buku itu segede gaban, penuh ilustrasi yang menarik, dan cocok untuk pemula seperti aku yang pengen belajar tentang filsafat. Selain itu, kami membeli dua buku matematika untuk latihan menuju olimpiade (maklum, suamiku guru matematika), seri Detektif Daisy & Ridley lainnya terbitan Elex Media Komputindo, dan buku terbitan Masup Jakarta yang berjudul Keadaan Jakarta Tempo Doeloe.
Hmmm lumayan menguras kantong juga belanja buku. Nah, sekarang aku tergoda membaca buku-buku itu. Tapi kok kerjaanku belum selesai ya? Jadi ... terpaksa kembali ke PC! Ayo kerja lagi :D
Tuesday, May 26, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:12:20 AM
|
Category :
buku,
editor,
outsource,
pekerjaan,
tulis-menulis
|
Editor Itu Ngapain Aja Sih?
Jujur saja, aku sok tahu ketika melamar kerja menjadi editor di sebuah penerbitan di Jogja. Namanya juga pengacara--pengangguran banyak acara--tiap ada lowongan, ya sabet saja. Iseng-iseng berhadiah adalah moto yang kupegang ketika mengirimkan surat lamaran kerja plus CV. Aku lupa persyaratan apa saja yang diminta untuk jabatan editor itu. Yang jelas, aku diminta untuk menerjemahkan sebagai tes masuk.
"Apakah ada batas waktu untuk menerjemahkan?" tanyaku ketika disodori beberapa teks untuk diterjemahkan.
"Tidak ada. Yang penting, terjemahkan sebaik-baiknya. Dan boleh membawa kamus."
Okelah. Sip! Tesnya gampang, pikirku. Cuma menerjemahkan dan boleh pakai kamus. Cihuy! Kayaknya bisa pulang cepet nih.
Well, ternyata menerjemahkan naskah seuprit itu susaaah. Yang pertama, aku takut salah. Kedua, ternyata biar sudah berbekal kamus, menemukan padanan kata yang pas untuk menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia itu tidak semudah menyeruput teh hangat. Bahasa Inggrisnya sih mudeng, tapi menuliskan terjemahannya itu butuh waktu lo. Dan apalagi waktu itu yang kuterjemahkan adalah naskah renungan, jadi aku mesti membuat terjemahannya cukup enak dibaca. Kalau pas merenung tersandung tatanan kalimat yang njelimet mana enak? Waktu terus berjalan, cacing-cacing di dalam perutku sudah mulai melakukan pemberontakan. Duh!
Akhirnya setelah lima jam bergelut dengan urusan kata dan kalimat, aku menyerahkan hasil terjemahanku. Pasrah deh. Penginnya sih diterima biar tidak tiap hari lontang-lantung tidak jelas, tetapi yah, aku tahu diri. Siapa tahu sainganku lebih bagus hasil tesnya.
Dan syukurlah, aku akhirnya lulus tes dan diterima masuk sebagai editor. Eh sebentar, jadi editor itu ngapain aja sih? Aku tidak tahu apa persisnya tugasku ketika aku masuk untuk pertama kalinya. Tetapi setelah enam tahun duduk di meja dan kursi yang itu-itu saja kini aku mencoba merekonstruksi ulang (halah) apa pekerjaan editor itu.
Yang jelas, editor itu teman sejatinya adalah naskah, kalimat, kamus, ensiklopedi, internet, dan syukur-syukur penulis. Naskah dari penulis favorit biasanya ditunggu-tunggu oleh editor. Biasanya penulis favorit itu sudah jago dalam menulis--kalimatnya sudah bagus, idenya tidak melompat-lompat, dan yang paling asyik adalah jika penulis itu bisa memaparkan sesuatu yang baru dan penting dengan bahasa yang mengalir dan mudah dimengerti. Nah, untuk mengolah naskah, editor membutuhkan kamus, ensiklopedi, dan internet.
Dulu aku banyak memegang naskah terjemahan. Jadi, tidak heran jika tesku waktu itu adalah tes terjemahan. Kadang aku bisa kerja cepat, kadang lama. Kenapa bisa begitu? Kalau kerja cepat itu biasanya naskah aslinya memang mudah dan si penerjemah sudah bagus banget dalam menerjemahkan. Dan sebaliknya, aku kerjaku bisa lambat karena naskahnya memang sulit, dan kadang menemui penerjemah yang membuatku kurus mendadak karena terjemahannya yang buruk dan membuatku mau tak mau harus menerjemahkan ulang. Nangis-nangis deh kalau sudah begitu. Apalagi kalau teksnya mengandung teori tertentu atau butuh pemahaman ekstra, mau tak mau aku mesti banyak belajar dan tanya sana-sini.
Nah, untuk mengantisipasi hal-hal yang seperti di atas, editor mau tidak mau harus terus belajar. Belajar apa? Terutama sih belajar bidang yang memang sering dijumpai dalam pekerjaan. Kalau editor buku-buku rohani, misalnya, kurasa penting untuk belajar teologi, sejarah, dan filsafat. Mungkin yang dipelajari itu tidak langsung dipakai, tetapi ibarat lapangan yang luas, seorang editor mesti tahu batas-batasnya dan pengetahuan yang luas sangat penting untuk mengetahui batasan itu. Bagaimanapun, editor perlu terus belajar untuk menambah wawasan.
Editor memang kesannya selalu berada di belakang meja. Mestinya tidak begitu. Idealnya, editor itu selain jago mengutak-atik naskah, dia juga bisa menjadi seorang luwes dalam menjalin relasi dengan penulis, para outsource. Kenapa begitu? Apakah duduk di belakang meja saja tidak cukup? Kalau kurenungkan perjalananku sebagai editor dulu dan sebagai pekerja lepas sekarang, aku pikir perlu juga seorang editor untuk cukup akrab dengan penulis dan para outsource (desainer grafis, layouter, penerjemah, editor lepas, dll). Walaupun orang-orang itu tidak ikut "ngantor" dengan editor, mereka tetap perlu "diikutsertakan" dan "diuwongke" (bahasa Jawa, artinya dihargai keberadaannya). Uang alias honor saja tidak cukup lo! Bagaimanapun mereka adalah manusia biasa yang membutuhkan perhatian. Bagaimanapun hubungan yang hangat antara editor-penulis-para outsource itu sangat menguntungkan bagi editor kantoran itu sendiri.
Selain itu, editor juga dituntut untuk tahu tentang perkembangan pasar. Sering-sering berdiskusi dengan marketing dan jalan-jalan ke toko buku adalah salah satu cara untuk mengup-date tentang perkembangan buku yang ada sekarang.
Hmmmff ... capek juga menulis sepanjang ini. Rasanya segini dulu deh, kalau ada yang perlu ditanyakan atau memberi masukan, boleh lo.
Jujur saja, aku sok tahu ketika melamar kerja menjadi editor di sebuah penerbitan di Jogja. Namanya juga pengacara--pengangguran banyak acara--tiap ada lowongan, ya sabet saja. Iseng-iseng berhadiah adalah moto yang kupegang ketika mengirimkan surat lamaran kerja plus CV. Aku lupa persyaratan apa saja yang diminta untuk jabatan editor itu. Yang jelas, aku diminta untuk menerjemahkan sebagai tes masuk.
"Apakah ada batas waktu untuk menerjemahkan?" tanyaku ketika disodori beberapa teks untuk diterjemahkan.
"Tidak ada. Yang penting, terjemahkan sebaik-baiknya. Dan boleh membawa kamus."
Okelah. Sip! Tesnya gampang, pikirku. Cuma menerjemahkan dan boleh pakai kamus. Cihuy! Kayaknya bisa pulang cepet nih.
Well, ternyata menerjemahkan naskah seuprit itu susaaah. Yang pertama, aku takut salah. Kedua, ternyata biar sudah berbekal kamus, menemukan padanan kata yang pas untuk menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia itu tidak semudah menyeruput teh hangat. Bahasa Inggrisnya sih mudeng, tapi menuliskan terjemahannya itu butuh waktu lo. Dan apalagi waktu itu yang kuterjemahkan adalah naskah renungan, jadi aku mesti membuat terjemahannya cukup enak dibaca. Kalau pas merenung tersandung tatanan kalimat yang njelimet mana enak? Waktu terus berjalan, cacing-cacing di dalam perutku sudah mulai melakukan pemberontakan. Duh!
Akhirnya setelah lima jam bergelut dengan urusan kata dan kalimat, aku menyerahkan hasil terjemahanku. Pasrah deh. Penginnya sih diterima biar tidak tiap hari lontang-lantung tidak jelas, tetapi yah, aku tahu diri. Siapa tahu sainganku lebih bagus hasil tesnya.
Dan syukurlah, aku akhirnya lulus tes dan diterima masuk sebagai editor. Eh sebentar, jadi editor itu ngapain aja sih? Aku tidak tahu apa persisnya tugasku ketika aku masuk untuk pertama kalinya. Tetapi setelah enam tahun duduk di meja dan kursi yang itu-itu saja kini aku mencoba merekonstruksi ulang (halah) apa pekerjaan editor itu.
Yang jelas, editor itu teman sejatinya adalah naskah, kalimat, kamus, ensiklopedi, internet, dan syukur-syukur penulis. Naskah dari penulis favorit biasanya ditunggu-tunggu oleh editor. Biasanya penulis favorit itu sudah jago dalam menulis--kalimatnya sudah bagus, idenya tidak melompat-lompat, dan yang paling asyik adalah jika penulis itu bisa memaparkan sesuatu yang baru dan penting dengan bahasa yang mengalir dan mudah dimengerti. Nah, untuk mengolah naskah, editor membutuhkan kamus, ensiklopedi, dan internet.
Dulu aku banyak memegang naskah terjemahan. Jadi, tidak heran jika tesku waktu itu adalah tes terjemahan. Kadang aku bisa kerja cepat, kadang lama. Kenapa bisa begitu? Kalau kerja cepat itu biasanya naskah aslinya memang mudah dan si penerjemah sudah bagus banget dalam menerjemahkan. Dan sebaliknya, aku kerjaku bisa lambat karena naskahnya memang sulit, dan kadang menemui penerjemah yang membuatku kurus mendadak karena terjemahannya yang buruk dan membuatku mau tak mau harus menerjemahkan ulang. Nangis-nangis deh kalau sudah begitu. Apalagi kalau teksnya mengandung teori tertentu atau butuh pemahaman ekstra, mau tak mau aku mesti banyak belajar dan tanya sana-sini.
Nah, untuk mengantisipasi hal-hal yang seperti di atas, editor mau tidak mau harus terus belajar. Belajar apa? Terutama sih belajar bidang yang memang sering dijumpai dalam pekerjaan. Kalau editor buku-buku rohani, misalnya, kurasa penting untuk belajar teologi, sejarah, dan filsafat. Mungkin yang dipelajari itu tidak langsung dipakai, tetapi ibarat lapangan yang luas, seorang editor mesti tahu batas-batasnya dan pengetahuan yang luas sangat penting untuk mengetahui batasan itu. Bagaimanapun, editor perlu terus belajar untuk menambah wawasan.
Editor memang kesannya selalu berada di belakang meja. Mestinya tidak begitu. Idealnya, editor itu selain jago mengutak-atik naskah, dia juga bisa menjadi seorang luwes dalam menjalin relasi dengan penulis, para outsource. Kenapa begitu? Apakah duduk di belakang meja saja tidak cukup? Kalau kurenungkan perjalananku sebagai editor dulu dan sebagai pekerja lepas sekarang, aku pikir perlu juga seorang editor untuk cukup akrab dengan penulis dan para outsource (desainer grafis, layouter, penerjemah, editor lepas, dll). Walaupun orang-orang itu tidak ikut "ngantor" dengan editor, mereka tetap perlu "diikutsertakan" dan "diuwongke" (bahasa Jawa, artinya dihargai keberadaannya). Uang alias honor saja tidak cukup lo! Bagaimanapun mereka adalah manusia biasa yang membutuhkan perhatian. Bagaimanapun hubungan yang hangat antara editor-penulis-para outsource itu sangat menguntungkan bagi editor kantoran itu sendiri.
Selain itu, editor juga dituntut untuk tahu tentang perkembangan pasar. Sering-sering berdiskusi dengan marketing dan jalan-jalan ke toko buku adalah salah satu cara untuk mengup-date tentang perkembangan buku yang ada sekarang.
Hmmmff ... capek juga menulis sepanjang ini. Rasanya segini dulu deh, kalau ada yang perlu ditanyakan atau memberi masukan, boleh lo.
Thursday, May 21, 2009
Sebuah "Surga" Kecil
Tadi pagi Ibu meneleponku. Berkali-kali suara di seberang sana menanyakan kapan tepatnya aku pulang menjelang pernikahan kakakku bulan depan. Aku sih akan dengan senang hati pulang ke Jogja atau Madiun. Tapi yang membuatku malas adalah jika aku harus pergi ke Senen atau Jatinegara untuk membeli tiket. Rasanya malaaaas sekali.
Tapi pagi ini aku melongok ke blog keluarga besarku dan aku menemukan sebuah foto yang mengaduk-aduk perasaan. Cuma foto sebuah rumah kuno, tetapi setiap kali memandanginya, sepertinya ada sayap maya yang perlahan-lahan muncul di pundakku. Sayap yang menerbangkanku ke masa kecilku, surga kecilku, masa-masa remaja tak terlupakan, kenakalan-kenakalanku, tangisanku, tawa, teman-teman yang mengisi hari-hariku. Yah, di rumah itulah aku dibesarkan. Dan jika aku pulang, ke sanalah aku pergi (selain rumah Jogja, tentunya).
Dan sekarang, aku kangen sekali ....
#Foto diambil dari sini
Tadi pagi Ibu meneleponku. Berkali-kali suara di seberang sana menanyakan kapan tepatnya aku pulang menjelang pernikahan kakakku bulan depan. Aku sih akan dengan senang hati pulang ke Jogja atau Madiun. Tapi yang membuatku malas adalah jika aku harus pergi ke Senen atau Jatinegara untuk membeli tiket. Rasanya malaaaas sekali.
Tapi pagi ini aku melongok ke blog keluarga besarku dan aku menemukan sebuah foto yang mengaduk-aduk perasaan. Cuma foto sebuah rumah kuno, tetapi setiap kali memandanginya, sepertinya ada sayap maya yang perlahan-lahan muncul di pundakku. Sayap yang menerbangkanku ke masa kecilku, surga kecilku, masa-masa remaja tak terlupakan, kenakalan-kenakalanku, tangisanku, tawa, teman-teman yang mengisi hari-hariku. Yah, di rumah itulah aku dibesarkan. Dan jika aku pulang, ke sanalah aku pergi (selain rumah Jogja, tentunya).
Dan sekarang, aku kangen sekali ....
#Foto diambil dari sini
Monday, May 18, 2009
Apa yang Perlu Dipelajari Anak SD?
Tulisan ini kutulis karena beberapa hal yang kulihat, kudengar, dan kubaca beberapa waktu belakangan ini. Pertama, beberapa minggu lalu, aku ke rumah temanku dan sempat menyaksikan acara "Are You Smarter Than Fifth Grader"? Kalau tidak salah, begitu judul acaranya. Acara itu ditayangkan oleh Global TV, pembawa acaranya Tantowi Yahya. Kedua, beberapa minggu (atau hari) yang lalu, aku mendengar di I-Radio, di acara Pagi-pagi, ada pendengar yang anaknya akan ujian akhir kelas 6, menanyakan apa itu mimikri. Ternyata banyak tuh yang lupa apa itu mimikri :) Ketiga, waktu aku membaca blognya Mbak Imelda dan dia menceritakan anak sulungnya, Riku, yang tidak mau belajar di SD. Sepertinya Riku mulai merasa bosan dan menganggap sekolah tidak menarik.
Kadang aku berpikir, apakah semua pelajaran di bangku SD yang kudapat itu penting? Ya, aku ingat aku belajar tentang mimikri waktu SD. Ya, aku ingat, aku menghapal semua nama ibu kota di dunia ini--dan merasa menjadi anak paling pintar ketika bisa menghapal seluruh buku berjudul RPUL. Aku lupa apa kepanjangan RPUL itu, tetapi itu kumpulan nama-nama penting dan aku selalu tertawa ketika melihat buku itu sekarang. Tetapi, kok rasa-rasanya apa yang aku pelajari itu tidak terlalu penting bagi hidupku sekarang ya? Dan nilai-nilai bagus dari ujian di bangku sekolah dulu akhirnya hanya menjadi kebanggaan semu. Semua tak berarti apa-apa--menurutku saat ini.
Aku jadi berpikir, apa sih yang sebaiknya dipelajari di Sekolah Dasar? Begini, namanya juga Sekolah Dasar, berarti yang dipelajari di sana adalah semua hal mendasar yang bisa menjadi fondasi pembelajaran selanjutnya. Ibaratnya, Sekolah Dasar itu menumbuhkan tangan dan kaki seorang anak agar selanjutnya dia bisa melangkah dan menjulurkan tangan sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak di kemudian hari. Nah, jadi dengan kata lain, di masa SD itulah seorang anak mulai dirangsang minatnya untuk belajar--bahwa belajar itu menyenangkan dan berguna bagi kehidupannya di masa depan.
Aku masih ingat, belajar di masa sekolah dulu rasanya kok kurang menyenangkan ya? Buku yang dipakai adalah buku-buku diktat yang bahasanya kaku, tidak mengalir. Dan yang menyebalkan, semua itu harus dihapal supaya bisa mendapat nilai bagus. Ugh! Capek deh. Akibatnya ketika melihat tumpukan buku diktat, mulai deh muncul rasa malasku. Padahal sekarang ini, ketika aku sudah sebesar dan setua ini, buku pelajaran atau buku yang memuat pengetahuan itu bisa dibuat lebih menarik dan menyenangkan lo! Di toko-toko buku sekarang mulai banyak komik tentang fisika, kimia, matematika, dan masih banyak lagi.
Dan beberapa waktu lalu, aku menerjemahkan buku-buku anak yang sangat menarik. Buku-buku itu konsepnya cerita bergambar yang membahas air, sampah, iklim di bumi, dan masih banyak lagi. Dan sungguh, kemasan buku itu sangat menarik bagi anak-anak. Gambarnya warna-warni, dialog-dialognya tidak menggurui, dan pengetahuan yang disampaikan juga mudah dimengerti. Mudah dimengerti lo, bukan mudah dihapal.
Jadi, sekarang pertanyaan, "Are you smarter than fifth grader?" (Apakah Anda lebih pintar daripada anak kelas 5?) masih relevan? Aku rasa tidak. Lha, yang dipelajari saat kelas 5 tidak kita pakai di hidup kita sekarang kok. Dan kadang aku bertanya-tanya, apakah jangan-jangan aku hanya membuang waktu selama enam tahun untuk belajar sesuatu yang tidak penting? Duuuh ....
Aku rasa, pelajaran penting yang perlu diajarkan ketika SD adalah pelajaran bahasa, kemapuan berlogika, dan berhitung. Menurutku, ketiga hal itu adalah fondasi bagi seseorang agar bisa belajar secara mandiri. Dan yang penting lagi, semuanya diberikan secara menarik dan dalam suasana yang menyenangkan. Jadi, setiap anak tak perlu dipaksa untuk belajar. Hmm ... bagaimana menurut kalian?
Tulisan ini kutulis karena beberapa hal yang kulihat, kudengar, dan kubaca beberapa waktu belakangan ini. Pertama, beberapa minggu lalu, aku ke rumah temanku dan sempat menyaksikan acara "Are You Smarter Than Fifth Grader"? Kalau tidak salah, begitu judul acaranya. Acara itu ditayangkan oleh Global TV, pembawa acaranya Tantowi Yahya. Kedua, beberapa minggu (atau hari) yang lalu, aku mendengar di I-Radio, di acara Pagi-pagi, ada pendengar yang anaknya akan ujian akhir kelas 6, menanyakan apa itu mimikri. Ternyata banyak tuh yang lupa apa itu mimikri :) Ketiga, waktu aku membaca blognya Mbak Imelda dan dia menceritakan anak sulungnya, Riku, yang tidak mau belajar di SD. Sepertinya Riku mulai merasa bosan dan menganggap sekolah tidak menarik.
Kadang aku berpikir, apakah semua pelajaran di bangku SD yang kudapat itu penting? Ya, aku ingat aku belajar tentang mimikri waktu SD. Ya, aku ingat, aku menghapal semua nama ibu kota di dunia ini--dan merasa menjadi anak paling pintar ketika bisa menghapal seluruh buku berjudul RPUL. Aku lupa apa kepanjangan RPUL itu, tetapi itu kumpulan nama-nama penting dan aku selalu tertawa ketika melihat buku itu sekarang. Tetapi, kok rasa-rasanya apa yang aku pelajari itu tidak terlalu penting bagi hidupku sekarang ya? Dan nilai-nilai bagus dari ujian di bangku sekolah dulu akhirnya hanya menjadi kebanggaan semu. Semua tak berarti apa-apa--menurutku saat ini.
Aku jadi berpikir, apa sih yang sebaiknya dipelajari di Sekolah Dasar? Begini, namanya juga Sekolah Dasar, berarti yang dipelajari di sana adalah semua hal mendasar yang bisa menjadi fondasi pembelajaran selanjutnya. Ibaratnya, Sekolah Dasar itu menumbuhkan tangan dan kaki seorang anak agar selanjutnya dia bisa melangkah dan menjulurkan tangan sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak di kemudian hari. Nah, jadi dengan kata lain, di masa SD itulah seorang anak mulai dirangsang minatnya untuk belajar--bahwa belajar itu menyenangkan dan berguna bagi kehidupannya di masa depan.
Aku masih ingat, belajar di masa sekolah dulu rasanya kok kurang menyenangkan ya? Buku yang dipakai adalah buku-buku diktat yang bahasanya kaku, tidak mengalir. Dan yang menyebalkan, semua itu harus dihapal supaya bisa mendapat nilai bagus. Ugh! Capek deh. Akibatnya ketika melihat tumpukan buku diktat, mulai deh muncul rasa malasku. Padahal sekarang ini, ketika aku sudah sebesar dan setua ini, buku pelajaran atau buku yang memuat pengetahuan itu bisa dibuat lebih menarik dan menyenangkan lo! Di toko-toko buku sekarang mulai banyak komik tentang fisika, kimia, matematika, dan masih banyak lagi.
Dan beberapa waktu lalu, aku menerjemahkan buku-buku anak yang sangat menarik. Buku-buku itu konsepnya cerita bergambar yang membahas air, sampah, iklim di bumi, dan masih banyak lagi. Dan sungguh, kemasan buku itu sangat menarik bagi anak-anak. Gambarnya warna-warni, dialog-dialognya tidak menggurui, dan pengetahuan yang disampaikan juga mudah dimengerti. Mudah dimengerti lo, bukan mudah dihapal.
Jadi, sekarang pertanyaan, "Are you smarter than fifth grader?" (Apakah Anda lebih pintar daripada anak kelas 5?) masih relevan? Aku rasa tidak. Lha, yang dipelajari saat kelas 5 tidak kita pakai di hidup kita sekarang kok. Dan kadang aku bertanya-tanya, apakah jangan-jangan aku hanya membuang waktu selama enam tahun untuk belajar sesuatu yang tidak penting? Duuuh ....
Aku rasa, pelajaran penting yang perlu diajarkan ketika SD adalah pelajaran bahasa, kemapuan berlogika, dan berhitung. Menurutku, ketiga hal itu adalah fondasi bagi seseorang agar bisa belajar secara mandiri. Dan yang penting lagi, semuanya diberikan secara menarik dan dalam suasana yang menyenangkan. Jadi, setiap anak tak perlu dipaksa untuk belajar. Hmm ... bagaimana menurut kalian?
Sunday, May 17, 2009
Dari Sabang Sampai Merauke Ala Jakarta
Dulu waktu akan hijrah ke Jakarta, aku berpikir, wah ... kayaknya bisa nih tiap minggu muter-muter Jakarta. Nanti bulan ini ketemu si X, berikutnya ketemu si Y, bulan ini menginap di rumah Tante, bulan berikutnya ke rumah Om, trus ke rumah saudara Bapak. Lalu nanti minggu pertama misa di Katedral, lalu minggu-minggu berikutnya ke Theresia agar tetap bisa misa bahasa Inggris.
Tapiii ... tahu apa yang terjadi? Hehehe, mabok aja kalau aku muter-muter Jakarta tiap minggu. Yang jelas sih, berat di ongkos--ongkos transport dan ongkos makan. Dan kedua, kualitas transportasi di Jakarta ini bikin aku terbatuk-batuk. Polusi yang pekat selalu membuatku batuk setiap kali sampai di rumah. Belum lagi kalau mesti naik angkutan umum yang sopirnya mantan pembalap. Sepanjang jalan wusss ... wusss .... selip sini, selip sana. Atau yang lebih parah lagi adalah jika di dalam angkot ada perokok yang dengan murah hatinya memberikan asap beracun itu ke tiap paru-paru orang yang ada di dalam bus. Jadi, aku harus puas untuk misa di kapel dekat rumah yang bisa terjangkau dengan jalan kaki. Dan jangan heran kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan teman-teman atau para kerabatku. Aku masih mikir jika harus menghabiskan banyak waktu di jalanan.
Sekarang sudah setahun aku tinggal di Jakarta. Jadi, kini aku sudah tahu bahwa jika diukur dari rumahku, ke Tangerang itu ibarat melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke. Jauuuh! Depok juga ibarat ke pucuk gunung. Bekasi cukup jauh, tetapi masih bisa terjangkau dengan mudah jika naik KRL dari stasiun di depan kompleks. Bogor? Jangan ditanya.
Nah, beberapa waktu yang lalu, aku menelepon temanku. Di dalam obrolan kami, dia menceritakan bahwa suatu kali ia menghubungi seorang agen yang biasa mengurusi kontrak buku luar negeri. Dia berharap mereka bisa bertemu di Istora. Tapi ternyata mereka tak jadi bertemu. Aku lalu bertanya, "Memangnya bapak itu posisinya di mana?" Temanku menjawab, "Di Tangerang." Ealah .... Lha itu kan ibarat si bapak rumahnya di Magelang trus disuruh datang ke Kotabaru, Jogja. Ampuuun deh! Bagiku, jarak Tangerang ke Istora itu jauh. Tapi mungkin lain bagi orang yang sudah biasa pulang menempuh perjalanan sejauh itu. Aku tak tahu seberapa jauhnya, tetapi percayalah, segitu itu jauh!
Rasa-rasanya Jakarta ini kota yang paling tidak efisien. Di sini waktu terasa lebih pendek karena banyak waktu yang terbuang percuma di jalan karena kena macet. Dan jangan pernah bermimpi Jakarta tidak macet! Ya, jangan pernah. Selain itu, jarak antara satu tempat ke tempat lain itu jauh. Jadi, jangan heran jika aku terbengong-bengong ketika diberitahu bahwa seorang kawan selalu minta dijemput dari Bandara Soekarno-Hatta setiap kali tugas di Jakarta. Ampun deh! Mungkin aku bisa maklum kalau yang dijemput lebih dari lima orang. Tapi kalau yang dijemput cuma dia atau dia dan satu orang temannya? Wah, apa nggak sayang ongkos bensinnya? Padahal naik bus Damri dari bandara kan bisa? Apalagi kantor yang ia tuju tak jauh dari Terminal Rawamangun. Menurutku tidak susah deh kalau dia naik bus Damri yang jurusan Rawamangun, dan kalaupun minta dijemput di Terminal Rawamangun, itu cukup masuk akal. Lagi pula, setahuku kantornya tak memiliki sopir khusus. Dari pengalamanku, naik bus Damri cukup cepat kok (karena lewat tol) dan ongkosnya pun masih terjangkau. Daripada mesti mengganggu jam kerja rekan kerjanya dan merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos bensin mobil, kan lebih baik dia naik angkutan bandara yang memang sudah ada? Mungkin kawanku yang satu (atau dua) itu, mesti tinggal di Jakarta setidaknya 1 tahun, plus tidak manja dan ke mana-mana naik angkot, jadi biar tahu seperti apa "Sabang sampai Merauke ala Jakarta" itu.
Duh, Teman ... mikir dikit dong kalau di Jakarta!
Dulu waktu akan hijrah ke Jakarta, aku berpikir, wah ... kayaknya bisa nih tiap minggu muter-muter Jakarta. Nanti bulan ini ketemu si X, berikutnya ketemu si Y, bulan ini menginap di rumah Tante, bulan berikutnya ke rumah Om, trus ke rumah saudara Bapak. Lalu nanti minggu pertama misa di Katedral, lalu minggu-minggu berikutnya ke Theresia agar tetap bisa misa bahasa Inggris.
Tapiii ... tahu apa yang terjadi? Hehehe, mabok aja kalau aku muter-muter Jakarta tiap minggu. Yang jelas sih, berat di ongkos--ongkos transport dan ongkos makan. Dan kedua, kualitas transportasi di Jakarta ini bikin aku terbatuk-batuk. Polusi yang pekat selalu membuatku batuk setiap kali sampai di rumah. Belum lagi kalau mesti naik angkutan umum yang sopirnya mantan pembalap. Sepanjang jalan wusss ... wusss .... selip sini, selip sana. Atau yang lebih parah lagi adalah jika di dalam angkot ada perokok yang dengan murah hatinya memberikan asap beracun itu ke tiap paru-paru orang yang ada di dalam bus. Jadi, aku harus puas untuk misa di kapel dekat rumah yang bisa terjangkau dengan jalan kaki. Dan jangan heran kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan teman-teman atau para kerabatku. Aku masih mikir jika harus menghabiskan banyak waktu di jalanan.
Sekarang sudah setahun aku tinggal di Jakarta. Jadi, kini aku sudah tahu bahwa jika diukur dari rumahku, ke Tangerang itu ibarat melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke. Jauuuh! Depok juga ibarat ke pucuk gunung. Bekasi cukup jauh, tetapi masih bisa terjangkau dengan mudah jika naik KRL dari stasiun di depan kompleks. Bogor? Jangan ditanya.
Nah, beberapa waktu yang lalu, aku menelepon temanku. Di dalam obrolan kami, dia menceritakan bahwa suatu kali ia menghubungi seorang agen yang biasa mengurusi kontrak buku luar negeri. Dia berharap mereka bisa bertemu di Istora. Tapi ternyata mereka tak jadi bertemu. Aku lalu bertanya, "Memangnya bapak itu posisinya di mana?" Temanku menjawab, "Di Tangerang." Ealah .... Lha itu kan ibarat si bapak rumahnya di Magelang trus disuruh datang ke Kotabaru, Jogja. Ampuuun deh! Bagiku, jarak Tangerang ke Istora itu jauh. Tapi mungkin lain bagi orang yang sudah biasa pulang menempuh perjalanan sejauh itu. Aku tak tahu seberapa jauhnya, tetapi percayalah, segitu itu jauh!
Rasa-rasanya Jakarta ini kota yang paling tidak efisien. Di sini waktu terasa lebih pendek karena banyak waktu yang terbuang percuma di jalan karena kena macet. Dan jangan pernah bermimpi Jakarta tidak macet! Ya, jangan pernah. Selain itu, jarak antara satu tempat ke tempat lain itu jauh. Jadi, jangan heran jika aku terbengong-bengong ketika diberitahu bahwa seorang kawan selalu minta dijemput dari Bandara Soekarno-Hatta setiap kali tugas di Jakarta. Ampun deh! Mungkin aku bisa maklum kalau yang dijemput lebih dari lima orang. Tapi kalau yang dijemput cuma dia atau dia dan satu orang temannya? Wah, apa nggak sayang ongkos bensinnya? Padahal naik bus Damri dari bandara kan bisa? Apalagi kantor yang ia tuju tak jauh dari Terminal Rawamangun. Menurutku tidak susah deh kalau dia naik bus Damri yang jurusan Rawamangun, dan kalaupun minta dijemput di Terminal Rawamangun, itu cukup masuk akal. Lagi pula, setahuku kantornya tak memiliki sopir khusus. Dari pengalamanku, naik bus Damri cukup cepat kok (karena lewat tol) dan ongkosnya pun masih terjangkau. Daripada mesti mengganggu jam kerja rekan kerjanya dan merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos bensin mobil, kan lebih baik dia naik angkutan bandara yang memang sudah ada? Mungkin kawanku yang satu (atau dua) itu, mesti tinggal di Jakarta setidaknya 1 tahun, plus tidak manja dan ke mana-mana naik angkot, jadi biar tahu seperti apa "Sabang sampai Merauke ala Jakarta" itu.
Duh, Teman ... mikir dikit dong kalau di Jakarta!
Sunday, May 10, 2009
Surat Buat Calon Anakku
Hari Sabtu malam kemarin, aku dan suami mengikuti suatu acara di Kuningan. Kebetulan malam itu ada teman dari WWF, Nazla, yang membawakan materi tentang perusakan lingkungan. Dia tidak ngomong banyak, tetapi film pendek dan iklan-iklan tentang lingkungan yang dibawakannya sudah menggedor hati orang-orang yang hadir di situ. Dan jujur saja, aku tak kuasa menahan mataku yang tiba-tiba memanas karena mendadak air mataku seakan mau tumpah begitu saja. Malu dong kalau ketahuan menangis he he he.
Di sebuah film pendek berjudul What A Wonderful World (kalau tidak salah begitu judulnya), digambarkan bumi ini yang sudah mulai hancur. Ya, tentu kita tahu (tapi mungkin belum sadar) bahwa bumi yang cuma satu ini sudah mulai rusak. Di film itu ada gambar bunglon yang kebingungan saat pohon tempatnya berlabuh mulai ikut terbakar dalam kebakaran hutan. Lalu ada burung--entah apa namanya, tapi mungkin sejenis bangau kayaknya--yang bulunya menghitam karena terkena tumpahan minyak di laut. Huu... huuu... sedih deh. Tapi di bagian ujung film itu ditunjukkan suatu harapan bahwa masih saja orang yang peduli terhadap bumi yang mulai hancur ini. Bagaimanapun aku tak kuasa melihat kenyataan bahwa sebagai manusia, kita ini sudah terlalu tamak dan tidak lagi peduli akan alam.
Kadang kalau mengingat kenyataan ini, aku jadi berpikir seperti apa ya nasib anak-anak di masa depan? Aku saat ini belum memiliki anak, tetapi aku tak membayangkan jika keturunanku besok mungkin hanya bisa mendengar cerita bahwa duluuu bumi ini punya kutub utara dan kutub selatan, tetapi karena pemanasan global, semuanya itu jadi tinggal cerita. Aku tak tahu bagaimana buruknya iklim di beberapa tahun ke depan, yang jelas, saat ini aku sudah mulai merasakan betapa makin panasnya lingkungan di sekitarku. Jadi jangan heran kalau sekarang penyakit demam berdarah sudah tak lagi musiman. Selalu saja ada orang yang kena DBD. Lha wong panasnya kaya gini lo, bagaimana nyamuk nggak berkembang biak dengan penuh suka cita?
Tapi menyaksikan film dan iklan-iklan tentang lingkungan itu aku jadi pengin menulis surat kepada calon anakku, yang entah kapan akan datang ke dunia ini. Kadang aku merasa berdosa jika aku nantinya melahirkan anak ke dunia yang sudah rusak ini. Kasihan kan? Bagaimanapun dia berhak mendapatkan bumi yang bersih dan indah, tetapi hanya orang-orang di zaman sebelum dia terlalu rakus, akhirnya dia terpaksa hidup di atas bumi yang mungkin tak layak huni. Tapi begini kira-kira isi suratnya:
Nak, bagaimana kabarmu? Semoga kamu selalu sehat. Bagaimanapun Ibu selalu ingin kamu sehat.
Nak, lewat surat yang pendek ini, Ibu ingin meminta maaf. Ketika kamu belum lahir, dulu Ibu masih saja sering lupa membawa tas belanja sendiri dari rumah, sehingga akhirnya Ibu terpaksa menerima begitu saja penjual sayur yang memasukkan sayur-mayur ke dalam tas plastik. Akibatnya, tas kresek di rumah kita menumpuk banyak dan tak tahu harus dikemanakan lagi. Mungkin waktu itu Ibu berpikir, toh ini demi kepraktisan. Tetapi Ibu lupa, bahwa suatu saat nanti kamulah yang akan menanggung akibatnya. Plastik itu tak bisa terurai dan justru mencemari tanah. Ibu lupa bahwa butuh waktu 450 tahun agar plastik itu bisa terurai. Tak kaubayangkan kan bahwa barang seringkih itu butuh waktu ratusan tahun agar bisa lenyap? Maafkan Ibu ya Nak.
Nak, Ibu kadang lalai membiarkan air di bak mandi kita meluber dan lupa mematikan keran. Seharusnya saat itu Ibu ingat, bahwa suatu saat nanti, kamu pun masih membutuhkan air bersih. Tapi duh, Ibu lupa betul akan hal itu, dan membiarkan air bersih itu akhirnya terbuang percuma ke dalam saluran pembuangan. Ibu hanya berharap saat kamu besar sudah ada teknologi yang cukup canggih, yang bisa menyaring air paling kotor untuk bisa dijadikan air minum. Ah, andai saja Ibu bisa mengajakmu mengunjungi sumber air di pegunungan ya?
Nak, masih banyak kelalaian Ibu yang belum disebutkan. Maafkan Ibu ya. Karena kelalaian itu, kamu jadi tak bisa lagi menikmati bumi dengan alam yang masih bersih. Semoga kamu memiliki hati yang cukup lapang dan kamu bersama teman-temanmu bisa menyelamatkan dunia ini.
Salam,
Ibumu
Hari Sabtu malam kemarin, aku dan suami mengikuti suatu acara di Kuningan. Kebetulan malam itu ada teman dari WWF, Nazla, yang membawakan materi tentang perusakan lingkungan. Dia tidak ngomong banyak, tetapi film pendek dan iklan-iklan tentang lingkungan yang dibawakannya sudah menggedor hati orang-orang yang hadir di situ. Dan jujur saja, aku tak kuasa menahan mataku yang tiba-tiba memanas karena mendadak air mataku seakan mau tumpah begitu saja. Malu dong kalau ketahuan menangis he he he.
Di sebuah film pendek berjudul What A Wonderful World (kalau tidak salah begitu judulnya), digambarkan bumi ini yang sudah mulai hancur. Ya, tentu kita tahu (tapi mungkin belum sadar) bahwa bumi yang cuma satu ini sudah mulai rusak. Di film itu ada gambar bunglon yang kebingungan saat pohon tempatnya berlabuh mulai ikut terbakar dalam kebakaran hutan. Lalu ada burung--entah apa namanya, tapi mungkin sejenis bangau kayaknya--yang bulunya menghitam karena terkena tumpahan minyak di laut. Huu... huuu... sedih deh. Tapi di bagian ujung film itu ditunjukkan suatu harapan bahwa masih saja orang yang peduli terhadap bumi yang mulai hancur ini. Bagaimanapun aku tak kuasa melihat kenyataan bahwa sebagai manusia, kita ini sudah terlalu tamak dan tidak lagi peduli akan alam.
Kadang kalau mengingat kenyataan ini, aku jadi berpikir seperti apa ya nasib anak-anak di masa depan? Aku saat ini belum memiliki anak, tetapi aku tak membayangkan jika keturunanku besok mungkin hanya bisa mendengar cerita bahwa duluuu bumi ini punya kutub utara dan kutub selatan, tetapi karena pemanasan global, semuanya itu jadi tinggal cerita. Aku tak tahu bagaimana buruknya iklim di beberapa tahun ke depan, yang jelas, saat ini aku sudah mulai merasakan betapa makin panasnya lingkungan di sekitarku. Jadi jangan heran kalau sekarang penyakit demam berdarah sudah tak lagi musiman. Selalu saja ada orang yang kena DBD. Lha wong panasnya kaya gini lo, bagaimana nyamuk nggak berkembang biak dengan penuh suka cita?
Tapi menyaksikan film dan iklan-iklan tentang lingkungan itu aku jadi pengin menulis surat kepada calon anakku, yang entah kapan akan datang ke dunia ini. Kadang aku merasa berdosa jika aku nantinya melahirkan anak ke dunia yang sudah rusak ini. Kasihan kan? Bagaimanapun dia berhak mendapatkan bumi yang bersih dan indah, tetapi hanya orang-orang di zaman sebelum dia terlalu rakus, akhirnya dia terpaksa hidup di atas bumi yang mungkin tak layak huni. Tapi begini kira-kira isi suratnya:
Nak, bagaimana kabarmu? Semoga kamu selalu sehat. Bagaimanapun Ibu selalu ingin kamu sehat.
Nak, lewat surat yang pendek ini, Ibu ingin meminta maaf. Ketika kamu belum lahir, dulu Ibu masih saja sering lupa membawa tas belanja sendiri dari rumah, sehingga akhirnya Ibu terpaksa menerima begitu saja penjual sayur yang memasukkan sayur-mayur ke dalam tas plastik. Akibatnya, tas kresek di rumah kita menumpuk banyak dan tak tahu harus dikemanakan lagi. Mungkin waktu itu Ibu berpikir, toh ini demi kepraktisan. Tetapi Ibu lupa, bahwa suatu saat nanti kamulah yang akan menanggung akibatnya. Plastik itu tak bisa terurai dan justru mencemari tanah. Ibu lupa bahwa butuh waktu 450 tahun agar plastik itu bisa terurai. Tak kaubayangkan kan bahwa barang seringkih itu butuh waktu ratusan tahun agar bisa lenyap? Maafkan Ibu ya Nak.
Nak, Ibu kadang lalai membiarkan air di bak mandi kita meluber dan lupa mematikan keran. Seharusnya saat itu Ibu ingat, bahwa suatu saat nanti, kamu pun masih membutuhkan air bersih. Tapi duh, Ibu lupa betul akan hal itu, dan membiarkan air bersih itu akhirnya terbuang percuma ke dalam saluran pembuangan. Ibu hanya berharap saat kamu besar sudah ada teknologi yang cukup canggih, yang bisa menyaring air paling kotor untuk bisa dijadikan air minum. Ah, andai saja Ibu bisa mengajakmu mengunjungi sumber air di pegunungan ya?
Nak, masih banyak kelalaian Ibu yang belum disebutkan. Maafkan Ibu ya. Karena kelalaian itu, kamu jadi tak bisa lagi menikmati bumi dengan alam yang masih bersih. Semoga kamu memiliki hati yang cukup lapang dan kamu bersama teman-temanmu bisa menyelamatkan dunia ini.
Salam,
Ibumu
Thursday, May 07, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:10:34 PM
|
Category :
bersyukur,
gloria,
jogja,
mbah kung,
mbah putri,
pakel
|
Kangen
Rumah kakek-nenekku di Pakel, Umbulharjo, Jogja, sebenarnya salah satu rumah yang nyaman bagiku. Tapi itu duluuu. Dulu, sebelum Mbah Kung meninggal, sebelum Mbah Putri mulai sakit-sakitan, sebelum gempa di bulan Mei 2006 melibasnya habis. Masih terekam dalam ingatanku, rumah itu selalu tampak hijau. Berbagai tanaman menyapaku dengan hangat begitu aku masuk ke halaman rumah itu.
Dulu di pinggir halaman itu ada pohon jambu bol. (Duh, apa ya bahasa Indonesianya? Aku agak geli sebenarnya menyebut nama jambu itu. Hihihi) Lalu di sebelahnya ada kolam kecil. Awalnya diisi ikan lele, tapi kemudian diganti dengan ikan mas. Aku paling suka kalau kolam itu dikuras. Itu berarti aku bisa masuk dan keceh di situ sambil menangkapi ikan-ikan untuk dimasukkan ke dalam ember. Atau kadang, saat semuanya tidur siang, aku akan mengambil sepotong roti tawar dari lemari makan, lalu aku akan berlari ke pinggiran kolam itu dan memecah-mecah roti untuk dijadikan pakan ikan. Akhirnya kolam yang sudah bersih itu pun jadi kotor lagi dan sepertinya ikan-ikan di situ jadi tak berselera makan lagi. Ha ha ha.
Rumah Pakel menjadi agak kurang terurus ketika Mbah Putri mulai sakit-sakitan. Rumah itu mulai berdebu. Tanaman di halaman juga mulai berkurang. Kini, rumah itu ambruk dan belum diperbaiki lagi setelah diterjang gempa.
Jujur saja, aku merindukan rumah Pakel yang dulu. Yang masih asri dan terawat dengan baik. Tapi bagaimana mungkin aku menghadirkan rumah Pakel yang dulu? Mbah Kung dan Mbah Putri sudah meninggal. Dan sejak mereka tiada, rumah itu seperti kehilangan rohnya. Belakangan, sebelum kena gempa, rumah itu sangat tidak terurus. Apalagi sekarang, rumah itu hanya tinggal puing-puing. Tak ada yang bisa mengembalikan keceriaan rumah itu sepertinya.
Rumah Pakel mengingatkanku bahwa masa lalu kadang hanya bisa dikenang tapi tak bisa dikembalikan lagi. Bahkan ketika aku kembali mengunjungi tempat yang menyimpan masa lalu itu, semuanya sudah berubah.
Hal itu mengingatkanku akan hal lain, yaitu kenangan saat aku masih sebagai seorang karyawan biasa di sebuah penerbitan kecil di Jogja. Kadang aku kangen ikut tertawa terbahak-bahak dengan teman-teman yang suka bercanda. Kadang aku kangen mengobrol dengan teman sebelahku--mengobrolkan resep masakan sampai soal pasangan hidup hehe. Tapi itu dulu. Aku sekarang merasa semuanya berubah. Ada yang hilang. Ada yang kemudian tak bisa dibicarakan lagi--tampaknya.
Aku kangen sebenarnya. Tapi jika yang dikangeni sudah berubah, mau bagaimana lagi? Mungkin lebih baik aku merayakan saat ini--saat yang ada depan mataku. Semuanya harus disyukuri kan?
#Gambar diambil dari sini
Tuesday, May 05, 2009
Curhat ... Ujung-ujungnya?
Sejak di Jakarta ini, tak lama setelah bangun tidur aku biasanya akan menghidupkan komputer plus menghidupkan radio. Ketika suamiku sarapan dan siap-siap mau berangkat kerja, aku asyik membuka file kerjaan dan mendengarkan I-radio yang sedang siaran Pagi-pagi. Dan rasanya mendengarkan siaran Pagi-pagi itu sudah menjadi semacam "kewajiban". Penyiarnya, Rafiq dan Poetri, bener-bener konyol deh.
Nah, ceritanya dua hari ini yang dibahas soal perselingkuhan. Seru deh. Serunya karena orang-orang yang selingkuh itu ada yang telepon. Jadi bisa mendengarkan cerita mereka langsung. Seperti yang kemarin tuh, ada perempuan single yang cerita bahwa dia selama ini sudah pernah pacaran sama suami orang sampai dua kali. Dan tahu nggak, dia itu pengennya kalo dapat suami ya yang bekas suami orang gitu. Dia tidak tertarik dengan laki-laki single. Duh ... gawat!
Btw, kenapa sih orang bisa selingkuh? Rata-rata awalnya adalah curhat. Iya, curhat biasa gitulah. Tapi kali ini curhatnya ke lawan jenis alias suami atau istri orang. Nah, dari yang awalnya curhat biasa, akhirnya keterusan deh. Mulai timbul rasa simpati, pengen melindungi, pengen memberi kelegaan, trus ... trus ... akhirnya kencan berdua. Dan akhirnya, tanpa disadari akhirnya timbullah perselingkuhan.
Umur pernikahan kami baru satu tahun. Dan aku tak ingin rumah tangga kami hancur hanya gara-gara orang ketiga. So, pelajaran agar tidak curhat ke sembarang orang mesti kami perhatikan baik-baik. Begitu pula kalau ada lawan jenis yang mau curhat, mesti pintar-pintar memberi pengertian kepada orang yang bersangkutan. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Iya, kan?
Sejak di Jakarta ini, tak lama setelah bangun tidur aku biasanya akan menghidupkan komputer plus menghidupkan radio. Ketika suamiku sarapan dan siap-siap mau berangkat kerja, aku asyik membuka file kerjaan dan mendengarkan I-radio yang sedang siaran Pagi-pagi. Dan rasanya mendengarkan siaran Pagi-pagi itu sudah menjadi semacam "kewajiban". Penyiarnya, Rafiq dan Poetri, bener-bener konyol deh.
Nah, ceritanya dua hari ini yang dibahas soal perselingkuhan. Seru deh. Serunya karena orang-orang yang selingkuh itu ada yang telepon. Jadi bisa mendengarkan cerita mereka langsung. Seperti yang kemarin tuh, ada perempuan single yang cerita bahwa dia selama ini sudah pernah pacaran sama suami orang sampai dua kali. Dan tahu nggak, dia itu pengennya kalo dapat suami ya yang bekas suami orang gitu. Dia tidak tertarik dengan laki-laki single. Duh ... gawat!
Btw, kenapa sih orang bisa selingkuh? Rata-rata awalnya adalah curhat. Iya, curhat biasa gitulah. Tapi kali ini curhatnya ke lawan jenis alias suami atau istri orang. Nah, dari yang awalnya curhat biasa, akhirnya keterusan deh. Mulai timbul rasa simpati, pengen melindungi, pengen memberi kelegaan, trus ... trus ... akhirnya kencan berdua. Dan akhirnya, tanpa disadari akhirnya timbullah perselingkuhan.
Umur pernikahan kami baru satu tahun. Dan aku tak ingin rumah tangga kami hancur hanya gara-gara orang ketiga. So, pelajaran agar tidak curhat ke sembarang orang mesti kami perhatikan baik-baik. Begitu pula kalau ada lawan jenis yang mau curhat, mesti pintar-pintar memberi pengertian kepada orang yang bersangkutan. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Iya, kan?
Monday, May 04, 2009
Telaga di Tengah Kepekatan Jakarta
Di Jakarta ini, apa yang aku lakukan saat naik kendaraan umum? Sebenarnya mau baca buku, tapi kok aku selalu tergoda untuk melihat keadaan sekelilingku ya? Dan jadilah aku mengedarkan pandanganku ke mana-mana. Memperhatikan jalanan yang macet, pengendara motor yang berusaha menyalip bus, kakek yang menggoda anak kecil yang duduk di depannya, para penumpang yang sibuk dengan HP-nya, dan jangan salahkan aku kalau ikut mendengar pembicaraan orang di dekatku. Hehehe. Makanya, jangan ngomongin hal rahasia di kendaraan umum ya! Itu ibarat tayangan infotainment--hanya saja kali ini lakonnya adalah Anda atau teman Anda sendiri.
Kemarin saat aku naik bus transJakarta, aku menjumpai ada seorang bapak-bapak yang selalu sibuk dengan HP-nya. Kadang dia SMS, kadang cuma dipandangi saja tuh HP (mungkin mendengarkan musik ya?). Dan di sebelahku ada seorang mbak-mbak yang sedang asyik mengobrol memakai HP walaupun sinyalnya kurang bagus. "Besok gue mau ke ITC belanja HP. ... Apa? ... Kamu kalau ngomong yang jelas dong, sinyalnya putus-putus nih. ... Oh, iya hari ini aku sibuk banget nih. Capek."
Di sinilah, di kota inilah, di tempat hampir semua orang memiliki HP, fenomena seperti di atas bisa terjadi. Ini berbeda sekali dengan pengalaman masa kecilku waktu ikut mudik ayahku ke lereng Gunung Gajah. Nggak tahu kan Gunung Gajah di mana? Itu termasuk Kabupaten Semarang, dekat Salatiga dan Ambarawa sana. Waktu itu istilah HP rasanya belum pernah didengar deh. Dan sewaktu kami naik kendaraan umum, apa yang dilakukan para penumpang? Saling mengobrol! Apa pun bisa diperbincangkan. Mulai dari arah yang dituju, hasil panen, atau basa-basi sekadarnya. Dan obrolan di kendaraan umum itu bisa gayeng kalau kita berjumpa dengan orang yang suka mengobrol.
Tapi di sini? Sepertinya HP sudah menjadi semacam telaga di tengah hiruk-pikuk suasana jalanan dan polusi yang pekat. Orang-orang mencoba untuk lepas dari realita yang menyesakkan. Karena itulah sebuah provider GSM menawarkan internet gratisan supaya tidak mati gaya. Karena itu pula HP banyak yang menawarkan sarana untuk mendengarkan musik atau radio. Mereka menawarkan telaga yang memberi kita jarak pada realita yang pekat.
Di Jakarta ini, apa yang aku lakukan saat naik kendaraan umum? Sebenarnya mau baca buku, tapi kok aku selalu tergoda untuk melihat keadaan sekelilingku ya? Dan jadilah aku mengedarkan pandanganku ke mana-mana. Memperhatikan jalanan yang macet, pengendara motor yang berusaha menyalip bus, kakek yang menggoda anak kecil yang duduk di depannya, para penumpang yang sibuk dengan HP-nya, dan jangan salahkan aku kalau ikut mendengar pembicaraan orang di dekatku. Hehehe. Makanya, jangan ngomongin hal rahasia di kendaraan umum ya! Itu ibarat tayangan infotainment--hanya saja kali ini lakonnya adalah Anda atau teman Anda sendiri.
Kemarin saat aku naik bus transJakarta, aku menjumpai ada seorang bapak-bapak yang selalu sibuk dengan HP-nya. Kadang dia SMS, kadang cuma dipandangi saja tuh HP (mungkin mendengarkan musik ya?). Dan di sebelahku ada seorang mbak-mbak yang sedang asyik mengobrol memakai HP walaupun sinyalnya kurang bagus. "Besok gue mau ke ITC belanja HP. ... Apa? ... Kamu kalau ngomong yang jelas dong, sinyalnya putus-putus nih. ... Oh, iya hari ini aku sibuk banget nih. Capek."
Di sinilah, di kota inilah, di tempat hampir semua orang memiliki HP, fenomena seperti di atas bisa terjadi. Ini berbeda sekali dengan pengalaman masa kecilku waktu ikut mudik ayahku ke lereng Gunung Gajah. Nggak tahu kan Gunung Gajah di mana? Itu termasuk Kabupaten Semarang, dekat Salatiga dan Ambarawa sana. Waktu itu istilah HP rasanya belum pernah didengar deh. Dan sewaktu kami naik kendaraan umum, apa yang dilakukan para penumpang? Saling mengobrol! Apa pun bisa diperbincangkan. Mulai dari arah yang dituju, hasil panen, atau basa-basi sekadarnya. Dan obrolan di kendaraan umum itu bisa gayeng kalau kita berjumpa dengan orang yang suka mengobrol.
Tapi di sini? Sepertinya HP sudah menjadi semacam telaga di tengah hiruk-pikuk suasana jalanan dan polusi yang pekat. Orang-orang mencoba untuk lepas dari realita yang menyesakkan. Karena itulah sebuah provider GSM menawarkan internet gratisan supaya tidak mati gaya. Karena itu pula HP banyak yang menawarkan sarana untuk mendengarkan musik atau radio. Mereka menawarkan telaga yang memberi kita jarak pada realita yang pekat.
Subscribe to:
Posts (Atom)