Sunday, May 17, 2009

Dari Sabang Sampai Merauke Ala Jakarta

Dulu waktu akan hijrah ke Jakarta, aku berpikir, wah ... kayaknya bisa nih tiap minggu muter-muter Jakarta. Nanti bulan ini ketemu si X, berikutnya ketemu si Y, bulan ini menginap di rumah Tante, bulan berikutnya ke rumah Om, trus ke rumah saudara Bapak. Lalu nanti minggu pertama misa di Katedral, lalu minggu-minggu berikutnya ke Theresia agar tetap bisa misa bahasa Inggris.

Tapiii ... tahu apa yang terjadi? Hehehe, mabok aja kalau aku muter-muter Jakarta tiap minggu. Yang jelas sih, berat di ongkos--ongkos transport dan ongkos makan. Dan kedua, kualitas transportasi di Jakarta ini bikin aku terbatuk-batuk. Polusi yang pekat selalu membuatku batuk setiap kali sampai di rumah. Belum lagi kalau mesti naik angkutan umum yang sopirnya mantan pembalap. Sepanjang jalan wusss ... wusss .... selip sini, selip sana. Atau yang lebih parah lagi adalah jika di dalam angkot ada perokok yang dengan murah hatinya memberikan asap beracun itu ke tiap paru-paru orang yang ada di dalam bus. Jadi, aku harus puas untuk misa di kapel dekat rumah yang bisa terjangkau dengan jalan kaki. Dan jangan heran kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan teman-teman atau para kerabatku. Aku masih mikir jika harus menghabiskan banyak waktu di jalanan.

Sekarang sudah setahun aku tinggal di Jakarta. Jadi, kini aku sudah tahu bahwa jika diukur dari rumahku, ke Tangerang itu ibarat melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke. Jauuuh! Depok juga ibarat ke pucuk gunung. Bekasi cukup jauh, tetapi masih bisa terjangkau dengan mudah jika naik KRL dari stasiun di depan kompleks. Bogor? Jangan ditanya.

Nah, beberapa waktu yang lalu, aku menelepon temanku. Di dalam obrolan kami, dia menceritakan bahwa suatu kali ia menghubungi seorang agen yang biasa mengurusi kontrak buku luar negeri. Dia berharap mereka bisa bertemu di Istora. Tapi ternyata mereka tak jadi bertemu. Aku lalu bertanya, "Memangnya bapak itu posisinya di mana?" Temanku menjawab, "Di Tangerang." Ealah .... Lha itu kan ibarat si bapak rumahnya di Magelang trus disuruh datang ke Kotabaru, Jogja. Ampuuun deh! Bagiku, jarak Tangerang ke Istora itu jauh. Tapi mungkin lain bagi orang yang sudah biasa pulang menempuh perjalanan sejauh itu. Aku tak tahu seberapa jauhnya, tetapi percayalah, segitu itu jauh!

Rasa-rasanya Jakarta ini kota yang paling tidak efisien. Di sini waktu terasa lebih pendek karena banyak waktu yang terbuang percuma di jalan karena kena macet. Dan jangan pernah bermimpi Jakarta tidak macet! Ya, jangan pernah. Selain itu, jarak antara satu tempat ke tempat lain itu jauh. Jadi, jangan heran jika aku terbengong-bengong ketika diberitahu bahwa seorang kawan selalu minta dijemput dari Bandara Soekarno-Hatta setiap kali tugas di Jakarta. Ampun deh! Mungkin aku bisa maklum kalau yang dijemput lebih dari lima orang. Tapi kalau yang dijemput cuma dia atau dia dan satu orang temannya? Wah, apa nggak sayang ongkos bensinnya? Padahal naik bus Damri dari bandara kan bisa? Apalagi kantor yang ia tuju tak jauh dari Terminal Rawamangun. Menurutku tidak susah deh kalau dia naik bus Damri yang jurusan Rawamangun, dan kalaupun minta dijemput di Terminal Rawamangun, itu cukup masuk akal. Lagi pula, setahuku kantornya tak memiliki sopir khusus. Dari pengalamanku, naik bus Damri cukup cepat kok (karena lewat tol) dan ongkosnya pun masih terjangkau. Daripada mesti mengganggu jam kerja rekan kerjanya dan merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos bensin mobil, kan lebih baik dia naik angkutan bandara yang memang sudah ada? Mungkin kawanku yang satu (atau dua) itu, mesti tinggal di Jakarta setidaknya 1 tahun, plus tidak manja dan ke mana-mana naik angkot, jadi biar tahu seperti apa "Sabang sampai Merauke ala Jakarta" itu.

Duh, Teman ... mikir dikit dong kalau di Jakarta!

3 comments:

edratna on 8:53 PM said...

Aku malah suka Jakarta....diantara belantara gedung dan kemacetannya banyak sekali unsur manusia yang dapat di kupas.
Dan jika pulang malam dari kantor, menikmati keindahan lampu2nya walau dari balik bis kota yang merambat karena macet....

Tuti Nonka on 5:39 AM said...

Saya agak sering juga (nggak sering-sering banget sih) ke Jakarta untuk sesuatu urusan. Dan meskipun sama sekali nggak tahu jalan, saya sering pergi sendirian. Untuk amannya, saya biasanya pakai taksi, dan dari perusahaan tertentu (BB). Mungkin saya bernasib baik, yang jelas saya belum pernah terjebak macet sampai berjam-jam. Kalau jalan padat dan tersendat, iya sih, tapi nggak sampai mandeg grek gitu.

Memang enak hidup di Yogya. Jalan nggak ada yang macet, jadi ke tujuan manapun kita bisa memperhitungkan waktu dengan tepat. Dalam satu hari kita bisa berurusan ke berbagai tempat, karena jaraknya dekat-dekat.

Pantas, teman-teman lama saya yang tinggal di Jakarta kalau diajak ngumpul kadang pada malas, lha wong perjalanan pp bisa empat jam. Halah!

Ikkyu_san a.k.a imelda on 4:58 PM said...

saya cuma hafal daerah rumahku di selatan. Mau ketemuan teman juga di selatan paling banter di sudirman heheheh. Rumahku 10 menit dri ujung jalan sudirman sih