Sunday, May 10, 2009

Surat Buat Calon Anakku

Hari Sabtu malam kemarin, aku dan suami mengikuti suatu acara di Kuningan. Kebetulan malam itu ada teman dari WWF, Nazla, yang membawakan materi tentang perusakan lingkungan. Dia tidak ngomong banyak, tetapi film pendek dan iklan-iklan tentang lingkungan yang dibawakannya sudah menggedor hati orang-orang yang hadir di situ. Dan jujur saja, aku tak kuasa menahan mataku yang tiba-tiba memanas karena mendadak air mataku seakan mau tumpah begitu saja. Malu dong kalau ketahuan menangis he he he.

Di sebuah film pendek berjudul What A Wonderful World (kalau tidak salah begitu judulnya), digambarkan bumi ini yang sudah mulai hancur. Ya, tentu kita tahu (tapi mungkin belum sadar) bahwa bumi yang cuma satu ini sudah mulai rusak. Di film itu ada gambar bunglon yang kebingungan saat pohon tempatnya berlabuh mulai ikut terbakar dalam kebakaran hutan. Lalu ada burung--entah apa namanya, tapi mungkin sejenis bangau kayaknya--yang bulunya menghitam karena terkena tumpahan minyak di laut. Huu... huuu... sedih deh. Tapi di bagian ujung film itu ditunjukkan suatu harapan bahwa masih saja orang yang peduli terhadap bumi yang mulai hancur ini. Bagaimanapun aku tak kuasa melihat kenyataan bahwa sebagai manusia, kita ini sudah terlalu tamak dan tidak lagi peduli akan alam.

Kadang kalau mengingat kenyataan ini, aku jadi berpikir seperti apa ya nasib anak-anak di masa depan? Aku saat ini belum memiliki anak, tetapi aku tak membayangkan jika keturunanku besok mungkin hanya bisa mendengar cerita bahwa duluuu bumi ini punya kutub utara dan kutub selatan, tetapi karena pemanasan global, semuanya itu jadi tinggal cerita. Aku tak tahu bagaimana buruknya iklim di beberapa tahun ke depan, yang jelas, saat ini aku sudah mulai merasakan betapa makin panasnya lingkungan di sekitarku. Jadi jangan heran kalau sekarang penyakit demam berdarah sudah tak lagi musiman. Selalu saja ada orang yang kena DBD. Lha wong panasnya kaya gini lo, bagaimana nyamuk nggak berkembang biak dengan penuh suka cita?

Tapi menyaksikan film dan iklan-iklan tentang lingkungan itu aku jadi pengin menulis surat kepada calon anakku, yang entah kapan akan datang ke dunia ini. Kadang aku merasa berdosa jika aku nantinya melahirkan anak ke dunia yang sudah rusak ini. Kasihan kan? Bagaimanapun dia berhak mendapatkan bumi yang bersih dan indah, tetapi hanya orang-orang di zaman sebelum dia terlalu rakus, akhirnya dia terpaksa hidup di atas bumi yang mungkin tak layak huni. Tapi begini kira-kira isi suratnya:

Nak, bagaimana kabarmu? Semoga kamu selalu sehat. Bagaimanapun Ibu selalu ingin kamu sehat.

Nak, lewat surat yang pendek ini, Ibu ingin meminta maaf. Ketika kamu belum lahir, dulu Ibu masih saja sering lupa membawa tas belanja sendiri dari rumah, sehingga akhirnya Ibu terpaksa menerima begitu saja penjual sayur yang memasukkan sayur-mayur ke dalam tas plastik. Akibatnya, tas kresek di rumah kita menumpuk banyak dan tak tahu harus dikemanakan lagi. Mungkin waktu itu Ibu berpikir, toh ini demi kepraktisan. Tetapi Ibu lupa, bahwa suatu saat nanti kamulah yang akan menanggung akibatnya. Plastik itu tak bisa terurai dan justru mencemari tanah. Ibu lupa bahwa butuh waktu 450 tahun agar plastik itu bisa terurai. Tak kaubayangkan kan bahwa barang seringkih itu butuh waktu ratusan tahun agar bisa lenyap? Maafkan Ibu ya Nak.

Nak, Ibu kadang lalai membiarkan air di bak mandi kita meluber dan lupa mematikan keran. Seharusnya saat itu Ibu ingat, bahwa suatu saat nanti, kamu pun masih membutuhkan air bersih. Tapi duh, Ibu lupa betul akan hal itu, dan membiarkan air bersih itu akhirnya terbuang percuma ke dalam saluran pembuangan. Ibu hanya berharap saat kamu besar sudah ada teknologi yang cukup canggih, yang bisa menyaring air paling kotor untuk bisa dijadikan air minum. Ah, andai saja Ibu bisa mengajakmu mengunjungi sumber air di pegunungan ya?

Nak, masih banyak kelalaian Ibu yang belum disebutkan. Maafkan Ibu ya. Karena kelalaian itu, kamu jadi tak bisa lagi menikmati bumi dengan alam yang masih bersih. Semoga kamu memiliki hati yang cukup lapang dan kamu bersama teman-temanmu bisa menyelamatkan dunia ini.

Salam,
Ibumu

7 comments:

DV on 12:42 PM said...

Tulisanmu apik bgt! Aku nemuin muara tulisan sing menyentuh di surat itu.
Tapi gimanapun ketika kita dianugerahi anak nanti, jauhkan perasaan dosa.
Dia datang karena Dia :)

krismariana widyaningsih on 3:52 AM said...

@ DV
bagaimanapun aku merasa kasihan dg anak2 di masa depan. keadaan bumi ini makin buruk don. mungkin ada baiknya menjauhkan perasaan dosa, tp kita punya kewajiban utk mempertahankan kelestarian alam lo. nggak cuma pengen dan seneng2 punya anak. tp tentunya di ostrali, kamu jadi terbiasa memilah sampah kan? setidaknya lakukan sesuatu utk alam ini--demi anakmu besok don!

Tuti Nonka on 4:40 PM said...

Saya juga pernah menonton film serupa, tetapi di televisi. Memang kita sering lupa, atau lebih tepatnya tak peduli, dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan perilaku kita sendiri. Bahkan sudah berkali-kali diingatkan pun, sering kali kesadaran kita masih belum tersentuh.

Contoh tas plastik itu, misalnya. Saya selalu lupa membawanya (atau bahkan tak pernah terpikir) jika belanja. Di rumah, tas biasanya memang saya simpan (maksud saya untuk dipakai lagi), tapi karena terlalu sering membawa pulang tas, akhirnya di rumah numpuk dan tak terpakai.

Semoga kesadaran kolektif tentang lingkungan ini bisa kita bangkitkan bersama ...

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 8:24 PM said...

Hmm...sentilan bagus untukku, karena tahu dan sanggup melaksanakan terkadang masih berjarak cukup jauh...

edratna on 6:58 PM said...

Kris, tulisanmu sangat menyentuh.
Pada umumnya ortu menumpuk harta, membangun kerajaan agar anak cucu tujuh turunan tak hidup kesulitan. Tapi yang dilupakan, orang yak hanya membutuhkan harta, namun lebih berarti adalah lingkungan hidup yang sehat.

Kesadaran orang2 saat ini untuk mewariskan dunia yang sehat dan bersih bagi keturunanannya, itu yang utama. Dengan pendidikan baik, mendidik mandiri, anak akan bisa mendapatkan penghasilan dari kaki sendiri, tak perlu ortu repot2 meninggalkan harta berlebih jika dunia nya tak sehat.

krismariana widyaningsih on 4:21 PM said...

@ Tuti Nonka
Bu, sepertinya untuk Indonesia, kesadaran kolektif itu tumbuhnya bisa ratusan tahun ;) Setiap kali saya ngantri di kasir utk bayar belanjaan, tak ada barengan saya yang sama-sama membawa plastik/tas sendiri. Cuma saya sendiri yg menenteng tas sendiri dari rumah.

@ Retty Hakim
Bisa dimulai dari rumah, Mbak Retty. Paling tidak kita memilah sampah di rumah.

@ Edratna
Betul, Bu. Lingkungan kita sudah rusak. Mau punya duit segudang, tp kalau lingkungan rusak, mau makan apa? Jadi, saya rasa, kalau para orang tua itu sudah pengen punya cucu atau anak, mereka mestinya sudah melakukan sesuatu yg kongkrit utk alam :)

Ikkyu_san a.k.a imelda on 2:05 AM said...

iya selayaknya orang tua memikirkan anak cucunya lebih ke masalah lingkungan hidup daripada harta saja. Di sini kami membawa tas khusus belanja, kalau tidak bawa harus bayar extra untuk tas plastiknya. Tapi kadang memang aku perlu tas plastiknya untuk yang lain, dan tas plastik itu sedapat mungkin digunakan kembali untuk belanja, atau membuang sampah.
reduce, reuse, recycle.

EM