Sunday, March 22, 2009

Mimpi Jakarta

Aku tak tahu, dari sekian banyak orang di Indonesia, berapa banyak ya yang punya mimpi Jakarta? Mimpi Jakarta apa itu? Mimpi untuk tinggal di Jakarta? Tidak selalu begitu. Kurang lebih keinginan untuk bergaya ala orang-orang di kota besar: bisa bekerja di kantor yang ber-AC, kalau sih kantornya yang keren punya, di gedung-gedung yang tinggi, jadi kalau pas pergi sama saudara-saudara sekampung bisa ngomong begini: "Itu tuh kantorku" sambil menunjuk gedung bagus dan mereka akan melongo takjub; punya mobil bagus seperti iklan-iklan di televisi, punya rumah besar dan buagus di kompleks perumahan mewah, kalau belanja tak perlu mikirin duit karena uang tinggal metik kayak daun, kalau malam minggu bisa hangout di kafe atau mal, dan masih buanyak lagi!

Apa salahnya punya mimpi seperti itu?

Ya, setiap orang berhak punya mimpi--tak terkecuali mimpi yang aku labeli dengan "mimpi Jakarta" itu. Tapi bagaimana jika sebagian besar orang punya mimpi seperti itu? Mungkin nggak sih jika setiap kota kecil akhirnya disulap jadi Jakarta kecil? (Duh, mimpi buruk deh!)

Kota kelahiranku, Madiun, adalah sebuah kota kecil yang cukup nyaman menurutku. Tapi belakangan ini aku menjadi terbengong-bengong saat melihat ada beberapa toko kelontong besar mulai bermunculan di sana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, di kota sekecil Madiun sudah ada Giant, Carrefour, Matahari, Sri Ratu. Dan yang mengenaskan bagiku, pasar besar Madiun sudah dua kali terbakar dalam selang waktu kurang dari 5 tahun. Orang-orang kecil yang biasa kami temui di dalam pasar mau tak mau tergusur. Beberapa pedagang akhirnya berjualan di rumahnya masing-masing. Tapi coba hitung berapa kerugian yang harus diderita? Belum lagi mereka harus bersaing dengan toko-toko kelontong superbesar itu. Pasti tidak gampang dong.

Tapi balik lagi ke mimpi Jakarta tadi, aku pikir salah satu alasan Jakarta menjadi sangat padat penduduk ini adalah karena mimpi Jakarta itu tadi. Selain itu pemerintah juga setengah hati untuk benar-benar membangun daerah lain. Kabarnya 80% uang (Indonesia) beredar di Jakarta. Akibatnya ya roda ekonomi muternya ya di situ-situ saja. Trus ... trus, orang-orang muda yang potensial akhirnya tersedot ke Jakarta. (Dan tentunya tak mudah menyuruh pulang orang-orang yang sudah sekian puluh tahun bekerja di Jakarta.) Tentu mereka yang hijrah ke Jakarta tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Lha wong cari kerja di daerah lain sulitnya minta ampun kok! Lihat saja lowongan pekerjaan yang dimuat KOMPAS tiap hari Sabtu dan Minggu, rasanya 70% adalah kebutuhan kerja di Jakarta.

Rasanya belum banyak orang muda yang berani untuk membangun daerah kelahirannya sendiri. Berkarya di kota kecil memang butuh kegilaan sendiri. Itu berarti melawan arus. Aku jadi ingat kata-kata tanteku, "Masmu kan tidak tahan banting tinggal di Jakarta." Harap tahu saja, kakakku adalah orang yang memupuskan mimpi Jakartanya. Dia pulang dan akhirnya menetap di Jogja karena tak tahan bekerja di Jakarta. Dulu dia tiap hari bekerja dari pagi sampai malam, tapi gajinya tak seberapa. Tanteku menganggap dia tak tahan banting. Mungkin ada benarnya kata-kata Tante, tapi bukankah bekerja di luar Jakarta juga punya tantangan yang tidak kecil? Dan bagaimana jika setiap orang memaksakan diri untuk bertahan di Jakarta? Bagaimana nggak penuh kota ini?

Aku pikir, daerah lain berhak mendapatkan sumber daya manusia yang bagus. Hanya saja mungkin orang-orang "bagus" itu tak mendapat wadah untuk menyalurkan kemampuan mereka jika tetap bertahan di daerahnya. Sebagian alasan orang-orang yang akhirnya hijrah ke Jakarta adalah karena mereka ingin meningkatkan kemampuan, ingin maju, ingin berkembang, ingin semakin banyak pendapatannya, dan sebagainya. Tapi apa iya sih, semua itu harus di Jakarta? Kalau aku sih lebih suka bekerja dan menetap di kota kecil, lo; yang masih lapang dan polusinya tidak membuat sakit. Mungkin duitnya tak sebanyak jika di Jakarta, tapi buat apa uang banyak jika kualitas hidup buruk?

11 comments:

Anonymous said...

Nganu, Jeng...
Nek menurutku ki butuh satu gelombang generasi sing memunggungi Jakarta rame-rame...

Maksudku, kita ndak akan bisa berkembang di daerah selama uang masih berputar di Jakarta.

Aku sebagai mantan wiraswasta di Indonesia merasakan betul hal itu bahwa ada gap yang cukup jauh antara Jakarta dengan kota tempat kita tinggal. Memang ini ndak harus kita jembatani, tapi ketika kita berkembang, secara otomatis kita tetap butuh kontak Jakarta.

Mangkanya, rada susah...
Yang diperlukan penyatuan semua mimpi DAERAH dan dalam waktu yang singkat, bedol desa lah rame-rame dari Jakarta ke daerah.. selainnya itu kayaknya masih rada mustahil...

Semoga komentarku salah:)

imelda on 7:00 PM said...

meskipun jakarta adalah kota kelahiranku, aku tidak merasa bahwa jakarta itu nomor satu. Kesempatan bekerja memang mungkin banyak, tapi prosentasi mendapat kerja juga kecil.
Di jepang saja sekarang menetapkan I-turn dan U turn. U trun adalah orang daerah yang ke Tokyo dan kembali ke daerahnya utk membangun daerah. Sedangkan I Turn adalah org "kota" Tokyo yang justru memilih daerah menjadi tujuan pekerjaannya.

EM

krismariana widyaningsih on 7:22 PM said...

@ DV
Don, kalau pemerintah masih setengah hati mengembangkan daerah, ya susah juga. Kayaknya mesti bareng2. Maksudku, antara kebijakan pemerintah dan kemauan rakyat untuk tidak berbondong2 ke Jakarta, mesti bareng. Rasanya sayang banget kalau cuma Jakarta yang dibangun dan perputaran uang di situ2 saja. Indonesia kan bukan cuma Jakarta?

@ Emiko
Kayaknya kebijakan pemerintah Jepang bisa dicontoh oleh pemerintah Indonesia tuh Mbak ... ;)

AndoRyu on 3:25 AM said...

Hmmmm.. jadi ingat setiap kali buka iklan lowongan kerja selalu aja ada kalimat "able to work under pressure".

Sepertinya memang kerja dan para peraih mimpi di Jakarta (dan sekitarnya) butuh orang yg tahan banting. Wong dalam iklan lowongan kerjanya aja ditulis koq.

Anonymous said...

slam kenal ya
asyik nich postingnya

thanks

krismariana widyaningsih on 5:31 PM said...

@ Yusahrizal:
klo jadi bos mesti able to work under pressure apa able to press? :D

@ blogger senayan:
Terima kasih sudah mampir. Semoga tidak kapok :)

Anonymous said...

Apa specialnya Jakarta bos?
Kalau sekedar ingin kerja di Gedung ber Tingkat plus AC. didaerahpun bisa.

Saya setuju dengan Emiko...
Halo Emiko..Peace ah

krismariana widyaningsih on 2:40 AM said...

@ pakde
pakde, saya nggak tahu apa spesialnya jkt. saya cuma gelisah dg semakin penuhnya jkt. dan kalau bisa sih segera cabut dr kota ini secepatnya!

Anonymous said...

Terbayang kalau pulang kampung ke Madiun, mesti terbengong-bengong..lha kota kecil kok ya ada carefour. Padahal dulu saya suka jajan pecel di Pasar Becar Madiun, yang dibungkus pake daun jati.

Saya tak pernah bermimpi kerja di Jakarta, tapi setiap kali melamar, selalu disuruh mengirimnya ke Kantor Pusat Jakarta..jadilah akhirnya malah beranak pinak di Jakarta.

krismariana widyaningsih on 7:13 PM said...

@ Edratna
Iya, Bu. Sudah ada Carefour di Madiun. Tempatnya di ex terminal lama. Agak sepi sih, Bu. Tapi ya, saya ya heran. Wong Madiun kota kecil lo, kok banyak banget mal-nya.

Unknown on 3:31 AM said...

Jakarta, dibenci, tapi dicinta he he