Friday, March 13, 2009


Nostalgia



Tak terasa sudah setahun aku tidak bekerja kantoran. Ya setahun. Rasanya cepat juga. Dulu, kalau pulang kerja, aku biasanya tidak langsung pulang. Entah kenapa, aku suka berlama-lama di kantor. Tapi itu pun kalau masih ada teman. Kalau di ruanganku sudah sepi, ya aku pulang. Tapi kok ya biasanya ada saja yang masih tinggal di kantor. Dulu paling cepat aku sampai rumah pukul enam petang. Setelah jam bubaran kantor aku biasanya berlama-lama berselancar di internet, setelah itu kadang ngeluyur belanja, main ke kos teman, atau makan malam bersama temanku, Tesa.

Teman-teman seruanganku dulu anak-anak muda semua. Usia kami sebaya. Dan yang menikah baru Kak Tina, Susan, dan Aat. Yang lain sih, masih single. Ada yang pacarnya jauh (kaya aku dan Tesa dulu), ada yang nggak punya pacar, ada yang punya pacar tapi nggak jelas (hehehe, siapa ya?). Ada yang kalau bubaran kantor punya seambreg kegiatan, ada yang cuma kaya aku dan Tesa--yang isinya makan terus :D, ada yang langsung kencan sama suami atau istrinya.

Waktu itu aku bekerja rasanya tanpa beban. Belakangan, aku merasa ke kantor adalah untuk main--bersenang-senang, mengobrol dengan teman-teman dan bercanda (trus kapan kerjanya ya?). Dan lagi kami ke kantor biasanya tidak mengenakan baju seragam yang formal. Bebas rapi saja patokannya. Aku saja masih pakai ransel kok. Hampir tak ada yang dandan menor, sampai ada sekretaris.

Saat ini, kenangan yang melekat di benakku adalah kenangan saat kami biasa mengobrol di sela-sela pekerjaan. Ada yang curhat soal pacarnya yang tak pernah SMS dan menelepon, soal kegiatan di gereja, soal teman kos yang punya kebiasaan beda-beda, soal ganjelan di sana-sini. Macam-macam deh. Namanya juga hidup dan berkarya bersama, iya kan?

Hari pertama aku keluar dari pekerjaan, aku merasa agak aneh. Bayangkan selama hampir tujuh tahun aku bangun pagi tak boleh lewat dari jam 6, dan sekarang aku bisa bangun semaunya. Tak perlu ngebut naik motor menyusuri Jalan Kaliurang karena sudah hampir pukul 8.00. Tak perlu lagi risau melihat tinta merah di kartu absen karena terlambat satu detik saja. Tak perlu lagi bingung saat di gantungan baju ternyata tak ada baju yang sudah disetrika. Tak perlu sarapan buru-buru. Ah, alangkah nyamannya.

Ketika aku keluar kerja, aku pun membiasakan bekerja sendiri. Tak ada teman bicara kecuali membiarkan radio terus menyala. Awalnya aku kangen juga mengobrol dengan teman-teman di kantor. Jadi waktu itu, aku masih sering main ke kantor.

Tapi lama-lama aku sadar aku tidak lagi bagian dari mereka. Duniaku sudah agak berbeda dari mereka. Mereka pun punya dunia yang berbeda. Aku kadang tak bisa mengikuti canda mereka, karena aku tidak mengikuti keseharian mereka lagi. Ada kejadian-kejadian lucu yang terlewat dariku. Kadang aku merasa seperti berdiri dari balik pintu kaca dan aku tak bisa lagi masuk ke dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka tertawakan dan sepertinya tak ada cerita yang cukup menarik untuk kubagikan bersama mereka. Apa menariknya cerita keseharianku di atas loteng mengerjakan naskah dengan ditemani sebuah radio, suara ternak milik tetangga, dan desau rumpun bambu? Dan sekarang setelah di Jakarta, apakah cerita tentang pedagang yang bersliweran di depan rumahku cukup indah bagi mereka?

Aku juga tak lagi terlibat dengan rencana buku-buku yang harus terbit--padahal hal itu biasanya sudah menjadi bagian dari pekerjaanku sehari-hari. Sebagai editor dan penerjemah lepas, aku cuma terima naskah dari mereka dan kukerjakan di rumah. Mereka sudah terima jadi. Paling-paling aku memberi laporan saja bahwa naskah ini kekurangan dan kelebihannya begini ... begitu. Atau aku memberitahu kepada mereka bahwa penerjemah ini kurang teliti, ketikannya masih belepotan, dan sebagainya.

Dulu aku senang sekali ketika datang kiriman buku-buku dari penerbit luar negeri. Bau kertas daur ulang yang mereka pakai seolah mengajakku untuk semakin banyak menulis dan tak perlu lagi cemberut ketika membaca tulisan yang kurang menarik. Buku-buku baru itu bagaikan telaga yang menyegarkan. Aku tak pernah bosan menyusuri halaman-halaman mereka, dan berharap suatu saat kami bisa menerbitkan buku sebagus itu--atau suatu saat buku tulisanku juga bisa menjadi telaga yang menyejukkan orang lain.

Jam dan hari sudah terjalin menjadi kumpulan waktu bernama satu tahun. Sekarang aku menikmati keseharianku menjadi pekerja lepas--suatu hal yang aku cita-citakan sejak beberapa tahun yang lalu. Suka duka pasti ada. Kini aku bisa merasakan betul apa artinya kebebasan untuk tidak terlalu terikat pada satu instansi, apa artinya tidak hanya bergantung pada satu pemberi honor, apa artinya honor yang terlambat dibayarkan, dan lain-lain. Dulu aku tak terlalu menghargai apa arti sapaan terhadap orang-orang yang bekerja sama dengan kami, entah editor, penerjemah, atau penulis. Tapi aku kini mengerti bahwa sapaan pun memiliki makna yang dalam. Aku ingat, dulu aku hanya mengontak para freelancer hanya saat ada buku yang harus dikerjakan. Ah, betapa sebenarnya aku bisa melakukan yang lebih dari itu. Dan jika seorang freelancer tidak kami pakai lagi, betapa sebenarnya kami kehilangan satu mutiara. Mungkin pekerjaan mereka kurang bagus, tetapi sebagai pribadi, mereka bagaikan sumur yang tak habis ditimba. Relasi itu memudar seiring dengan buku atau naskah yang tak lagi diberikan. Betapa sebenarnya berkawan dan menjalin relasi yang hangat dengan para pekerja lepas--meskipun sudah tak lagi dipakai--bukan hal yang tabu.

Sekarang, setahun sudah berlalu. Ada kerinduan yang dalam untuk melihat penerbitan tempat kerjaku dulu menjadi lebih baik--buku-buku yang diterbitkan semakin berkualitas, semakin banyak buku dari penulis lokal, menjadi penerbit yang lebih percaya diri dan benar-benar bisa menjadi cahaya bagi masyarakat. Dan kiranya doa yang tiap pagi dan sore mereka panjatkan benar-benar menjadi jiwa dari seluruh pelayanan yang mereka lakukan, tak hanya sekadar rutinitas yang kadang aku pertanyakan maknanya terhadap masing-masing pribadi.

Kini aku akan meletakkan masa-masa kerjaku yang dulu dalam sebuah bingkai kenangan. Sesekali akan kupandang. Sesekali mungkin masih ada keinginan untuk ikut tertawa lagi bersama mereka. Tapi baiklah jika aku tak berlama-lama memandanginya. Sudah waktunya bagiku untuk melanjutkan langkah dan berkemas meraih harapan dan cita-cita.

*Kalender di atas adalah kalender buatan Lena, salah satu teman yg sama-sama memilih mencari sesuap nasi di tempat lain. Kami manis-manis kan? hehehe

9 comments:

Anonymous said...

Masa lalu memang selalu menggoda untuk dikenang ya mba? Namun masa kini tak dapat menunggu terlalu lama untuk jadi kenangan indah baru di masa depan. Salam kenal, mba. -japs-

Anonymous said...

Paragraf terakhirmu kuwi "ngampleng" aku, Kris :)

Aku dan kamu berada pada lini yang sama dalam hal ini.

Masa lalu itu manis, tapi manisnya bagai sembilu.

Kangen Jogja!

krismariana widyaningsih on 5:50 AM said...

@ apakatajapra:
Iya masa lalu memang kadang sangat menggoda. tapi nggak bisa kalo kita terus berkubang di masa lalu. salam kenal juga :)

@ DV:
Iya, Don. Kadang sakit kalau mengingatnya. Hehehe. Tapi ya masak mau sakit terus sih? Aku sasi ngarep bali Jogjaaaaa horeeee!!! :p

Anonymous said...

kadang suatu masa emang baru kerasa indahnya saat udah lewat. saat melaluinya terasa biasa saja. tapi pas udah lewat n ga mungkin terulangh baru deh kerasa, duh tnyata dulu nyaman banget ya...

Anonymous said...

Kris bekerja di rumah ya? Ada hal menyenangkan bekerja di rumah, tapi kita harus mendisiplinkan diri, dan juga anggota yang lain harus mendukung. Kesulitannya adalah, kadang kita tak disiplin, atau ada tamu yang menyangka kita nganggur padahal lagi dikejar deadline.
Aku bisa merasakannya, karena sekarang juga lebih banyak bekerja di rumah.

krismariana widyaningsih on 4:21 AM said...

@ utaminingtyazzz:
Iya, mbak. Kadang kangen pengen mengulanginya. Tapi suasananya udah berbeda sekarang. Jadi ya, nggak bisa.

@ edratna:
Wah, kerja di rumah juga ya Bu? Iya, Bu. Kadang saya ini enggak enak sama tetangga karena seringnya nggak bisa ikut acara/kegiatan mereka di pagi hari. Mereka ngiranya saya libur. Padahal... dikejar deadline hehehe.

Anonymous said...

ah kamu kris ... aku juga jadi keingetan. malah ada beberapa hal yang aku paksa lupakan, tapi tetep aja nongol itu kenangan. yah, apapun itu biarlah menjadi pelangi kehidupan..hehe ... besok kita janjian ketemu di genteng "itu" yak! :D

ps. pisss from me si "saksi hidup"

krismariana widyaningsih on 4:15 AM said...

@ Lena
Wah! makasih ya komentarnya. Sudah berapa lama ya kita sama2 di "akuarium" itu? hehehe. Aku masih inget pas hari pertama kamu masuk. Pake rok, malu2. Yuk kita ke "genteng" lt. 4 lagi. Kangen euy!

imelda on 7:56 PM said...

Hmmm aku tidak pernah kerja kantor, selalu sendiri dan setengah berhadapan dengan murid sebagai guru/dosen. Sedangkan setengah lagi ya seperti kamu mengerjakan terjemahan/editing di rumah. Enaknya kita bisa mengatur waktu sendiri, meskipun kadang menjelang deadline, terlalu banyak godaan yang harus dilawan.

EM