Bahasa Indonesia, Pentingkah?
Dulu, salah satu pelajaran sekolah yang nilaiku selalu bagus adalah Bahasa Indonesia. Tentu saja hal itu bukan suatu hal yang membanggakan. Biasa. Tak ada yang istimewa. Toh banyak anak juga nilainya bagus--setidaknya sedikit yang nilainya di bawah 7.
Hal itu berbeda dengan mereka yang selalu dapat nilai di atas 8 untuk matematika. Begitu nilai 8, 9, 10 tertera di lembar ujian Matematika, anak itu langsung mendapat label "si anak pintar". Lalu mulai deh, dia mendapat kepercayaan macam-macam dari guru, entah itu jadi ketua kelas, wakil lomba cerdas cermat di kabupaten, dan lain-lain.
Tapi bagi anak yang nilai bahasa Indonesianya bagus? Yaaa, biasa-biasa saja lah. Tak akan mendapat label "anak yang istimewa". Tapi memang rasanya kebangetan kalau nilai bahasa Indonesia jelek. Paling-paling kita hanya diminta untuk menulis contoh kalimat dengan awalan me-, ke-, di-, dll. Atau kita diminta untuk menjelaskan arti peribahasa, menghafal macam-macam angkatan kesustraan di Indonesia plus nama-nama pujangga. Dan bagaimana rasanya belajar bahasa Indonesia? Ah, menjemukan!
Walaupun dapat nilai bagus, aku tidak mengganggap penting (pelajaran) bahasa Indonesia. (Kalau tidak penting, ngapain masuk jadi pelajaran sekolah ya? Hi hi hi.) Aku tidak merasa ada kaitan yang sangat penting antara pelajaran bahasa Indonesia dengan hidup sehari-hari. Toh aku mengobrol dengan teman pakai bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang tidak EYD banget, malah sepertinya teman-teman lebih senang menggunakan bahasa Indonesia gaul ala anak Jakarta. Jadi, aku tak tahu apa gunanya belajar peribahasa, misalnya. Dalam hidup sehari-hari tidak dipakai, kok. Kan tidak mungkin aku banyak menyisipkan banyak peribahasa saat mengobrol dengan teman-teman. Bisa diketawain tujuh hari tujuh malam!
Setelah berkutat dengan naskah, buku, dan dunia tulis-menulis, aku jadi tahu bahwa bahasa Indonesia itu penting dan rupanya selama ini bahasa Indonesia tidak terlalu mendapat tempat di masyarakat. Orang lebih suka belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sementara mereka belum menguasai betul bahasa Indonesia. Paling terasa adalah saat membandingkan kamus bahasa Indonesia dengan kamus bahasa Inggris. Dalam kamus bahasa Inggris (Inggris-Inggris), satu kata biasanya akan dijelaskan artinya, tidak hanya diberikan sinonimnya. Selain itu di kamus Inggris-Inggris, ada akar katanya juga, kata itu biasa digunakan pada konteks apa, tahun kapan, dan tak jarang jika kata itu menyangkut benda, ada gambarnya. Pokoknya komplet!
Mungkin karena bahasa Indonesia tidak dianggap penting, tidak terlalu banyak naskah dari penulis kita yang sudah bagus penyampaian idenya. Itu dari pengalamanku lo. Entah ya kalau di penerbit lain. Pernah aku membaca tulisan seorang dosen yang bahasanya belepotan, sampai aku bingung, "Dia mau nulis apa sih?"
Aku pikir, kita masih kurang menggali bahasa Indonesia saat di sekolah. Kurang menarik pula penyampaiannya. Sampai sekarang, rasanya aku baru membaca Sitti Nurbaya untuk buku sastra Indonesia zaman lalu. Jangan tanya deh buku-buku yang lain. Pas SD saja aku lebih suka baca Lupus, kok. He he he. Padahal tuh kalau kita melongok amazon [dot] com, kita bisa mendapatkan buku "Pride and Prejudice" untuk anak usia 4-8 tahun! Di Indonesia? Rasanya aku belum menemukan buku-buku karya sastra karya pujangga kita yang disederhanakan sehingga bisa diperkenalkan untuk anak-anak. Buku-buku yang ada sekarang pun lebih banyak buku hiburan dengan bahasa gaul. Sebenarnya boleh-boleh saja ada buku-buku semacam itu, tapi rasanya kurang bagus deh kalau itu mendominasi.
Kita lupa bahwa kita memiliki Armyn Pane, H.B. Jasin, dan para pujangga besar lainnya.Padahal dari mereka kita bisa belajar banyak lo. Kita bisa belajar sejarah bangsa kita, perkembangannya, cara berpikir masyarakat, dll. Trus, kalau kita belajar bahasa Inggris saja bisa menarik karena banyak sekali permainan yang bisa digunakan, tentunya belajar bahasa Indonesia juga bisa dong. Lagi pula, belajar bahasa itu menarik sekali. Ada banyak sisi yang bisa memperkaya kita.
Thursday, March 19, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
Masalahnya adalah globalisasi, Mbakyu!
Menurutku globalisasi membawa efek yang luar biasa, tergilasnya kultur lokal dan meluasnya kultur global.
Siapa menang dia menggilas, siapa kalah ya dia tergilas.
Sayangnya, bahasa kita belum pada posisi pemenang, ruang lingkup penggunaannya semakin menyempit kayaknya... lha wong terakhir aku ke Jakarta sekitar Oktober 2008 lalu itu banyak para eksmud yang kalau omong ama temennya pake bahasa enggress padahal kepala mereka item, kulit mereka ya masih kulit Indonesia.
Menyedihkan memang :(
ooh Kris,
aku sih lupa bahasa Indonesiaku bagus atau tidak. Tapi kayaknya lebih bagus bahasa Inggrisku deh.
Baru sejak Universitas aku memperhatikan pengetahuan bahasa Indonesiaku (maklum sastra).
Kalau soal buku sastra sih, sejak SD Aku sudah baca semua buku sastra. STA, Armijn Pane, Mochtar Lubis...semua hehhee.
Aku tidak pernah baca Lupus, bahkan tidak langganan Gadis/Hai.
Yang aku rasakan masih kurang sekali dalam pengajaran bahasa Indonesia di Indonesia adalah cara mengarang atau presentasi. Kalau di Jepang, sejak SD sudah dibiasakan mengarang dan presentasi di depan umum. Jadi mereka tidak ada masalah jika disuruh mengarang/membuat buku.
EM
Kenapa kita berbahasa Indonesia? Apakah kita takut bahasa Indonesia (yang sering disingkat "Bahasa" -- korban menjamurnya DVD bajakan) digunakan semena-mena dengan kata serapan belepotan dipaksakan padahal belum ada di KBBI? Apa akibatnya jika semua orang di wilayah Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Jangan-jangan kita cuma paranoid? Jangan-jangan kita rajin mencari alasan dan pembenaran mengapa bahasa Indonesia berubah bentuk carut marut, pun mencari alasan dan pembenaran mengapa bahasa Indonesia tidak boleh berubah menjadi carut marut?
Bukankah ada perbedaan antara berkomunikasi dengan berbahasa? Bahasa anak kandung komunikasi atau anak tiri strukturalis yang suka memerhatikan titik koma?
Itulah sebabnya Tuhan secara jenius mengacaukan menara Babel.
Aku sih simpel saja: bahasa adalah salah ketika tidak digunakan untuk berbahasa, tetapi malah untuk "nggaya", menunjukkan "peringkat", stratifikasi sosial, dsb. Bahkan orang yang berbahasa Indonesia dengan baik dan benar terancam untuk "bersalah" karena menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai pembeda antara "benar" dan "salah". Lagi-lagi stratifikasi.
Btw kok kita sama-sama lagi "ngecret" soal bahasa Indonesia ya? Padahal tidak janjian lho.
Aku juga baru care sama bahasa Indonesia sejak jadi blogger mbak.
Kalau nggak ya, tulisanku nggak jelas sedang menceritakan apa.
Intinya pelajaran bahasa Indonesia tetap perlu kok dan penting buat orang Indonesia.
"Dia mau nulis apa sih?"
Anu... kalimat diatas bahasa Indonesianya benar dan baku tidak yah????
:P
@ DV:
memang kayaknya semakin hari bahasa Indonesia sering digabung2kan dengan bhs Inggris. Padahal nggak jarang yg diucapkan dlm bhs Inggris itu ada bahasa Indonesianya lo.
@ Emiko:
Wah, Mbak Imelda hebat! Dari kecil sudah baca STA? Aku aja baru mulai nyentuh buku2 kaya gitu pas SMP.
@ Noel:
Lah kalau kamu kan memang tukang ngecret, Ma. Bukan soal janjian apa enggak untuk urusan menulis ttg bahasa :p
@ Puak:
Memang sih Mbak, menulis itu dituntut untuk "peduli" bahasa.
@ Yusahrizal:
Dianggap baku deh, sama temen sendiri aja kok... hehehe
Post a Comment