Sebuah Hutang
Tempat tinggalku di Jakarta ini cukup strategis. Dekat pasar dan terminal. Jalur transportasi juga mudah. Apotek, dokter umum, juga ada. Kedai makanan ada beberapa di depan gang. Trus, yang lebih enak lagi adalah, banyak penjual bersliweran di sini. Siang-siang kalau mau jajan es atau bakso, tinggal melongok ke balik jendela, dan teriak, "Bakso, Bang!" sambil keplok-keplok alias tepuk tangan. Bahkan kalau tengah malam, penjual yang berteriak "Tee... Padang! Teee ... Padang!" masih saja lewat di depan rumah. Jadi, tak perlu takut kelaparan. Bahkan kalau pagi-pagi perut sudah kemrucuk minta diisi, kita tinggal memanggil para penjual ketoprak dan bubur ayam yang banyak bersliweran. Gampanglah!
Itu baru soal penjual makanan. Penjual jasa juga tak kurang. Kalau pisau dapur kita sudah mulai menampakkan tanda-tanda ketumpulannya, panggil saja tukang asah pisau yang lewat. Punya
payung yang rusak? Gampaaaang, nanti agak siangan, pasti ada tukang payung. Atau kalau jok kursi sudah jelek dan tidak mentul-mentul lagi, biasanya jam 11-an ada penjual jasa yang membetulkan jok kursi. Kalau kasur kita sudah mulai kempes, panggil saja bapak-bapak yang ngider sambil membawa sekarung kapas. Dia jago membuat kasur. Tukang patri, penjual garam, penjual abu gosok juga suka lewat. Dan tak terhitung lagi para pemulung dan pembeli barang rongsokan yang lewat.
Sejujurnya, aku suka merasa kasihan dengan mereka. Misalnya saja hari ini. Hujan sudah mulai turun sejak aku sarapan tadi pagi. Akibatnya para penjual jasa dan makanan juga agak sepi. Tapi masih saja ada lo, bapak-bapak yang keliling menjajakan peyek. Opo aku ndak ngelus dada? Lha hujan-hujan begini kan paling enak nyungsep di tempat tidur. Lagi pula, peyek bukan makanan yang pas untuk dimakan kala hujan-hujan. Iya to? Dan bapak itu masih menjajakan dagangannya, sambil berharap ada rumah yang terbuka pintunya dan seseorang memanggilnya untuk membeli peyek. Yah, lumayan kan kalau laku biar cuma sebungkus?
Aku berpikir, bahwa sebetulnya kita ... eh, aku aja kali, berutang kepada orang-orang kecil seperti mereka. Orang-orang seperti aku ini kan lebih enak dan kepenak dibandingkan mereka to? Lapar, tinggal manggil mereka. Pisau tumpul, tinggal teriak meminta mereka berhenti untuk mengasahkan pisau. Lo, rak penak to?
Tapi bagaimana jika posisinya dibalik? Apakah kita mau menjadi seperti mereka? Wah, kalau aku sih mikir seribu kali deh. (Tidak ada kan orang yang rame-rame melamar pekerjaan menjadi penjual gorengan?) Mereka malam-malam masih mendorong gerobak jualan, menembus dinginnya malam, berharap ada orang yang membeli jualannya? Atau di tengah terik matahari siang bolong, bapak-bapak penjual jasa/makanan itu masih muter keliling kompleks sementara orang-orang sedang tidur siang. Apalagi gerobak atau pikulan yang mereka bawa ngalor ngidul itu kan tidak ringan. Kalau aku pasti sudah langganan pijet dan kerokan tiap hari deh kalau suruh ngider begitu. Gile aje deh! Tukang gorengan pikulannya pasti berat. Trus, yang mereka jual kan kayaknya tidak sebanding dengan usaha mereka. Berapa sih harga sepotong tempe goreng? Masih mending kalau yang jual makanan. Kalau tukang payung atau penjual remote TV? Tidak tiap hari ada orang yang payungnya rusak kan? Dan tidak setiap hari orang mengganti remote TV-nya kan?
Tapi begitulah keadaan ini. Aku sebetulnya "risi" melihat mereka berjualan. Bukan, bukannya saja tidak suka. Tapi rasanya kok sangat tidak adilnya keadaan ini, ya? Bagi sebagian besar dari kita, hal semacam itu dianggap wajar alias take for granted. Mungkin ada yang bilang, yah ... itu masih mending daripada mereka nyolong atau nyopet. Tapi apa ya betul begitu? Jangan-jangan kitalah yang sebenarnya membuat keberadaan mereka tetap lestari? Kasarnya, kita berdiri di atas penderitaan orang lain. Ada orang yang harus lelah keliling kompleks untuk menjajakan dagangannya demi mendapatkan sesuap nasi dan kita-kita ini memanfaatkan jasa mereka. Lha aku ini kalau menerjemahkan beberapa lembar, sudah bisa beberapa mangkuk bakso. Rasa capek yang kurasakan pasti beda jauh dengan mas-mas penjual bakso yang keliling kompleks itu, apalagi dengan bapak-bapak tukang payung. Sungguh tidak seimbang. Belum lagi kalau mau dibandingkan dengan bos-bos yang dapat duit buanyak setelah oret-oret tanda tangan dikit. Bos-bos itu bahkan bisa membeli bakso sekalian penjualnya. Oke ... oke, itu tampaknya baik-baik saja. Tapi sampai kapan?
Kupikir mereka ingin hidup layak, nyaman, dan sehat. Mereka pasti juga bermimpi bekerja yang nyaman, layak, dan mendapat pendapatan lumayan. Mereka mungkin bermimpi bisa berobat dengan murah saat sakit. Mereka pasti ingin menikmati transportasi yang murah dan nyaman. Cita-cita mereka mungkin kurang lebih seperti kita. Tapi keadaan mereka dan kita jauh banget.
Aku sebenarnya tak tahu mesti bagaimana. Cuma aku merasa ketidakadilan ini tidak bisa selamanya dibiarkan atau bahkan dilestarikan. Dan aku yang sudah sekolah sampai cukup tinggi pun, sampai sekarang tak bisa berbuat banyak selain sesekali membeli dagangan mereka dan menuliskan keprihatinanku ini. Melihat mereka masih berkeliling kompleks, rasanya aku seperti berhutang banyak. Tapi aku tahu bagaimana cara membayarnya. Dan aku ingin tahu, adakah orang lain yang merasakan keprihatinan dan kegelisahan seperti aku? Ada?
Monday, January 26, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
13 comments:
Komentar kurang serius:
Koq kalo baca tulisannya kamu hobinya manggil2 tukang alias konsumtif.
Duit bulanan cepat tipis donk. :P
Komentar agak serius:
Tukang-tukang itulah yang memutar roda perekonomian Indonesia dan kalau kamu membeli berarti kris turut serta membantu ekonomi Indonesia, tidak seperti ibu2 yg suka jajan di luar negeri (kayak singapur) cuma buat beli kaos kaki.
Mas Andri, yang hobi manggil-manggil benernya Oni. Apalagi kalau sudah dengar musik es kesukaannya. Aduuuuh, pasti langsung ngibrit ke depan. Kayaknya cuma dia pembeli orang dewasa di gangku. Saingan dia, pembelinya anak2 hihii :) Pisss ya, On! :D
Roda memang akan terus berputar, kadang di atas kadang di bawah.
Sekarang enak siapa tahu besok susah.
Sekarang cecak siapa tahu besok tekek!
E....berubah!
Tulisanmu secara keseluruhan seperti biasa, menarik!
Tapi tak ada yang lebih menarik dan menyenangkan ketika menyadari bahwa kamu mulai mencintai dan menyenangi areal sekitar tempat tinggalmu setidaknya ..
Hallo mbak Kris, salam kenal ya ;-) numpang lewat, dan tertarik baca tulisannya mbak Kris. Dalam, dan menyentuh perasaan. Membuat diri kita sadar, oooh, ternyata kita masih beruntung ya =)
@ Ndoro Seten:
Hehehe, Ndoro niki saged mawon menawi ngendikan.. :)
@ DV:
Yah, Don... bukannya mencintai areal sekitar. tapi menelan bulat2 :p mbanganane mumet.
@ Rina:
Selamat datang Rina, semoga dapat menikmati tulisan2 saya :)
kehidupan memang sering tidak adil....mereka yang susah payah berbasah keringat...dapatnya...20,000 perak lebih dikit perhari...Eh...itu yang duduk,kadang kadang bolos, dan ngantuk....dapatnya juta jutaan...
@ Bu Dyah:
Iya Bu, memang tidak adil. Banyak hal yang harus diperjuangkan dalam memerangi ketidakadilan ini.
Mbak Kris, salam kenal ...
Seringkali kita memang hanya bisa prihatin melihat orang kecil bekerja, tanpa bisa banyak membantu. Tapi setidaknya, kepekaan kita, sensitivitas kita pada mereka adalah modal yang harus kita pelihara, agar jika kita memiliki kesempatan, kita bisa berbuat lebih banyak.
Untuk Mbak Dyah Suminar, itu yang duduk-duduk, suka mbolos, dapat amplop jutaan, itu siapa Mbak? Nyindir beliau-beliau yang di Dewan Terhormat ya ... hehehe ...
pernah waktu di jakarta, waktu masih kecil, ada seorang kakek penjual pisang yang dipikul. Duh tubuh rneta itu masih harus memikul beban seberat itu. Dan orang-orang seperti mereka ini cukup banyak. Miris ya.
Aku juga sering berpikir begitu. Pernah mama membeli semua pisang satu pikul, dengan harapan ya si kakek ngga usah kerja lagi. Eee besoknya dia jual pepaya.
Ah pasti si Kakek sudah tidak ada ya. Tapi muka dia masih membayang di ingatanku.
Hidup itu perjuangan bener ya
EM
@ Tuti Nonka
Salam kenal juga, Bu :) iya, kepekaan bisa mendorong kita melakukan hal-hal sederhana. jadi mari kita jaga kepekaan kita :)
@ Ikkyu san
Mbak Imelda, di Jepang nggak ada yg jualan pake pikulan? hehehe.
Saya malah bangga melihat mereka berjualan, daripada yang ngemis dijalanan. Bagi orang seperti kita, tak ada salahnya meminta jasa mereka, seperti membetulkan payung, membeli makanan dsb nya.
Saat saya masih kecil, ibu melarang jajan, karena perutku sensitif, dan boleh jajan asalkan bukan es (takut air mentah). Tapi seperti peyek dsb nya, saya beli jadi di pasar, paling tidak saya bisa menolong mereka melanjutkan hidupnya. Jika baksonya enak, kenapa tidak?
Kris, tulisanmu menarik, walau cuma sekitar lingkunganmu, terasa sekali Kris menguasai keadaan, dan memperhatikan orang dan budaya sekitar tempat tinggalmu.
@ edratna
Iya, Bu. Betul, lebih baik mereka bekerja sebisanya. tapi kadang saya ini kasihan banget melihat mereka. nggak tega gitu melihat begitu besarnya usaha mereka. saya cuma ingin keadaan menjadi lebih baik. hehehe.
Post a Comment