Wednesday, January 14, 2009

Halo, Adakah yang Bisa Mengubah Wajah Jakarta Supaya Tidak Banjir?

Sudah hampir empat hari ini hujan rajin menyambangi tempat tinggalku. Kadang cuma rintik-rintik tipis. Tapi kadang hujan bagai rombongan penari yang terlalu bersemangat. Rintik-rintik yang tipis itu berubah menjadi tetesan yang cukup deras sehingga menimbulkan suara riuh dan angin yang agak kuat. Dan hujan turun tak kenal waktu. Kadang pagi-pagi buta. Kadang tengah hari. Akibatnya cucianku yang biasanya kering dalam sehari, kini butuh tiga hari agar kering. Itu pun masih terasa dingin.

Kadang saat hujan tengah mengguyur dengan derasnya, aku mengintip dari balik kaca jendela; melihat seberapa banyak air yang tercurah dan menciptakan aliran sungai kecil di depan gang. Tinggal di Jakarta yang hujan terus menerus begini cukup membuatku was-was. Bagaimana kalau banjir ya? Tapi aku selalu ingat kata-kata tetangga depan rumahku, bahwa di sini tidak pernah banjir. Amin! Semoga selalu demikian adanya.

Tetapi toh aku selalu rajin mengikuti berita di radio; daerah mana saja yang banjir. Suamiku kan harus masuk kerja. Dan itu berarti dia harus keluar rumah seharian. Lha kalau dia tak bisa pulang karena terjebak banjir, bagaimana? Ya, aku sebagai seorang pekerja freelance yang bekerja di rumah, tak terlalu khawatir akan terkena banjir. Tapi kalau selewat magrib dan di tengah hujan deras sementara suami belum pulang, kok rasanya aku tidak tenang ya?

Dan radio masih memberitakan ada banyak genangan air di mana-mana. Macet menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Oalah Jakarta ... nasibmu ngger. Menjadi kota metropolitan ternyata tidak selamanya indah. Betul begitu kan? Macet. Banjir. Hmm ... Belum lagi orang-orangnya yang sulit diatur dan gemar membuat aturan sendiri.

Aku jadi ingat kata-kata seorang temanku dulu waktu Pak Kumis diangkat menjadi gubernur Jakarta saat ini. Katanya, Pak Kumis itu seorang arsitek. Aku tak tahu temanku ini ndobos alias bohong atau tidak. Aku tidak pernah mengecek dan tak pernah bertanya langsung kepada Pak Gubernur apa iya dia betul seorang arsitek. (Apakah bayaran seorang arsitek itu kurang banyak ya? Sampai-sampai dia mencalonkan diri menjadi gubernur ...) Dan kata temanku, kalau dia arsitek, mestinya dia bisa mengatur tata kota ini dengan lebih baik.

Ah tapi benarkah begitu?

Rasanya biarpun orang itu lulusan terbaik dari univesitas terbaik pula di dunia ini, rasanya sulit juga untuk membuat Jakarta yang super sumpek ini menjadi tempat yang agak lega dan enak ditinggali. Lha apa rumah-rumah yang sudah berdempet-dempet itu mau dibom supaya menjadi tanah lapang sehingga bisa dibuat lahan terbuka hijau yang dapat menyerap air? Kalau Hitler mungkin saja begitu cara yang ditempuhnya.

Sulit. Ya, memang sulit menjadi pemimpin Jakarta ini. Kota yang sanggup melahirkan mal yang sangat bagus ini ternyata masih belum sanggup mengubah sungai-sungainya yang menghitam itu menjadi berfungsi dengan baik.

Halo, halo adakah pemimpin ahli yang sanggup menjadikan Jakarta menjadikan kota modern yang bersih dan sehat? Ah, mungkin aku harus tidur siang dan bermimpi sebentar ya.

3 comments:

Anonymous said...

Hmmm, pernah kamu bermimpi mengubah matahari untuk bersinar jam hanya karena kamu mencintai terangnya?

Aku tak pernah demikian, apa yang sudah tersurat biarlah tersurat, Kris :)

Demikian juga soal Jakarta, kenapa kamu tak bermimpi untuk dapat tetap happy meski Jakarta banjir, misalnya?

Atau kenapa kamu tak bermimpi untuk misalnya dapat membangun suatu usaha baru di daerah dan meninggalkan rawa yang bernama Jakarta itu?

Karena menurutku percuma kalau bermimpi Jakarta untuk tidak banjir, pena yang kering telah tertulis di kertas suratan bahwa Jakarta memang harus jadi langganan banjir sejak dulu kala.

So, enjoooyyyy hahahah ;)

Wi Les on 11:40 PM said...

Ah Jakarta..
sumpek, polusi, macet, tapi ngangenin..
Yah, alangkah baiknya kalau memang ada pemimpin yang mau mikirin tata kota, bukan cuma terima 'uang pelicin' dari developer yg mau bangun mall.

Tapi menurut saya, perlu ada penyuluhan juga buat penduduk Jakarta biar pada ngga buang sampah sembarangan. Mungkin yang diajarin di sekolah dulu itu masuk kuping kiri keluar kuping kanan ya.. (jadi inget pelajaran PMP/PPKN, yg isinya utopis banget :p)

Bayangkan, kalo semua got, bendungan,kali di Jakarta pada tdk mampet, mungkin banjirnya 30 senti, instead of 1 meter. Banjir mah teteeep..hehe

Salam kenal juga ya mbak.. :)

Aku ini binatang karang on 12:16 AM said...

kalaw saya hanya melihat asal-usul terbentuknya Jakarta memang dari arisan para 13 sungai,alias aluvial. Jadi tanpa banjir Jakarta tidak pernah terbentuk. jakarta tidka memiliki aktivitas gunung berapi
Jadi benar kata Donny Verdian, ya harus disikapi gitu