Monday, January 05, 2009

Apa Maksudnya?

Kemarin pas mudik ke Madiun, aku diminta ke rumah teman ibuku untuk mengantar oleh-oleh. Tapi rupanya kami tak sekadar mampir, tapi kemudian mengobrol cukup lama. Agak kagok juga awalnya, karena aku tak pernah mengobrol lama dengan ibu itu. Bahkan sebenarnya aku lupa-lupa ingat wajahnya. Tapi toh kemudian kami mengobrol ngalor ngidul.

Awalnya, ibu itu menceritakan sulitnya mencari pekerjaan bagi anaknya. Anaknya yang sudah lulus dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, sekarang "hanya" menjadi guru les dari rumah ke rumah. "Sekarang ini susah sekali lo mbak cari kerjaan. Apa-apa di-outsource. Di Pemkot juga begitu. Lha kalau pegawai oursource itu kan tidak jelas masa depannya. Kok rasanya generasi setelah kita tidak dapat bagian apa-apa ya? Ke depan bakal sulit sepertinya ya?" katanya dengan nada prihatin.

Aku dan suami kemudian menanggapi sebisanya. Memang sekarang cari pekerjaan itu sulit. Aku jadi mengenang ketika dulu sedang mencari pekerjaan. Institusi yang sepertinya memberi harapan, tiba-tiba menjadi suram. Tidak jelas. Dan acap kali kita tidak bisa bekerja sesuai dengan keinginan kita. Penginnya sih bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar dan banyak fasilitas. Iya to? (Jadi, sebenarnya ingin bekerja atau ingin fasilitasnya sih?)

Obrolan terus berlangsung dan kemudian ibu itu melontarkan pertanyaan yang membuatku harus menebalkan telinga, "Gimana, Mbak? Sudah 'isi' belum?" Jujur saja, aku bosan ditanya soal itu. Karena itu dengan cepat kujawab, "Belum, Bu!" Lalu, dia menimpali lagi, "Cepetan saja punya momongan, Mbak." Aku cuma tersenyum mendengar omongannya. Lha mau menanggapi gimana lagi?

Kupikir-pikir ucapan ibu tadi lucu. Lucu? Iya. Soalnya, di awal beliau mengatakan bahwa generasi mendatang masa depannya cukup suram. Itu mengingat betapa sulit anaknya mendapatkan pekerjaan. Tapi kemudian dia mendorongku untuk segera punya anak. Piye to? Maksudnya gimana? Coba dipikir lagi.

Pernyataan pertama yang dilontarkan adalah: generasi mendatang hidupnya semakin sulit. Kondisi dunia semakin memprihatinkan. Semakin hari banyak orang sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Lalu pertanyaan kedua yang dikatakan adalah: mendorong kami untuk segera memiliki anak. Lha itu kan seperti menjerumuskan (calon) anak kami untuk merasakan kejamnya dunia, to? Mungkin orang dengan mudah mengatakan, "Ah ... nanti kan bisa survive." Benarkah demikian?

Kupikir dunia ini butuh pengaturan yang bijak. Alam tidak akan cukup jika masih ada segelintir orang yang serakah. Dan perang ada di mana-mana. Nggak usah jauh-jauh lah, di Indonesia saja kesejahteraan belum merata kok. Padahal ketika aku SD, guru-guruku mengatakan bahwa Indonesia melakukan pembangunan, rencananya lima tahun pertama begini. lalu lima tahun selanjutnya begitu, dst. Tapi kenyataannya? Orang yang serakah sepertinya lahir dan berkembang lebih cepat dibandingkan dengan orang-orang baik.

Kalau mau jujur, sebenarnya aku pesimis dengan masa depan generasi mendatang. Tak usah jauh-jauh. Kemarin waktu mudik ke kampung suami di Tanjung Pandan, aku melihat berhektar-hektar hutan kelapa sawit. Padahal perkebunan kelapa sawit itu bisa membuat tanah menjadi kering kerontang setelah 30 tahun mendatang. Itu di Indonesia lo. Bukan negara lain. Lalu ketika ke Madiun, persawahan yang dulu menjadi tempatku sepedaan, kini menjadi permukiman yang padat. Seingatku ketika aku masih SMA, daerah di persawahan itu masih sangat sepi. Baru sekitar 10 tahun aku meninggalkan kota kelahiranku, pembangunan ada di mana-mana. Bukan apa-apa sih, tapi kalau semua lahan kosong termasuk persawahan dibangun perumahan, kita nanti makan apa dong? Trus, anakku besok mau makan apa dan tinggal di mana?

Orang memang mudah mendorong kami untuk punya anak. Tante, om, ortu, tetangga, bahkan Mindi anak saudaraku yang baru TK nol kecil saja bertanya kepadaku apakah aku sudah hamil apa belum. Plis deh! Bukannya aku nggak mau punya anak, tapi boleh dong aku mengatur hidupku sendiri. Boleh kan aku mengatur kapan aku mau punya anak, di mana, berapa, dsb. Dan lagi, kenapa mereka sibuk mendorongku ini dan itu? Apakah mereka mau memberi makan anakku? Apakah mereka mau menyekolahkannya? Apakah mau memberi rumah kepada kami? Apakah mau memberi sembako seumur hidup kepada kami? Apakah mau memberi jaminan bahwa anakku nanti bakal kecukupan hidupnya? Coba kasih jawaban.

Kalau cuma sekadar tanya dan basa-basi, kayaknya enggak perlu deh. Aku sudah cukup tahu apa yang mesti aku lakukan. Oke? Pak, Bu, Tante, Om, Teman-teman, jangan tanya hal-hal (dan membuat pernyataan) yang sudah basi ya? Jangan bodoh begitu ah!

1 comments:

Anonymous said...

Sabar, Kris.. sabar....
Tetap menghadap ke depan dan jangan dengarkan (yang buruk-buruk) dari mereka :)

Kamu dan aku dan banyak pasangan muda lainnya kiranya juga memiliki tantangan yang kurang lebih sama.

Tapi aku percaya, kalau Tuhan berkehendak, Ia pasti telah menyiapkan yang terbaik bagi kita dan anak-anak kita.