Thursday, July 02, 2009


Buku Diktat yang Ratusan Ribu Itu ...

Sore aja gimana? Biar siangnya aku bisa tidur sebentar?
Begitu jawaban SMS-ku ke temanku, Adel, untuk mengajakku jalan ke ITC Cempaka Mas. Pagi itu aku masih ngantuuuuk banget. Itu gara-gara malamnya aku sulit tidur karena hidungku mampet dan panasnya Jakarta tak mereda walaupun kipas angin di kamarku masih setia menjalankan tugasnya. Aku harus menebus tidurku yang kurang siang itu kalau tak ingin ambruk lagi karena flu.

Sebenarnya dari tempat tinggal Adel ke ITC cukup dekat--untuk ukuran Jakarta. Hanya naik angkot dua kali. Tapi suaminya rupanya tak mengizinkan istrinya yang sedang hamil anak pertama itu pergi sendiri. Dan aku pikir, tak ada salahnya aku menemani "adikku" ini mumpung aku bisa. Di Jakarta, dialah teman yang sering jalan bareng aku. Dia memang seperti adikku sendiri sejak kami di asrama dulu. Dan pas di Jakarta, kebetulan tempat tinggal kami tak terlalu jauh, jadi kami pun sering main bareng.

Nah, kemarin sore akhirnya kami pun ketemu. Setelah mendapatkan barang yang ia butuhkan di ITC, kami akhirnya pulang dan memilih makan di dekat tempat tinggalnya--Bakmi Golek belakang Arion. Sebenarnya aku pengen makan bebek goreng, tapi apa daya, tenggorokanku masih belum bisa menerima gelontoran makanan berminyak. Dan lagi, kalau pengen ngobrol santai, Bakmi Golek lantai 2 cukup enak karena bebas bau rokok.

Seperti biasa, salah satu pokok pembicaraan "wajib" kami adalah tentang keponakannya, Ayu. "Kemarin untuk buku diktat Ayu habis uang 650 ribu," katanya. Uang sejumlah itu dirasa cukup banyak bagi keluarga Adel. Karena itu Adel dan dua kakaknya mesti iuran untuk membeli buku diktat keponakan tersayang. Beuh ... zaman sekarang duit untuk beli buku sekolah anak SD saja sampai segitu banyak ya? Dulu pas zamanku sekolah, kami masih mendapatkan pinjaman buku-buku diktat dari perpustakaan sekolah. Masing-masing anak dapat satu buku. Kalau tidak, aku masih bisa "melungsur" alias memakai buku kakakku. Walaupun beda empat tahun, beberapa bukunya masih bisa aku pakai. Jadi, lumayan irit. Dengan sampul cokelat baru, jadilah buku jadul itu tak kelihatan usang. Kurasa dengan begitu, orangtuaku tak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membelikan buku diktatku.

Ucapan Adel membuatku teringat pada seorang temanku, Joanna, yang akhir-akhir ini pusing untuk membeli buku untuk anaknya yang naik kelas 4 SD. Sebagai orangtua tunggal, dialah yang kini pontang-panting keliling toko buku untuk beli buku anaknya. "Memangnya tidak bisa beli lewat sekolah?" tanyaku. "Bisa, sih. Tapi selisih harganya bisa sampai ratusan ribu jika dibandingkan kalau aku beli sendiri di toko buku. Masalahnya di toko buku sulit sekali mencari bukunya anakku." Aku sebenarnya agak heran dengan penjelasan temanku. Aku memang tak terlalu banyak tahu soal aturan distribusi buku, tetapi setahuku jika penerbit bisa menjual langsung, katakanlah ke sekolah, mereka bisa memberikan diskon cukup banyak. Aku saja nih ya, kalau mau beli buku terbitan penerbit X, aku kadang menghubungi temanku si A yang bekerja di penerbit tersebut supaya bisa dapat diskon minimal 20%, kadang bisa sampai 40%. Masing-masing penerbit punya kebijakan sendiri-sendiri. (Jadi, teman-teman, begitulah salah satu trik untuk bisa beli buku diskon hihihi.) Nah, mestinya penerbit menjual buku secara langsung ke sekolah, murid bisa mendapatkan harga miring. Tapi sekali lagi aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pendistribusian buku ke sekolah.

Kadang kalau kupikir-pikir agak "mubazir" juga buku-buku diktat itu. Kenapa? Soalnya biasanya buku-buku itu akhirnya akan disingkirkan begitu anak-anak naik kelas. Aku membayangkan buku-buku diktat itu kemasannya lebih menarik, misalnya dikemas dalam bentuk komik, picture book, atau gabungan antara ilmu pengetahuan dan fiksi. Kebetulan aku menerjemahkan buku pengetahuan anak-anak dalam kemasan picture book yang sangat menarik. Wong aku saja seneng bacanya, hehehe. Jadi, kalau buku-buku diktat itu menarik, setelah anak-anak naik kelas, buku-buku itu bisa tetap dibaca-baca lagi untuk menyegarkan ingatan. Tapi yah, semubazir-mubazirnya buku diktat itu, semoga anak-anak tambah pinter aja deh!

9 comments:

IESP93 on 11:32 PM said...

trus kebijakan penerbitan buku on line yang katanya gratis dari pemerintah, dan tinggal dicetak saja harus disosialisasikan lagi donk...kalo buat diktat saja udah ratusan bahkan jutaan rupiah termasuk ini dan itunya, dan tiap ada pergantian kabinet ada pergantian kurikulum,kan berabe...mubasir bang get..

Anonymous on 7:58 AM said...

ada perjanjian "tak tertulis" antara penerbit dan sekolah...

aku jadi ingat dulu buku2 pelajaran memang bisa dilungsurkan dari kakak ke adik kelas. ada juga buku paket kelas yg nggak bisa dibawa pulang. kyknya jaman kta dulu ke sekolah ya riang2 aja, tas nggak terlalu berat. kasian lho anak2 sekarang, tas mereka berat banget kebanyakan buku..

Anonymous said...

bukan menjelekkan korps pahlawan tanpa tanda jasa, tp ada juga oknum yg menjadikan buku sbg obyekan..

discount dari penerbit dinikmati sendiri, padahal di toko buku, diskon dari penerbit itu justru di"bagi" ke konsumen

DV on 3:43 PM said...

Lha jaman sekarang itu buku diktat kewajiban jhe, Kris...
Kalau nggak beli bisa-bisa gurunya suka 'usil' mengeluarkan soal dari buku diktat itu.

Kalau aku jadi orang tuanya, anaknya kusuruh fotokopi aja kali ya.
Dicap pembajak yo ben, lha wong mahal!

krismariana widyaningsih on 10:45 PM said...

@kikis: kabarnya buku online dr pemerintah itu sulit diakses. berat, dan lambat. lagi pula masyarakat kita masih sedikit yg punya akses internet bagus.

@anonymous (nanaharmanto): sptnya zaman kita dulu sekolah jauh lebih menyenangkan drpd zaman sekarang. anak2 sekarang bebannya terlalu banyak sptnya.

@albertobroneo: hmm... memang sih ada oknum2 yg sengaja cari untung. mungkin mereka kepepet jg. tapi kalau kepepet mungkin tidak baik ya jika mengambil hak orang lain. btw, makasih udah mampir ke sini mas berto :)

@DV: iya, don. trus anak2 itu bakal jadi bulan-bulanan di kelas. yah, moga2 anakmu bsk dpt sekolah yg bagus ya :)

Tuti Nonka on 9:06 AM said...

Idealisme kayaknya sekarang sudah nggak ada, termasuk di sekolah dan pada diri guru. Sekolah/guru memakai buku dari penerbit yang mau memberikan diskon besar, lalu mereka sendiri masih ambil untung. Gimana nggak jadi mahal?

krismariana widyaningsih on 6:49 PM said...

@Tuti Nonka: Kalau guru mengambil untung sendiri, bagaimana mereka mengajarkan nilai2 luhur ke anak didik ya Bu?

Boe on 5:41 AM said...

Hmm.. gimana kalau bikin toko buku buku diktat bekas di masing-masing sekolah? Buku yang sudah dipakai dalam satu tahun bisa dijual kembali (dengan harga yang lebih rendah tentunya) ke toko buku tadi dan dibeli (dengan harga sedikit di atas harga jual tadi tapi masih di bawah harga beli buku baru) oleh adik-adik kelas yang diajar oleh guru mata pelajaran yang sama, demikian selanjutnya sampai dua tiga generasi di bawah pemakai mula-mula (itupun kalau guru bersangkutan nggak gatal mencoba buku diktat lain setiap dua tahun). Dengan demikian harga buku mahal tadi jadi terpecah ke beberapa pemakai.

krismariana widyaningsih on 5:59 AM said...

@Boe: Hai Boe! Seneng melihatmu mampir dan meninggalkan jejak. Idemu bagus tuh, Boe! Tapi kayaknya mesti ada koordinasi yg bagus dr pihak guru/sekolah. Soalnya mereka jugalah yg mengambil untung kalau murid2 membeli buku diktat lewat sekolah