Wednesday, July 15, 2009

Jangan Sakit!
Mendingan Uangnya untuk Makan Daripada untuk Bayar Dokter


"Butuh kuitansi?" tanya lelaki tua di depanku dengan suara parau yang berat.
"Enggak usah, Dok," jawab suamiku.
"Kalau begitu, seratus tujuh pulu ribu."
Konsultasi dan pemeriksaan yang paling hanya memakan waktu sekitar lima belas menit itu memakan biaya 170 ribu. Ya, tiga lembar uang lima puluh ribuan dan selembar dua puluh ribuan saja.

S-A-J-A?

Sebetulnya kalau mau jujur, berat juga mengangsurkan lembaran-lembaran biru itu ke tangan lelaki tua yang berprofesi sebagai seorang dokter spesialis itu. Tapi mau bagaimana lagi? Memang segitu dia mematok harga untuk konsultasi dan pemeriksaan. Tak usah menyebut berapa uang yang mesti kusetor waktu menebus resepnya di apotik ya?

Kadang aku bingung mengapa dokter mematok harga setinggi itu. Mungkin itu "harga Jakarta". Sejak tinggal di Jakarta, dompetku memang harus menyesuaikan diri. Semasa di Jogja, untuk berobat di dokter spesialis, paling mahal aku "cukup" mengangsurkan uang sebesar enam puluh ribu. Kalau dokter umum dekat rumah, dua puluh ribu sudah dengan obat selama tiga sampai lima hari. Tetapi rasanya di Jakarta ini tak mungkin aku cukup membawa uang lima puluh ribu ketika hendak ke dokter. Begitu pula ketika hendak ke dokter di daerah Pulomas itu, rupanya uang seratus ribu tak cukup untuk menukar waktu dan konsultasi dengannya. Huh!

Bulan lalu, ketika aku kumpul-kumpul dengan keluarga besarku, aku sempat mengobrol dengan keponakanku yang sudah jadi dokter, Sita. Waktu itu kasus Prita masih menghangat. Menanggapi hal itu dia bercerita, "Sebenarnya, salahnya RS OMNI Internasional sendiri juga sih, kenapa mereka menuntut Prita. Sekarang kabarnya rumah sakit itu sepi banget. Nggak ada pasien. Yang ada di parkiran cuma ada mobil dokter saja."

"Oya? Sampai segitunya ya?" kataku.

"Iya," lanjutnya. "Dan semakin rumah sakit atau dokter itu money oriented, makin banyak kasus seperti Prita itu."

Hmm... jadi UUD to? Ujung-ujungnya Duit.

Dari obrolan dengan keponakanku tadi, aku tahu bahwa biaya untuk sekolah dokter spesialis itu muahaaal banget. Bisa sekitar 300-an juta. Maaf aku lupa-lupa ingat itu untuk dokter spesialis apa dan apakah untuk biaya masuk saja atau biaya selama kuliah. Tapi kira-kira segitu deh, dan bisa bisa lebih. Lalu ketika seseorang mengambil pendidikan dokter spesialis, ia tak boleh berpraktik sebagai dokter. Jadi ya mesti melulu sekolah saja. Bisa dibilang tak ada pemasukan lagi, dan itu yang kadang dirasa memberatkan. Bagi orang yang benar-benar berduit, itu tak masalah. Tapi untuk orang-orang pas-pasan, ya berat juga.

Mengingat hal itu, aku jadi berpikir ya pantas saja dokter-dokter (terutama dokter spesialis) mematok tarif yang mahal. Wong sekolahnya saja mahal. Jadi, jangan sakit deh! Ibuku bilang mendingan uangnya untuk makan daripada untuk bayar dokter :)

15 comments:

Ikkyu_san a.k.a imelda on 6:22 PM said...

betul... jangan sakit apalagi di jkt.
satu kali konsul di RS dekat rumahku itu 150.000. belum obat dan lab.
Dan kerasa sekali kalo urusan kesehatan ini, jakarta sama mahalnya dengan Tokyo yang sudah dicap sbg kota termahal di dunia....
(kecuali utk pemeriksaan general check up masih murahan di jkt, krn di tokyo tidak dicover asuransi)

bener, mending obatnya untuk makan yang sehat dan beli vitamin hehehe (dan naik taxi drpd kehujanan)

EM

vizon on 6:42 PM said...

alasan biaya kuliah mahal itu memang selalu jadi tameng bagi para dokter untuk mematok harga tinggi. sepenuhnya kita tidak bisa menyalahkan mereka. toh, itu sangat masuk akal...

barangkali yang bisa kita harapkan adalah "bantuan" pemerintah terhadap biaya pendidikan profesi dokter di perguruan tinggi. dengan bantuan dari pemerintah ini, setidaknya bisa meringankan beban biaya pendidikan tersebut, sehingga nantinya masyarakat dapat tertolong dengan dokter yang tidak mematok tarif tinggi.

hanya yang tidak adilnya adalah; kalau dokter sekali periksa, yang hanya butuh waktu tidak lebih dari 15 menit, boleh ditarif 50-100 ribu. tapi, kalau guru, yang akan mencerdaskan kehidupan anak bangsa, dihargai tidak lebih dari 10 ribu perhari! aih... mirisnya :(

Riris Ernaeni on 6:47 PM said...

seringkali kita lupa bersyukur masih sehat padahal kesehatan adalah anugerah yang tak ternilai harganya.

Salam sehat!!

IESP93 on 6:56 PM said...

Ya...betul...daripada dapat baik cegah, caranya perhatikan pola makan, tanggap situasi musim, kalo pas gak vit, konsumsi vitamin, mgkn gitu lah secara umum.

Mari kita jaga tubuh kita...

krismariana widyaningsih on 7:03 PM said...

@Mbak Imelda: Iya, Mbak. Lebih penting kita makan makanan bergizi. Mungkin butuh biaya lebih ya, tapi uang yang dikeluarkan sama saja dengan kalau kita berobat ke dokter.

@Uda Vizon: Iya Uda. Rasanya memang pemerintah masih setengah2 dalam mengurusi kesehatan masyarakat. Dan saya punya teman yg jadi guru, gajinya nggak seberapa Uda. Kerjanya pun tidak ringan.

@Riris: Buetul itu, Jeng! Bersyukurnya dengan tetap menjaga kesehatan :)

DV on 8:13 PM said...

Beda dengan Tokyo dan Jakarta, di Sydney kesehatan kebanyakan digratiskan :)

Tapi aku setuju dengan keprihatinan kita tentang betapa mahalnya ongkos untuk sehat.

Aku pernah diceritain temanku, dia cuma flu batuk saja tapi habis duit 600 ribu total untuk dokter dan obat.

Tau gitu dikasi Mextril aja sembuh. ya ndak :)?

Anonymous said...

emng jeng, kalo mau k dokter di Jakarta harus bawa duit banyak..sebelnya, kalo dokternya ga ngomong apa2. jadi kita sbg pasien yg harus cerewet tanya ini itu. ada juga pasien yg sebenernya cuma butuh didengerin dan dianggep, bukannya butuh obat yang muahal harganya itu...

surya said...

Lebih tepatnya kalo di negeri ini, jangan sakit kalo miskin. Semakin banyak kaum miskin yang tak bisa mendapatkan akses kesehatan. Seringkali ngelus dada, kalo melihat orang yang memilih pulang daripada harus nginep di rumahsakit. Alasannya sederhana, tak ada uang untuk nebus kamar dan obat.

krismariana widyaningsih on 2:00 AM said...

@DV: Bbrp waktu lalu aku juga pernah berobat ke dokter umum di dekat rumah krn sakit flu. Ongkos dokter dan obat sampai 300 ribu. Lebih murah drpd temenmu itu ya, Don :) Tapi kesel jg kalau inget itu. Nggak rela deh. Lagian aku jg ngga sembuh dg dokter dan obat semahal itu.

@Nana: Dokter itu apa dilatih supaya nggak banyak omong tapi bisa menarik ongkos yang tinggi ya waktu kuliah?

@Surya: Iya, memang "ngenes" kalau melihat orang kecil yg nggak sanggup berobat.

Anonymous said...

kesehatan, pendidikan mahal banget di negeri ini

miris.....

Ikkyu_san a.k.a imelda on 1:56 PM said...

@ DV... di Aussie sama sekali tidak bayar untuk obatpun? Kalau di Jepang tetap harus bayar sekian persen (30 persen kalo tidak salah) Gratis kalau anak-anak s/d umur 12 tahun. Biaya persalinan anak premature gratis. Kalau persalinan biasa dapat tunjangan 300ribu yen.

Tuti Nonka on 7:36 AM said...

Kalau di Puskesmas, kayaknya masih murah. Kakak saya dokter di Puskesmas di Cirebon, katanya pasien hanya membayar sekitar Rp. 3.000 (tiga ribu rupiah) saja, sudah dapat obat. Saya tidak tahu bagaimana di Jakarta.

Di Yogya, seperti kata Kris, tarif dokter spesialis sekitar Rp. 50.000. Disebuah rumah sakit swasta besar di Yogya, dokter bisa praktek di poliklinik biasa dengan tarif 50 riu, dan di poliklinik eksekutif dengan tarif 150 ribu. Dokternya sama, cuma tempatnya yang beda. Di poliklinik eksekutif, ruangnya berAC, mewah, nggak pakai antri, dan perawatnya cantik-cantik ...

krismariana widyaningsih on 10:56 PM said...

@Tuti Nonka: Iya, kalau di Puskesmas tentunya masih murah. Yang saya ceritakan itu adalah ketika saya datang ke dokter yang praktik di rumahnya sendiri. Saya pikir tarif dokter spesialis di Jogja dan Jakarta ya hampir sama. Biasanya di Jogja sekitar 50-60 ribu. Nggak tahu tuh dokter yg saya datangi di Jkt itu muahal buanget! Mungkin karena dia dokter senior kali...

Anonymous said...

Tersenyum baca judul dan endingnya..
itu kata2 mamaku sama adek2 yg kuliah di luar kota.. hayooo mending beli makan, jgn sayang2 duitnya ntar malah sakit ;)

anw... mahal juga ya kuliah spesialisnya...
heeemmmmm

Tapiiii yg di jogja bukannya juga spesialis.. koq bisa kasih tarif murah ? Apa mengikuti kemampuan pasar ya mbak ?

Oke, disini saya baru sadar.. dr tadi ngubek2 blog org.. komen panjang2 hahahhaa

maafkaaaaan :)

krismariana widyaningsih on 12:32 AM said...

@Mas Berto: Iya, mahal banget ya Mas. Kadang ini membuatku mikir, ngapain ya kita ini bernegara kalau kepentingan rakyat banyak aja nggak diurusi?

@Eka: Aku nggak tau kenapa di Jkt ini tarif dokter spesialis muahal banget. Di Jogja ke dokter (meski dokter spesialis), tarifnya masih cukup terjangkau. Btw, komentar panjang2 nggak dilarang kok :)