Thursday, July 09, 2009


Menjadi Pemimpin Itu ... Susah

Rasanya aku masih bisa merasakan debaran itu. Debar-debar di dada campur keringat dingin saat lembaran-lembaran kertas kecil itu dibuka dan nama yang tertulis di situ dibacakan. Ada dua nama yang beberapa kali disebut. Tapi belakangan, satu nama itu yang terus terbaca. Dan temanku di yang berada di depan papan tulis dengan riangnya terus membuat garis pendek-pendek yang menandakan jumlah anak yang sudah memilih nama itu. Semua anak tertawa riang, berceloteh ramai. Aku memaksakan untuk tersenyum meskipun kurasakan ujung bibirku gemetar. Tampaknya semua senang dan hanya aku yang kecut.

Ya, itulah hari pemilihan ketua kelas. Aku baru beberapa hari menempati bangku baruku di kelas 3 dan dalam beberapa hari itu pula kami harus memutuskan siapa yang akan menjadi ketua kelas. Entah mengapa, itulah saat yang paling menakutkan buatku. Aku tak ingin menjadi siapa-siapa di kelas itu. Tapi hari itu terasa berbeda. Dan rupanya firasatku benar, aku terpilih menjadi ketua kelas. Duh!

Sumpah, aku tak tahu kenapa teman-teman memilihku. Padahal aku mudah salah tingkah jika berdiri di depan kelas. Padahal aku sama nakalnya dengan mereka dan suka ramai di kelas jika guru tak ada. Padahal aku lebih suka usil mengganggu teman-teman daripada mengerjakan tugas saat guru tak ada. Ya, biar begitu toh waktu itu aku yang baru saja duduk di bangku kelas 3 SD sudah menjadi ketua kelas. Aku tak tahu apakah teman-temanku kemudian sadar bahwa mereka sudah salah pilih. Tapi yah, toh itu hanya ketua kelas, dan kami hanya anak kecil yang baru belajar untuk menjadi dewasa.

Mungkin dari sekian banyak orang, aku adalah orang yang tak pernah bercita-cita untuk mendapatkan kekuasaan. Sejak kelas 3 SD sampai aku menjadi karyawan di sebuah penerbitan, aku sama sekali tak ingin menjadi pemimpin. Bagiku menjadi pemimpin itu berat. Kenapa? Ibarat pohon, menjadi pemimpin itu adalah pucuknya. Pemimpinlah yang pertama kali disorot, dicari, dan dimintai pertanggungjawaban. Padahal, aku tak suka menjadi pusat perhatian. Aku lebih suka duduk di belakang, mengamati, dan akan dengan senang hati memberikan usulan-usulan yang menurutku berharga. Aku tak suka dicari-cari, karena aku lebih senang ngeluyur sendiri. Dan menjadi pemimpin berarti mengemban banyak tanggung jawab. Aku lebih suka bertanggung jawab atas diriku sendiri, bukannya mengayomi sekian banyak orang dan berusaha membuat mereka tersenyum.

Dalam benakku, menjadi pemimpin itu harus menjadi pribadi yang ideal. Karena itu aku terheran-heran ketika kujumpai beberapa orang pemimpin yang kujumpai menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan yang aneh. Ada yang tidak tegas, ada yang gila hormat, ada yang suka pilih kasih, ada yang tak suka dikritik, ada yang sok gaya dan pamer kuasa. Huh! Rasanya dari sekian banyak pemimpin yang kujumpai sedikit sekali yang punya integritas. Sedih melihat orang-orang yang seperti itu justru menjadi pemimpin. Kalau menurut pengalamanku sih, yang menanggung ketidakbecusan seorang pemimpin adalah puluhan bahkan ratusan orang yang menjadi bawahannya. Dan yah, sangat tidak enak menjadi bawahan yang tidak bisa berbuat banyak selain mengamini kata-kata atasan. Mau protes terhadap atasan? Siap-siap tidak gajian bulan depan atau siap-siap diturunkan jabatannya. Peraturannya adalah (1) atasan tak bisa salah, (2) jika atasan melakukan kesalahan, lihat aturan nomor 1. Hehe. Itu mungkin guyonan biasa, tapi dalam kenyataannya aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri.

Memilih seseorang menjadi pemimpin itu sulit. Betul kata Bu Tuti Nonka yang bilang lebih mudah memilih suami daripada memilih presiden. Hehe. Kalau memilih suami kan bisa pakai acara pedekate, pacaran, berteman dekat, atau apalah namanya. Dan dari situ akan ketahuan bagaimana belangnya orang itu. Kalau tidak cocok, ya sudah. Apakah mau bertaruh mau menghabiskan hidup dengan orang yang hanya membuat hidup kita kacau dan tidak bahagia? No way! Tapi kalau memilih presiden? Kita mesti rajin-rajin mengikuti berita, mesti baca juga pendapat kaum oposisi. Dan alangkah sulitnya mendapatkan berita yang objektif. Dan pas kampanye semua berusaha tampil manis. Padahal para capres dan cawapres itu tetep punya kedodolan masing-masing. Dan kedodolan mereka harus kita tanggung jika mereka menjadi pemimpin. Dooooh!

Tanggal 8 Juli kemarin pemilu pilpres sudah digelar. Dan dengar-dengar Pak BeYe yang dulu pernah bermimpi bisa mengubah air menjadi BBM terpilih lagi. Ya sutra lah ... Aku cuma berharap bapak yang satu itu tidak diam saja ketika ada golongan yang terpinggirkan, semoga pluralitas Indonesia tetap terjaga, semoga dia tak banyak utang, semoga dia tidak merepotkan rakyat (soalnya kampanye terakhirnya membuat jalan seputar Senayan maceeeet! Dan ini sangat ... sangat ... merepotkan masyarakat.)

10 comments:

Budaya Pop on 9:47 PM said...

Dulu jadi ketua kelas. Sekarang jadi ketua apa?

DV on 10:27 PM said...

Nasi telah menjadi bubur.. Benar!
Apa lacur SBY terpilih lagi jadi presiden, semoga ia bisa meneruskan mimpi menyulap air menjadi BBM, menyulap sukun, singkong dan kedelai menjadi mie instan dan menyulap indonesia menjadi negara plural ;)

krismariana widyaningsih on 11:52 PM said...

@Budaya Pop: Nggak jadi ketua apa2 hehehe

@DV: Yg kutakutkan adalah jika partai yg digandengnya itu lebih pintar dan "licik" dari presidennya. Gawat deh...

IESP93 on 9:48 AM said...

Nah...ada sesuatu yang tidak pernah kita sadari ketika sebagian besar orang memilih kita, ( saya, anda, atau semua )untuk menjadi pemimpin.Sesuatu itu sepertinya terus melekat dalam diri kita, dan tidak mau hilang.Itu adalah jiwa kita...
Trims buat tulisannya kali ini, pas banget.

Anonymous said...

smoga SBY tetap "independent" dan tidak "hutang budi" pada yang dibelakangnya

smoga pak Budiono bisa lebih berperan utk ketahanan ekonomi kita

vizon on 6:48 AM said...

bagiku, mencontreng kemarin itu tidaklah sulit. soalnya, ketiga pilihan itu sama baiknya dan sama juga buruknya. jadi, mau siapa saja yang bakal terpilih, saya hampir yakin kalau keadaannya akan sama saja...

maka, sebelum berangkat, aku berdoa dalam hati agar Tuhan menunjukkanku nomer berapa yang patut ku contreng. eh... ternyata, aku mendapat petunjuk melalui nomer bilik yang kupakai... hehehe... sorry, ini jangan ditiru ;)

menjadi pemimpin memang harus disertai bakat dan ilmu...

Muzda on 7:18 AM said...

Dulu waktu SD aku dipilih jadi ketua kelas cuma karena aku banyak ngomong, banyak protes.
Jadi aku dipilih supaya gak ada yang protes lagi.
Sukses ketempuhan.
Kapok.
Hahaa ...

Anonymous said...

siapa pun presiden kali ini...kami nggak bisa merubahnya lagi..

semoga smkn berkurang semua keruwetan yg ada di Indonesia...

krismariana widyaningsih on 1:42 AM said...

@kikis: terima kasih sudah menikmati tulisan saya :)

@alberto & nana: amiiin...

@uda vizon: saya nggak nyontreng, uda. abis bingung hehehe..

@muzda: hahaha! strategi yg jitu

Riris Ernaeni on 12:38 AM said...

hehehe..kita dukung saja Presiden terpilih kita, dengan tidak menjadi trouble maker bagi negeri ini. menyoal partai yang licik, percayalah ada tangan Tuhan yang sanggup mengendalikannya.

Hidup Indonesia..Jayalah Negeriku..(sedih jagoanku kalah :( )