Ketika Editor Bergelut dengan Naskah
(Sebuah Cerita dan Tips Singkat)
Dulu, kupikir menyunting naskah tulisan orang Indonesia akan lebih mudah daripada menyunting naskah terjemahan. Tapi ternyata sulit juga, euy! Cukup membuat aku geregetan dan bertanya-tanya, "Penulis ini mau ngomong apa sih?"
Salah seorang temanku pernah mengatakan bahwa menyunting naskah tulisan orang lokal itu susah karena "tidak ada contekannya". Hihihi. Begini maksudnya, kalau kita menyunting naskah terjemahan, kita kan sudah memegang buku aslinya. Nah, jadi kalau ada salah terjemahan, kan tinggal lihat buku aslinya. Tapi yah, masing-masing ada kesulitan dan kemudahannya.
Dan beberapa hari ini aku "ketiban sampur" untuk menyunting naskah lokal. Sebenarnya bukan serta merta ketiban sampur, soalnya aku yang minta kerjaan. Hehehe. Memang begini kalau jadi pekerja lepas, kadang-kadang aku perlu "meminta" pekerjaan dari penerbit. Selain untuk menambah jumlah angka di rekeningku, juga untuk menjaga relasi :)
Nah, kali ini aku mendapat naskah hasil tulisan penulis lokal berupa renungan. Ketika pertama kali memegang naskah setebal 90-an halaman itu dan membaca sekilas, aku membatin, "Ah, gampang nih! Paling tiga hari jadi." Tapi, wee ... jare sopo? Kata siapa tiga hari bakal kelar? Sebenarnya bisa-bisa saja, tapi itu berarti aku tidak ke pasar, tidak mencuci baju, tidak mencuci piring, tidak menyapu dan mengepel rumah. Hmmm ... seandainya bisa begitu ya? Hehehe, tapi lha wong aku ini editor lepas yang nyambi ibu rumah tangga je. Jadi, ya begitulah.
Dan ternyata naskah renungan itu membuatku merenung kenapa penulis ini sepertinya mengajak "berantem" denganku. Lho kok begitu? Iya, soalnya aku kadang harus mengernyitkan dahi karena tidak mudeng dengan apa yang dia tulis. Kadang aku pengen bertanya langsung dengan sang penulis karena sepertinya dia begitu cepat mengambil kesimpulan. Nulisnya asal! Tak jarang idenya melompat-lompat. Wah, padahal ini kan menyunting naskah, bukan mainan lompat tali. Hehehe. Jadi, aku akhirnya harus memotong kalimat-kalimat yang tidak perlu, terpaksa usul agar beberapa tulisan tidak dimuat, dan menambah kata atau kalimat supaya tulisan itu enak dibaca. Dan akhirnya ... selesailah aku menyunting naskah itu hari ini. Horrreeee!!! Aku merayakannya dengan membeli martabak manis di depan gang. Nyam! :)
Jadi, begini ya teman-teman, kalau kalian mengajukan naskah ke penerbit, tolong baca lagi tulisan kalian. Jangan menyusahkan editor ya? Hehehe. Tapi sebenarnya bagaimana sih naskah yang disenangi editor? Yang pertama, editor suka dengan naskah yang rapi. Setidaknya tidak keliru dalam menempatkan tanda baca dan spasinya cukup longgar jadi enak dibaca. Yang kedua, editor suka dengan naskah yang memuat hal-hal yang baru. Tema mungkin bisa sama dengan penulis lain, tapi tiap kepala dan kreativitas masing-masing orang kan beda-beda. Misalnya, ada banyak cerita tentang orang yang sedang jatuh cinta, tapi kisahnya sangat beragam to? Tinggal pinter-pinternya penulis mengemas tulisannya sehingga bisa menarik perhatian editor. Ketiga, kalau bisa sih penulis sudah tahu pasar tulisannya dengan jelas. Jadi, begitu diterbitkan bukunya akan langsung dijual ke pasar yang bersangkutan. Setidaknya tiga itu dulu deh. Intinya sih, curilah hati eh, perhatian editor. Selamat mencoba! :)
Monday, June 01, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:9:05 AM
|
Category :
buku,
editor,
naskah,
pekerjaan,
penerbitan,
tulis-menulis
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
Kapan ya nyunting naskah aku? Mudah-mudahan nggak diajak berantem, soalnya aku juga hobby lompat sana sini...kayaknya konsentrasi anak-anakku yang susah itu menurun dari emaknya. Terlalu banyak maunya hehehe....
Kris, aku setuju tapi lebih setuju untuk mencuri hati pemilik penerbit ketimbang editor ahhahahhahah.... Jadi kapan kira2 kowe nawari aku nggawe buku memasak meneh? Heheheheheh
Ah, asyik... Berarti aku bisa minta bantuan Mbak Kris buat naskah-naskahku, yah... :)
@ Retty Hakim
Menyunting naskah Mbak Retty? Hehehe, kapan ya?
@DV
Nek nggawe buku memasak, ketoke luwih apik sing nulis Joyce deh. Kowe kan mung tukang icip-icip tok to? :))
@Lala
Hahaha ... boleh aja, ntar bagi2 royalti hihihi. (Bercanda lo, Mbak...)
Seorang penulis memberikan sesosok nyawa pada tulisannya. Seorang editor mengamati hidup nyawa itu, sekali-kali mengoreksi jalan hidupnya, dan memastikan nyawa itu menyapa ajal pada saat yang tepat.
Jika siklus hidup tak lengkap pada naskah, pilihan menjadi editor kejam--bak malaikat maut--tak bisa dihindarkan. Itu tak masalah, sebab editor dapat menerawang cakrawala, dan dapat menilai apakah drama nyawa itu telah dengan baik dipentaskan hingga tuntas, dalam tulisan.
Menik, dari dulu aku tahu kamu tuh editor dengan karakter malaikat maut. Selamat berkarya!! ... heheh ...
@Om Ibel:
Wah Om ini memang jago ngasih metafora. Tp mosok aku editor yg kejam sih Om? Bukannya aku lembut dan murah hati? Hahaha! Emang klo mau naskah bagus, ya kadang harus tegas sih.
Hahaha ... berantem sama naskah? Ya pasti menang editornya, lha wong editor berhak mencoret-coret naskah yang pasrah menyerah nggak berdaya ...
Post a Comment