Bagaimana Beradaptasi Atas Kesenjangan Ini?
Ada satu hal yang membuatku tidak nyaman di Jakarta ini, yaitu begitu jelasnya kesenjangan sosial terhampar di depan mata. Di sini, aku dengan mudah menjumpai mobil merek Alphard atau Jaguar yang rasanya biar sampai mati seorang buruh pabrik di Pulogadung tak akan mampu membelinya. Atau, aku akan mudah menjumpai rumah-rumah semi permanen yang tak layak huni di pinggiran rel kereta, sementara itu ada saja orang yang dengan mudahnya membangun rumah gedong bagai istana. Gumun, jan gumun tenan aku. Aku heran sekali melihat hal ini. Dan jujur, melihat hal ini kok rasanya hatiku clekit-clekit, ya? Aku tak tahu adaptasi macam apa yang harus kulihat saat melihat kesenjangan seperti itu. Menutup mata seolah-olah semua itu bukan urusanku? Menganggap biasa dan wajar-wajar saja? Menggerutu? Menuliskannya di blog?
Setiap kali keluar rumah, pemandangan yang kontras semacam itu mau tak mau harus "kunikmati". Di sini aku bisa melihat pemandangan orang yang melarat benar-benar melarat dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mati konyol. Selain itu, orang di kalangan sosial yang lebih tinggi ada yang berusaha menutup mata melihat kenyataan ini, ada yang "take for granted", ada yang berusaha naik ke tingkat sosial yang lebih tinggi dengan menjadi "social climber".
Beberapa waktu lalu aku terbengong bengong saat mendengar di radio bahwa gaji Boediono semasa menjabat sebagai Gubernur BI kabarnya mencapai 150 juta. Ya... ya... mungkin itu jumlah wajar mengingat kapasitas dan posisinya. Tapi tetap saja, aku tak habis pikir, gaji segitu tiap bulan buat apa saja ya? Buat beli rumah tiap bulan sih rasanya mampu lo. Padahal para buruh itu harus berdemo di bawah terik matahari hanya untuk memperjuangkan UMR yang jumlahnya mungkin hanya dianggap "uang kecil" bagi beberapa petinggi perusahaan. Sementara itu, para buruh itu mungkin tak sanggup beli rumah yang cukup sehat untuk dihuni atau menyekolahkan anak mereka di sekolah yang bagus. Nah, kesenjangan semacam itu jamak terjadi di sini.
Ya ... memang, gaji seorang buruh tak bisa sama dengan gaji direkturnya. Setiap orang mendapatkan upah sesuai dengan kapasitasnya. Mungkin ada yang bilang buruh atau orang-orang kecil itu bekerja dengan hanya dengan menggunakan modal tenaga, sedangkan para manajer atau petinggi perusahaan mesti bekerja dengan menggunakan pikiran dan mereka pun bekerja keras agar perusahaannya yang menopang hajat hidup orang banyak tidak gulung tikar. Tapi kurasa, kita tak bisa mengecilkan arti pekerjaan yang dilakukan dengan hanya bermodalkan tenaga. Kalau tak percaya, cobalah untuk menarik gerobak sampah yang penuh muatan. Ciumlah bau sampah yang aduhai itu dan nikmatilah beratnya mengangkut sampah. Bagaimana? Mudahkah? Suatu pekerjaan yang menyenangkan?
Aku tak tahu bagaimana baiknya mengatasi kesenjangan sosial itu. Tapi yang kuperhatikan di sini adalah tampaknya kebanyakan orang membangun kenyamanan bagi diri mereka sendiri. Jarang sekali ada yang mengusahakan kenyamanan bersama. Dan ini memang sulit, kecuali bagi mereka yang mau melepaskan kepentingan pribadi dan punya pengaruh yang cukup besar. Pertanyaannya: Siapa yang mau melakukan hal itu?
Memang mau tak mau kita harus menerima bahwa ada orang yang berpendapatan amat banyak dan ada pula yang sangat sedikit. Tapi kurasa, orang-orang kecil yang berpenghasilan minim itu berhak memperoleh akses untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik. Masalahnya kan, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik di Indonesia ini adalah barang mewah. Lha wong berobat ke dokter umum untuk sakit flu, kita harus menyiapkan uang minimal 100 ribu, lo. (Aku bahkan pernah "dikemplang" oleh sebuah apotik yang merangkap klinik di dekat tempat tinggalku untuk terpaksa mengeluarkan uang sebanyak 300 ribu lebih hanya untuk berobat sakit flu! Huh!) Coba pikir, jika seorang buruh yang katakanlah gajinya 1 juta sebulan, bagaimana dia mau berobat ke dokter spesialis yang mungkin akan membuatnya merogoh kantong sampai 400 ribu? Dan uang sebanyak itu harus ia usahakan sendiri. Mau mengandalkan askeskin alias askes untuk orang-orang miskin? Belum tentu bisa lo.
Sebenarnya, aku rela membayar pajak lebih banyak, asal uang pajak itu dipakai untuk benar-benar menyejahterakan rakyat. Misalnya, dengan uang rakyat itu sekolah benar-benar gratis, jadi tak ada pungutan uang gedung dan semacamnya; semua rakyat bisa berobat gratis dan obat pun tidak mahal; dibangun perpustakaan yang bagus sehingga setiap orang bisa memperoleh informasi dan pengetahuan yang dapat membuatnya semakin utuh sebagai manusia.
Nah, teman-teman, setelah kulontarkan uneg-uneg ini ... tolong katakan padaku, adaptasi macam apa yang harus kulakukan saat melihat kesenjangan yang membuat otakku tak berhenti bertanya-tanya ini. It's always painful when I see this reality and I do nothing.
Friday, June 26, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:7:55 AM
|
Category :
curhat,
Jakarta,
kesehatan,
kesenjangan sosial,
pendidikan
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
14 comments:
Cara gampang yg dilakukan kebanyakan org yg terbiasa tinggal di jakarta: Cuek dan pura2 gak tau. selesai.
@Yusahrizal: Memang sptnya begitu sih cara mereka. Tapi kok aku nggak bisa ya?
semakin tinggi kedudukan
semakin tinggi gaji
semakin tinggi resiko
semakin tinggi juga pengeluaran untuk menyesuaikan kehidupan di lapisan itu.
dan memang benar, masyarakat miskin tidka boleh sakit. aku aja terkaget-kaget waktu ke emergency utk panasnya Kai wkt itu, periksa darah DB dan Tipus, semua total biaya 900rb... iya kalo ada duit, kalo ngga? duhhhh
gimana caranya?
di gereja Blok B sudah ada dokter-dokter yang praktek gratis memakai lahan paroki setiap hari bergantian. Harus mulai dari komunitas kecil, dan perlu kerjasama karena kita bukan dokter dan keahlian yang memadai. Tidak mustahil hanya perlu sedikit (baca banyak) berkorban...
EM
Mau bagaimana lagi?
Memejamkan mata pun tetap saja terbayang-bayang, manalah bisa dihilangkan.
Aku nggak bisa ngasi saran bagaimana cara mengatasi kesenjangan selain berteori dan terus berteori (dan ini akan membuatmu sepertiku: bosan).
Tapi bersyukurlah karena kamu masih diberi kegelisahan, Kris.
Tak sama dengan mereka (dan barangkali aku) yang cuek melihat itu semua, setidaknya ada satu topik yang tak pernah habis untuk didoakan.
Berpikir minimalis dengan mensyukuri semua yang ada, bahkan untuk hal yang buruk sekalipun :)
@ Imelda: Memang sih Mbak, di sini berobat mahal sekali. Pokoknya jangan sampai sakit aja, deh! Hmm... tapi memang benar, mesti dimulai dari komunitas kecil ya, Mbak?
@ Muzda: Hehehe, begitulah Jakarta. Kenyataan yg tak bisa dihindari.
@ DV: Hmmm... oke-oke.
Kesenjangan itu memang harus tercipta, coba kalo nggal ada kesenjangan, kayak apa dunia ini ?
menulis, mbak ... :P
@ Kikis: ???
Jadi kemiskinan gak perlu ditangani ya, Mas?
@ Femi: Iya, Fem ... Teriaknya cuma bisa lewat tulisan
aku udah lama mengkhianati jakarta. aku senang ninggalin jakarta. tapi...keprihatinanku nggak pernah bisa sepenuhnya hilang...
@nanaharmanto: memang paling nyaman ya ... keluar dari jkt ya?
yang penting jaga jangan sampai nurani mati rasa...
mau nggak mau komunitas kecil lah mbak Kris, kecuali kalau punya uang buanyakkkk banget...
di gerejaku ada macam-macam, ada dokter, ada GOTA (Gerakan orang tua asuh), ada juga bimbel...
Tinggal ngatur proporsi yang bisa diberikan...(soalnya kalau nggak keluarga sendiri nggak kebagian hehehe)
eh, tapi aku sudah bukan di Jakarta lagi ya..hehehe..lupa...jakarta coret hehehe...
Nah itulah pertanyaan yang benar, bukannya tidak perduli, kita kan punya hati, kita juga senantiasa dijarkan untuk menyatakan kasih dengan perbuatan, menyatakan iman kita dengan perbuatan, saya rasa menulis juga suatu perbuatan, memberikan makna tersendiri bagi pembacanya, sehingga pembaca jadi ngerti apa sebenarnya yang menjadi uneg2 penulisnya, sehingga mereka ikut terpengaruh dan akhirnya ikut bertindak.
Post a Comment