Tuesday, September 25, 2007

Jogja Kota (Ter)Pelajar?

Beberapa hari ini aku sengaja pulang selewat jam buka puasa. Soalnya, aku males banget kalau harus mengarungi kemacetan yang terjadi di seputar UGM dan sekitar Gejayan. Kalau yang memenuhi jalanan itu sepeda ontel dan becak, mungkin masih mending. (Mungkin lo! Soalnya mereka kan enggak mengeluarkan asap knalpot yang bikin sesak napas? Paling-paling cuma bau keringat, yang bakal hilang baunya kalau diguyur air plus sabun ketika mandi hehehe.) Masalahnya, yang berjubel di jalanan itu justru bus kota, mobil, dan sepeda motor. Asap dari knalpot2 itu membuat udara menjadi semakin panas. Dan sepertinya hidungku ini mendadak perlu disambungkan dengan tabung oksigen. Duh, berat di ongkos kan kalau naik motor saja perlu beli tabung oksigen? :p

Kemacetan itu kupikir disebabkan oleh banyaknya motor yang diparkir di seputar bunderan UGM. Motor-motor dan orang-orang yang nongkrong di situ sampai menutupi hampir separo jalan! Ditambah lagi berpuluh gerobak penjual makanan juga ikut nangkring di situ. Sampai-sampai aku heran, kenapa justru di bulan puasa justru makin banyak penjual makanan ya? Kayaknya kok enggak cocok banget dengan tujuan puasa itu sendiri. Ya memang sih, jualannya menjelang buka puasa di mana orang butuh membeli makanan untuk berbuka. Tapi apa enggak bisa sih makan seperti biasa? Kenapa mesti berjubel dalam rangka berjual-beli sehingga membuat repot orang lain?

Eh, sampai mana tadi? Oiya ... begini, yang aku herankan adalah kenapa kemacetan itu terjadi di sekitar kampus (dalam hal ini UGM)? Mestinya kan kalau di "daerah intelek" seperti itu, keadaan sekitarnya jadi kecipratan "intelek" juga dong. Begitu logika bodohnya. Tapi kok ya, justru di sekitar itu justru terjadi kemacetan yang amat sangat? Apa yang salah sih? Kenapa para mahasiswa di situ tidak bisa membuat perbedaan yang membuat orang di sekitarnya menjadi lebih nyaman?

Dan kalau menilik keadaan lalu lintas secara lebih lebar lagi, Jogja yang menyandang predikat kota pelajar, tidak menunjukkan "keterpelajarannya". Jogja mulai macet dan banyak pengendara motor yang ugal-ugalan.

Mungkin bisa saja dibilang bahwa predikat kota pelajar ini karena di Jogja terdapat banyak kampus. Tetapi kan kalau banyak kampus, semakin banyak orang yang menikmati pendidikan. Dan idealnya, jika pendidikan itu di sekolah formal itu ada dampak positifnya, paling enggak keadaan di masyarakat sekitar menjadi semakin baik dong. Tapi ternyata kok enggak ya? (Lalu apa gunanya sekolah dong?)

4 comments:

Hendri Bun on 8:21 PM said...

Emang Yogya sekarang udah berubah banyak yah Kris. Udah rameeee ... ndak seperti dulu yang adem tentram dan bersahabat?

Jadi kangen ama Jogja neh.Btw, kayaknya bulan Nov aku ada rencana ke Jogja loh. Hmmm ... ada ndak yah yang mau menampung aku hehe ...

Anonymous said...

Duhhh jd pengen cepet2 ke jogja lagi niy... pulkammm.... :D

Anonymous said...

Yogya memang udah rame sekali...dan kalau sepi, pengendara suka nggak lihat jalan. Pernah setahun yang lalu, saya lewat perempatan, lampunya pas merah, ehh...pak sopirnya bablaas...pas aku nanya...bilangnya cuma..."Bu, kan jalannya lagi sepi.

Wahh gawat...bisa-bisa terjadi tabrakan.

deFranco on 12:15 AM said...

Ya..ya..ya...mau gak mau Jogja memang harus menjadi seperti yang sekarang, kota tercinta ini semakin dinamis saja, Kalo orang masih suka bernostalgia dengan jogja yang dulu(adem, ayem, tentrem)memang boleh-boleh aja sih, tapi perlu di ingat juga bahwa sebuah kota gak mungkin akan statis seperti itu2 aja, jadi terima saja keadaan kota kita yang seperti sekarang ini, toh gak semuanya berubah jelek kan, masalah macet di bunderan kan itu emang udah tradisi dari dulu, dan entah kenapa saya selalu kangen untuk menghabiskan waktu menunggu buka ditengah hiruk-pikuknya bunderan...