Monday, September 07, 2009

Mencari Tuhan di Balik Cinta

Pernah punya pacar beda agama?

Bagaimana rasanya? Pusing menghadapi orang-orang di sekitarmu yang kadang tanpa diminta ikut urun rembug soal relasi kalian? Menyebalkan memang. Dan di negara ini memang sepertinya masih sedikit celahnya untuk orang yang beda agama bisa menikah dengan lancar. Kadang salah satu harus "mengalah" dengan berpindah agama. Kenapa harus pindah? Orang bilang, kalau di dalam satu rumah ada dua nakhoda, kan kasihan anak-anaknya.

Hmmm ... Sulit.

Aku sendiri tak bisa mengatakan pindah agama mengikuti salah satu pasangan itu baik atau benar. Dan aku tidak mengatakan bahwa sebaiknya begitu. Tapi begini, aku pernah dengan seorang lelaki yang seagama denganku, tetapi untuk urusan yang namanya agama, pikiran kami tidak nyambung. Aneh? Ya aneh. Dulu kupikir kalau seagama ya akan lancar-lancar saja. Tapi dari pengalamanku, tidak begitu. Ada saja yang kami perdebatkan untuk urusan di balik agama ini, dan kami tidak nyambung. Jadi, sudahlah ... bubar saja. Dari situ aku berpikir, mendapatkan pasangan yang seagama tidak selalu mempermudah hubungan.

Beberapa waktu lalu, di radio aku mendengar cuplikan dialog tentang sebuah film yang menggambarkan sebuah relasi antara laki-laki dan perempuan yang beda agama. Mungkin karena penasaran plus punya pengalaman pernah patah hati lantaran masalah serupa, aku pun mengajak suamiku untuk menyaksikan film itu. Judulnya CIN(T)A. Kupikir film itu diputar di semua jaringan bioskop 21. Tapi rupanya tidak, hanya di Blitz Megaplex saja film itu ditayangkan. Dan kata suamiku, Blitz yang di MOI (Kelapa Gading), tidak memutarnya. Jadi, harus segera nonton nih sebelum film ini hilang dari bioskop.

Sebenarnya aku tidak terlalu berharap akan mendapatkan suguhan film yang apik. Yah, selama ini film Indonesia kan tidak jauh-jauh dari pocong, kuntilanak, dan film komedi yang tidak jelas itu. Kalau film ini jelek, ya sudah ... namanya juga Indonesia (kok jadi nggak percaya sama buatan Indonesia sih? Duh!).

Ternyata aku salah. Film ini betul-betul menarik perhatianku. Kalau dipikir-pikir film ini cuma dua pemainnya. Pemain yang lain cuma dihadirkan lewat suara atau foto. Kalaupun ada orang yang tampil, wajahnya tidak ditunjukkan. Cuma kelihatan punggung atau tampil setengah badan. Pokoknya yang benar-benar tampil utuh, ya cuma Cina dan Annisa. Yang paling keren adalah pengambilan gambar dua jari yang melambangkan kedua tokohnya. Ih, keren. Kayaknya mesra banget. Padahal itu dua jari tok til. Tapi kereeen!

Yang membuatku menyukai film ini adalah dialog-dialognya yang cerdas. Buat orang yang tak pernah puas dengan satu penjelasan dan tak mau dikerangkeng oleh sebuah dogma, kalimat-kalimat yang diucapkan di film ini membuatku merasa "punya teman". Oh, jadi nggak cuma aku to yang berpikir begitu. Salah satu kalimat yang kusukai adalah kalimat yang diucapkan Annisa: "Kamu pikir kenapa Tuhan menciptakan atheis? Capek lagi jadi Tuhan yang selalu dipuja dan disembah. Kenapa tidak mencintai Tuhan apa adanya saja?" (Koreksi jika aku keliru mengutip kalimat itu, tapi seingatku kurang lebih begitu.)

Satu hal lagi yang menarik di film ini adalah cuplikan wawancara dua orang yang menjalin relasi beda agama. Cuplikan itu ditayangkan secara hitam putih. Sepertinya cuplikan-cuplikan hendak menjadi penopang bahwa di dunia nyata banyak sekali orang yang pacaran dan menikah beda agama. Mereka seolah terbentur dinding yang keras, dan mungkin tidak sedikit yang melarang hubungan mereka. Ya ... ya ... aku bisa mengerti. Tapi itu mungkin sebenarnya akar masalahnya cukup dalam dan tidak mudah terurai. Relasi mereka harus terbentur oleh sebuah misteri yang tidak mudah dipecahkan oleh akal manusia.

Menurutku, orang-orang di balik pembuatan film ini patut diacungi jempol atas keberanian mereka mengangkat isu yang cukup sensitif ini menjadi sebuah film. Jarang ada film yang "seberani" ini. Biasanya film yang membahas pasangan beda agama ujung-ujungnya adalah salah satu di antara mereka pindah agama. Akhir cerita semacam itu terlalu menyederhanakan masalah menurutku. Kurang dalam. Dan aku puas dengan film ini. Mungkin karena film ini tidak melihat agama secara hitam putih, tidak menganggap yang satu lebih benar dan yang lainnya salah.

*Gambar di ambil dari sini
Jika ingin mengetahui seluk beluk film ini lebih jauh, klik saja di sini

16 comments:

Riris Ernaeni on 12:35 AM said...

hm..Tuhan cinta semua bangsa, ras, dan agama. Rasanya aneh kalau perbedaan jadi pertentangan, perdebatan, apalagi perang.

Kendati demikian, dari dulu aku tidak berani membayangkan menjalin hubungan beda agama, mengapa?
karena butuh tingkat toleransi yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan toleransi kepada teman (kepada orang yg tidak ada ikatan) dengan aku.

utaminingtyazzzz on 12:46 AM said...

aku pernah dengan yang beda agama. hubungan kami sangat manis tapi pada akhirnya tetap saja hal satu itu yang membuat kami berpisah


sedih :(

Ikkyu_san a.k.a imelda on 1:39 AM said...

beda agama? Aku dan Gen beda agama... atau lebih tepat "tingkat religius"nya beda. Aku katolik yang (dulu) sering ke gereja, sedangkan Gen "Buddha" yang hanya ke kuil waktu upacara kematian/peringatan kematian.

SULIT, awalnya. Apalagi kami beda bahasa. Tapi akhirnya bisa saling mengerti, dan sekarang Gen simpatisan. (Anak-anak semua ikut aku)

Semoga saja tidak menjadi masalah di kemudian hari. Tapi selain agama, banyak hal lain kok yang lebih kuat kemungkinannya untuk menjadi masalah

EM

krismariana widyaningsih on 2:41 AM said...

@Riris: Memang aneh kalau perbedaan jadi pertentangan ya. Tapi begitulah kenyataan di dunia ini. Bingung deh.

@Utaminingtyazzzz: Ya, memang menyedihkan Mbak. Aku pernah ngalami kok.

@Mbak Imelda: Salut dg Mbak Imelda dan Gen :) Tapi kayaknya orang Buddha lebih terbuka menerima perbedaan ya Mbak? (Itu perkiraanku saja.) Dan memang selain agama masih banyak yg bisa memicu masalah. Menurutku, kalau beda agama tapi bisa berkomunikasi dg baik dan masing2 tidak ada yg saling memaksakan, tetep bisa menikah dg baik sih. Itu "teoriku", dan mungkin saja bisa salah...

the beautiful sarimatondang on 2:41 AM said...

kris, kalau kuingat2, 3x aku pacaran sama yg beda agama, termasuk sama mbak mu di rumah. tiga2nya indah tuh. mungkin karna sama2 mencoba melihat persamaan pada perbedaannya...halah....

Anonymous said...

template yang fresh...
Dari dulu aku blm pernah pacaran dgn cowok beda agama.
Pernah, hampir jadian dgn cowok beda agama dan beda suku. Dan kayaknya mamaku nggak sreg..jadi ya nggak sempet jadian hehe..

krismariana widyaningsih on 5:46 PM said...

@Bang Eben: Bagus dong kalau begitu. Dan yg sekarang bonusnya chef ya? hehe

@Nana: Terima kasih apresiasinya, Na. Memang kalau harus membuat sedih ortu, aku juga nggak mau.

vizon on 9:00 PM said...

pada prinsipnya, menikah beda agama tidaklah jadi masalah. tapi, aku menyarankan sebaiknya dihindari. namun, kalau sudah kadung cinta, mau diapakan lagi? toh, dengan cinta yang kuat, semuanya akan dapat terlewati dengan indah... :D

kayaknya film ini tidak terlalu dikomersilkan ya? sehingga tidak banyak yang mengetahuinya...

krismariana widyaningsih on 10:01 PM said...

@Uda Vizon: Katanya sih cinta mengalahkan maut, jadi kalau beda agama aja mestinya bisa dilewati oleh cinta dong... hehe. Itu sih teoriku aja, kali ya? Memang rumit sih kalau beda agama. Tapi kurasa bisa dilewati kalau memang keduanya niat, dan orang2 di sekitar mereka juga menerima hal itu.
Iya, kayaknya film ini tidak dikomersilkan. Di Jogja sempat diputar saat digelar Jogja-Netpac Asian Film Festival, di bulan Agustus lalu.

DV on 10:28 PM said...

Aku adalah produk kawin campur :)
Bapakku Islam sampai sekarang dan Ibuku juga masih rajin ke gereja.

Tapi untuk meniru mereka, aku sangat tidak merekomendasikan. Bukan, bukan karena mereka sering berantem, malah sangat jarang kulihat...

Tapi, gimana ya... sepadu-padunya mereka, se-toleran-tolerannya mereka tetap ada 'ruang' yang suwung yang nggak bisa diungkap dengan kata-kata.

Untuk perkara agama aku tetaplah strict meski tingkat rohaniku ya begini-begini saja :)

Aku lebih memilih (dan akhirnya terjadi) menikah dengan wanita beragama sama saja ketimbang harus memilih dengan yang beda agama dengan beda latar belakang dan sumber masalah...

Say no untuk kawin campur! :)

Anonymous said...

Maaf mbak kris, ku baru bisa berkunjung balik.
Habis liburan keluar kota soalnya..
Tentang hubungan beda agama, ku gak punya pengalaman mbak..
Jd gak ngerti deh, tp kalau berandai-andi sih harus ada komunikasi untuk membahas masa depannya nanti gimana..
Itu yg harus dipikhirkan bersama pasangan..

Sok tahu deh kikikik..

AndoRyu on 1:44 AM said...

menurutku "kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?"

Kalau misalnya bisa mempermudah hubungan antar suami-istri (pacaran kalau belum kawin) dgn berada didalam satu wadah yang sama seperti punya keyakinan sama, punya status sosial sama, punya visi yang sama, punya hobi yang sama, kukira malah lebih irit energi karena energi yang dipakai untuk ribut bisa disalurkan untuk hal lain.

Memang benar ada pasangan beda agama, status sosial, dll yang sukses menjalani hidup bersama, tapi aku yakin pengorbanannya sama besarnya dgn kesuksesan yg diraih. lg pula aku jg yakin kalau pasangan yg tidak sukses jauh lebih banyak jumlahnya.

Aku menganggap beribadah bersama keluarga juga suatu kenikmatan hidup. Aku bisa membayangkan betapa senangnya jika sholat bersama anggota keluarga, pergi ke gereja bareng suami-istri-anak, termasuk juga buka puasa bersama keluarga di satu meja. Hal ini sulit didapatkan kalau pasangan berbeda agama dan keyakinan.

Q - Kiss on 2:15 AM said...

hmmm idem with nana...

Eka Situmorang - Sir on 11:55 AM said...

eeeeh.. ganti template lagi mbak ? ;)
gak nyangka niy mbak Kris bisa suka yg kayak gini hehehe

Soal beda agama dikembalikan lagi ke orangnya masing2... tapi aku pribadi memilih yang seiman mbak :)

Gak kebayang kalo beda.... nambah satu lagi sumber konflik hehhehe

krismariana widyaningsih on 6:58 AM said...

@Eka: Iya, nih akhirnya "jatuh cinta" pada theme yg kaya gini... hehe ;)

Tuti Nonka on 7:55 AM said...

Aku setuju DV. Untuk bersahabat, berteman, kerja sama bisnis, atau apa pun, beda agama tidak masalah. Tapi untuk pasangan hidup, seiman adalah mutlak. Dalam Islam, wanita muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan pria yang bukan Islam.

Bagaimana kalau terlanjur cinta? Ah, masak cinta kepada manusia mengalahkan cinta kepada Tuhan?