Tuesday, October 28, 2008

Menyerbu Carrefour

Aku tidak terlalu suka berbelanja ke Carrefour karena beberapa kali kecewa mendapatkan barang yang tidak bagus: mulai kacang hijau yang sudah lama sampai panci yang baru sebentar dibeli sudah rusak. Jadi, tiap kali ada brosur diskon besar di Carrefour, aku tak pernah tertarik. Jera, deh! Mending beli di pasar.

Tetapi karena diminta menemani ibu temanku untuk berburu magic jar di Carrefour Buaran, aku akhirnya kemarin (27/10) menyambangi toko kelontong besar itu. "Berangkat jam berapa, Bu?" tanya saya."Katanya sih bukanya jam 9. Jadi, ya berangkat sekarang."
Sebenarnya aku bertanya-tanya, apa iya sih bukanya jam 9? Pagi amat, sih. Tapi ibu temanku bilang, dia mau membeli rice cooker yang sedang diskon besar-besaran hari itu. Cuma Rp 100.000,00, dan barangnya tidak banyak. Oke deh! Akhirnya jam 9 teng-teng, kami berangkat.

Sesampainya di sana, ternyata sudah banyak orang yang mengantri di depan rolling door Carrefour yang masih tertutup. Mungkin seratus orang lebih. Rupanya bukanya pukul 09.30. Memang, Plaza Buaran sudah buka dan beberapa toko sudah ada yang buka. Tetapi toko kelontong besar itu baru akan dibuka beberapa menit lagi. Aku heran, kok ternyata banyak juga orang yang tidak ngantor dan rela berdesak-desakan di depan toko yang masih tutup.

Ketika rolling door itu dibuka, orang-orang langsung menyerbu masuk. Aku sampai khawatir kalau ada orang yang pingsan karena terinjak-injak. Kami yang datang belakangan, cuma bisa melongo melihat tingkah orang-orang itu. Bahkan, pintu otomatis yang ada di dekat kasir itu sampai roboh! Beberapa orang sandalnya tertinggal di sana-sini. Aku sendiri tak suka ikut berdesak-desakan. Rasanya bodoh sekali jika ikut-ikutan mereka. Enggak deh.

Akhirnya memang tak semua orang mendapatkan rice cooker. Ibu-ibu banyak yang kecewa. Bahkan beberapa di antaranya sempat protes dengan petugas toko. Mungkin mereka sudah antri dari pagi banget, jadi wajar kalau kecewa. Aku sih, cuma senyum-senyum saja. Males banget deh, kalau hanya demi mendapatkan barang murah aku mesti ikut arus seperti itu. Lagi pula, apa iya sih mereka benar-benar butuh rice cooker? Kurasa mereka memanfaatkan momen saja. Sebenarnya tidakkah ini mencurigakan? Bagaimanapun Carrefour itu kan penjual, yang selalu ingin untung. Jadi, pasti ada "udang di balik batu", apa pun itu. Dan rasanya kok pihak toko tidak mempersiapkan dengan baik akibat pengumuman diskon besar itu, ya? Pengunjung menyerbu masuk bagaikan air dam yang baru dibuka pintunya. Pihak toko kewalahan. Dan ketika tahu orang-orang sudah berjubel mengantri, kok mereka tidak menyuruh pengunjung antri?

Tetapi yang jelas, kejadian kemarin membuatku semakin malas untuk ke Carrefour. Rasanya aku enggak rela memberikan uangku kepada pemilik toko kelontong besar itu; toh belum tentu dapat barang bagus dan pelayanan yang baik ...

Monday, October 13, 2008

SUVENIR
(hal kecil yang dianggap penting, yang sebenarnya sama sekali nggak penting)

Bagi yang sedang mempersiapkan pernikahan atau yang sudah menikah, barangkali sudah pernah merasakan pusingnya menemukan suvenir yang pas. Ya pas duitnya, pas fungsinya. Kalau bisa sih nemu suvenir yang murah, bagus, tidak gampang rusak, tidak kelihatan murahan, unik, dan berguna. Ukuran harga yang murah itu perlu. Kecuali bagi mereka yang duitnya sisa banyak, yaaa ... barangkali syarat "murah" itu tidak masuk hitungan.

Kemarin waktu aku menikah, aku sebenarnya tidak akan menyediakan suvenir. Kenapa? Sebenarnya sih aku ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa pernikahan tanpa suvenir itu tetap sah. Dan itu, tidak masalah. Kalau pun "dirasani" orang, berapa lama sih mereka bakal mempergunjingkan kami? Lama-lama gunjingan mereka toh akan berhenti. Kalau tidak berhenti, ya tebalkan telinga saja. Gampang. Lagi pula, beberapa kali aku mendapatkan suvenir "instan", alias baru dipakai sekali, langsung rusak. Sayang banget. Daripada duit dihambur-hambur untuk menyediakan suvenir yang (ternyata) mutunya jelek, lebih baik tak ada suvenir sama sekali. Iya, kan?

Tapi yah, mempertahankan pendapat di depan orangtua, ternyata tidak mudah. Awalnya ibuku setuju kalau tidak pakai suvenir. Tapi satu bulan menjelang hari H, ibuku mulai ribut. Duuuh! Pusing juga lama-lama. Akhirnya aku pun mencari suvenir yang murah dan berguna. Hmm ... apa ya? Notes! Itu saja. Aku bilang ke temanku supaya membuatkan cover, lalu aku memesan notes mungil ke sebuah percetakan kecil yang kata temanku cukup murah. Aku lupa berapa lama notes itu jadi. Tapi seingatku cepat juga kok. Dan harganya pun tidak mahal. Aku sengaja memilih notes sebagai suvenir karena kupikir toh banyak orang masih menulis. Dan notes itu kan bisa dipakai buat menulis pesan, daftar belanjaan, agenda harian, dll. Dan sekali lagi, harga cetak notes itu tidak mahal. Asal, ndak neko-neko lo. Enggak pakai cover dengan kertas bagus atau bagian dalamnya disablon. Lagi pula, kalau kita langsung pesan ke percetakan, jatuhnya tidak mahal.

Ngomong-ngomong soal suvenir, aku jadi berpikir, sebenarnya siapa sih yang "mengharuskan" kita untuk memberi suvenir. Maksudku, sebenarnya apa pendorong terbesarnya? Karena semua orang memberi suvenir? Apakah suvenir itu suatu keharusan yang diberikan sebagai tanda terima kasih? Apakah ucapan terima kasih itu tidak cukup jika berupa suguhan makanan yang banyak macamnya pas resepsi? Apakah kita datang ke resepsi pernikahan teman atau famili kita karena menginginkan suvenirnya? Bagi sebagian perempuan, aku kira memang memiliki rasa "penasaran" bakal mendapat suvenir apa. Tapi kurasa, itu terjadi karena setiap kali datang ke acara pernikahan, mereka mendapat suvenir. Coba kalau masyarakat kita tidak membudayakan suvenir, tentu tak akan ada rasa penasaran itu.

Bagiku, pendorong terbesar yang membuatku mengadakan suvenir adalah permintaan ibuku. Tak lebih. Lha kalau aku tidak menyediakan suvenir, ibuku bakal berlelah-lelah membuat pernak-pernik sendiri. Wah! Aku tentu tidak tega melihat ibuku pontang-panting, dong. Jadi, daripada ribut, mending aku merelakan beberapa ratus ribu untuk menyediakan notes-notes mungil. Lagi pula, tahu kan bagaimana ribetnya dan seberapa tinggi tingkat stres di seputar acara pernikahan? Ada banyak hal yang mendadak meminta perhatian kita. Mulai dari usulan anggota keluarga kita, undangan yang belum tersebar dengan merata, jenis makanan kecil yang akan dihidangkan, dll. Fiuuuh!

Aku sering heran, kenapa sepertinya masyarakat kita lebih mementingkan hal-hal remeh--seperti suvenir? Padahal untuk acara pernikahan, menurutku ada hal yang lebih penting daripada suvenir. Kesannya pas acara kawinan itu yang penting adalah hal yang tampak: dekornya bagus apa enggak, makanannya ada berapa macam, riasan pengantinnya bagus apa enggak. (Padahal tahu nggak, sanggul pengantin perempuan itu berat, lo. Dan lama-lama bikin pusing! Di balik kepusingan pengantin, orang-orang bertepuk tangan dan merasa senang. Is it what you looking for, huh?)

Aku kadang ingin melihat acara pernikahan yang benar-benar sakral. Tidak neko-neko; tidak diadakan gede-gedean supaya tampak "wah"; pengantin dan keluarganya bisa tersenyum lebar karena tidak memikirkan utang yang harus diangsur setelah ini; orang-orang yang datang pun bisa merasakan "nyes"-nya acara itu. Tak ada pergunjingan. Tak ada celaan. Dan, semuanya bahagia.