Wednesday, August 26, 2009

Aku Tidak Pulang ke Jawa


Ini petikan percakapanku dengan seorang teman di YM:
Teman (T) : Besok lebaran kamu pulang ke Jawa?
Aku (A) : Pulang ke Jawa?
T: Iya, kamu nggak pulang ke Jawa?
A: Emang Jakarta itu di dasar laut ya? Atau Jakarta itu suatu pulau sendiri?
T: He he
A: Aku pulang ke Jogja atau ke Madiun, bukan pulang ke Jawa

Ya, aku risi kalau ditanyai: "Mau pulang ke Jawa, ya?" atau "Kapan pulang ke Jawa?" Dan pertanyaan itu hanya dilontarkan kepadaku saat aku berada di Jakarta--oleh warga Jakarta. Biasanya sih yang melontarkan pertanyaan seperti itu adalah orang yang cukup lama tinggal di Jakarta. Jujur, pertanyaan itu malas sekali kujawab. Kenapa? Soalnya bagiku pertanyaan itu semacam meremehkan Jawa Tengah, Jogja, atau Jawa Timur. Padahal orang-orang yang akan pulang ke daerah Jawa Barat tidak ditanyai seperti itu. Biasanya mereka langsung menyebut nama daerahnya, misalnya pulang ke Kuningan, ke Pandeglang, dan sebagainya.

Kepada orang-orang yang lebih tua dan cukup kuhormati, biasanya untuk menjawab pertanyaan seperti itu aku akan mengatakan, "Saya mau pulang ke Jogja, Pak/Bu." Aku tidak mengiyakan begitu saja. Dan kepada orang yang bisa diajak bercanda, aku akan mengatakan seperti kepada temanku di YM tadi, "Memangnya Jakarta itu di dasar laut ya? Atau Jakarta itu suatu pulau sendiri?" Hehe. Please deh, Jakarta ini kan masih di Pulau Jawa. Jadi kenapa kalimat pertanyaannya seperti itu? Apakah orang-orang itu secara tidak langsung hendak menyatakan, "Ini lo gue orang Jakarta. Jadi, gue lebih tinggi derajatnya daripada elu yang orang daerah." Huh! Semoga saja tidak begitu.

Aku sampai sekarang masih bertanya-tanya apa yang membuat warga Jakarta memilih istilah pulang ke Jawa. Kenapa sih? Apa susahnya menyebut nama daerah atau kota yang dituju? Salah satu perkiraanku adalah, orang yang bertanya seperti itu cuma latah memakai istilah pulang ke Jawa. Maksudku, mereka asal saja dalam memakai istilah tersebut. Mereka tidak berpikir dulu sebelum menggunakan istilah itu. Duh! :(

Ngomong-ngomong, adakah yang tahu bagaimana sejarahnya sampai orang-orang Jakarta ini memakai istilah pulang ke Jawa?

Saturday, August 22, 2009

Tidak Masalah Tak Punya Teman Sekantor ...

Dulu kupikir setelah keluar dari tempat kerja yang sudah menggajiku selama lebih dari lima tahun, tak akan ada yang banyak berubah untuk soal pertemanan. Apalagi di zaman internet dan telepon begini, kurasa gampang-gampang saja kalau mau meneruskan obrolan yang biasa kami lakukan ketika masih satu ruangan. Kupikir kami masih bisa sering chatting atau sekadar mengobrol ngalor-ngidul dengan memanfaatkan tarif telepon yang cukup murah.

Hmm ... sesederhana itukah?

Ow ... ternyata tidak, Sodara-sodara. Biarpun bisa chatting, bertelepon, atau kirim SMS, relasi pertemanan itu tidak sekental jika kita bertemu setiap hari. Bagaimanapun, jarak bisa memudarkan kedekatan. Lagi pula ini hanyalah pertemanan, bukan kisah dua orang muda-mudi yang lagi kasmaran. Beda ceritanya, Bung! Awalnya sih dulu aku masih suka menyapa teman-teman kantorku dulu via telepon, email, atau SMS. Tapi lama-lama garing juga. Tak ada bahan pembicaraan yang cukup gayeng. Bagaimanapun dunianya sudah mulai berbeda. Mereka dengan dunia kerja dan segala keruwetan, sedangkan aku dengan dunia freelancer dan seputar rumah tangga. Tantangannya berbeda. Kadang-kadang ada persinggungannya sih, tapi ya biasanya hanya melulu soal pekerjaan. Tidak seakrab dulu lah menurutku.

Apalagi kemudian aku pindah ke Jakarta, beradaptasi di lingkungan yang baru. Ya, memang ada sih teman-temanku yang di Jakarta. Tapi kan kami tidak bisa ketemu setiap hari. Mereka masing-masing punya kesibukan sendiri. Apalagi dunia kerja di Jakarta ini begitu memakan waktu. Berangkat pagi, pulang malam. Sementara aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan beraktivitas di rumah. Dan bepergian di Jakarta ini menghabiskan waktu, tenaga, dan tentunya ongkos. Jadi, kalau mau menghemat ketiga hal itu biasanya aku di rumah saja. Toh memang aku bekerja di rumah.

Jadi, akhirnya mulailah aku rajin ke warnet. (Untung ada warnet di dekat tempat tinggalku.) Entah itu untuk update blog, blogwalking, membuka situs-situs berita, membuka email, mengirim hasil pekerjaan, dan sebagainya. Dan itu semakin sering kulakukan ketika kami sudah berlangganan internet. Rasanya dunia internet jadi dunia yang sangat menyenangkan bagiku. Yah, walaupun koneksi internet di rumah kami sering lemot, tak apalah.

Dan akhirnya, internet menjadi teman kerjaku selama kira-kira setahun belakangan ini. Dari pertemananku dengan internet, hal yang paling sering kulakukan adalah update blog dan blogwalking. Nah, salah satu blog yang cukup sering kukunjungi adalah TE alias Twilight Express milik Mbak Imelda. Aku sering ke situ awalnya karena pengin membaca cerita tentang kedua anaknya, Riku dan Kai, (yang dari fotonya tampak menggemaskan) dan cerita tentang kehidupannya selama di Jepang. Lagi pula, dia sering posting tulisan baru. Jadi, kalau absen beberapa hari, kadang aku sudah ketinggalan cerita.

Singkat cerita, akhirnya ketika Mbak Imelda mudik ke Jakarta tempo hari, kami pun kopdar. Kebetulan saat itu Nana--yang dulu pernah satu asrama dan satu unit denganku--bersama Bro Neo ada di Jakarta. Jadilah kami kopdar bersama. Cerita sepanjang kopdar itu gado-gado. Karena aku, Nana, dan Bro Neo dulu di Jogja, maka kami kadang bercerita soal teman-teman kami semasa di Jogja dulu. Kadang Mbak Imelda cerita tentang makanan di Jepang. Kadang Oni, suamiku, cerita soal kampung halamannya, Belitung. Macam-macam deh! Dan terus terang aku lupa-lupa ingat apa tepatnya yang kami obrolkan. Hihi. Tetapi kesan kopdar pertama itu: MENYENANGKAN.

Kupikir kopdar pertama itu selesai begitu saja. E, ternyata tidak. Beberapa hari kemudian Mbak Imelda menjawilku untuk ke Museum Tekstil. Cerita soal itu sudah kutuliskan di sini.

Dari beberapa postingan di blog dan FBnya selama dia di Jakarta, tampaknya jadwal kopdarnya cukup padat. Hehe. Jadi kupikir cukuplah aku kopdar dua kali. Tapi ketika Mbak Imelda posting soal Mie Janda di FB, aku jadi bertanya-tanya. Dasarnya aku penggemar mie, maka ketika mendengar istilah Mie Janda, rasa penasaranku kumat. Mie apa pula itu? Dan dari rasa penasaranku itu, aku pun dijawil untuk ikut menikmati Mie Janda. Yuuhuuu! Siapa yang sanggup menolak? Tentu tidak dong! Hehehe.


Akhirnya, pada hari Kamis 13 Agustus lalu, aku bersama Mbak Imelda (plus Riku dan Kai, tentunya) dan Eka meluncur ke Cibinong untuk bertemu Aa Achoey, sang penggagas Mie Janda itu. Bagiku hari itu terasa menyenangkan. Pertama, hari itu aku bertemu dua orang blogger lain yang baru kukenal: Eka dan Aa Achoey. Aku pernah mengunjungi blog mereka. Tapi seingatku belum pernah meninggalkan jejak di sana deh. Hehehe. Kedua, setelah menikmati Mie Janda, aku mengunjungi Taman Safari lagi (setelah sekian belas tahun lamanya). Ketiga, aku bertemu lagi dengan teman asramaku dulu, Galuh.

Yah, hari itu rasanya waktu berjalan begitu cepat. Pertemuan dengan teman-teman baru dan seorang teman lama memberikan suatu kenangan menyenangkan tersendiri bagiku. Kesanku, teman-teman blogger ini unik. Biarpun baru pertama kali bertemu, tak jarang kami sudah bisa mengobrol dengan cukup enak. Kecanggungan karena pertama kali bertemu biasanya mudah mencair. Mungkin itu karena kami sudah biasa saling membaca tulisan di blog. Dan malamnya, setelah mengantar Mbak Imelda pulang ke rumahnya, aku melanjutkan obrolan di mobil bersama Eka. Hey, ternyata kami bisa mengobrol panjang lebar loh! Hehehe. Asyik juga :)

Dari pengalamanku beberapa minggu kemarin sekarang aku berpikir begini: Biarpun aku tak punya teman sekantor yang bisa diajak ngobrol, itu tak masalah ... selama masih bisa ngeblog dan kopdar! :D

*Foto diambil dari akun FB Mbak Imelda. Maklum, ndak punya kamera sendiri, jadi ya nunut dipotretin aja :p

Wednesday, August 19, 2009


Pak Wahyo: Pemijat Tunanetra yang Ceria

Namanya Pak Wahyo. Aku tidak tahu nama lengkapnya, tapi begitulah ayahku menyebutnya. Perkenalanku dengannya dimulai ketika suamiku (waktu itu masih pacar sih) datang ke rumahku di Madiun dan dia mengeluh badannya pegal-pegal karena capek selama di perjalanan.

"Aku pengin pijit," katanya.
"Wah, pijit ke mana ya? Aku tidak punya tukang pijit langganan," jawabku.
Waktu aku masih kecil, aku memang biasa dipijit oleh tetanggaku. Tetapi setelah sudah agak besar, aku tidak pernah pijit lagi. Lagi pula, waktu aku masih kecil, tukang pijit itu sudah tua. Kalau dulu saja sudah tua, jangan-jangan sekarang mbah pijit itu sudah meninggal.

"Eh, tapi tunggu sebentar, seingatku Bapak punya langganan tukang pijit. Aku tanyakan ya," kataku lagi. Dan benar, Bapak lalu memberiku nomor telepon Pak Wahyo. Aku langsung menelepon dan membuat janji untuk pijit.

Keesokan harinya, pagi-pagi, kami bersepeda mencari rumah Pak Wahyo sesuai dengan ancer-ancer yang sudah diberikan oleh Bapak. Rumah Pak Wahyo terletak di ujung gang yang penghuninya cukup padat. Rumah tanpa halaman itu itu tampak kecil sekali dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain. Aku tak tahu berapa ukuran rumahnya, tetapi begitu kami memasuki rumah itu, rumah itu jadi terasa sangat penuh. Padahal, kami cuma datang berdua. Selain ranjang untuk memijit pasien, di ruangan depan rumah itu hanya ada satu kursi dan meja plastik. Di atasnya ada sebuah tape dan kipas angin tua. Sangat sederhana.

Bayanganku tentang Pak Wahyo sangat berbeda dengan kenyataannya. Kupikir dia orang yang tidak banyak bicara dan kaku, tetapi ternyata tidak lo. Dia sangat ramah dan pandai bercerita! Bahkan menurutku dia pandai melucu. Ada saja yang dia ceritakan.

Sambil memijit, dia bercerita panjang lebar bagaimana dia bisa buta dan akhirnya menjadi tukang pijit seperti sekarang. Rupanya dia tidak terlahir sebagai tuna netra. Waktu masih kecil dia sakit panas dan akhirnya membuat dia menjadi buta. Awalnya dia sangat frustrasi. Dia kesal kenapa hidupnya jadi seperti itu, bahkan dia sempat berusaha untuk bunuh diri. Tetapi teman-temannya datang menghibur sehingga ia mengurungkan niatnya. Suatu kali ia mendapat "penglihatan". Entah bagaimana, ia merasa ada seorang pria mendatanginya lalu mengatakan supaya ia jangan takut dan jangan putus asa; pasti akan ada jalan dan pertolongan. Sim salabim! Sejak "kedatangan lelaki misterius" itu semua pemikiran negatif dalam benak Wahyo kecil itu sirna. Akhirnya ia bersekolah SLB dan kemudian melanjutkan sekolah untuk menjadi pemijat profesional. Katanya, orang buta lebih peka sehingga lebih bisa mendeteksi bagian yang sakit.

Pak Wahyo mengatakan dia tak ingin dikasihani. Maka, dia suka "menjajal" keberanian. Dia bahkan berani lo pergi ke luar kota tanpa teman dengan naik bus! Dia hanya yakin, pasti akan ada orang yang menolong. Benar saja, selama perjalanan hidupnya, ada banyak orang yang menolongnya tanpa disangka-sangka. Misalnya, waktu dia naik bus, ia bertemu dengan temannya semasa SD yang kemudian menolongnya. "Nah, jadi saya ndak pernah takut, Mbak. Tuhan pasti memberi pertolongan. Benar itu!" begitu katanya dengan penuh semangat.

Dalam sehari, Pak Wahyo bisa memijat 3-4 orang. Sekali memijit, dia mendapat uang sekitar Rp 30.000,00. (Aku tak tahu tarifnya sudah naik atau belum.) "Selalu saja ada orang yang datang atau meminta saya datang," tambahnya. Dalam memijit Pak Wahyo tidak berpatokan pada waktu. Tetapi rata-rata 1,5-2 jam. Dia baru selesai memijit jika semua otot si pasien sudah lemas, atau bisa dibilang, dia memijit sampai tuntas. Bahkan jika si pasien tertidur, dia tak membangunkannya. Dia ingin si pasien puas dengan pelayanannya.

Dari obrolan dengannya aku tahu bahwa Pak Wahyo kini sudah menjadi duda. Istrinya meninggal beberapa tahun lalu karena kanker. "Padahal sudah saya pijitin tiap hari lo, Mbak," ujarnya. "Tapi kata dokter sudah stadium lanjut. Jadi ya sudah tidak bisa tertolong lagi." Mataku mendadak berkaca-kaca mendengar ceritanya.

Langganan Pak Wahyo bervariasi, mulai dari orang biasa sampai para pejabat dan pelaku bisnis. Tak jarang ada pelanggannya yang mau mengajaknya ke kota besar dan hendak memfasilitasi Pak Wahyo untuk membuka panti pijat yang lebih besar. "Tapi saya tidak mau, Mbak," katanya. "Saya di sini saja. Lebih bebas. Tidak perlu ikut orang." Dan kulihat hidup Pak Wahyo itu cukup menyenangkan. Jika tak ada pasien, tak jarang dia pergi ke toko kaset untuk membeli kaset-kaset lagu lama kesukaannya. Banyak lo koleksi kasetnya, dan dia hapal semua lagu sekaligus penyanyi aslinya. Dia memang hobi menyanyi dan dulu ada sebuah stasiun radio di mana ia bisa bernyanyi di situ. Di dinding rumahnya juga kulihat ada foto dia sedang bernyanyi di atas panggung.

Sekarang kalau kami pulang ke Madiun, suamiku merasa belum lengkap jika belum dipijit Pak Wahyo. Aku pun dengan senang hati mengantarkannya karena sembari memijit suamiku Pak Wahyo akan banyak bercerita. Dan ceritanya yang lucu-lucu itu menyegarkan hati lo! Tak percaya? Coba saja!

Monday, August 10, 2009

Memburu Teroris, Melawan dengan Kata-kata

Akhir-akhir ini hampir setiap malam aku dan suamiku berburu nyamuk. Entah mengapa semakin malam, semakin banyak nyamuk yang datang. Padahal kalau siang bisa dikatakan tempat tinggal kami hampir tak ada nyamuk. Tapi begitu hari mulai gelap, suara denging nyamuk plus gigitannya itu mengganggu sekali. Bekal kami adalah raket listrik untuk menyetrum nyamuk. Dan rasanya kami senang sekali mendengar suara PLETAK ...! diiringi bau nyamuk yang terbakar karena kesetrum. Lebih senang lagi kalau kami dapat nyamuk yang perutnya buncit berisi darah. Hhh, mati lu! Rasakan pembalasanku!

Kalau kupikir-pikir sebenarnya lebih baik mendapatkan nyamuk yang masih kurus. Kenapa? Soalnya, nyamuk kurus itu kan belum sempat menggigitku. Jadi, bisa dikatakan itu tindakan preventif alias lebih baik mencegah gigitan nyamuk daripada mengobati bentol-bentol gatal karena gigitan nyamuk. Dan yang lebih bagus lagi adalah jika kita bisa membasmi sarang nyamuk, yaitu uget-uget atau jentik nyamuk yang masih tidak berdaya itu. Pencegahan itu sebenarnya sudah kulakukan dengan menaburi bak mandi dengan Abate dan memasang kasa nyamuk. Tapi tetap saja masih ada nyamuk nakal yang berhasil menerobos rumah. Huh!

Perburuan nyamuk nakal itu mengingatkanku pada perburuan teroris yang punya hobi mengebom dan mencelakakan orang lain. Hobi yang aneh, ya? Tapi mau bagaimana lagi? Mereka masih saja ada. Biar beberapa kali sudah dilakukan penggrebekan di rumah-rumah yang ternyata menyimpan bom itu, kaum teroris itu masih gentayangan seperti drakula.

Dan Sabtu lalu (8/8/09) aku sempat menyaksikan di televisi acara penggrebekan rumah di Temanggung itu. Tapi aku tidak menyaksikan sampai habis dan aku sering mengganti-ganti channel untuk melihat Bara Patirawajane yang dengan lihainya memasak. Enak bener. Saat melihat acara penggrebekan di Temanggung itu aku sempat berpikir, kok kalau dipikir-pikir, kok rada aneh ya menggrebek sarang teroris dengan persenjataan lengkap? Lah lalu bagaimana?

Begini, menurutku perburuan teroris itu tak selamanya bisa dilakukan dengan mengandalkan senjata. Bagaimanapun alasan mengapa mereka melakukan pengeboman itu sarangnya ada di dalam otak dan hati mereka. Sekarang mari kita bandingkan dua tindakan ini:
1. Apa yang membuat kita langsung menarik tangan saat jari kita terkena panasnya api? Karena kita tak ingin terluka. Itu adalah gerak refleks--gerakan yang tidak membutuhkan perenungan atau pemikiran.
2. Apa yang membuat kita pergi ke bank dan menyisihkan gaji kita untuk ditabung? Karena kita sadar bahwa mungkin ada kebutuhan tak terduga di masa mendatang atau untuk jaminan hari tua kita. Tindakan ini membutuhkan suatu kesadaran dan pemikiran.

Jelas kan apa yang mendasari kita bertindak? Yang satu karena biologis, yang satu lagi karena pertimbangan dan pemikiran.

Nah, sekarang mengapa para teroris itu mengebom? Itu kurasa karena apa yang tersimpan di dalam pikiran mereka mendorong untuk melakukan itu. Sebenarnya yang tersimpan di dalam pikiran manusia bentuknya adalah kata-kata. Kata-kata itu bisa muncul karena pengalaman kita sendiri atau orang lain; karena kita melihat, mendengar, merasakan, atau membaca sesuatu. Jadi, sebenarnya awalnya adalah kata-kata yang bergema di dalam kepala.

Aku tak tahu persis apa yang bercokol di kepala para teroris yang tega melakukan pengeboman itu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aneh juga kenapa mereka sampai tega melakukan hal itu. Coba pikir, saat kita tidak terdesak atau hidup kita tidak berada di ujung tanduk, kita pasti tidak akan melakukan hal-hal yang bisa mencelakakan orang lain, kan? Berbeda dengan orang yang sedang berhadapan dengan maling lalu dia melihat pisau, maka dia mungkin bisa menusukkan pisau itu. Jadi kalau mereka tega mengebom, mungkin mereka merasa keberadaan mereka terdesak, dan karena itu harus menghabisi musuh. Siapa musuhnya? Katanya sih orang kafir. Tentu kafir menurut mereka, ya?

Nah, jadi kupikir kalau kita hendak memberantas teroris, sebenarnya itu bisa dilakukan dengan beradu argumentasi dengan mereka. Atau, dengan kata lain, ubahlah isi kepala mereka. Dan semua itu amunisinya adalah kata-kata--bisa dalam bentuk lisan atau tulisan. Jika isi kepala mereka bisa diubah, kurasa pengeboman itu bisa dikurangi banyak. Rasanya ini seperti memberantas sarang nyamuk, yaitu menghilangkan bibit permusuhan sebelum dia berkembang menjadi pemikiran yang mengerikan dan membuat kita semua celaka. Lebih baik mencegah (dengan kata-kata) daripada mengobati (korban bom).

Saturday, August 08, 2009

Serpihan dari Film 3 Doa 3 Cinta

Menonton film selalu membuat pikiranku berkelana. Begitu pula ketika aku menonton film 3 Doa 3 Cinta ini. Sudah lama aku dan suamiku mengincar film ini untuk kami tonton bersama. Seingatku film ini tayang di bioskop sekitar tahun baru lalu. Tapi rupanya film ini tidak terlalu lama tayangnya dan kami ketinggalan menontonnya. Jadi, akhirnya suamiku kemarin membeli DVD-nya dan kami baru menonton tadi (8/8/09).

Film ini mengangkat kisah kehidupan para santri di pesantren tradisional. Bagi aku seorang nonmuslim, penggambaran kehidupan mereka itu menarik. Aku belum pernah melihat secara langsung kehidupan di dalam pesantren. Dan film itu memperkaya pemahamanku tentang kehidupan teman-teman muslim--terutama yang pernah menjadi santri.

Film ini mengingatkanku tentang keluarga besarku, tentang pengalamanku kemarin sore, dan tentang kejadian akhir-akhir ini. Tiga hal itu rasanya menempel begitu kuat tatkala menyaksikan adegan demi adegan di film itu. Hmmm ... begini ceritanya ... sebenarnya aku sudah lama ingin menuliskan keberagaman di dalam keluarga besarku. Keluarga besarku mayoritas muslim (dan menurut yang kulihat, ada yang abangan dan ada yang tidak). Lalu ada juga yang menganut aliran kepercayaan. Dan ada pula yang Kristen. Keluargaku sendiri beragama Katolik. Oleh karena itu, aku sudah biasa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama denganku. (Dalam tulisan ini aku tidak akan membahas bagaimana keluarga besarku bisa terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan.)

Kemarin sore, aku sengaja menginap di rumah Tante di Pondok Aren. Sebenarnya ini adalah alasan praktis untuk memfasilitasi keinginan suamiku sih. Karena tempat tinggal kami cukup jauh dari tempat berlangsungnya acara itu, kami memilih menginap di rumah Tante yang rumahnya relatif lebih dekat dari Pondok Indah. Kemarin suamiku ingin ikut acara di masjid Pondok Indah. Dia bilang dia ingin ikut acara pengajian di sana. Loh? Rupanya pengajian yang dimaksud berasal dari kata kaji, yang artinya di sana akan diadakan pembahasan suatu topik. Kali ini topik yang diangkat adalah bedah buku terbitan Serambi. Aku lupa apa judul bukunya. Yang jelas, tema yang dibahas kemarin adalah “Agama-agama Ibrahimi: Titik Temu dan Titik Seteru antara Yahudi, Kristen dan Islam”. Pembahasnya adalah Pdt. Dr. Stanley R. Rambitan (Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) dan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Dosen UIN Jakarta). Soal bagaimana pembahasannya, tanya langsung pada suamiku ya! Hehe. Wong aku tidak ikut acaranya :p Tapi dari ceritanya sih, acaranya bagus. Diskusinya bisa mendalam dan masing-masing pihak bisa berdiskusi dengan kepala dingin.

Nah, ceritanya suamiku langsung menuju masjid Pondok Indah sepulangnya dari tempat kerja, sedangkan aku ikut mobil Tante. Tanteku ini muslim. Lalu karena hendak menjemput anaknya yang sekolah di Al-Azhar serta sudah waktunya sholat maghrib, kami pun berhenti di masjid agung. "Tante nanti sholat dulu ya," kata Tante. Dan ketika turun dari mobil, Tante mengajakku. Oh, Tante tentu tidak mengajakku untuk sembahyang bersamanya. Tetapi daripada aku sendirian di dalam mobil, lebih baik aku "mengintil" dia dan aku pun duduk-duduk di undak-undakan depan pintu masjid. Saat itulah aku teringat peristiwa ketika aku dan kakakku menikah. Waktu acara pemberkatan nikah di gereja, om, tante, pakde, budeku yang beragama lain ikut masuk ke dalam gereja dan memberikan doa restu. Aku tak tahu bagaimana pandangan orang lain ketika melihat di dalam gereja ada saudara-saudaraku yang mengenakan pakaian muslim ikut masuk. Bagiku tidak masalah. Dan aku bangga kepada mereka karena kesediaan mereka untuk itu. Lagi pula, seekor burung yang masuk ke kandang ayam, tidak otomatis menjadi ayam, bukan? Begitu pula, orang non-Katolik yang masuk ke dalam gereja tidak akan otomatis membuat mereka menjadi Katolik. Dan kali ini akulah yang ikut Tante ke masjid. Hehehe.

Kembali ke film 3 Doa 3 Cinta tadi. Di film itu digambarkan tentang dua macam kyai. Yang satu aliran fundamentalis garis keras, yang satu lagi Kyai Wahab yang mengajarkan toleransi serta menghargai agama dan budaya lain. Lewat film ini, Nurman Hakim selaku sutradara, penulis skenario, dan produser hendak mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki pendirian seperti Kyai Wahab. Aku sendiri percaya akan hal itu, mengingat kebersamaan seperti yang aku rasakan dalam keluarga besarku.

Belum lama ini Hotel JW Marriot terkena bom lagi. Menyedihkan memang. Aku tak tahu ada berapa banyak orang yang lalu menuding umat Islam berada di balik pengeboman ini. Aku sendiri berpikir kurasa mayoritas umat Islam di Indonesia tak akan suka digebyah uyah, atau disamaratakan sebagai pengikut aliran yang suka mengebom itu. Lagi pula, agama mana sih yang mengatakan membunuh orang lain adalah baik? Jadi bagaimana? Kurasa untuk menyikapi hal-hal yang merusak kesatuan Indonesia, kita semua--apa pun agamanya dan kepercayaan--perlu bergandengan tangan untuk mempererat persaudaraan. Aku percaya, orang yang benar-benar beriman akan lebih bijak dan bisa saling memahami orang yang berbeda. Hmm ... bagaimana menurutmu?

Wednesday, August 05, 2009


Belajar Membatik di Museum Tekstil Jakarta

Beberapa hari belakangan ini aku pengen banget menyepi. Ya, betul-betul pergi ke tempat yang cukup sunyi, terlepas dari hiruk-pikuk ibu kota ini. Rasanya capek betul mendengar kebisingan yang sepertinya jamak sekali kujumpai di Jakarta: bunyi lalu lalang penjual makanan yang lewat di depan rumah, para pemakai jalan yang rajin membunyikan klakson, orang-orang yang terus berbincang. Jakarta memang gaduh. Tapi di Jakarta ini, biar sudah mengumpet di dalam rumah, tetap saja aku bisa mendengar hiruk-pikuknya Jakarta dari balik jendela.

Jadi, ke mana aku bisa menyelamatkan kupingku dari polusi suara itu?

Rabu lalu (5/8/09) aku menemukan salah satu tempatnya, yaitu di Museum Tekstil. Museum itu memang terletak di daerah yang cukup ramai. Tapi begitu masuk ke pelatarannya, suasana luar yang hiruk pikuk itu rasanya langsung teredam oleh banyaknya pepohonan, halaman yang luas, dan suasana khas bangunan tua. Rasanya seperti bukan berada di Jakarta! Sebenarnya aku ke sana setelah janjian dengan Mbak Imelda sih. Kalau tidak, barangkali setelah beberapa lama tinggal di Jakarta, aku ya tidak akan sampai ke sana. Dia dan dua anaknya, Riku dan Kai akan berkunjung ke sana. Jadi, mumpung ada teman, sekalian saja aku ke sana.

Awalnya aku tak tahu di mana letak Museum Tekstil itu. Dan mulailah aku bertanya ke temanku yang sudah lama tinggal di Jakarta. Tapi apa jawabnya? "Museum Tekstil? Mana itu?" Gubrak! Welhadalah, dia sudah sepuluh tahun tinggal di Jakarta tapi tidak tahu letak Museum Tekstil. Ah, Jakarta memang terlalu luas. Dan banyak warga Jakarta yang tidak tahu tentang museum dan tempat-tempat semacam itu. Apalagi pendatang kaya aku yang lebih banyak tinggal di rumah daripada keliling Jakarta? Ya jelas tak tahulah. Dan rupanya ... Mbak Imelda yang besar di Jakarta juga tidak tahu tempatnya. Hi hi. Jadi, daripada kesasar tidak karuan, lebih baik aku menunggu mereka di depan Diknas.

Ketika sudah di dalam taksi, kami meminta pak supir mengantarkan ke tempat yang dituju. Tapi ternyata supir taksi itu pun tidak tahu di mana letak Museum Tekstil. Duh! Orang buta menuntun orang buta deh. Yang kami tahu museum itu letaknya di Jl. K.S Tubun 2, Tanah Abang. Tapi di mana tepatnya, yaaa ... mene ketehe? Agak menyesal juga kenapa aku tidak membawa peta milik suamiku. Tapi supir taksi itu cukup pintar juga dalam mencari info. Dia bertanya ke penjual handuk di pinggir jalan, dan mengantarkan kami ke sana tanpa perlu kesasar.

Taraaa...! Akhirnya sampailah kami ke sebuah bangunan tua yang cukup besar dan berhalaman luas dengan beberapa pohon cukup tinggi. Lalu kami pun mulai menjelajahi museum. Tapi sayang koleksi di sana sedikit sekali. Aku agak kurang bisa menikmati suasana dalam museum karena di dalam ruangan itu kesanku baunya apek. Sebenarnya aku lumayan suka bangunan tua, tetapi kalau baunya apek, aku jadi malas. Hmmm ...

Setelah melihat-lihat koleksi museum, kami menuju bangunan kayu yang berada di bagian belakang museum untuk membatik. Yuuhuuu! Akhirnya kesampaian juga aku untuk berlatih membatik. Selama ini aku hanya pernah melihat orang membatik, tapi belum pernah benar-benar memegang canting dan menorehkan malam panas di atas kain. Awalnya Riku dan aku saja yang akan membatik. Tapi rupanya ketika melihat kami asyik menggambar di atas kain, Mbak Imelda jadi tertarik juga. Sebenarnya aku sudah berpikir, nanti kalau kami bertiga membatik, siapa yang menemani Kai? Kai masih terlalu kecil untuk ikut membatik. Aku berharap dia tidak bosan menunggui kami.

Setelah kami selesai menggambar pola gambar di atas kain kira-kira selebar sapu tangan, mbak petugas museum menerangkan do and don'ts saat membatik. Yang agak repot adalah ketika si mbak hendak menerangkan pada Riku yang lebih fasih berbahasa Jepang daripada berbahasa Indonesia. Dan karena aku tidak tahu seberapa banyak kosakata bahasa Indonesia yang diketahui Riku, aku mengatakan supaya menunggu Mbak Imelda saja untuk membantu menjelaskan ke putra tercinta.

Tak lama, mulailah kami membatik. Asyik banget. Mungkin karena gambar pola yang kupilih cukup mudah ya, jadi rasanya gampang-gampang saja. Sembari membatik aku tanya-tanya ke mbak petugas yang ternyata lulusan ISI Jogja. Rupanya di situ banyak juga yang tertarik belajar membatik. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Tidak jarang ada serombongan anak SD yang belajar membatik bersama-sama di situ. Lalu, saat kami di situ, datang tiga (atau dua ya?) orang turis Jepang yang ingin belajar membatik. Untuk membatik di atas kain kira-kira selebar sapu tangan, kita cukup membayar Rp 35 ribu rupiah (itu sudah termasuk harga karcis museum). Kalau untuk membatik kain panjang (jarik), biayanya Rp 200 ribu rupiah. Untuk membatik, ukurannya bukan waktu, tapi lebar kainnya. Jadi, kalau mau membatik untuk kain panjang, tak harus selesai satu hari. Selain itu di sana bisa belajar membuat gerabah juga katanya si mbak petugas.

"Selesai, Mbak!" kataku setelah semua garis kuberi malam. Tapi ternyata si mbak mengatakan, "Bagian belakangnya juga diberi lilin. Sama persis dengan yang bagian depannya, ya!" Aih ... rupanya aku baru setengah jalan to. Dan membubuhi lilin di sisi belakang ini lebih sulit, karena harus sama persis dengan yang bagian belakang. Ugh, capek juga ya. Mungkin karena sudah agak capek, lilin panas itu sempat tumpah dan kena jari telunjukku. Wew! Panas banget! Mbak petugas museum segera memberiku salep untuk luka bakar. Aku berharap cuma aku yang mengalami kecelakaan itu.

Eee ... tapi rupanya Mbak Imelda "ketiban sampur" juga. Karena Kai bosan dia mendekati mamanya yang sedang memegang canting. Entah bagaimana malam panas itu melayang dan mengenai kelopak mata kiri Mbak Imelda. Mak tratap! Jantungku sepertinya mau lepas saat melihat kejadian itu. Dan aku mendadak bengong tak tahu mesti bagaimana. Tapi untunglah petugas di museum itu cukup sigap, dan langsung memberikan salep untuk luka bakar.

Akhirnya setelah kami selesai membubuhkan malam, dimulailah proses pewarnaan. Kali ini yang melakukan proses itu adalah mbak petugas dari museum. Jadi, kami hanya menonton saja hehe.

Oiya, kalau ingin tahu lebih banyak soal Museum Tekstil ini, Mbak Retty Hakim sudah menuliskannya agak panjang di sini.

*Foto di atas diambil oleh Mbak Imelda.

Monday, August 03, 2009


Merindukan (Kepemimpinan A la) Purvis

Entah apa yang membuatku mengatakan iya ketika suamiku bertanya, "Mau nonton Public Enemies, nggak?" Aneh. Biasanya aku malas sekali menonton film yang penuh adegan tembak-tembakan. Aku tidak tertarik melihat darah berceceran yang sering muncul di dalam film semacam itu. Dari judulnya saja sudah jelas bakal ada adegan tembak menembak.

Apakah karena Jonny Deep menunjukkan aksinya di film ini? Ah tidak juga. Aku bukan penggemar berat Jonny Deep. Iya, iya dia memang cakep, tapi bukan seleraku banget hihi. (Kayak dia mau sama aku aja :p) Yah, pokoknya tiba-tiba aku pengin nonton saja.

Akhirnya, senin sore itu aku nonton bersama suami dan dua orang teman kami. Dan bisa ditebak, aku yang lebih suka menonton film animasi, merinding ketika menonton film itu. Adegan tembak-tembakannya itu lo, mantep banget. Saking mantepnya, membuatku beberapa kali harus menutup mata kalau melihat darah sudah mulai berleleran. Dooooh ...!

Tidak, aku tidak akan mengulas film Public Enemies ini. Kalau mau tahu review-nya, lebih baik baca di sini saja. Suamiku sudah menuliskannya dengan baik. Hehehe. (Ni, ini aku promosiin blogmu lagi nih!) Di film ini yang mengesankan bagiku adalah penampilan Christian Bale. Gile, cakep! Yang cakepnya kaya gini nih, yang termasuk seleraku. Dan dia memerankan Melvin Purvis, agen FBI yang tugasnya memang mengejar John Dillinger yang licin bak belut itu.

Sebenarnya C. Bale terlalu tinggi untuk memerankan Purvis. Soalnya pas aku membuka-buka arsipnya om Wiki, Purvis ini ternyata "pendekar" alias pendek kekar. Tapi tak apalah, untuk memanjakan mata penonton seperti aku, C. Bale itu sangatlah menghibur. Hihi.

Jadi, ceritanya aku ini terinspirasi sekali oleh gaya kepemimpinan Melvin Purvis. Di awal kepemimpinannya, ada anak buahnya yang tewas saat mengendus jejak gerombolan Dillinger. Lalu, dia tanpa ragu mengakui bahwa dia tidak sanggup menangkap Dillinger jika tanpa dukungan anak buah yang bisa diandalkan. Dia mengatakan lebih baik mundur daripada menyerahkan anak buahnya satu per satu tewas disosor peluru dari gerombolan Dillinger. Aku mengacungkan jempol untuk kerendahan hatinya mengakui kelemahan. Tidak ada ceritanya tuh dia memarahi anak-anak buahnya untuk menutupi kelemahannya.

Lalu, yang aku salut banget adalah ketika ia menegur anak buahnya karena memperlakukan pacar Dillinger dengan kejam sampai-sampai perempuan cantik itu tidak sanggup jalan ke toilet. Tahukah kalian apa yang dilakukannya ketika Frechette dengan terbata-bata berkata, "Aku tak sanggup berjalan...."? Purvis itu menggendongnya! Tak ada kesan dia ingin memanfaatkan kesempatan untuk menyentuh perempuan cantik itu, tapi semata-mata karena begitulah seharusnya memperlakukan wanita. Meskipun dia termasuk dalam komplotan penjahat, tapi tidak boleh ditampar dan dipukul.

Kemudian, ketika timnya sedang baku tembak dengan gerombolan Dillinger di Litte Bohemia. Waktu mengejar gerombolan Dillinger yang kabur, Purvis berdiri di sebelah luar mobil yang membawanya sambil terus menembak. Dia tidak masuk dan bersembunyi di dalam mobil. Di adegan itu aku melihat dia memang pemberani, dia seolah-olah mengatakan, "Aku akan melindungi anak buahku." Di situ dia juga menunjukkan bahwa dia percaya pada anak buahnya yang menyetir mobilnya. Bayangkan jika anak buahnya kurang terampil menyetir, salah-salah Purvis-lah yang kena sasaran tembak kelompok Dillinger.

Sungguh aku kagum pada Purvis. Dan aku merindukan kepempimpinan seperti itu. Kapan ya aku punya pemimpin yang seganteng dan secerdik Purvis? :)