Monday, January 26, 2009

Sebuah Hutang

Tempat tinggalku di Jakarta ini cukup strategis. Dekat pasar dan terminal. Jalur transportasi juga mudah. Apotek, dokter umum, juga ada. Kedai makanan ada beberapa di depan gang. Trus, yang lebih enak lagi adalah, banyak penjual bersliweran di sini. Siang-siang kalau mau jajan es atau bakso, tinggal melongok ke balik jendela, dan teriak, "Bakso, Bang!" sambil keplok-keplok alias tepuk tangan. Bahkan kalau tengah malam, penjual yang berteriak "Tee... Padang! Teee ... Padang!" masih saja lewat di depan rumah. Jadi, tak perlu takut kelaparan. Bahkan kalau pagi-pagi perut sudah kemrucuk minta diisi, kita tinggal memanggil para penjual ketoprak dan bubur ayam yang banyak bersliweran. Gampanglah!

Itu baru soal penjual makanan. Penjual jasa juga tak kurang. Kalau pisau dapur kita sudah mulai menampakkan tanda-tanda ketumpulannya, panggil saja tukang asah pisau yang lewat. Punya
payung yang rusak? Gampaaaang, nanti agak siangan, pasti ada tukang payung. Atau kalau jok kursi sudah jelek dan tidak mentul-mentul lagi, biasanya jam 11-an ada penjual jasa yang membetulkan jok kursi. Kalau kasur kita sudah mulai kempes, panggil saja bapak-bapak yang ngider sambil membawa sekarung kapas. Dia jago membuat kasur. Tukang patri, penjual garam, penjual abu gosok juga suka lewat. Dan tak terhitung lagi para pemulung dan pembeli barang rongsokan yang lewat.

Sejujurnya, aku suka merasa kasihan dengan mereka. Misalnya saja hari ini. Hujan sudah mulai turun sejak aku sarapan tadi pagi. Akibatnya para penjual jasa dan makanan juga agak sepi. Tapi masih saja ada lo, bapak-bapak yang keliling menjajakan peyek. Opo aku ndak ngelus dada? Lha hujan-hujan begini kan paling enak nyungsep di tempat tidur. Lagi pula, peyek bukan makanan yang pas untuk dimakan kala hujan-hujan. Iya to? Dan bapak itu masih menjajakan dagangannya, sambil berharap ada rumah yang terbuka pintunya dan seseorang memanggilnya untuk membeli peyek. Yah, lumayan kan kalau laku biar cuma sebungkus?

Aku berpikir, bahwa sebetulnya kita ... eh, aku aja kali, berutang kepada orang-orang kecil seperti mereka. Orang-orang seperti aku ini kan lebih enak dan kepenak dibandingkan mereka to? Lapar, tinggal manggil mereka. Pisau tumpul, tinggal teriak meminta mereka berhenti untuk mengasahkan pisau. Lo, rak penak to?

Tapi bagaimana jika posisinya dibalik? Apakah kita mau menjadi seperti mereka? Wah, kalau aku sih mikir seribu kali deh. (Tidak ada kan orang yang rame-rame melamar pekerjaan menjadi penjual gorengan?) Mereka malam-malam masih mendorong gerobak jualan, menembus dinginnya malam, berharap ada orang yang membeli jualannya? Atau di tengah terik matahari siang bolong, bapak-bapak penjual jasa/makanan itu masih muter keliling kompleks sementara orang-orang sedang tidur siang. Apalagi gerobak atau pikulan yang mereka bawa ngalor ngidul itu kan tidak ringan. Kalau aku pasti sudah langganan pijet dan kerokan tiap hari deh kalau suruh ngider begitu. Gile aje deh! Tukang gorengan pikulannya pasti berat. Trus, yang mereka jual kan kayaknya tidak sebanding dengan usaha mereka. Berapa sih harga sepotong tempe goreng? Masih mending kalau yang jual makanan. Kalau tukang payung atau penjual remote TV? Tidak tiap hari ada orang yang payungnya rusak kan? Dan tidak setiap hari orang mengganti remote TV-nya kan?

Tapi begitulah keadaan ini. Aku sebetulnya "risi" melihat mereka berjualan. Bukan, bukannya saja tidak suka. Tapi rasanya kok sangat tidak adilnya keadaan ini, ya? Bagi sebagian besar dari kita, hal semacam itu dianggap wajar alias take for granted. Mungkin ada yang bilang, yah ... itu masih mending daripada mereka nyolong atau nyopet. Tapi apa ya betul begitu? Jangan-jangan kitalah yang sebenarnya membuat keberadaan mereka tetap lestari? Kasarnya, kita berdiri di atas penderitaan orang lain. Ada orang yang harus lelah keliling kompleks untuk menjajakan dagangannya demi mendapatkan sesuap nasi dan kita-kita ini memanfaatkan jasa mereka. Lha aku ini kalau menerjemahkan beberapa lembar, sudah bisa beberapa mangkuk bakso. Rasa capek yang kurasakan pasti beda jauh dengan mas-mas penjual bakso yang keliling kompleks itu, apalagi dengan bapak-bapak tukang payung. Sungguh tidak seimbang. Belum lagi kalau mau dibandingkan dengan bos-bos yang dapat duit buanyak setelah oret-oret tanda tangan dikit. Bos-bos itu bahkan bisa membeli bakso sekalian penjualnya. Oke ... oke, itu tampaknya baik-baik saja. Tapi sampai kapan?

Kupikir mereka ingin hidup layak, nyaman, dan sehat. Mereka pasti juga bermimpi bekerja yang nyaman, layak, dan mendapat pendapatan lumayan. Mereka mungkin bermimpi bisa berobat dengan murah saat sakit. Mereka pasti ingin menikmati transportasi yang murah dan nyaman. Cita-cita mereka mungkin kurang lebih seperti kita. Tapi keadaan mereka dan kita jauh banget.

Aku sebenarnya tak tahu mesti bagaimana. Cuma aku merasa ketidakadilan ini tidak bisa selamanya dibiarkan atau bahkan dilestarikan. Dan aku yang sudah sekolah sampai cukup tinggi pun, sampai sekarang tak bisa berbuat banyak selain sesekali membeli dagangan mereka dan menuliskan keprihatinanku ini. Melihat mereka masih berkeliling kompleks, rasanya aku seperti berhutang banyak. Tapi aku tahu bagaimana cara membayarnya. Dan aku ingin tahu, adakah orang lain yang merasakan keprihatinan dan kegelisahan seperti aku? Ada?

Thursday, January 22, 2009

Satu Nama, Dua Pribadi

Di keluarga besarku ada dua orang yang namanya sama. Aku dan tante, adik ibuku yang nomor 8. Kami sama-sama bernama Kris. Tapi tentu saja nama panjangnya beda dong! Hehehe. Lalu, entah kenapa, kakakku juga dikasih nama yang sama dengan omku, adik ibu yang paling kecil. Keduanya bernama Siswa--atau kalau lidah Jawa menjadi Siswo. Hanya nama kecil mereka yang beda, kalau kakakku: Wiwit; sedang omku: Io. Tapi tetap saja teman-teman mereka memanggilnya Siswo.

Kadang terjadi peristiwa yang menggelikan karena kesamaan nama tersebut. Misalnya nih, dulu waktu kakek dan nenekku masih sugeng (masih hidup-red), keluarga besarku biasa berkumpul pada saat Lebaran. Meskipun anak-anak nenekku agamanya macam-macam, toh kami tetap kumpul. Nah, ada suatu masa di mana Om Siswa belajar di Jepang. Seingatku cukup lama. Lebih dari dua tahun kalau tidak salah. Lalu, saat Lebaran, telepon di rumah nenekku berdering. Yang mengangkat salah satu budeku. Begini percakapannya:

Bude (B) : Halo, selamat siang.
Penelepon (P) : Siang, Bu. Siswo ada?
B: Siswo?
P: Iya. Ada Bu?
B: Kan dia di Jepang.
P: Lho? Tadi pagi saya ketemu tuh.
Bude tampak bingung. Lalu tanya ke orang-orang, "Emang Siswo bali, to?"
Dan jelas "tidak" jawabannya.
B: Bener kok mas, dia masih di Jepang.
P: Bu, saya bener tadi pagi ketemu dia. Tadi dia datang ke sekolah kok.
Bude jelas semakin bingung. Untuk apa dia ke sekolah segala?
Lalu, tiba-tiba dari arah belakang ada yang berkata, "Wiwit kali yang dimaksud. Dia kan Siswo juga namanya!" Hahaha! Kami akhirnya cuma bisa tertawa. Ternyata ada dua Siswo. Yang satu memang masih SMA, yang satu lagi kuliah di Jepang.

Lalu, yang agak parah lagi adalah soal aku dan Tante. Suami tanteku bernama Om Iwan. Dan ibuku, biasa memanggilnya Mas Iwan. Nah, setelah aku menikah, ibuku sering tidak bisa membedakan suamiku dan suami Tante! Wajahnya jelas beda, tapi oleh ibuku, namanya disamakan. Jadi, ibuku sering banget bilang begini di akhir telepon, "Salam buat Mas Iwan, ya?" Lalu, biasanya aku jawab begini, "Maksud Ibu, Mas Oni?" Dan ibuku kemudian meralat, "Iya, maksudku Mas Iwan, eh Mas Oni." Hahaha!

Monday, January 19, 2009

Asrama Syantikara yang Kukangeni

Kemarin aku maen lagi ke tempat tinggal temanku Adel--yang biasa kupanggil Adul hehehe. Dia adalah teman semasa di Asrama Syantikara, Jogja. Dan entah kenapa, setiap kali kami bertemu, bahan obrolan yang isinya nostalgia masa asrama, tak pernah ketinggalan. Seperti kemarin itu:
"Dul, kok aku jadi kangen tidur di asrama ya. Dulu tempat tidur kita memang kecil, tapi rasanya nyaman banget." (Tempat tidur kami adalah tempat tidur tingkat, dan aku selalu milih di bagian atas karena di situlah aku bisa "melarikan diri" supaya tidak terganggu oleh teman yang biasa numpang tidur-tidur ayam.)
"Iya, enak banget deh. Trus ... trus ... unit paling enak menurutku ya pas kita di UBB itu. Kamar mandinya terang, gede."
"Iya Dul! Enak banget. Lagi pula, airnya seger banget. Kita nggak pernah kekurangan air, ya. Padahal anak asrama kan banyak banget."
"Iya, biar kita nyuci rame-rame dan pakai airnya buanyak, air juga nggak masalah."

Ah, jadi kangen asrama.

"Trus, ingat nggak Mbak, dulu kita akur-akur aja ya. Walaupun emang ada yg berantem, tapi bisa baikan lagi. Kita hepi-hepi aja."
"Iya, Dul. Padahal anak-anaknya rame ya. Ada Metta yang suka ikut diskusi dan demo ke mana-mana. Ada Era yang sibuk dengan Senat. Dewi si anak kedokteran yang suka ketiduran di meja belajar. Ada Nana yang awalnya tampak streng, tapi konyol juga. Ada Galuh dan Singkong yang lucu. Duh. Kangen deh!"

Ya, ya! Bagaimanapun asrama itu telah menjadi tempat yang membentukku, mempertemukanku dengan teman-teman terbaik. Padahal awalnya aku nggak mau lo tinggal di asrama. Soalnya dulu di Jogja masih ada Nenek dan kakakku tinggal bersamanya. Bagaimanapun rumah nenekku yang di Umbulharjo itu tempat yang nyaman bagiku (walaupun akhir2 ini enggak sih). Tapi kakakku selalu bilang bahwa lebih baik aku tinggal di asrama saja. "Temanmu nanti banyak. Dari seluruh Indonesia lo!" Aku masih cemberut waktu dibilang begitu. Aku tak tertarik dengan teman yang terkumpul dari seluruh penjuru Indonesia itu. Aku justru membayangkan tinggal di asrama itu pasti ribut banget. Belum lagi kalau makanannya nanti pedas-pedas. (Hehehe, aku waktu itu masih anti banget dengan makanan yang pedas.) Wah, susyaaah ...!

Awal tinggal di sana, aku canggung banget. Mesti tinggal berdelapan dalam 1 unit (semacam paviliun), kalau makan mesti ganti baju yang pantas (jadi nggak boleh makan cuma pakai celana pendek gitu. Bisa dipelototin orang seasrama!), dan yah ... namanya tinggal dengan banyak orang, pasti banyak toleransinya dong!

Tapi kemudian kecanggunganku berangsur-angsur meleleh. Aku jadi menikmati sekali tinggal di asrama. Apalagi aku menemukan mbak-mbak yang bisa diajak ngobrol macem-macem. Maklum, aku tidak punya kakak perempuan. Dan selama lima tahun pertama di Jogja, Asrama Syantikara itu menjadi "rumahku".

Kalau dipikir-pikir, teman-teman yang sampai sekarang masih nyambung kalau diajak ngobrol adalah teman-temanku dari asrama dulu lo. Ada Nana yang masih sering SMS-an sampai sekarang. Ada Adul, teman main, teman ngobrol, dan teman wisata kuliner selama di Jakarta ini. Ada Mbak Tutik yang jadi teman curhat ... (aduh mbak, kangeeeeen nih! ayo ketemuan yuk!).

Selain itu aku merasa asramalah yang "membentukku". Mungkin karena di sana aku bertemu dengan teman-teman yang macam-macam. Sukunya macam-macam. Dari Sumatra sampai Irian! Aku masih inget banget, dulu aku penasaran kaya apa sih sebenarnya rambut orang Irian yg kriwil-kriwil itu. Kok kayaknya nggak pernah melihat mereka berambut panjang. Dan seorang temanku, Meti, suatu hari memperbolehkan aku memegang rambutnya. "Ini, pegang saja," katanya. Hi .. hi .. Rupanya rambut mereka bisa panjang, tapi karena keriting, akhirnya cuma kruwel-kruwel dan ngumpul gitu aja. Selain itu di sana aku bertemu dengan teman-teman yang suka main teater, suka diskusi ke mana-mana, atau suka nonton film dan resital piano yang diadakan oleh pusat-pusat kebudayaan. Di Jogja itu pula aku tahu bahwa ada tontonan gratis, entah itu teater atau musik klasik. Enak kan? (Dasar mahasiswa! Hahaha!)

Eh, tapi di asrama bukannya tanpa masalah lo. Kadang suka kesel juga sih sama teman yang suka ribut. Dan ujung-ujungnya perang dingin. (Halah! Cewek kayaknya memang begitu ya? Engga berani ngomong, tapi dipendam dan hanya diomongin dengan teman dekat.) Belum lagi dengan Sr. Ben. Dan aku pernah kena marah oleh suster karena aku pergi menginap di rumah temanku Nina tanpa pamit. Duh, ampun deh! Bencana besar waktu itu. Tapi toh semuanya baik-baik saja. Dan terakhir pas aku di Jogja, aku suka main ke asrama. Ngobrol dengan suster sampai lamaaaa. Ya ampun! Padahal dulu waktu masih jadi anak asrama, aku tak pernah ngobrol sama dia. Paling-paling ngomong sama dia kalau mau pamit mau ke rumah Nenek.

Dan entah kenapa, aku beberapa hari ini kangen dengan asrama ya? Kangen dengan kasur dan tempat tidurku; juga dengan canda tawa teman-teman dulu. Ke mana saja ya mereka? Hello, friends ... where are you? Miss you all!

Friday, January 16, 2009

Mengobrol: Sebuah Kebutuhan

Kemarin entah kenapa tiba-tiba aku ingin menelepon Tesa temanku yang berada di Bandung. Sudah cukup lama aku tidak menghubunginya. Dan ketika teleponku dijawab, dia berkata, "Mbak, kowe mau tak batin lo: Piye yo kabare Mbak Kris?'" Hehehe. Ternyata kami sebenarnya masih nyambung walaupun dalam bentuk "telepati". (Halah!) Dulu sih kami nyambungnya dalam urusan makan. Hehehe. (Iya, kan Sa? Maem lagi yuk di Mi Jowo terminal Terban yang mak nyus itu, dan teh jahenya yang uenak pol, belum ada tandingannya! Atau bihun dan nasgor di depan Lippo hehehe.)

Dan akhirnya kami mengobrol ngalor ngidul tak jelas juntrungannya selama kurang lebih 2 jam. Ya, dua jam! Hebat ya, ada saja bahan untuk diobrolkan. Padahal tadi sebelum memencet nomor teleponnya, aku tak terpikir mau mengobrol apa. Sekedar say hello saja. Tapi kok ya ternyata bahan obrolan itu tak ada habisnya.

Kami berdua keluar dari tempat kerja kami dulu karena menikah dan kemudian ikut suami ke luar kota Jogja. Karena malas kerja kantoran tapi tak ingin benar-benar menganggur, kami kemudian menjadi freelancer bagi kantor kami yang dulu. Dan hal itu memang sangat memungkinkan, karena pekerjaan yang kami kerjakan adalah pekerjaan indivual. "Teman" yang saya butuhkan adalah kamus dan komputer. Itu saja. Dan pekerjaan kami bisa dilakukan di mana saja asal ada komputer dan ada jaringan internet.

Sebagai seorang freelancer, kami akhirnya lebih banyak tinggal di rumah. Dan karena suami kami masing-masing bekerja dari pagi sampai sore--bahkan suamiku kadang harus pulang malam karena kuliah--otomatis kami lebih banyak sendirian di rumah. Awalnya memang agak aneh rasanya, karena dulunya kalau di kantor suara teman-teman selalu ramai. Dan aku menyiasati hal itu dengan selalu menyetel radio. Tidak masalah deh akhirnya. Dengan mendengarkan radio aku selalu merasa punya teman. Apalagi kalau ada penyiar yang konyol, wah ... asyik sekali.

Tapi pernah suatu kali aku menyadari bahwa seharian itu aku tak pernah bicara. Paling-paling aku tertawa sendirian saat mendengarkan penyiar-penyiar yang konyol itu. Atau, aku berbicara dalam bentuk tulisan; entah menulis blog atau mengirim sms. Tapi aku tidak bicara lisan. Aku benar-benar bicara ketika suamiku sudah pulang. Ternyata Tesa juga merasakan hal yang sama.

Kemarin pas mengobrol, kami membahas hal itu. Dia mengatakan bahwa kami memang butuh mengobrol supaya tidak lupa bahasa manusia. Hahaha! Ada-ada saja. Selain itu aku sebenarnya juga butuh mengobrol dengan menggunakan bahasa Jawa. Soalnya, suamiku berasal dari Tanjung Pandan. Dan dia tak fasih berbahasa Jawa. Akibatnya, ketika aku bertemu dengan teman-teman yang memang suku Jawa, tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung nyerocos dengan menggunakan bahasa Jawa. Rasanya lidahku berasa normal lagi kalau sudah begitu hehehe.

Wednesday, January 14, 2009

Halo, Adakah yang Bisa Mengubah Wajah Jakarta Supaya Tidak Banjir?

Sudah hampir empat hari ini hujan rajin menyambangi tempat tinggalku. Kadang cuma rintik-rintik tipis. Tapi kadang hujan bagai rombongan penari yang terlalu bersemangat. Rintik-rintik yang tipis itu berubah menjadi tetesan yang cukup deras sehingga menimbulkan suara riuh dan angin yang agak kuat. Dan hujan turun tak kenal waktu. Kadang pagi-pagi buta. Kadang tengah hari. Akibatnya cucianku yang biasanya kering dalam sehari, kini butuh tiga hari agar kering. Itu pun masih terasa dingin.

Kadang saat hujan tengah mengguyur dengan derasnya, aku mengintip dari balik kaca jendela; melihat seberapa banyak air yang tercurah dan menciptakan aliran sungai kecil di depan gang. Tinggal di Jakarta yang hujan terus menerus begini cukup membuatku was-was. Bagaimana kalau banjir ya? Tapi aku selalu ingat kata-kata tetangga depan rumahku, bahwa di sini tidak pernah banjir. Amin! Semoga selalu demikian adanya.

Tetapi toh aku selalu rajin mengikuti berita di radio; daerah mana saja yang banjir. Suamiku kan harus masuk kerja. Dan itu berarti dia harus keluar rumah seharian. Lha kalau dia tak bisa pulang karena terjebak banjir, bagaimana? Ya, aku sebagai seorang pekerja freelance yang bekerja di rumah, tak terlalu khawatir akan terkena banjir. Tapi kalau selewat magrib dan di tengah hujan deras sementara suami belum pulang, kok rasanya aku tidak tenang ya?

Dan radio masih memberitakan ada banyak genangan air di mana-mana. Macet menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Oalah Jakarta ... nasibmu ngger. Menjadi kota metropolitan ternyata tidak selamanya indah. Betul begitu kan? Macet. Banjir. Hmm ... Belum lagi orang-orangnya yang sulit diatur dan gemar membuat aturan sendiri.

Aku jadi ingat kata-kata seorang temanku dulu waktu Pak Kumis diangkat menjadi gubernur Jakarta saat ini. Katanya, Pak Kumis itu seorang arsitek. Aku tak tahu temanku ini ndobos alias bohong atau tidak. Aku tidak pernah mengecek dan tak pernah bertanya langsung kepada Pak Gubernur apa iya dia betul seorang arsitek. (Apakah bayaran seorang arsitek itu kurang banyak ya? Sampai-sampai dia mencalonkan diri menjadi gubernur ...) Dan kata temanku, kalau dia arsitek, mestinya dia bisa mengatur tata kota ini dengan lebih baik.

Ah tapi benarkah begitu?

Rasanya biarpun orang itu lulusan terbaik dari univesitas terbaik pula di dunia ini, rasanya sulit juga untuk membuat Jakarta yang super sumpek ini menjadi tempat yang agak lega dan enak ditinggali. Lha apa rumah-rumah yang sudah berdempet-dempet itu mau dibom supaya menjadi tanah lapang sehingga bisa dibuat lahan terbuka hijau yang dapat menyerap air? Kalau Hitler mungkin saja begitu cara yang ditempuhnya.

Sulit. Ya, memang sulit menjadi pemimpin Jakarta ini. Kota yang sanggup melahirkan mal yang sangat bagus ini ternyata masih belum sanggup mengubah sungai-sungainya yang menghitam itu menjadi berfungsi dengan baik.

Halo, halo adakah pemimpin ahli yang sanggup menjadikan Jakarta menjadikan kota modern yang bersih dan sehat? Ah, mungkin aku harus tidur siang dan bermimpi sebentar ya.

Sunday, January 11, 2009

Parno

Entah sejak kapan istilah "parno" alias paranoid itu mulai semarak di ranah obrolan anak muda. Tapi yang jelas aku juga ikut-ikutan menggunakan istilah parno sekarang.

Begini, sejak aku tinggal di Jakarta, aku parno saat ada orang berseru berulang kali, "Assalamualaikum ...!" Soalnya kalau teman atau tetanggaku datang, biasanya mereka akan menyebut namaku langsung. Atau karena mereka sudah memberi tahu terlebih dahulu, aku biasanya sudah bersiap menyambut mereka bahkan sebelum mereka membuka pagar depan.

Ini beda lagi kalau yang datang tukang pos atau petugas kurir yang mengantarkan naskah atau buku. Biasanya mereka akan mengetuk2 pagar sampai berbunyi gedumbrangan. Dan lagi-lagi mereka tak mengucapkan "Assalamualaikum ...!"

Jadi, ketika suatu siang ada suara seorang perempuan mengucapkan "Assalamualaikum ...!", aku hanya mengintip dari balik jendela. Untung jendela rumah yang kutempati ini gelap. Maksudku, orang dari luar tak akan bisa melihat sisi dalam rumah ini. Maka, aman jika aku berdiri di balik jendela dan melihat siapa yang datang. Aku tak mengenal perempuan yang berseru-seru di depan pagar itu. Yang jelas, bukan tetangga sekitar sini. Kulitnya gelap dan bajunya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak peduli pada mode. Jauh. Dia berseru berulang kali, dan aku masih ragu apakah aku sebaiknya keluar atau tidak. Mendadak aku merasa takut. Aku takut kalau-kalau dia punya maksud buruk. Padahal aku sendirian di rumah. Wah, gawat! Lha kalau dia tiba-tiba menghambur masuk ke rumah ini bagaimana? Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Di tengah teriknya matahari, dia berdiri sambil memegangi pagar depan. Jangan-jangan dia membutuhkan bantuan. Dan aku masih saja berdiri mematung tak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya perempuan itu pergi setelah tetangga sebelahku mengatakan, "Belum pulang Bu!" Wah, leganya aku. Lalu tetanggaku bertanya apa tujuannya. Dia lalu menjawab bahwa dia mencari kontrakan. (Oalah ... )Mungkin dia diberitahu orang bahwa rumah yang sudah kami tempati ini dikontrakkan.

Dan siang ini aku mendengar suara lelaki yang berseru, "Assalamualaikum ...!" berulang kali. Duh, siapa pula ya? Dari balik jendela, aku melihat seorang pemuda sambil membawa brosur berdiri di balik pagar. Dan aku mendadak merasakan ketakutan seperti ketika melihat perempuan berpenampilan ndeso tempo hari. Aku parno. Jika dia seorang sales, aku takut jika dia memaksaku membeli barang jualannya.

Tapi akhirnya aku diselamatkan tetangga depan rumahku yang mengatakan bahwa tak ada orang di rumah ini. "Belum pulang, Mas! Masih di kantor." Hehehe. (Dan aku memang masih berada di "kantorku", di depan komputer sambil menulis blog.)

Thursday, January 08, 2009

Kala Setengah Jiwaku Melayang

Hehehe, judul di atas mungkin terdengar berlebihan. Tapi mungkin memang begitu adanya.

Begini, tadi pagi terjadi "kecelakaan kecil". Komputerku tidak mau menyala. Dan tahu sendiri kan, komputer itu sudah menjadi bagian dari jiwaku. Karena di situlah pekerjaanku berada. File-file dataku ada di situ semua. Sebenarnya sejak beberapa waktu lalu PC di rumah itu sudah menunjukkan tandaa-tanda "sakitnya". Dan pagi tadi PC-ku tersayang tewas. Duh!

Sekarang aku bingung. Rasanya ada yg kurang lengkap hari ini. Padahal cuma komputer lo, kok bisa bikin hatiku nggak karuan ya?

Di tengah belantara ibu kota ini, di mana ya aku bisa menemukan tukang servis komputer yang baik?

Monday, January 05, 2009

Apa Maksudnya?

Kemarin pas mudik ke Madiun, aku diminta ke rumah teman ibuku untuk mengantar oleh-oleh. Tapi rupanya kami tak sekadar mampir, tapi kemudian mengobrol cukup lama. Agak kagok juga awalnya, karena aku tak pernah mengobrol lama dengan ibu itu. Bahkan sebenarnya aku lupa-lupa ingat wajahnya. Tapi toh kemudian kami mengobrol ngalor ngidul.

Awalnya, ibu itu menceritakan sulitnya mencari pekerjaan bagi anaknya. Anaknya yang sudah lulus dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, sekarang "hanya" menjadi guru les dari rumah ke rumah. "Sekarang ini susah sekali lo mbak cari kerjaan. Apa-apa di-outsource. Di Pemkot juga begitu. Lha kalau pegawai oursource itu kan tidak jelas masa depannya. Kok rasanya generasi setelah kita tidak dapat bagian apa-apa ya? Ke depan bakal sulit sepertinya ya?" katanya dengan nada prihatin.

Aku dan suami kemudian menanggapi sebisanya. Memang sekarang cari pekerjaan itu sulit. Aku jadi mengenang ketika dulu sedang mencari pekerjaan. Institusi yang sepertinya memberi harapan, tiba-tiba menjadi suram. Tidak jelas. Dan acap kali kita tidak bisa bekerja sesuai dengan keinginan kita. Penginnya sih bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar dan banyak fasilitas. Iya to? (Jadi, sebenarnya ingin bekerja atau ingin fasilitasnya sih?)

Obrolan terus berlangsung dan kemudian ibu itu melontarkan pertanyaan yang membuatku harus menebalkan telinga, "Gimana, Mbak? Sudah 'isi' belum?" Jujur saja, aku bosan ditanya soal itu. Karena itu dengan cepat kujawab, "Belum, Bu!" Lalu, dia menimpali lagi, "Cepetan saja punya momongan, Mbak." Aku cuma tersenyum mendengar omongannya. Lha mau menanggapi gimana lagi?

Kupikir-pikir ucapan ibu tadi lucu. Lucu? Iya. Soalnya, di awal beliau mengatakan bahwa generasi mendatang masa depannya cukup suram. Itu mengingat betapa sulit anaknya mendapatkan pekerjaan. Tapi kemudian dia mendorongku untuk segera punya anak. Piye to? Maksudnya gimana? Coba dipikir lagi.

Pernyataan pertama yang dilontarkan adalah: generasi mendatang hidupnya semakin sulit. Kondisi dunia semakin memprihatinkan. Semakin hari banyak orang sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Lalu pertanyaan kedua yang dikatakan adalah: mendorong kami untuk segera memiliki anak. Lha itu kan seperti menjerumuskan (calon) anak kami untuk merasakan kejamnya dunia, to? Mungkin orang dengan mudah mengatakan, "Ah ... nanti kan bisa survive." Benarkah demikian?

Kupikir dunia ini butuh pengaturan yang bijak. Alam tidak akan cukup jika masih ada segelintir orang yang serakah. Dan perang ada di mana-mana. Nggak usah jauh-jauh lah, di Indonesia saja kesejahteraan belum merata kok. Padahal ketika aku SD, guru-guruku mengatakan bahwa Indonesia melakukan pembangunan, rencananya lima tahun pertama begini. lalu lima tahun selanjutnya begitu, dst. Tapi kenyataannya? Orang yang serakah sepertinya lahir dan berkembang lebih cepat dibandingkan dengan orang-orang baik.

Kalau mau jujur, sebenarnya aku pesimis dengan masa depan generasi mendatang. Tak usah jauh-jauh. Kemarin waktu mudik ke kampung suami di Tanjung Pandan, aku melihat berhektar-hektar hutan kelapa sawit. Padahal perkebunan kelapa sawit itu bisa membuat tanah menjadi kering kerontang setelah 30 tahun mendatang. Itu di Indonesia lo. Bukan negara lain. Lalu ketika ke Madiun, persawahan yang dulu menjadi tempatku sepedaan, kini menjadi permukiman yang padat. Seingatku ketika aku masih SMA, daerah di persawahan itu masih sangat sepi. Baru sekitar 10 tahun aku meninggalkan kota kelahiranku, pembangunan ada di mana-mana. Bukan apa-apa sih, tapi kalau semua lahan kosong termasuk persawahan dibangun perumahan, kita nanti makan apa dong? Trus, anakku besok mau makan apa dan tinggal di mana?

Orang memang mudah mendorong kami untuk punya anak. Tante, om, ortu, tetangga, bahkan Mindi anak saudaraku yang baru TK nol kecil saja bertanya kepadaku apakah aku sudah hamil apa belum. Plis deh! Bukannya aku nggak mau punya anak, tapi boleh dong aku mengatur hidupku sendiri. Boleh kan aku mengatur kapan aku mau punya anak, di mana, berapa, dsb. Dan lagi, kenapa mereka sibuk mendorongku ini dan itu? Apakah mereka mau memberi makan anakku? Apakah mereka mau menyekolahkannya? Apakah mau memberi rumah kepada kami? Apakah mau memberi sembako seumur hidup kepada kami? Apakah mau memberi jaminan bahwa anakku nanti bakal kecukupan hidupnya? Coba kasih jawaban.

Kalau cuma sekadar tanya dan basa-basi, kayaknya enggak perlu deh. Aku sudah cukup tahu apa yang mesti aku lakukan. Oke? Pak, Bu, Tante, Om, Teman-teman, jangan tanya hal-hal (dan membuat pernyataan) yang sudah basi ya? Jangan bodoh begitu ah!