Saturday, December 22, 2007

Spanduk Ucapan

Hampir setiap hari aku melewati perempatan Kentungan--sekitar Jalan Kaliurang km 6. Dan kalau lampu merah sedang menyala, bisa dipastikan kepalaku langsung menengok kiri-kanan. Jadi, aku cukup bisa mengenali spanduk mana yang baru terpasang, dan mana yang sudah lama nangkring di sana.

Nah, beberapa waktu lalu, aku melihat ada spanduk bertuliskan SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU. Sponsornya KOMPAS. Jujur, saja ... walaupun aku merayakan Natal, rasa-rasanya kok aku tidak tersentuh sedikit pun dengan spanduk ucapan dari KOMPAS itu ya? Tidak ada getaran yang kurasakan babar blas!

Ini aneh nggak sih?

Tapi setelah aku tanya beberapa teman, rupanya mereka juga tidak merasakan apa-apa saat membaca spanduk-spanduk ucapan seperti itu. Kami semua mengamini itu adalah iklan. Ya, betul itu semata-mata cuma iklan. Tidak ada nilai lebih dari itu. Tidak ada muatan informasi di situ. (Lha wong kita semua sudah tahu kan kalau sebentar lagi Natal akan tiba dan pergantian tahun tinggal dalam hitungan hari.) Layout-nya juga biasa. Font yang dipakai di spanduk itu pun tidak istimewa. Ndak ada yang khusus, unik, alias biasa saja.

Lalu? Ya itu adalah iklan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Nah, selain spanduk ucapan selamat Natal itu, aku juga sempat melihat spanduk ucapan Selamat Idul Adha. Komentarku sih sama. Itu lagi-lagi iklan yang dibuat oleh Karita--toko busana muslim yang ada di sekitar Terban. Uucapan itu ditulis dalam sebuah banner yang terbuat dari plastik. Ini memang sedang marak. Maksudku, sekarang orang lebih suka menggunakan banner yg terbuat dari plastik (selain lebih awet, jatuhnya lebih murah). Yang membuatku agak "ngganjel" waktu melihatnya sih terutama karena banner itu terbuat dari plastik.

Kita kan sedang berusaha menangani pemanasan global. Lha kalau banner itu terbuat dari plastik, itu kan sama saja kita menambah sampah yang sulit untuk didaur ulang oleh bumi. Dengan kata lain, ini sebenarnya--disadari atau tidak--menambah masalah.

Sebenarnya, ucapan-ucapan itu semua untuk siapa sih? Kalau kami yang membacanya tidak merasakan dampaknya, tidak juga merasa bergetar saat membacanya, lalu buat apa?

Tapi waktu aku cerita hal ini ke seorang temanku, si Aat Poank, presenter acara SANTAP di RBTV, dia bilang begini, "Untuk semua perasaan tidak enak yang kamu rasakan itu, kayaknya kamu yang salah deh." Hehehe ... mungkin aku yang salah. Tapi kalau dari kacamataku, aku bilang spanduk-spanduk itu USELESS. (Sorry ya At, walaupun kita sama-sama Gemini, kali ini kita berbeda pendapat :D Nggak apa-apa kan?)

Tuesday, December 18, 2007

Kepercayaan

Sebenarnya masalah kepercayaan itu simpel. Ini seperti ketika kita memutar keran dan yakin seyakin-yakinnya bahwa air bakal mengucur. Atau semudah kita meletakkan pantat ke sebuah kursi dan percaya bahwa kursi itu cukup kuat menahan berat tubuh kita.

Tapi rupanya kepercayaan itu gampang-gampang susah. Nggak semudah membuka kulkas dan lampu kuning di dalamnya langsung menyala. Seringnya aku malah berpikir terlalu lama untuk memercayai sesuatu. Percaya ke orang salah satunya.

Dan yang jadi soal adalah, ketidakpercayaanku ini berlaku pada orang yang memiliki kuasa terhadap aku. Tepatnya yang bekerja sama denganku--kalau mau pakai istilah yang lebih "terhormat". Rasanya belakangan ini kepercayaanku semakin tipis--setipis tisu yang kena air langsung hancur.

Duh!

My dear friend(s), I really do not understand what's in your head!

Monday, December 17, 2007

Wajib Belajar?

Entah kenapa baru-baru ini aku jadi "ngganjel" kalo merenungkan slogan WAJIB BELAJAR. Aku lupa siapa yg mencanangkan slogan ini. Entah pemerintah. Entah departemen pendidikan. Atau cuma Pak Lurah. Suer, lupa.

Kenapa aku ngganjel?

Begini, aku bertanya-tanya, "Apakah belajar itu wajib?" Memang, setiap orang itu butuh belajar. Tapi apakah itu wajib? Aku terus-terang agak alergi sama istilah "wajib". Kesannya maksa. Tapi betul aku akui bahwa setiap orang butuh terus belajar. Itu sebenarnya sudah menjadi "panggilan" hidup masing-masing orang.

Tapi masalahnya, proses belajar itu tidak selamanya gampang. Mudah. Mulus. Kadang-kadang (atau malah sering, ya?) tidak enak. Belajar berarti mendobrak kenyamanan kita. Salah satu konsekuensi dari belajar adalah menerapkan apa yg kita pelajari, mengubah diri menjadi pribadi yg lebih baik. Ini kan nggak mudah. Orang kudu menghancurkan kebiasaan2 buruk yang bisa menghambat diri sendiri dan orang lain. Nah, yg begini ini yg nggak bisa diwajibkan. Soalnya, nggak semua orang mau. Nggak semua orang mau melewati proses yg "menyakitkan".

Kalau kemudian belajar menjadi "wajib" ... akhirnya orang hanya terpaku pada hasil--pada "Berapa IP-mu?", "Kamu juara apa enggak?". Itu semua tidak membuat orang menjadi pribadi yg lebih baik. Tidak membuat orang menjadi lebih bijaksana.

Setiap orang memang perlu belajar. Itu kebutuhan. Tapi tidak bisa dipaksakan. Ibarat kalau orang perlu makan, tetapi kalau kita dipaksa makan, itu kan tidak enak, to?

Itu semua pendapatku lo... Orang lain boleh punya pendapat yg lain.

Thursday, December 13, 2007

Siapa yang Beli?

Beberapa bulan yang lalu, aku dan seorang sahabat jalan-jalan ke Bandung. Dan mampirlah aku ke Paris van Java. Niatnya sih nonton. Tapi setelah nonton, kami lapar. Makan apa ya? Lalu, demi memenuhi perut yang lapar, kami mencari tempat dan, tentunya, makanan yang sepertinya pas untuk mengisi perut yang sudah dang-dutan ini.

Keliling punya keliling, sebagian besar yang kami temukan adalah stand2 yg menjual barang mahal bermerek dan kafe-kafe yang makanannya kurang mengenyangkan. (Harap maklum, di dalam perut kami ada naganya, jadi butuh makanan porsi besar hehehe.)

Melihat itu semua kok aku akhirnya merasa capek ya. Aku juga jadi bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya yang beli barang-barang mahal itu? Apa iya, semua benda mahal semacam tas, sepatu, handphone, dll itu, harus semahal itu? Apa iya sepotong kulit sintetis yang dijadikan tas itu harganya sampai ratusan sampai jutaan? He?

Aku jadi ingat, dulu pas aku dan beberapa teman main-main ke mal, temanku naksir sepatu yg harganya beberapa ratus ribu. Buat kami, itu harga yg mahal. Dia lalu bilang begini, "Wah, gajiku sebulan tuh ternyata cuma seharga 3-4 pasang sepatu ya!" Hehehe. Padahal, kami masuk hampir tiap hari. Dari jam 8 sampai jam 4. Belum lagi kalau ada yg lembur atau harus mengerjakan pekerjaan di rumah. Tapi ternyata kok semua itu cuma setara dengan 3-4 pasang sepatu, ya?

Lalu, kembali ke barang-barang bermerek yang nangkring di pusat perbelanjaan itu, siapakah yang membeli mereka? Kalau kami, karyawan yang rajin bekerja ini gajinya hanya cukup untuk ditukar 3-4 pasang sepatu, bagaimana dengan orang-orang yang sampai sekarang masih belum tahu mau makan apa besok pagi?

Sahabat saya yang menemani saya berjalan-jalan itu akhirnya bilang, "Dunia ini sebenarnya bisa bertahan hanya kalau kita hidup hemat." Betul juga. Lha kalau dipikir-pikir, salah satu alasan mengapa keadaan bumi ini makin sekarat kan karena kita terlalu tamak. Tidak hemat. Iya to?

Tuesday, December 04, 2007

A Good Year: Kebijaksanaan yang Tersembuyi

Semalam akhirnya terjadilah reuni kecil-kecilan para cucu keluarga Hartono; sama satu buyut juga ding, Bu Dokter Sita. Dan akhirnya kami menonton film dengan "dicukongi" Om Siswo (makasih ya Om! Sering2 ke Jogja deh kalo gini hehehe). Kami menonton A Good Year.

Kami berjejal di deretan tengah bioskop 21, Ambarukmo Plasa. Sip! Walaupun sudah lewat jam tidurku, ternyata mataku masih bisa melek juga. Yang membuatku betah nonton adalah pemandangan daerah Luberon, Provence yg adem dan membuatku serasa ingin terbang ke sana lalu menyusuri kebun anggur itu. (Kapan ya bisa sampai sana? Rasanya pemandangan desa itu sampai siang ini masih nancep di kepala nih! Aku jadi membayangkan bagaimana kalau aku tinggal di sana dan menulis. Wah! Ada yang mau membawaku sampai ke sana nggak ya? Hehehe.) Selain itu, film itu mengandung pesan-pesan yang walaupun sudah "uzur", tapi membuatku tercengang lagi dan akhirnya mendorongku untuk ngeblog lagi.

Satu pesan dari Uncle Henry ke Max Skinner kecil adalah ketika si Max disuruh menari-nari walaupun dia kalah main tenis dengan sang paman. Max jelas-jelas menolak, dong! Wong kalah kok suruh njoget. Yang bener aja, Pakde! Tapi Uncle Henry itu bilang--kurang lebih--begini, "Menarilah kalau kamu kalah. Soalnya kekalahan memberimu banyak kebijaksanaan daripada kemenangan, walaupun kemenangan itu memang rasanya lebih enak. Bagaimanapun kekalahan harus dirayakan!"

Wah!

Dia juga bilang, "Kalau kamu udah nemu sesuatu yg bagus, kamu harus menjaganya." Itu dia sampaikan ketika dia menyuruh si Max kecil mengetes anggur.

Melihat film itu membawa getaran tersendiri. Rasanya kebijaksaan Uncle Henry itu pas banget buat aku. Kadang aku terlalu membedakan kekalahan dengan kemenangan. Aku menganggap kemenangan (di dunia ini tentunya), jauh lebih baik daripada kekalahan. Memang pahit sih waktu kita tahu bahwa ternyata kita kalah. Tapi coba tunggu sebentar, bukankah kekalahan membuat kita bijaksana? Dan bukankah itu sangat kita perlukan untuk bekal menjalani hidup ini. Kebijaksanaan tidak bisa dipelajari seperti kita belajar di sekolah. Enggak. Kita enggak cukup dengan membaca Alkitab atau buku2 yang penuh kebijaksanaan lainnya. No, no, no! It's not enough. Semua yg kita baca itu baru teori. Praktiknya ya bagaimana sikap kita kalau kita menemui sesuatu--entah kekalahan, entah ketidaknyamanan, entah kemenangan, entah kegembiraan.

Ini bukan perkara mudah. Ini tidak beda jauh dengan kenyataan bahwa walaupun kuping ini sudah puluhan, bahkan ribuan kali mendengar supaya kita harus saling mengasihi, tapi ternyata kalau aku ketemu orang yang nyebelin, rasanya aku masih sulit banget untuk bisa mengasihinya. Rasanya pengen jauuuuh aja sama dia. Capek sih! Tapi apakah itu sikap yang baik?

Eh, tapi film itu bagus. Memang tidak sampai bintang lima sih. Tapi enggak rugi kok kalau nonton. Apalagi kalau ditraktir hehehehe! (Makasih ya Om!)

Monday, November 26, 2007

Belanja ... Belanja di Beringharjo

Suatu pagi, aku terheran-heran ketika ternyata baju kerjaku banyak yang kekecilan! Aduh. Aku bingung, kenapa badanku jadi selebar ini ya sekarang? Padahal aku tak pernah berpikir bahwa berat badanku bisa bertambah sampai lebih dari tiga kilo. How come?

Dan akhirnya aku harus menurunkan pangkat baju-bajuku. Duh, sedih juga. Soalnya, beberapa adalah baju kesayanganku. Ada baju kotak-kotak biru. Ada baju bergambar boneka. Ada yang kembang-kembang buatan ibuku. Hiks :(

Akhirnya, siang itu aku blusukan ke Pasar Beringharjo. Niatnya sih beli baju yang murah meriah. Namanya juga pasar, jadi biasanya harganya bisa ditawar. Nah, sampailah aku di sebuah kios baju batik yang lumayan besar.

"Yang lengan pendek ada nggak Mbak?"
"Oh, ada. Ada mbak." Seorang temannya lalu menurunkan beberapa potong baju dengan berbagai model. Kayaknya modelnya boleh juga nih, pikirku.
"Ini batik cap Mbak, jadi baliknya juga ada motifnya. Lagian ini bagus buat kantoran," kata si mbak sambil promosi.
"Ini berapa, Mbak?" tanyaku sambil menunjuk baju yang dipromosikannya itu.
"Empat lima," jawabnya pendek.
Aduh, mahal betul. Apa bedanya sama beli di toko? Setahuku, kalau belanja di Beringharjo kita harus pintar menawar. Paling tidak separonya.
"Tujuh belas ribu boleh nggak, Mbak?"
"Tujuh belas? Lah, buat kulakan aja nggak bisa, Mbak!" katanya pedas.

Yee, namanya juga nawar. Kalau nggak boleh, nggak usah sewot dong. Dan aku pun segera pergi. Bodo amat sama si mbak yang sedang panas itu.

Lalu, sampailah aku di sebuah kios yang cukup kecil. Di situ penjualnya seorang ibu. Sepertinya sih kalau ditilik dari logatnya, dia bukan orang Jawa. Kupikir, aku tak akan berlama-lama di situ. Wong kiosnya kecil. Pasti dia tidak punya model baju yang aku inginkan.

"Silakan, Mbak," katanya ramah.
"Yang ini berapa, Bu?" tanyaku iseng.
"Yang ini dua lima saja," katanya masih dengan nada ramah.
Wah, boleh juga nih. Lumayan murah. Siapa tahu bisa ditawar.

Dan ibu ini sangat ramah. Dia melayani aku dan Tesa dengan sabar. Bahkan dia menggelar hampir semua dagangannya yang tidak banyak itu. Harga yang ditawarkannya pun cukup miring. Hmmm, akhirnya kami membeli baju di situ!

Setelah dari situ, aku berpikir bahwa sikap positif itu bisa membuka rejeki. Dilihat dari pengalaman kami, kami kepincut oleh keramahan dan pelayanan yang baik oleh ibu tadi. Sayangnya tidak semua penjual menerapkan hal ini. Mereka sekadar mencari untung banyak. Mereka tidak memedulikan perasaan si pembeli. Padahal, kalau pembeli dilayani dengan baik, mereka tidak akan kapok untuk berbelanja di situ. Bahkan mereka bisa woro-woro ke teman-temannya supaya ikut berbelanja di situ. Promosi yang efektif kan?

Kupikir, aku akan mencari ibu tadi kalau mencari batik di Beringharjo. Ia tidak memasang harga tinggi dan pelayanannya pun memuaskan ....

Monday, November 19, 2007

My Beloved Cicing

Akhirnya, ibuku memelihara anjing. Hore!!! Namanya Cicing. Bulunya cokelat muda. Dia seneng banget kalo dielus2 perutnya.

Tahu nggak, dia adalah salah satu alasanku pulang ke Madiun. Hehehe :D

Friday, November 16, 2007

Hidup yang Hampa (?)

Kalo kumat isengnya, aku jalan2 menelusuri list friends-ku. Kadang aku bertemu dengan teman-teman semasa sekolah dulu. Hmmm... sebagian dari mereka sudah ke "mana-mana". Ada yg kuliah di Amrik, ada yg berfoto dg latar belakang tembok raksasa Cina, ada yg berfoto dengan latar negara-negara Eropa sono....

Aduh maaaak, jebul aku baru sampai di sini-sini saja to? Bertempat tinggal di Jogja yang katanya suasananya damai dan tenteram. (Padahal sekarang macetnya sudah mulai tak tertahankan, dan panasnya juga cukup menyengat.) Dari kota kelahiranku, Jogja itu cukup ditempuh sekitar 2,5 jam kalau naik kereta Sancaka. Kalau naik bus Sumber Kencono kira-kira ya, 4-5 jam lah! Tidak terlalu jauh. Orangtuaku pun kalau mau bertemu dengan anak-anaknya tercinta sangat gampang. Penak.

Lalu, lha kok jebul teman-temanku sudah mak...leeeng numpak pesawat sampai ke kota-kota belahan lain dari dunia yang katanya cuma selebar daun kelor ini ya? Lah aku?

Hehehe... ya, memang setiap orang tuh selalu punya kecenderungan untuk menganggap orang lain hidupnya jauh lebih enak. Lebih tenteram. Lebih indah. Lebih bahagia. Menganggap kalau hidup di luar negeri itu lebih mulyo, lebih enak. Apa iya sih?

Jujur saja, aku kadang juga berpikir begitu. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah "Lha njuk ngopo?"

Aku jadi ingat cerita Mas Budi kemarin tentang temannya yg kaya raya--sugih mblegedu. Belum lama mereka mengobrol dan akhirnya temannya yg kaya itu akhirnya mengatakan bahwa hidupnya hampa. Memang sih segala fasilitas mereka punya. Gampangannya, duit selalu "ngetuk" dan tinggal mengeruk di ceruk lemari. Enak to? Tetapi mengapa hampa? Aku ndak tahu, je.

Pertanyaannya lagi: "Apakah hanya orang kaya yg bisa merasa hampa?" Wo, jangan salah. "Penyakit kehampaan" itu bisa menimpa siapa saja. Kurasa masalah hampa atau tidak hampa itu masalah bagaimana orang melihat hidup, bagaimana perspektif hidupnya, dan bagaimana imannya. Itu menurutku lo... (yg bukan siapa-siapa ini, hehehe).

Lalu, aku jadi ingat lagi kisah tentang seorang pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus, "Tuhan, bagaimana sih supaya aku dapat memperoleh hidup kekal?" Pertama-tama Yesus meminta supaya anak muda itu menuruti perintah Allah; mulai dari jangan membunuh sampai mengasihi sesamamu manusia. Ternyata anak muda itu sudah menuruti semua itu. Akhirnya Yesus bilang, "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku."

Kupikir-pikir dunia ini menawarkan begitu banyak pilihan kepada kita sehingga kita bingung harus memilih yang mana. Bahkan untuk sesuatu yang jauh lebih berharga, kita sangat sulit untuk membuat pilihan yang tepat. Seperti pemuda kaya itu, kupikir yang dimaksud Yesus adalah agar pemuda itu tidak meletakkan hatinya kepada seluruh kekayaannya. Melepaskan segala kelekatannya dari seluruh kepemilikkannya yg fana.

Sulit memang. Dan aku pun masih belajar untuk itu. Padahal hartaku enggak banyak2 amat. Hehehe. Gimana kalau banyak ya?

Monday, November 12, 2007

Hujan

Hujan. Mendung. Dua hal itu kadang dengan mudah membuatku membatakan rencana. Takut kehujanan, alasanku.

Lalu, ketika melihat mendung yang begitu pekat dan hujan yang mulai turun, aku pun dengan mudah merasa "blue". Rasanya jadi males. Lalu ingat kejadian-kejadian masa lalu yang kurang menyenangkan di bulan yang penuh mendung ini. Hmmmfff!

Betapa mudahnya aku dipengaruhi oleh hal-hal di luar diriku. Padahal, kalau dipikir-pikir, apakah hari yang cerah jauh lebih baik daripada hari hujan? Mungkin, bagiku memang iya. Soalnya aku bisa main ke mana-mana tanpa takut kedinginan dan kehujanan. Hehehe. Tapi bukankah hujan juga diperlukan oleh para petani? Kalau panen mereka gagal, kita juga yang kena imbasnya.

Lagi pula, bukankah setiap hari aku belajar bahwa sukacita yang sejati itu muncul dari dalam batin kita? Kurangkah kasih karunia Tuhan sehingga aku mesti bersungut-sungut karena sesuatu yang terjadi di luar diriku seperti hujan dan mendung?

Tuhan, bantulah aku untuk selalu mengarahkan pandangan kepada Engkau ...
Tresna

"Saya dataaang!"
Jujur saja, aku kadang kangen mendengar teriakan Tresna dari balik pintu ruangan kantorku. Anak itu tidak pemalu dan mudah sekali akrab dengan kami. Dia ikut ayah dan ibunya yang sedang membuat film untuk kepentingan departemen PSG. Dia tidak sungkan-sungkan untuk bergabung dengan kami padahal dia tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia karena sudah lama tinggal di Perancis. Tetapi dia berusaha untuk berbicara dengan kami dengan kosakatanya yang kadang masih terbatas.

Aku belajar satu hal dari Tresna. Dia itu tulus. Ketika dia masuk ke ruangan kami, dia menampilkan keluguan seorang bocah. Kadang dia memang agak nakal, tetapi kami tidak sampai hati untuk memarahinya karena dia ketika melakukan kesalahan dengan polosnya kemudian berkata, "Saya (minta) maaf. Saya tidak tahu."

Kerendahan hati. Kejujuran. Itu yang kadang masih belum aku miliki. Terlalu banyak hal yang membuatku kadang merasa gengsi untuk meminta maaf dan mengakui bahwa aku memang tidak tahu apa-apa.

Aku perlu belajar dari Tresna.

Saturday, October 27, 2007

Apa yang Penting?

Kemarin sore aku melihat iring-iringan pawai sebuah perusahaan mobil dan motor. Motor dan mobil mereka dikendarai berderet2. Mobil-mobil yang dikendarai itu paling2 isinya 2-3 orang. Malah ada yg cuma 1 orang alias sopir doang.

Selama aku menanti pawai itu lewat, aku bertanya2, "Apa ya yang dipikirkan oleh orang2 yg berpawai itu? Apakah mereka senang? Bahagia? Bangga? Hmmm ... apa ya?" Trus, pawai itu menghabiskan bensin berapa liter? Apa dampak positif bagi orang-orang di sekitarnya yang melihat pawai tsb?

Bagiku sendiri, rasanya nggak ada dampak apa-apa tuh. Malah kupikir, ini kok kurang kerjaan banget ya pawai sore2? Pas jam pulang kantor lagi.

Lalu aku berpikir, apa sih yang penting dalam hidup ini? Apakah pawai seperti itu betul-betul penting dan berdampak bagi kekekalan? Jawaban mudahnya sih tidak. Jadi, rasanya di tengah hiruk-pikuknya kehidupan, di tengah banyaknya pilihan hidup, kita harus pandai2 membuat prioritas. Tidak mudah sih. Tapi bisa dicoba. Let's try!

Thursday, October 25, 2007

Resep Pacaran Ala Suster Ben

A= Aku
S= Kakak sepupuku

A: Mbak, dua minggu lagi N mau nikah lo.
S: Oya? Sama cowok yang dulu pernah diajak ke sini itu ya?
A: Bukan. Temen gerejanya di Klaten.
S: Owww ... Jadi laen lagi ya?
A: Iya ...

Temanku N mau menikah. Bukan, bukan dengan cowok yang jadi pacarnya waktu dia masih di asrama dulu. Bukan. Dia mau menikah dengan cowok teman gerejanya di Klaten.

Prosesnya dia ketemu dengan cowok itu aku tahu. Cuma sekelumit sih. Tapi, tahulah. Dulu dia sempat pacaran dengan seorang cowok. Trus, karena satu dan lain hal, mereka akhirnya putus. Dia cukup terluka karena peristiwa itu. Tidak menyenangkan memang. Tapi, kurasa memang ada baiknya putus, karena kalau diteruskan cuma saling menyakiti. Capek lahir batin.
Temanku itu sudah pacaran berkali-kali sebelum ketemu dengan calon suaminya sekarang. Beberapa kali pula dia patah hati, jatuh cinta lagi, dan patah hati lagi. Capek deeeh ....

Melihat hal itu, aku jadi ingat nasihat Sr. Ben--ibu asramaku dulu. Dia dulu sering berkoar-koar kepada kami anak-anak asrama yg bandel-bandel ini untuk tidak buru-buru pacaran. Kalau pacaran nanti saja kalau sudah semester 5. Mendengar nasihat itu kami biasanya justru mencibir, "Yeee, Suster kuno ah! Masak pacaran nunggu sampai kita mau lulus kuliah? Kalau sebelum semester 5 ada cowok yang pas di hati, apa salahnya pacaran?" Masak nolak rejeki sih? Hehehe.

Tapi semakin hari, aku jadi bisa memahami nasihat Sr. Ben itu. Aku kini mengerti bahwa nasihatnya itu bukan untuk menghalangi kami untuk merasakan kebahagiaan, tetapi justru membantu kami agar tidak merasakan sakit hati yang tidak perlu. Temanku pernah bilang, risikonya orang pacaran itu ada dua: kawin atau putus. Kalau putus, berarti patah hati. Dan patah hati itu sakit.

Ketika kuliah, rasanya dunia kerja itu sudah deket banget. Rasanya lulus itu cuma beberapa hari lagi, trus nanti kerja, habis kerja, nanti nikah. Nah, sudah deket kan? So, apa salahnya pacaran sejak awal duduk di bangku kuliah?

Masalahnya, waktu itu relatif. Dan perjalanan dari kita kuliah sampai siap menikah itu bisa panjang, bisa pendek. Bisa panjang, karena untuk menikah itu dibutuhkan kedewasaan. Itu butuh waktu dan pengalaman juga kan?

Sekarang aku bisa mengatakan bahwa si X yang dulu kutaksir setengah mati dan membuatku serta merta mengatakan, "Aku mau deh menikah sama dia", sekarang tidak lagi masuk hitungan. Tidak, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa dia bukan cowok baik-baik. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku menjadi tahu bahwa minat dan tujuan hidup kami berbeda. Cara pandang terhadap hidup dan masa depan kami juga sangat berbeda. Kalau diteruskan, rasanya malah saling menyakiti. Masak kita menikah malah nggak bahagia? Enggak lucu dong.

Dan kini aku berpendapat bahwa memilih pasangan hidup adalah soal mencari sahabat jiwa. Mungkin bisa dibilang, ini soal mendapatkan orang yang memiliki tingkat spiritualitas sama. Tidak hanya seagama, lo. Tapi lebih pada bagaimana kita bersama pasangan kita dapat sama-sama bertumbuh secara rohani. Ini penting kurasa.

Sr. Ben memang memiliki patokan semester 5 untuk boleh pacaran. Tetapi yang penting adalah kematangan pribadi. Bisa jadi, ketika semester 5 orang belum dewasa betul. Karena itu, kupikir tidak perlulah buru-buru pacaran dan mengucapkan janji setia. Kita mesti menelaah diri betul, benar-benar mengenal diri kita, dan kita pun perlu berpikir panjang saat memilih seseorang sebagai pasangan hidup.

Monday, October 22, 2007

My Dream: Perpustakaan

Aku membayangkan, suatu saat nanti aku punya perpustakaan yang dibuka untuk umum. Isinya buku-buku bagus dan bisa nambah pengetahuan. Enggak cuma komik jepang saja. Tetapi komik-komik ilmu pengetahuan. Dan sebagian komik-komik bikinanku. Hmmm .... Kapan ya bisa begitu? Hehehe

Wednesday, October 03, 2007

Hari-hari Ini

Hari-ini aku merasa keinginanku untuk menjadi freelancer semakin kuat. Rasanya setiap hari selalu saja hatiku merengek supaya aku segera "bertindak". Do something. Lebih mengaktualisasikan diri dan benar-benar mewujudkan apa yang selama ini cuma ada di pikiran.

Tapi bagaimana ya? Kok aku masih takut. Rasanya aku seperti harus meloncat dari sebuah pesawat terbang dan khawatir kalau-kalau parasutku tidak akan mengembang. Lha kalau itu yg terjadi, kan ciloko betul.

Duh, tolongin aku dong!!!

Tuesday, September 25, 2007

Jogja Kota (Ter)Pelajar?

Beberapa hari ini aku sengaja pulang selewat jam buka puasa. Soalnya, aku males banget kalau harus mengarungi kemacetan yang terjadi di seputar UGM dan sekitar Gejayan. Kalau yang memenuhi jalanan itu sepeda ontel dan becak, mungkin masih mending. (Mungkin lo! Soalnya mereka kan enggak mengeluarkan asap knalpot yang bikin sesak napas? Paling-paling cuma bau keringat, yang bakal hilang baunya kalau diguyur air plus sabun ketika mandi hehehe.) Masalahnya, yang berjubel di jalanan itu justru bus kota, mobil, dan sepeda motor. Asap dari knalpot2 itu membuat udara menjadi semakin panas. Dan sepertinya hidungku ini mendadak perlu disambungkan dengan tabung oksigen. Duh, berat di ongkos kan kalau naik motor saja perlu beli tabung oksigen? :p

Kemacetan itu kupikir disebabkan oleh banyaknya motor yang diparkir di seputar bunderan UGM. Motor-motor dan orang-orang yang nongkrong di situ sampai menutupi hampir separo jalan! Ditambah lagi berpuluh gerobak penjual makanan juga ikut nangkring di situ. Sampai-sampai aku heran, kenapa justru di bulan puasa justru makin banyak penjual makanan ya? Kayaknya kok enggak cocok banget dengan tujuan puasa itu sendiri. Ya memang sih, jualannya menjelang buka puasa di mana orang butuh membeli makanan untuk berbuka. Tapi apa enggak bisa sih makan seperti biasa? Kenapa mesti berjubel dalam rangka berjual-beli sehingga membuat repot orang lain?

Eh, sampai mana tadi? Oiya ... begini, yang aku herankan adalah kenapa kemacetan itu terjadi di sekitar kampus (dalam hal ini UGM)? Mestinya kan kalau di "daerah intelek" seperti itu, keadaan sekitarnya jadi kecipratan "intelek" juga dong. Begitu logika bodohnya. Tapi kok ya, justru di sekitar itu justru terjadi kemacetan yang amat sangat? Apa yang salah sih? Kenapa para mahasiswa di situ tidak bisa membuat perbedaan yang membuat orang di sekitarnya menjadi lebih nyaman?

Dan kalau menilik keadaan lalu lintas secara lebih lebar lagi, Jogja yang menyandang predikat kota pelajar, tidak menunjukkan "keterpelajarannya". Jogja mulai macet dan banyak pengendara motor yang ugal-ugalan.

Mungkin bisa saja dibilang bahwa predikat kota pelajar ini karena di Jogja terdapat banyak kampus. Tetapi kan kalau banyak kampus, semakin banyak orang yang menikmati pendidikan. Dan idealnya, jika pendidikan itu di sekolah formal itu ada dampak positifnya, paling enggak keadaan di masyarakat sekitar menjadi semakin baik dong. Tapi ternyata kok enggak ya? (Lalu apa gunanya sekolah dong?)

Sunday, September 16, 2007

Milis Orang Dodol

Aku kok agak-agak "ilfil" dengan sebuah milis yang ngakunya akan mengembangkan anak-anak muda. Beberapa postingannya benar2 membuat "ilfil" dan membuatku mempertanyakan maksud dibuatnya milis itu.

Friday, September 14, 2007

Global Warming: Peringatan yang Sudah Terlambat

Beberapa waktu belakangan ini, isu global warming benar-benar warm (atau mungkin sudah enggak warm lagi, tapi sudah benar-benar hot). Aku beberapa kali mendapat forward e-mail yang isinya serupa. Intinya sih supaya kita benar2 hemat energi, mesti cermat betul dalam menggunakan sumber daya yang ada.

Kalau kupikir-pikir, barangkali bumi ini mirip orang yang sudah divonis kena kanker stadium lanjut. Yang harapan untuk hidupnya tinggal beberapa bulan lagi. Kalau pengobatan kemoterapi, diet makanan, olahraga, serta dukungan orang-orang di sekitarnya tidak dipadukan dengan penuh kecermatan, jangan harap bisa ketemu dengan cucu, buyut, cicit, canggah, gantung siwur, dan seterusnya. Jadi ini memang genting.

Tapi sebenarnya, hal-hal yang mengancam kita sekarang sebenarnya bisa direduksi atau bahkan dihindari jika manusia sejak awal bisa berpikir panjang dan bijak. Misalnya, kita sebenarnya bisa saja lebih memberdayakan energi surya, angin, air, tentu kita enggak ribut jika harga minyak bumi melambung. Listrik di rumah2 pakai tenaga surya semua. Rumah tangga masing-masing mandiri dalam hal pasokan listrik. Asyik kan?

Saat ini orang-orang mulai ada yang menolak tas kresek jika berbelanja di supermarket atau pasar. Ini oke sih, aku mendukungnya. Tapi pertanyaannya, kenapa baru dilakukan sekarang? Kenapa enggak dari dulu-dulu? Kalau produksi plastik sangat dibatasi, tentu sungai-sungai di Jakarta dan kota-kota besar lainnya tidak akan penuh dengan sampah non-organik ini kan?

Dan kini, sampah yang tidak bisa terurai sudah begitu menumpuk. Kita sudah kewalahan. Pasokan energi pun sudah mulai seret. Lalu, orang-orang mulai panik karena bumi sudah semakin panas. Akhir dunia (mungkin) sudah dekat, karena (jangan-jangan) kita sendirilah yang mempercepatnya.

Thursday, September 06, 2007

Macet di Jogja

Naik motor di Jogja, siang hari, bisa bikin emosi deh. Rasanya keadaan lalu lintas di Jogja sudah mulai "ketularan" Jakarta. Mulai macet, walaupun belum separah di Jakarta. Masih bisa jalan, walaupun lambat dan mesti rela berpanas-panas. Duuh!

Trus, aku jadi berpikir, kenapa ya bisa seperti ini? Kenapa coba? Apakah orang sudah begitu kelebihan uang sehingga mereka memilih untuk membeli kendaraan pribadi? (Entah mobil atau motor.)

Lalu aku jadi berpikir, mengapa aku membeli motor juga? Kenapa enggak memilih untuk naik kendaraan umum?

Jawaban singkat dan mudahnya adalah: Biar bebas ke mana-mana. Tidak tergantung pada kendaraan umum yang enggak nyaman. Belum lagi mesti nunggu lumayan lama untuk jalur-jalur tertentu. Waktuku habis!

Tapi kupikir, ini ada hubungannya dengan hukum tabur tuai. Apa yang dulu kita tabur, sekarang kitalah yang menuainya. Begini, coba kalau dulu pemerintah lebih mementingkan kualitas kendaraan umum, tentu tidak begini akibatnya. Kalau Jogja memiliki tata ruang kota yang baik, tentu tidak begini akibatnya. Kalau kepentingan rakyat diutamakan, tentu tidak begini akibatnya. Semua itu mungkin berawal dari kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat oleh pemerintah yang pernah memerintah sejak dulu sampai sekarang--dan segelintir orang pemilik modal.

Ada banyak yang dikorbankan jika orang lebih mementingkan kepentingan "daging"--dengan berbagai alasan. Padahal, apa sih untungnya? Mungkin ini seperti permainan monopoli. Duit ditumpuk-tumpuk, beli fasilitas di sana-sini (supaya anak cucu tidak kekurangan makan), dan seterusnya dan seterusnya.

Tapi semua itu semu. Semuanya tidak membawa kita ke mana-mana.
Being Single and Happy!

Kemarin aku baru menyadari kalau teman-teman seangkatanku sudah banyak yang menikah. Sebagian sudah memiliki anak, satu..., dua..., atau bahkan sampai tiga ya? Dan aku? Masih single dan menikmati hidup (being single and happy--meminjam tag yang dipakai GPU untuk buku2 chicklit).

Kupikir, menjadi perempuan single itu enak juga. Ini menurut pengalamanku sendiri lo. Begini, aku bisa main ke mana saja sesukaku. Menikmati gaji dan menggunakannya sesuai dengan kemauanku. Mau beli kamus yang harganya ratusan ribu, oke. Mau beli buku berapa pun, oke. Mau untuk kongkow-kongkow, oke. Mau memberikan sebagian gajiku kepada orang-orang yang menurutku membutuhkan, oke juga.

Sejauh ini aku tidak merasa kesepian sih. Dan hidup ini terasa ringan. Bahagia.

Terkadang aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mengatakan bahwa ia menikah agar bahagia. Apakah orang lajang tidak bisa bahagia? Sangat bisa. Dan aku buktinya he he he.

Wednesday, August 29, 2007

Sortir Waktu

Kadang aku mikir, waktu yang sudah aku habiskan sepanjang hidup ini, sebagian besar habis untuk apa ya? Selain habis buat tidur, hal signifikan apa ya yang sudah kulakukan?

Beberapa waktu lalu, ketika sedang persekutuan doa di kantor, seorang temen bilang: "Kalau orang itu sudah divonis mati karena suatu penyakit, biasanya dia akan berhati-hati dengan tindakannya. Dia bakal menyortir tindakannya--melakukan hal yang baik dan berguna bagi orang-orang di sekitarnya." Kalimat itu dia ucapkan setelah dia bercerita tentang seorang wanita yang menderita tumor otak dan dokter sudah mengatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Wanita itu lalu meminta sang dokter merahasiakan penyakitnya itu kepada keluarganya. Maka, wanita itu pun mulai membuat surat kepada masing-masing anaknya dan memberikan nasihat terbaik. Dia juga melakukan hal-hal yang berguna dan tidak membuang waktu begitu saja.

Kalimat yang diucapkan temanku itu terngiang-ngiang di benakku. Sampai sekarang.

Memang aku tidak tahu sampai kapan aku dapat beraktivitas di dunia ini. Dengan kesehatan yang cukup seperti ini. Dengan teman-teman dan orang-orang dekat yang membantuku. Dengan kesegaran pikiran yang kumiliki seperti saat ini. Dengan banyak hal yang menolongku, yang kadang tidak aku sadari.

Rasanya memang tak perlu menunggu aku divonis penyakit maut untuk menyortir waktu, untuk melakukan kebaikan dan memberi arti bagi banyak orang. Tapi kadang memang keinginan manusiawi kita susah untuk diajak kompromi. Pas ketemu temen yang nyebelin dan berkelakuan minus, mulut ini rasanya gatel kalau enggak ngrasani (jadi apa bedanya kita sama dia ya? sama-sama minus kelakukannya, hehehe). Pas punya banyak uang, kita hambur-hamburin sesuka hati, enggak ingat sodara2 yg sedang kesusahan dan ogah untuk berbagi. Dan seterusnya ... dan seterusnya.

Aku jadi inget kata-kata Bunda Teresa: Yesterday is gone. Tomorrow has not yet come. We only have today. Let us begin. Kita cuma punya waktu "saat ini", bukan nanti. Bukan tadi. Bukan besok. Bukan kemarin. Tetapi kini, dan di sini. Tak ada jaminan yang mengatakan bahwa usia kita masih panjang. Jadi, lakukan yang terbaik--sekarang!

Wednesday, August 08, 2007

Kebutuhan?

Ini benernya mau menanggapi komentarnya Oni Suryaman yang bilang bahwa nggak mungkin kalo kita bisa mengadakan acara kawinan dg sederhana. Ntar usaha katering dan persewaan gedung bisa tutup dong.

Ya, benernya sih usaha2 seperti itu nggak bakal tutup deh. Tapi kalo orang se-Indonesia (ya, betul se-Indonesia) rame2 bikin acara pernikahan yang biasa-biasa aja, usaha katering dan persewaan gedung (plus tetek bengeknya) memang bisa gulung tikar.

Sebenarnya aku bertanya-tanya, kok bisa sih muncul usaha semacam itu? Itu kupikir karena menjawab kebutuhan masyarakat. Dan kebutuhan itu rasa2nya muncul dari budaya. Sejak kecil, yg namanya orang punya hajatan ya mesti repot dan heboh. Tamunya buanyaaak! Dan itu berarti mesti ngasih makan banyak orang. Nah dari situ, muncullah usaha katering. Trus, soal usaha persewaan gedung itu, kan karena orang2 sekarang rumahnya kecil2, dan nggak berhalaman luas. So, karena emang sudah tradisi bahwa jika seseorang yg punya gawe harus gede2an, maka mau nggak mau ya mesti sewa gedung.

Tapi sekarang masalahnya adalah, banyak orang yg kapasitas finansialnya sedang2 saja. Jadi, kalo mau bikin hajatan, mesti utang sana-sini. Kasihan kan?

Tapi ya begitulah kenyataannya. Orang kadang nggak berani berbeda. Untuk berbeda kan kadang butuh "muka tebal". Misalnya nih, kalo soal resepsi pernikahan itu. Kalo enggak mau keluar banyak duit, ya yang sederhana aja. Kalo agar pernikahan itu sah secara agama dan negara, benernya nggak perlu mengeluarkan banyak uang deh. Nggak sampai puluhan juta dikeluarkan.

Kadang membuatku merasa bingung harus berempati atau tidak adalah, ketika seorang temanku yg setelah menikah bingung mau tinggal di mana. Belum punya rumah katanya. Dan untuk mengontrak rumah pun juga masih mikir untuk cari yg murah. Padahal waktu nikah, acaranya gede2an. Undangannya melimpah ruah. Ada acara pertunjukan hiburannya segala. Makanannya juga banyak banget. Wah pokoknya komplit deh! Kok kayaknya nggak seimbang ya?

Kalau melihat begitu sih, aku cuma bisa merasa kasihan. Kasihan karena sepertinya dia cuma mengikuti arus dan permintaan orang lain. Sementara sebenarnya dia sendiri nggak mampu. Kasihan kan?

Friday, July 27, 2007

Kenapa Tidak Bisa Sederhana Saja?

Aku belakangan ini sering bertanya-tanya, "Bisa enggak sih, kalau acara pernikahan itu dibuat sederhana?" Gampangannya, makan-makannya tidak perlu mengundang ratusan orang. Teman-teman dekat dan keluarga sajalah. Jadi tidak perlu menyewa gedung. Cukup di rumah saja. Makanan bisa pesan catering. Sudah begitu saja. Simpel.

Fokuskan pada upacara pemberkatan di gereja, atau kalau bagi teman-teman yang muslim, di masjid atau pas mengundang pak penghulu di rumah itu lo. Simpel.

Dan bukankah sebenarnya itu yang lebih penting?

Monday, July 16, 2007

Sinetron yang Bikin Eneg!!


Ceritanya aku ini orang yang paling males kalau sudah nyampe di rumah. Kadang pengen baca2, tapi capek juga nih mata. Di kantor kerjaanku melototin naskah, jadi yaaa ... kadang pengen melihat sesuatu yang bukan berupa huruf dan kata2. Tapi apa ya?


Di rumah cuma ada televisi dan radio. Jadi, dua benda itu yang kadang jadi sasaran kemalasanku. Dan belakangan ini kalau lagi nggak jelas kegiatannya, aku tanpa sadar sudah menyetel televisi. Dan kadang aku terjebak menonton sinetron yang nggak jelasnya.


Lama2 aku eneg lo nonton sinetron tuh. Aku bertanya2, yang buat cerita sinetron itu pernah--paling tidak--baca buku bagus nggak sih? Yaaa, nggak usah jauh2 deh, cerita2 karangan Paulo Coelho, atau kalau yang karya orang Indonesia, tulisan2nya NH Dini, Umar Kayam, atau siapa lah, gitu. Atau kalau itu terlalu berat, cari aja novel2 terjemahan di Gramedia atau toko2 buku yg lain. Banyak kok.


Aku setengah yakin mereka itu nggak suka baca. Kenapa? Soalnya cerita yang mereka bikin itu sama sekali nggak memenuhi kriteria sebuah cerita yang baik.


Sinetron yang mereka buat itu kebanyakan tokohnya kalo yang antagonis pasti digambarkan jeleeeek semua. Nggak ada sisi baiknya sama sekali. Sedangkan yg protagonis, pasti baiiiiikkkkkkkk terus. Nggak ada buruknya sama sekali. Cerita-cerita semacam ini seingatku aku temui waktu dulu aku baca BOBO bagian "JUWITA dan SI SIRIK". Cerita fantasi ttg si baik dan si jahat gitu lo. Dan ujung2nya, yg baik pasti menang, yang jahat pasti kalah. Klise, gampang ditebak.


Nah, masalahnya, ada cerita2 di sinetron yang bukan cerita fantasi. Misalnya, seperti seri HIDAYAH. Cerita2nya mengangkat sisi religius. Tapi isinya kok malah aneh ya? Ya, nggak beda jauh sama perselisihan Juwita dan si Sirik gitu. Aku jadi mikir, mereka mau mengangkat tema apa sih? Masalah yg berhubungan dengan religiusitas kan enggak melulu soal baik dan buruk. Dan yang baik tidak selalu baik, sedang yg jahat tidak selalu jahat. Ya, seperti kita2 inilah. Pasti ada sisi baik dan buruknya. Kita semua toh berjuang untuk menjadi manusia yg lebih baik, tapi kadang jatuh karena memiliki karakter yang tidak baik. Rasanya enggak ada tuh orang yang jahaaaat terus, dan enggak ada orang yg baiiiiik terus.


Trus begini, kalau aku mendapat naskah cerita yang isinya cuma hitam-putih begitu, biasanya aku tolak lo! Males bacanya. Dan enggak ada asyiknya sama sekali. Nah, makanya aku heran dengan sinetron2 yang ditayangkan itu. Siapa sih yang menyeleksi naskahnya? Mereka benar2 baca apa enggak? Apa karena dikejar setoran, jadinya membuat cerita seadanya? Duh! Parah banget! Masalahnya, sinetron itu kan yang nonton orang se-Indonesia, bukan orang2 di kantor PH-nya mereka doang. Kalo mau melakukan pembodohan dan pembohongan, kira2 dong.


Jadinya, gimana sekarang? Kalau boleh usul sih, matikan televisi. Atau kalau mau nonton, carilah dulu jadwal acaranya. Jadi biar nggak tambah bodoh. Be a smart viewer!

Tuesday, June 26, 2007

Real Estate-nya Pak Ciputra


Bulan lalu, aku sempet jalan2 ke Surabaya. Nah, di salah satu acara jalan2ku, aku sempet melihat2 real estate-nya Pak Ciputra (salah satu konglomerat di Indonesia). Wah, rumah2nya baguuuuus! Keren deh pokoknya. Serasa di luar Indonesia deh. (Kalau di Indonesia kan biasanya suasana rada sumpek gitu hehehe.) Rumah2 di situ semuanya pake AC. Desainnya bagus2. Rumput2 di halaman itu terpotong rapi. Ada lapangan golf-nya. Ada kolam yang gedeeee banget! Trus di beberapa tempat ada patung2 ala luar negeri. Bahkan ada patung singa yang jadi simbolnya Singapura. Jalanan tidak ada yg berlubang. Tamannya juga bagus2. Hhh! Keren abis dah! Di situ semua bisa dibilang sempurna.


Asyik ya?


Aku membayangkan, bagaimana rasanya tinggal di salah satu rumah itu. Apakah aku akan bangun dengan badan berkeringat? Tahu sendirilah ... panasnya kota Surabaya itu kaya apa? Paling enggak beda terlalu jauh sama panasnya oven di atas api hehehe.


Tapi seketika itu juga aku lalu teringat pada cerita seorang temanku. Dia itu memenangkan lomba Power of Dream-nya Honda. Entah kapan aku lupa. Tapi yang jelas, karyanya dapat penghargaan gitu lah. Sorry lupa2 ingat. Lali tenan je! Sebagai anak arsitek, dia membuat desain rumah yang ramah lingkungan. Di antaranya dia mendesain rumah yang listriknya pake tenaga surya, kalo masak pake biogas, dll. Keren banget! Kalo enggak salah, dia sempat ditawari untuk merealisasikan rumah desainnya itu. Tapi tahu nggak, itu semua: BATALl! Itu gara2 alat untuk mengubah tenaga surya menjadi tenaga listrik mesti impor, dan jatuhnya jadi mahaaaaallll!


Aku jadi berpikir, kenapa ya Pak Ciputra enggak bikin kompleks real estate yang ramah lingkungan kaya gitu ya? Kan asyik tuh kalo kita listriknya pake tenaga surya, jadi enggak usah bayar iuran listrik ke PLN dan enggak kuatir kena giliran mati listrik. Trus, kita juga enggak usah susah2 beli gas LPG yang harganya naik turun sesuka hati, karena kita pake biogas.


Ini bagiku lebih asyik!


Kalau kemarin temanku batal merealisasikan rumah ramah lingkungan desainnya karena jatuhnya jadi mahal, kan kalau Pak Ciputra yang bikin, kurasa jatuhnya bisa lebih murah. Tentu beda kan kalo yang merealisasikannya seorang mahasiswa dan konglomerat? Soal duit dan perizinan kali bukan masalah besar. Apalagi kalau kompleks perumahan itu benar2 ramah lingkungan dan bisa menjadi contoh untuk skala internasional. Keren kan? Pak SBY pasti setuju dan mendukung banget tuh! Dan di tengah santernya isu pemanasan global, rumah yang ramah lingkungan pasti menyejukkan hati banyak pihak.


Iya nggak, Pak Ciputra? Hehehe. (Kira2 tulisanku ini bisa sampai ke Pak Ciputra nggak ya?)
Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Jogja

Tahu jalan Moses di Jogja nggak? Sebelah selatan Univ. Sanata Dharma, Mrican tepatnya. Saat ini, itu adalah jalan yang sebisa mungkin kuhindari. Macet banget sih biasanya. Males!


Sebenarnya ada beberapa jalan yang agak tidak leluasa untuk dilewati selain jalan Moses itu. Ada jalan Prof. Yohanes (orang biasanya bilang "jalan baru", sagan). Yang macet biasanya di ujung2nya, karena ada parkira motor orang2 yg mau ke Galeria, dan ujung satunya macet karena lampu merah dan badan jalan yang sempit. Selain itu, ada jalan di depan Mirota Kampus (depan2an dengan KFC). Itu juga karena ada lampu merah dan badan jalan yang sempit.


Tapi kalau jalan Moses lain kasusnya. Di situ ada banyak konter HP dan pulsa. Plus beberapa tempat makan, rental CD/VCD, dan salon. (Aku enggak tahu di situ masih ada rentalan komputer dan pengetikan apa enggak.) Dan banyak orang parkir di badan jalan! Kadang ada mobil juga yang parkir. Padahal badan jalan Moses itu enggak lebar2 amat. Sempit malah. Kebayang nggak gimana semrawutnya jalan itu?


Sebenarnya yang membuatku tergelitik menulis ttg jalan Moses bukan soal macetnya sih. Aku cuma bertanya2, kenapa ya jalan itu dipenuhi dengan orang yang berjualan HP dan pulsa? Padahal itu deket kampus lo! Kalau di situ ada beberapa warung makan, oke lah. Makan kan kebutuhan primer. Tapi kalo HP? Berapa kali seorang mahasiswa membeli dan menjual HP-nya? Agak aneh aja sih menurutku.


Kadang aku berpikir, kenapa di situ tidak berjejer toko buku yang nyaman dan perpustakaan "swasta"? Atau apalah yang agak "intelek" dikit gitu. Gimana? Ada usul nggak?

Thursday, March 15, 2007

Pak Mar

di seantero gloria ini, siapa yang enggak kenal pak mar? pasti kenal dong. kalo inget pak mar, aku inget teh manis yang kuminum tiap pagi. enaaaaak! manisnya pas. dan hangat. kadang memang terlalu panas di lidah sih. tapi aku dasarnya suka minuman yang panas-panas, jadi it's oke. dan teh memang paling enak kalo masih panas. seger!


kemarin sore, aku iseng-iseng nanya ke pak mar.


"pak mar kalo pulang berapa minggu sekali?"
fyi, dia itu rumahnya di kebumen. jadi tiap hari dia memang tidur di kantor.
"dua minggu sekali, mbak."
trus, dari situ mengalirlah cerita bahwa dia benernya berat kalo cuma bisa pulang dua minggu sekali.
"saya akui mbak, kalau saya bukan orang yang sempurna. saya enggak bisa mendampingi keluarga setiap hari. bagi saya, yang sempurna itu bisa kerja dan tiap hari pulang. entah pulang sesore apa, tapi tetap pulang. ketemu anak-anak, ketemu keluarga."


"anaknya pak mar sekarang kelas berapa?" tanyaku lagi.
dia lalu cerita bahwa anaknya sekarang kelas 3 SMEA (smk kali ya kalo sekarang). dia mengatakan bahwa sekolah zaman sekarang ini berat banget. apa-apa butuh duit.
"masak mbak, wajarnya anak sekolah itu kan naik kelas. lha sekarang aja, naik kelas masak membayar to mbak? zaman saya dulu enggak ada bayar-bayaran kaya sekarang. sekarang ini sekolah itu bisnis mbak, bukan tempat belajar mengajar."


sedih juga, mendengar ceritanya. yah, siapa sih yang mau jauh dari keluarga? sebagai seorang kepala keluarga, tentu dia pengen menunjukkan tanggung jawabnya secara utuh. maksudnya, ya kerja, ya bisa mendampingi. tapi apa mau dikata? dia bilang, "ini karena saya enggak punya pilihan lain."


ugh! tambah sedih aku.


aku jadi ingat obrolan beberapa waktu lalu soal kebebasan. kebebasan itu apa? kebebasan itu tidak sekadar bebas untuk ..., bebas dari ..., tetapi juga apakah kamu punya kesempatan? oke, mungkin orang bebas untuk melakukan apa saja. orang juga bisa bebas dari suatu hal yang membelenggunya. tetapi apakah orang itu bisa disebut bebas jika dia tidak punya kesempatan? kaya pak mar tadi loh maksudku. dari dua jenis kebebasan pertama, mungkin dia termasuk golongan manusia bebas, tapi soal kesempatan? dia tidak punya pilihan yang menurutnya lebih baik.


dia memang bisa tetap di kebumen, menggarap sawah. tapi hasilnya tidak seberapa. dan tahu sendiri lah, kebijakan pemerintah sekarang kan enggak menguntungkan petani. mana cukup untuk membiayai anak-anak dan istrinya? padahal kalau dipikir, sebagai seorang office boy di gloria, berapa sih gajinya?


kadang aku merasa aku ini punya utang yang besar sekali dengan orang-orang seperti pak mar. dan sampai sekarang aku masih bingung, mau berbuat apa konkretnya untuk menolong mereka?

Tuesday, March 13, 2007

Seberapa Plural, Sih Aku Ini?

Pertanyaan yang mungkin enggak penting bagi sebagian orang ini muncul tadi pagi. Tepatnya pas aku menyetel televisi dan di TransTV menayangkan acara “Surat Sahabat”. Biasa saja sih. Ceritanya tentang anak-anak di Rote. Cerita tentang keseharian mereka.


Entah ada berapa orang yang menganggap bahwa apa yang ditayangkan di situ adalah hal yang biasa-biasa saja. Tetapi memang yang kulihat di situ berbeda dengan apa yang kulihat sehari-sehari di sini. Terutama soal bahasa. James, kalau enggak salah, bercerita tentang pembuatan gula dari air nira. Sori ya kalau salah, tadi soalnya nontonnya sepotong-sepotong, disambi telepon karena aku sudah “kebelet” untuk bercerita dengan orang di seberang sana tentang pemikiran yang ada di benakku saat menonton acara itu. James, atau siapalah namanya, berbicara dengan bahasa Indonesia yang menurutku agak terpatah-patah, seperti kalau anak SD djaman dahoeloe baca “Ini Ibu Budi”, itu lo. Dan agak campur dengan logat bahasa daerah sana, menurutku.


Yang ditayangkan Trans TV itu mengingatkanku saat aku ke Belitung dan ke Bali beberapa saat yang lalu. Sama-sama ke luar Jawa, tetapi pengalamannya sangat berbeda. Aku ke Bali untuk wisata bareng teman-teman kantor nginep di hotel, dan ke Belitung nginap di rumah orang, yang bukan orang Jawa, melainkan Cina.


Tapi terlepas dari itu, kunjungan ke Belitung kemarin membuatku ngeh seperti apa “shock culture” itu. Di sana jelas aku mesti berbaur dan menyelami adat orang di sana. Begitu sampai di sana, aku sudah merasakan hal yang berbeda. Sebagai keluarga pedagang, rumahnya digabung dengan sebuah toko di muka rumahnya. Jadi, di sana tidak ada halaman yang luas seperti di rumahku Madiun. Lalu, keluarganya menyambut kami dengan bahasa Kek. Dan mungkin karena menyadari bahwa ada seorang bukan keturunan Kek di situ, bercampurlah bahasa yang dipakai: bahasa daerah setempat, bahasa Kek, dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang kudengar pun agak sulit kutangkap karena sangat kental tercampur dengan logat asli sana.


Dan saat itulah aku pertama kali benar-benar masuk ke rumah keluarga Cina. Unik sih, karena di situ ruangan dipakai untuk macam-macam—ruang seterika, ruang makan, ruang nongkrong. Tidak ada pemisahan khusus. Dan untuk makan sepertinya memang tidak biasa dilangsungkan acara makan bersama. Kami—anak-anak—memang makan bersama sih. Tapi rasanya meja yang dipakai bukanlah meja yang memang khusus untuk makan. Jadi semacam “dianak-anakke” kalau orang Jawa bilang. Meja itu adalah meja set untuk sofa. Jadi, itu adalah meja yang berkaki pendek. Dan kami duduk di bawah. Hehehe. Lucu juga.


Selama di sana, mereka sering bercakap-cakap dengan bahasa Kek. Dan parahnya, aku cuma tahu kata “sit fan” alias makan. Hahaha! Lainnya aku tidak tahu. Dan komunikasiku yang lancar hanya dengan tuan rumahnya. Anggota keluarga yang lain ngobrol juga sih denganku. Awalnya memang pakai bahasa Indonesia, tetapi nanti setelah ada orang lain selain aku, otomatis bahasa mereka pun bercampur-campur. Hehehe. Nanti setelah tidak beberapa lama kemudian, inti yang mereka obrolkan, diterjemahkan ke bahasa Indonesia.


Awalnya aku agak protes sih. Tetapi kemudian aku sadar bahwa hal ini sudah “otomatis”, bukan disengaja agar aku tidak mengerti. Ya, seperti kalau kita di Jawa, yang otomatis mengobrol pakai bahasa Jawa kalau dengan anggota keluarga kita yang lain. Jadi bisa dikatakan, memakai bahasa daerah sendiri memang lebih afdol. Lebih sreg, lebih nyaman, seperti memakai baju kita sendiri, bukan baju pinjaman orang lain.


Dan tentu saja pengalaman ini berbeda dengan ketika aku bersama-sama dengan teman kantor pergi ke Bali. Aku di sana sama sekali tidak mengalami “culture shock”. Itu kupikir karena aku sama sekali tidak bersentuhan dengan budaya Bali. Aku tinggal di hotel dan ke mana-mana ya dengan rombongan teman satu kantor. Kalaupun bersentuhan dengan budaya di sana, paling-paling sebatas dengan tour guide, penjual suvenir, atau penjual makanan. Selebihnya, it’s fine. Baik-baik saja. Di mana-mana aku masih leluasa ngobrol pakai bahasa Jawa. Wong temen-temen serombongan masih orang Jawa, je! Nggih, to?


Berkunjung ke Bali itu tidak ubahnya seperti kita berkunjung ke TMII (kalau kubilang sih TMIJ = Taman Mini Indonesia Jelek, karena Taman Mini kotor dan tidak teratur!). Di sana kita melihat Indonesia mini, yang diwakili oleh rumah-rumah adat. Asyik sih. Tapi di sana kita tidak bersentuhan dengan budaya daerah itu masing-masing. Kita berpikir, bahwa yaaa, berbeda itu baik-baik saja kok. Tapi kalau kubilang sih, itu baru sebatas toleransi. Kita tidak berempati dan kita tidak mengenal apa dan siapa sih mereka itu.


Selama aku di Belitung, aku baru bener-bener sadar bahwa buku pelajaran Bahasa Indonesia yang kupakai djaman SD dulu, tidak pas untuk diterapkan di sana. Di buku itu, ilustrasi yang dipakai adalah gambaran orang Jawa: Ibu yang memakai kebaya, rambutnya dikonde. Dan nama-namanya pun adalah nama yang biasa kita temui di Jawa: Budi, Wati.


Dan, saat itulah aku sempat merasa malu sebagai orang Jawa. Aku malu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa budaya Jawalah yang paling baik. Ya, orang bisa ngomong apa saja sih. Tapi kalau kubilang, setiap budaya memiliki kebaikannya masing-masing. Dan kita tidak bisa memaksakan orang lain mengadopsi budaya yang kita anggap paling baik itu.


Lalu, tadi pagi, pertanyaan “Sudah seberapa pluralkah aku?” kembali muncul di benakku. Dari kecil aku sudah kenal dan hafal di luar kepala apa arti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tapi toh nyatanya sampai segede ini pun aku masih terbata-bata melakoninya. Dan kupikir, masalah pluralisme adalah masalah kita bersama sebagai bangsa Indonesia, jika kita memang mau tetap “satu nusa, satu bangsa” ....

Thursday, March 08, 2007

Pacaran

aku kadang masih bertanya-tanya, kenapa orang pacaran. kenapa? buat persiapan utk kawin. hmmm... boleh-boleh. itu masuk akal.

tapiiiii, kalo anak SMA ato anak2 ABG itu pacaran, emang udah mau kawin?

dulu waktu aku masih ABG, aku bisa dibilang nggak punya pacar. long story kalo mau diceritain di sini. tapi ya emang gitu kenyataannya. aku nggak punya pacar. trus...trus, waktu itu beberepa temenku udah punya pacar sih. dan obrolan dengan temen2 cewekku, rata2 emang soal cowok.

"eh, si A itu cakep juga lo!"
"tau nggak, si C kan udah jadian sama si D. kok si D mau ya? padahal kan ...."
dan seterusnya, dan seterusnya.

dulu aku nyantai-nyantai waktu temen deketku juga masih jomblo. asyik2 aja gitu. ya, emang kadang kita naksir cowok yang setipe. tapi sutralah, mereka kadang rasanya terlalu gede buat anak2 ingusan macem kita. lha gimana enggak, mereka udah SMA, kita masih SMP kelas 1. ato SD ya jangan2? hehehe.

tapi pas temen deketku punya pacar, aku jadi merasa nggak seasyik dulu. dia jadi sibuk sama cowoknya. dan malem minggu adalah milik mereka berdua. jadilah aku cengok di rumah sendirian. kadang nih, aku merasa kok kayaknya enak ya punya cowok; malem minggu pasti nggak bengong sendirian begini.

tapi pas akhirnya punya pacar, hehehe, ternyata malem minggu pun kadang (ato sering kali) aku juga sendiri. emang sih kadang ada temen ngobrol, tapi benernya kalo temen ngobrol mah, selain pacar juga bisa kan? apalagi kalau akhirnya sama pacar kita malah nggak cocok ngobrolnya, dan ujung2nya berantem. trus, nggak jelas juga pacaran ni mau ke mana benernya. mau merit, nggak punya duit, apalagi kalo masih jobless. males ah!

nah, ini balik lagi nih ke pertanyaan di awal, kalo anak2 ABG itu berusaha utk punya pacar, benernya mereka mau ngapain sih? utk menyalurkan perasaan bahwa kita naksir trus dia juga naksir? trus kalo udah gitu, ngapain? mau kawin? kan masih sekolah dan lagi, aku juga nggak yakin apa mereka udah siap utk merit. kalo dilihat dari segi biologis sih, okelah. tapi kalo soal kesiapan mental, aku kok nggak yakin ya?

jadi benernya ngapain pacaran? toh nikah juga belum siap. kalo aku melihat ke belakang, aku jadi mikir, kayaknya berteman aja cukup kok.

kalo memang setelah berteman kita merasa sreg utk menikah dengan dia, bolehlah pacaran. trus nggak usah lama2 pacarannya, hehehe.
Perayaan yang Aneh

"kenapa sih kalo orang makan di fast food macem Pizza Hut ato McD mereka suka banget foto2? kayaknya makan di tempat itu serasa perayaan apa aja..."

hehehe. emang gitu kali ya, orang kayaknya seneng banget kalo bisa makan di KFC, McD, Pizza Hut, ato apalah namanya .... seneng bisa "makan enak". mungkin itu pikiran orang. kalo aku sih benernya udah rada2 bosan. bukannya aku sering makan di tempat kaya gitu, tapi aku emang sekarang rada-rada mikir kalo mau makan junk food. enggak nambahin gengsi, nambahin penyakit sih iya. males aja. emang sih kadang aku masih ke Pizza Hut, tapi itu juga karena udah nggak tahan pengen makan salad. makanan favorit sih! dan kalau di jogja, salad yg enak ya paling di Pizza Hut. mau bikin sendiri males soalnya :p

tapi nih, ya emang aku merasa aneh kalo orang seneng banget makan di tempat2 kaya gitu utk merayakan sesuatu. mbok biasa ajalah, enggak usah dilebih-lebihkan. enggak usah serasa merayakan apaaaa gitu.

tapi emang kali gitu ya tabiat orang yang tinggal di dunia ketiga. menganggap semuanya yg dari barat itu lebih bagus, dan nambah gengsi. hihi, padahal di situ banyak juga pemicu penyakitnya.... :D

Monday, March 05, 2007

Bingung....

Aku bingung niiiii

Friday, February 16, 2007

manusia itu apa?

belakangan ini aku suka menanyakan hal2 yang mungkin bagi sebagian besar orang enggak perlu ditayakan. misalnya, aku bertanya-tanya, "manusia itu apa sih?"

pertanyaan itu muncul begitu sederhananya, yaitu pas aku melihat bu hana (atau mbak aan ya?) lewat di koridor kantor dengan mas-mas auditor itu. aku mikir gini, mereka itu manusia. aku bisa mengenali mereka sebagai manusia karena mereka memiliki badan plus isi di dalamnya yang bisa membuat mereka bergerak sesuai dengan perintah otak. selain itu mereka juga punya perasaan, punya emosi. trus? apakah manusia "cuma" itu doang?

kabarnya, manusia memiliki jiwa, roh. aku sendiri belum pernah melihat roh yang nongkrong di dalam diri manusia itu. nah, lalu bagaimana roh dan badan itu saling kait mengait? apakah keduanya bisa dipisahkan? trus, kalo keduanya dipisahkan, apakah itu masih disebut manusia?

ah bingung!

mau tanya ayah aja ah!
(dan setelah aku tanya ayah, aku malah disuruh mikir lagi. hehehe. bingung kan?)
kerja bakti yuuuuk!

pagi ini aku kerja bakti mendadak bareng temen2. gara2nya besok senin-selasa bakal ada sidak dari bapak2 komisaris. nah, daripada dikasih wejangan panjang lebar tentang hal-hal yang kita udah tahu (masalah kebersihan, apa lagi?), mending kita2 dikerahkan untuk kerja bakti.

begitu ada pengumuman kaya gitu, aku langsung nengok ke mejaku. waduh! berantakaaaan! hiks! benernya enggak seberapa dibandingkan "zaman dahoeloe", yang mana, banjak boekoe yang bertaburan di meja. wakakakak!

trus, mulai deh, aku beres2 beberapa buku. e ... ternyata beberapa buku itu seharusnya berada di rak2 yang memang sudah disediakan. hihihi. nakal ya! sebenarnya barang2 di mejaku itu milik bersama. misalnya, kamus, dan KS.

nah, sekarang mejaku udah kinclong!

Thursday, February 15, 2007

bete

hari ini aku males banget! banget!
mungkin karena ayah yg batal datang. ugh!

dan aku mesti menata hatiku lagi. tapi aku jadi ngantuk dan nggak pengen ngapa2in. aku pengen tidur. pengen makan yg buanyaaaaaak!

aku kadang sebel aja sih. nggak terima kenapa dia enggak mau berjuang utk datang. tapi memang alasannya masuk akal sih. ada acara di kampus yg nggak bisa ditinggal. trus, jadi nggak dapet keret malam tasaka. benernya bisa aja dia berangkat hari ini. tapi akibatnya memang waktunya di sini jadi dikit banget! ugh! sebel kan?

trus gimana?

nggak tahu. tapi aku bete. males.

tapi aku mestinya lebih jago menata hati. nggak uring2an gini.

jadi, "senyum dong! senyum dong!"
orang dodol

tahu nggak, hari ini kayaknya aku terserang virus "enggak-bisa-duduk-diam". males banget melihat naskah yang terpampang di layar komputerku. enggak, aku enggak bilang kalau naskah yang kuedit enggak bagus. bagus kok. cuma kok kayaknya aku males aja. pengen sesuatu yang lain. pengen jalan-jalan. pengen berlama-lama browsing. pengen berlama-lama blog-walking. nakal ya?

dan suer, aku hari ini pengen banget nulis. cuma dodolnya, ide yang mau kutulis banyak banget. jadi malah enggak ada yg tertuang dengan sempurna. cuma sepotong2. aduh! nakal banget.

aku masih pengen nulis lagi. pengen bikin cerpen. pengen cerita ttg kedodolan temenku si sureman (hahaha! asli aku ngakak waktu denger ceritanya). pengen cerita kalau tadi siang aat juga dodol banget. masak dia ketiduran sih pas istirahat? trus jam 3 dia baru balik? hehehehe. dodol kan?

tapi, btw, jangan2 apa aku ini juga termasuk orang dodol ya? hahaha!