Monday, November 26, 2007

Belanja ... Belanja di Beringharjo

Suatu pagi, aku terheran-heran ketika ternyata baju kerjaku banyak yang kekecilan! Aduh. Aku bingung, kenapa badanku jadi selebar ini ya sekarang? Padahal aku tak pernah berpikir bahwa berat badanku bisa bertambah sampai lebih dari tiga kilo. How come?

Dan akhirnya aku harus menurunkan pangkat baju-bajuku. Duh, sedih juga. Soalnya, beberapa adalah baju kesayanganku. Ada baju kotak-kotak biru. Ada baju bergambar boneka. Ada yang kembang-kembang buatan ibuku. Hiks :(

Akhirnya, siang itu aku blusukan ke Pasar Beringharjo. Niatnya sih beli baju yang murah meriah. Namanya juga pasar, jadi biasanya harganya bisa ditawar. Nah, sampailah aku di sebuah kios baju batik yang lumayan besar.

"Yang lengan pendek ada nggak Mbak?"
"Oh, ada. Ada mbak." Seorang temannya lalu menurunkan beberapa potong baju dengan berbagai model. Kayaknya modelnya boleh juga nih, pikirku.
"Ini batik cap Mbak, jadi baliknya juga ada motifnya. Lagian ini bagus buat kantoran," kata si mbak sambil promosi.
"Ini berapa, Mbak?" tanyaku sambil menunjuk baju yang dipromosikannya itu.
"Empat lima," jawabnya pendek.
Aduh, mahal betul. Apa bedanya sama beli di toko? Setahuku, kalau belanja di Beringharjo kita harus pintar menawar. Paling tidak separonya.
"Tujuh belas ribu boleh nggak, Mbak?"
"Tujuh belas? Lah, buat kulakan aja nggak bisa, Mbak!" katanya pedas.

Yee, namanya juga nawar. Kalau nggak boleh, nggak usah sewot dong. Dan aku pun segera pergi. Bodo amat sama si mbak yang sedang panas itu.

Lalu, sampailah aku di sebuah kios yang cukup kecil. Di situ penjualnya seorang ibu. Sepertinya sih kalau ditilik dari logatnya, dia bukan orang Jawa. Kupikir, aku tak akan berlama-lama di situ. Wong kiosnya kecil. Pasti dia tidak punya model baju yang aku inginkan.

"Silakan, Mbak," katanya ramah.
"Yang ini berapa, Bu?" tanyaku iseng.
"Yang ini dua lima saja," katanya masih dengan nada ramah.
Wah, boleh juga nih. Lumayan murah. Siapa tahu bisa ditawar.

Dan ibu ini sangat ramah. Dia melayani aku dan Tesa dengan sabar. Bahkan dia menggelar hampir semua dagangannya yang tidak banyak itu. Harga yang ditawarkannya pun cukup miring. Hmmm, akhirnya kami membeli baju di situ!

Setelah dari situ, aku berpikir bahwa sikap positif itu bisa membuka rejeki. Dilihat dari pengalaman kami, kami kepincut oleh keramahan dan pelayanan yang baik oleh ibu tadi. Sayangnya tidak semua penjual menerapkan hal ini. Mereka sekadar mencari untung banyak. Mereka tidak memedulikan perasaan si pembeli. Padahal, kalau pembeli dilayani dengan baik, mereka tidak akan kapok untuk berbelanja di situ. Bahkan mereka bisa woro-woro ke teman-temannya supaya ikut berbelanja di situ. Promosi yang efektif kan?

Kupikir, aku akan mencari ibu tadi kalau mencari batik di Beringharjo. Ia tidak memasang harga tinggi dan pelayanannya pun memuaskan ....

Monday, November 19, 2007

My Beloved Cicing

Akhirnya, ibuku memelihara anjing. Hore!!! Namanya Cicing. Bulunya cokelat muda. Dia seneng banget kalo dielus2 perutnya.

Tahu nggak, dia adalah salah satu alasanku pulang ke Madiun. Hehehe :D

Friday, November 16, 2007

Hidup yang Hampa (?)

Kalo kumat isengnya, aku jalan2 menelusuri list friends-ku. Kadang aku bertemu dengan teman-teman semasa sekolah dulu. Hmmm... sebagian dari mereka sudah ke "mana-mana". Ada yg kuliah di Amrik, ada yg berfoto dg latar belakang tembok raksasa Cina, ada yg berfoto dengan latar negara-negara Eropa sono....

Aduh maaaak, jebul aku baru sampai di sini-sini saja to? Bertempat tinggal di Jogja yang katanya suasananya damai dan tenteram. (Padahal sekarang macetnya sudah mulai tak tertahankan, dan panasnya juga cukup menyengat.) Dari kota kelahiranku, Jogja itu cukup ditempuh sekitar 2,5 jam kalau naik kereta Sancaka. Kalau naik bus Sumber Kencono kira-kira ya, 4-5 jam lah! Tidak terlalu jauh. Orangtuaku pun kalau mau bertemu dengan anak-anaknya tercinta sangat gampang. Penak.

Lalu, lha kok jebul teman-temanku sudah mak...leeeng numpak pesawat sampai ke kota-kota belahan lain dari dunia yang katanya cuma selebar daun kelor ini ya? Lah aku?

Hehehe... ya, memang setiap orang tuh selalu punya kecenderungan untuk menganggap orang lain hidupnya jauh lebih enak. Lebih tenteram. Lebih indah. Lebih bahagia. Menganggap kalau hidup di luar negeri itu lebih mulyo, lebih enak. Apa iya sih?

Jujur saja, aku kadang juga berpikir begitu. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah "Lha njuk ngopo?"

Aku jadi ingat cerita Mas Budi kemarin tentang temannya yg kaya raya--sugih mblegedu. Belum lama mereka mengobrol dan akhirnya temannya yg kaya itu akhirnya mengatakan bahwa hidupnya hampa. Memang sih segala fasilitas mereka punya. Gampangannya, duit selalu "ngetuk" dan tinggal mengeruk di ceruk lemari. Enak to? Tetapi mengapa hampa? Aku ndak tahu, je.

Pertanyaannya lagi: "Apakah hanya orang kaya yg bisa merasa hampa?" Wo, jangan salah. "Penyakit kehampaan" itu bisa menimpa siapa saja. Kurasa masalah hampa atau tidak hampa itu masalah bagaimana orang melihat hidup, bagaimana perspektif hidupnya, dan bagaimana imannya. Itu menurutku lo... (yg bukan siapa-siapa ini, hehehe).

Lalu, aku jadi ingat lagi kisah tentang seorang pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus, "Tuhan, bagaimana sih supaya aku dapat memperoleh hidup kekal?" Pertama-tama Yesus meminta supaya anak muda itu menuruti perintah Allah; mulai dari jangan membunuh sampai mengasihi sesamamu manusia. Ternyata anak muda itu sudah menuruti semua itu. Akhirnya Yesus bilang, "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku."

Kupikir-pikir dunia ini menawarkan begitu banyak pilihan kepada kita sehingga kita bingung harus memilih yang mana. Bahkan untuk sesuatu yang jauh lebih berharga, kita sangat sulit untuk membuat pilihan yang tepat. Seperti pemuda kaya itu, kupikir yang dimaksud Yesus adalah agar pemuda itu tidak meletakkan hatinya kepada seluruh kekayaannya. Melepaskan segala kelekatannya dari seluruh kepemilikkannya yg fana.

Sulit memang. Dan aku pun masih belajar untuk itu. Padahal hartaku enggak banyak2 amat. Hehehe. Gimana kalau banyak ya?

Monday, November 12, 2007

Hujan

Hujan. Mendung. Dua hal itu kadang dengan mudah membuatku membatakan rencana. Takut kehujanan, alasanku.

Lalu, ketika melihat mendung yang begitu pekat dan hujan yang mulai turun, aku pun dengan mudah merasa "blue". Rasanya jadi males. Lalu ingat kejadian-kejadian masa lalu yang kurang menyenangkan di bulan yang penuh mendung ini. Hmmmfff!

Betapa mudahnya aku dipengaruhi oleh hal-hal di luar diriku. Padahal, kalau dipikir-pikir, apakah hari yang cerah jauh lebih baik daripada hari hujan? Mungkin, bagiku memang iya. Soalnya aku bisa main ke mana-mana tanpa takut kedinginan dan kehujanan. Hehehe. Tapi bukankah hujan juga diperlukan oleh para petani? Kalau panen mereka gagal, kita juga yang kena imbasnya.

Lagi pula, bukankah setiap hari aku belajar bahwa sukacita yang sejati itu muncul dari dalam batin kita? Kurangkah kasih karunia Tuhan sehingga aku mesti bersungut-sungut karena sesuatu yang terjadi di luar diriku seperti hujan dan mendung?

Tuhan, bantulah aku untuk selalu mengarahkan pandangan kepada Engkau ...
Tresna

"Saya dataaang!"
Jujur saja, aku kadang kangen mendengar teriakan Tresna dari balik pintu ruangan kantorku. Anak itu tidak pemalu dan mudah sekali akrab dengan kami. Dia ikut ayah dan ibunya yang sedang membuat film untuk kepentingan departemen PSG. Dia tidak sungkan-sungkan untuk bergabung dengan kami padahal dia tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia karena sudah lama tinggal di Perancis. Tetapi dia berusaha untuk berbicara dengan kami dengan kosakatanya yang kadang masih terbatas.

Aku belajar satu hal dari Tresna. Dia itu tulus. Ketika dia masuk ke ruangan kami, dia menampilkan keluguan seorang bocah. Kadang dia memang agak nakal, tetapi kami tidak sampai hati untuk memarahinya karena dia ketika melakukan kesalahan dengan polosnya kemudian berkata, "Saya (minta) maaf. Saya tidak tahu."

Kerendahan hati. Kejujuran. Itu yang kadang masih belum aku miliki. Terlalu banyak hal yang membuatku kadang merasa gengsi untuk meminta maaf dan mengakui bahwa aku memang tidak tahu apa-apa.

Aku perlu belajar dari Tresna.