Sunday, July 26, 2009

Belajar Mandiri dengan Pulang Sekolah Sendiri

Di Jakarta ini aku adalah salah satu pengguna transportasi publik. Itu istilah kerennya dari angkot sebenarnya hehe. Berhubung aku tidak bekerja kantoran, aku hampir tidak pernah naik angkot di pagi hari. Tapi suamiku yang seringnya berangkat kerja ketika matahari masih malu-malu menampakkan kegarangannya, tahu betul apa bedanya naik angkot di masa liburan sekolah anak-anak dan masa sekolah seperti ini. Katanya sih, begitu anak-anak masuk sekolah, jalanan Jakarta pada pagi hari lebih padat.

Yang aku tahu sih, kalau naik metromini di siang hari jam bubaran anak sekolah, seputaran Jalan Pemuda dekat SD Tarakanita dan Labschool biasanya memang macet. Kendaraan yang lewat di situ serasa merayap. Kepadatan itu disebabkan anak-anak sekolah yang sudah pulang menghambur di pinggir jalan untuk membeli jajan di beberapa penjual makanan depan sekolah, plus banyaknya kendaraan yang parkir di depan sekolah. Sepertinya itu kendaraan para penjemput anak-anak itu.

Melihat anak-anak yang sedang bubaran sekolah itu mau tak mau mengingatkan aku ketika masih sekolah dulu. Aku tak ingat, kapan aku mulai pulang sekolah sendiri. Mungkin mulai kelas 3 SD, atau malah kelas 2 SD ya? Yang jelas, ketika masih TK dan kelas 1 SD, aku masih dijemput oleh orang2 rumah; entah itu saudara yang tinggal di rumahku atau Bapak. Yang aku ingat, di hari ketika aku mulai pulang sekolah sendiri, aku diberi uang untuk naik becak. Dulu, ongkos becak dari sekolah ke rumah cuma tiga ratus rupiah. Kalau sekarang sih mungkin sudah naik jadi sekitar lima ribu. Jarak dari sekolah ke rumah mungkin sekitar 1,5-2 kilometer. Kalau jalan kaki paling lama 30 menitan lah. Nah, waktu itu uang tiga ratus rupiah itu banyaaak banget. Harga jajanan waktu itu hanya 25 rupiah, jadi kalau sehari dapat uang saku 50 rupiah saja, itu sudah cukup. Kalau mau jajan agak mewah, 100 rupiah cukup deh. Jadi, kalau 300 rupiah, itu sudah bisa jajan banyaaaak banget. Hahaha.

Seingatku, ada seorang tukang becak yang wajahnya sudah cukup familier bagiku, dan aku kadang naik becaknya. Biarpun sudah cukup kenal, aku kadang masih tanya berapa ongkos becak ke rumah, dan kadang menawar. (Hihi, lucu juga ya kalau membayangkan aku yang masih kelas 2 SD menawar becak.) Tapi bisa dibilang aku jarang sekali pulang sekolah naik becak.Ya, seingatku aku lebih sering jalan kaki pulang ke rumah. Rasanya senang bisa berhemat dengan tidak naik becak. Dengan begitu, siangnya aku bisa jajan di warung depan rumah hehehe.

Kalau kupikir-pikir, aku kok berani ya pulang sendiri waktu itu? Untuk ukuran anak kecil dan ukuran warga di kotaku, jarak antara sekolahku (SD) dan rumahku itu cukup jauh. Mungkin itu karena aku merasa aman di kotaku, ya? Lagi pula, di kota sekecil Madiun, tak ada bus kota yang suka ngebut dan tentunya tak ada kemacetan. Aku cukup berani menyeberang Jalan Pahlawan yang cukup lebar itu. Sendiri loh! Soalnya kebanyakan temanku dijemput. Dan tak ada teman yang rumahnya searah denganku. Waktu itu biasanya aku berjalan kaki lewat jalan yang cukup sepi dan teduh, kadang lewat gang-gang kecil yang kukenal. Kadang ada beberapa becak yang menawari supaya aku naik becak, tapi aku lebih suka menggeleng dan meneruskan langkah.

Acara jalan kaki pulang sekolah itu berakhir ketika aku naik kelas 4 SD. Ketika duduk di kelas 4 aku sudah bisa naik sepeda. Jadi, berangkat dan pulang sekolah, aku naik sepeda sendiri.

Di Jakarta ini, aku jarang bertemu anak SD yang pulang sekolah sendiri dengan naik angkot. Biasanya yang sudah berani pulang sekolah naik angkot sendiri adalah anak SMP. Anak SD masih banyak yang diantar jemput oleh orang tuanya atau ikut mobil antar jemput. Mungkin itu karena orang tua mereka tidak tega membiarkan anak mereka menyusuri lalu lintas Jakarta yang ganas ini seorang diri. Belum lagi tampaknya isu tentang penculikan anak juga masih ada saja. Btw, waktu itu aku kok nggak kepikir bakal diculik ya? Halah, lagian siapa yang mau menculik bocah kurus dan hitam kaya aku ini? Hihi.

Wednesday, July 22, 2009

Buku yang Mubazir?


Salah satu naskah terjemahan yang paling aku sukai adalah buku cerita anak. Sebenarnya itu karena aku suka melihat gambarnya yang bagus-bagus, sih. Mungkin juga karena aku belum kesampaian menulis buku cerita untuk anak. Hehehe. Jadi, ya setidaknya menerjemahkan buku anak-anak dulu deh.

Suatu kali aku mendapatkan buku cerita anak yang membahas sampah dan daur ulang sampah. Di situ diceritakan pertama-tama sampah dipilah lalu setelah itu dilakukan daur ulang sesuai dengan jenisnya. Penjelasannya juga sangat mudah dipahami bagi anak-anak. Apalagi dengan adanya gambar-gambar yang lucu-lucu itu, kurasa anak-anak bakal senang membacanya. Pokoknya keren deh! Sayangnya, buku itu adalah buatan orang dari negara yang berada nun jauh di sana.

Lalu kenapa kalau itu buku impor? Bagiku, hal itu bermasalah. Bukan ... bukannya mau bilang isi buku jelek. Buku itu bagus kok. Dan memang seharusnya begitu. Masalahnya, di Indonesia kan tidak seperti itu. Masyarakat membuang sampah tanpa memilahnya terlebih dahulu. Paling-paling yang memilah justru para pemulung yang dengan rajinnya mengaduk-aduk bak sampah. Kalau begitu, bagaimana anak-anak akan menerapkan apa yang sudah dibacanya?

Suatu kali aku mengatakan hal tersebut kepada editor yang memberiku buku terjemahan itu. "Mbak, buku-buku tentang sampah dan daur ulang itu bagus. Tapi sepertinya anak-anak akan kesulitan untuk menerapkannya," kataku.
"Iya sih. Tapi ya semoga anak-anak itu kalau sudah besar bisa menerapkannya," begitu jawab editor itu.

Rasanya geli juga mendengar jawaban tersebut. Tapi yah, mungkin itu jawaban terbaik yang bisa dia berikan. Coba pikir, kalau sejak kecil seseorang sudah terbiasa untuk tidak memilah sampah, apakah ketika dia beranjak dewasa, dia akan serta merta memilah sampah dan melakukan daur ulang? Kurasa pemilahan sampah dan daur ulang sulit dilakukan jika pemerintah tidak melakukan tindakan yang konkret. Ya, memang kadang di beberapa tempat ada dua tempat sampah: untuk sampah kering dan sampah basah. Tapi sampah di situ juga masih bercampur. Jadi, dua macam tempat sampah itu rasanya kok mubazir ya?

Aku sendiri tak tahu bagaimana mengurai masalah sampah ini. Katakanlah kita mengajari anak-anak supaya memilah sampah, tapi jika orang dewasa di sekitar mereka tidak melakukannya, akhirnya ajaran itu tak ubahnya seperti slogan-slogan di spanduk pinggir jalan. Tidak ada artinya apa-apa. Tapi bagaimana orang-orang dewasa di negeri ini bisa meniru warga di negara maju yang sudah mulai mengolah sampah jika tidak ada sistem yang membuat kita melakukan hal itu? Menunggu pemerintah? Terlalu lama rasanya, dan sepertinya pemerintah tidak ada kepedulian akan hal itu.

Akhirnya, aku tak tahu buku-buku anak tentang sampah dan daur ulang itu mubazir atau tidak. Semoga saja tidak.

Monday, July 20, 2009

KRL: Salah Satu Kemewahan di Jakarta

"Salah satu kemewahan di Jakarta adalah KRL," begitu kata kakakku beberapa waktu lalu. Waktu itu kami sedang berbincang-bincang tentang pengalaman tinggal di Jakarta. Setelah kakakku lulus, dia sempat tinggal dan bekerja di Jakarta. Eh, sebenarnya kerjanya di Tangerang ding. Tapi dia tinggal di Jakarta Selatan, di rumah Tante. Aku lupa berapa lama tepatnya dia menetap di ibu kota, tapi kurasa tidak sampai satu tahun.

Aku ingat betul ketika dia bekerja di Tangerang, aku sering meneleponnya pagi-pagi benar, pukul 05.00. Selain memanfaatkan tarif SLJJ yang cukup murah, jika kesiangan sedikit, bisa jadi aku tidak bisa bercakap dengannya. Pukul 05.30 dia harus sudah berangkat dari rumah supaya tidak kena macet di jalan.

Aku ingat ketika menyambanginya di rumah Tante. Saat itu aku datang ke Jakarta bersama Ibu. Kami sampai di rumah Tante kira-kira sore hari. Aku berharap tak lama aku meletakkan tas, aku akan segera bertemu kakakku. Tapi kok lama banget ya dia nggak muncul? Beberapa kali aku menanyakan kepada Tante kok kakakku belum kelihatan juga. Rupanya dia biasa datang pukul 20.00 atau 21.00. Duh, malam amat pikirku.

Dan akhirnya ketika aku sudah terkantuk-kantuk, kakakku pun datang. Kami berbincang sebentar sampai akhirnya mata sudah lengket. E, pagi-pagi betul, ketika aku masih enak-enaknya memeluk guling, Ibu membangunkan aku dengan bertanya, "Mau nganter kakakmu sampai ke depan kompleks nggak?" Aku langsung mengiyakan. Dan pagi itu kami bertiga berjalan menyusuri kompleks. Perasaan, ujung depan kompleks itu jauh amat. Mungkin karena masih agak gelap dan aku sendiri masih mengantuk, ya?

Hmm ... tapi begitulah. Sejak hari itu aku jadi ikut merasakan betapa "ribet"-nya kerja di Jakarta. Harus bangun dan berangkat ke tempat kerja pagi-pagi benar dan pulangnya ketika sudah mendekati jam tidur. Bayanganku, gaji kakakku gede banget. Tapi ternyata gajinya tak banyak kalau tak mau dibilang minim. Hari Sabtu dia masih masuk pula. Jadi, ya ... lumayan capek deh. Pengennya sih dia cari kerja di tempat lain, tapi nggak dapat-dapat. Untung dia akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan di Jogja dengan menjadi pengajar di sebuah universitas swasta.

Mengenang hari-hari itu, dia mengatakan bahwa salah satu alat transportasi yang sangat membantunya adalah kereta atau KRL. Jika dia beruntung, dia bisa pulang dengan naik kereta dan waktu untuk perjalanan pulang bisa terpangkas hampir separonya. Ongkosnya pun lumayan murah jika dibandingkan dengan naik bus.

Ya, memang KRL di Jakarta sangat membantu. Itu kurasakan juga. Aku akan sangat senang jika suamiku bisa pulang naik kereta. Itu berarti dia bisa sampai rumah dengan cepat. Hmm, siapa sih yang tidak senang suaminya pulang cepat? He he. Dan kemarin aku main ke Bekasi ke rumah omku. Aku dan suamiku naik KRL dari stasiun yang tak jauh dari tempat tinggalku. Perjalanan dari Klender sampai Bekasi paling cuma butuh 15 menit dengan naik kereta. Asyik kan? Jika naik bus, belum tentu 30 menit kami bisa sampai Bekasi. Apalagi para sopir bus itu rajin sekali ngetem untuk mencari penumpang. Belum lagi kalau sial terkena macet. Waktu akan habis di jalan.

Kupikir, salah satu alternatif alat transportasi umum di Jakarta yang baik jika dikembangkan adalah KRL. Ongkosnya pun tak terlalu mahal. Jika naik KRL ekonomi non AC, kami cukup membayar Rp 1.500 untuk sampai Bekasi (dari Klender). Jika mau yang lebih nyaman sedikit dengan tambahan AC, ongkosnya Rp 4.500. (Bandingkan dengan ongkos metromini: Rp 2.000 dan ongkos KWK yang sampai Rp 3.000). KRL itu sekali angkut bisa memuat penumpang lebih banyak dibandingkan bus patas yang segede bagong itu. Secara kasat mata bisa dilihat penumpang yang bisa diangkut dengan sebuah metromini lebih sedikit dengan jumlah penumpang dalam satu gerbong kereta. Padahal KRL itu punya berapa gerbong? Kurasa lebih dari 5 gerbong. Dari hitungan jumlah penumpang yang bisa terangkut saja, KRL lebih efisien. Belum lagi jika membandingkan luas badan jalan yang dibutuhkan sebuah bis dan lebar rel kereta api. Bisa membayangkan sendiri kan?

Sayangnya, kok sepertinya pemerintah sepertinya lebih suka membangun jalan tol ketimbang mengembangkan jalur kereta ya? Padahal aku yakin, jika jalur kereta ditambah; KRL tidak sering terlambat; frekuensi keberangkatan kereta semakin banyak; kemacetan di jalan raya itu bisa berkurang. Dengan kereta, ongkos perjalanan bisa dikurangi, waktu selama di jalan juga semakin singkat dan itu berarti waktu untuk orang-orang tercinta jadi semakin banyak :)

*Gambar diambil dari sini

Wednesday, July 15, 2009

Jangan Sakit!
Mendingan Uangnya untuk Makan Daripada untuk Bayar Dokter


"Butuh kuitansi?" tanya lelaki tua di depanku dengan suara parau yang berat.
"Enggak usah, Dok," jawab suamiku.
"Kalau begitu, seratus tujuh pulu ribu."
Konsultasi dan pemeriksaan yang paling hanya memakan waktu sekitar lima belas menit itu memakan biaya 170 ribu. Ya, tiga lembar uang lima puluh ribuan dan selembar dua puluh ribuan saja.

S-A-J-A?

Sebetulnya kalau mau jujur, berat juga mengangsurkan lembaran-lembaran biru itu ke tangan lelaki tua yang berprofesi sebagai seorang dokter spesialis itu. Tapi mau bagaimana lagi? Memang segitu dia mematok harga untuk konsultasi dan pemeriksaan. Tak usah menyebut berapa uang yang mesti kusetor waktu menebus resepnya di apotik ya?

Kadang aku bingung mengapa dokter mematok harga setinggi itu. Mungkin itu "harga Jakarta". Sejak tinggal di Jakarta, dompetku memang harus menyesuaikan diri. Semasa di Jogja, untuk berobat di dokter spesialis, paling mahal aku "cukup" mengangsurkan uang sebesar enam puluh ribu. Kalau dokter umum dekat rumah, dua puluh ribu sudah dengan obat selama tiga sampai lima hari. Tetapi rasanya di Jakarta ini tak mungkin aku cukup membawa uang lima puluh ribu ketika hendak ke dokter. Begitu pula ketika hendak ke dokter di daerah Pulomas itu, rupanya uang seratus ribu tak cukup untuk menukar waktu dan konsultasi dengannya. Huh!

Bulan lalu, ketika aku kumpul-kumpul dengan keluarga besarku, aku sempat mengobrol dengan keponakanku yang sudah jadi dokter, Sita. Waktu itu kasus Prita masih menghangat. Menanggapi hal itu dia bercerita, "Sebenarnya, salahnya RS OMNI Internasional sendiri juga sih, kenapa mereka menuntut Prita. Sekarang kabarnya rumah sakit itu sepi banget. Nggak ada pasien. Yang ada di parkiran cuma ada mobil dokter saja."

"Oya? Sampai segitunya ya?" kataku.

"Iya," lanjutnya. "Dan semakin rumah sakit atau dokter itu money oriented, makin banyak kasus seperti Prita itu."

Hmm... jadi UUD to? Ujung-ujungnya Duit.

Dari obrolan dengan keponakanku tadi, aku tahu bahwa biaya untuk sekolah dokter spesialis itu muahaaal banget. Bisa sekitar 300-an juta. Maaf aku lupa-lupa ingat itu untuk dokter spesialis apa dan apakah untuk biaya masuk saja atau biaya selama kuliah. Tapi kira-kira segitu deh, dan bisa bisa lebih. Lalu ketika seseorang mengambil pendidikan dokter spesialis, ia tak boleh berpraktik sebagai dokter. Jadi ya mesti melulu sekolah saja. Bisa dibilang tak ada pemasukan lagi, dan itu yang kadang dirasa memberatkan. Bagi orang yang benar-benar berduit, itu tak masalah. Tapi untuk orang-orang pas-pasan, ya berat juga.

Mengingat hal itu, aku jadi berpikir ya pantas saja dokter-dokter (terutama dokter spesialis) mematok tarif yang mahal. Wong sekolahnya saja mahal. Jadi, jangan sakit deh! Ibuku bilang mendingan uangnya untuk makan daripada untuk bayar dokter :)

Thursday, July 09, 2009


Menjadi Pemimpin Itu ... Susah

Rasanya aku masih bisa merasakan debaran itu. Debar-debar di dada campur keringat dingin saat lembaran-lembaran kertas kecil itu dibuka dan nama yang tertulis di situ dibacakan. Ada dua nama yang beberapa kali disebut. Tapi belakangan, satu nama itu yang terus terbaca. Dan temanku di yang berada di depan papan tulis dengan riangnya terus membuat garis pendek-pendek yang menandakan jumlah anak yang sudah memilih nama itu. Semua anak tertawa riang, berceloteh ramai. Aku memaksakan untuk tersenyum meskipun kurasakan ujung bibirku gemetar. Tampaknya semua senang dan hanya aku yang kecut.

Ya, itulah hari pemilihan ketua kelas. Aku baru beberapa hari menempati bangku baruku di kelas 3 dan dalam beberapa hari itu pula kami harus memutuskan siapa yang akan menjadi ketua kelas. Entah mengapa, itulah saat yang paling menakutkan buatku. Aku tak ingin menjadi siapa-siapa di kelas itu. Tapi hari itu terasa berbeda. Dan rupanya firasatku benar, aku terpilih menjadi ketua kelas. Duh!

Sumpah, aku tak tahu kenapa teman-teman memilihku. Padahal aku mudah salah tingkah jika berdiri di depan kelas. Padahal aku sama nakalnya dengan mereka dan suka ramai di kelas jika guru tak ada. Padahal aku lebih suka usil mengganggu teman-teman daripada mengerjakan tugas saat guru tak ada. Ya, biar begitu toh waktu itu aku yang baru saja duduk di bangku kelas 3 SD sudah menjadi ketua kelas. Aku tak tahu apakah teman-temanku kemudian sadar bahwa mereka sudah salah pilih. Tapi yah, toh itu hanya ketua kelas, dan kami hanya anak kecil yang baru belajar untuk menjadi dewasa.

Mungkin dari sekian banyak orang, aku adalah orang yang tak pernah bercita-cita untuk mendapatkan kekuasaan. Sejak kelas 3 SD sampai aku menjadi karyawan di sebuah penerbitan, aku sama sekali tak ingin menjadi pemimpin. Bagiku menjadi pemimpin itu berat. Kenapa? Ibarat pohon, menjadi pemimpin itu adalah pucuknya. Pemimpinlah yang pertama kali disorot, dicari, dan dimintai pertanggungjawaban. Padahal, aku tak suka menjadi pusat perhatian. Aku lebih suka duduk di belakang, mengamati, dan akan dengan senang hati memberikan usulan-usulan yang menurutku berharga. Aku tak suka dicari-cari, karena aku lebih senang ngeluyur sendiri. Dan menjadi pemimpin berarti mengemban banyak tanggung jawab. Aku lebih suka bertanggung jawab atas diriku sendiri, bukannya mengayomi sekian banyak orang dan berusaha membuat mereka tersenyum.

Dalam benakku, menjadi pemimpin itu harus menjadi pribadi yang ideal. Karena itu aku terheran-heran ketika kujumpai beberapa orang pemimpin yang kujumpai menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan yang aneh. Ada yang tidak tegas, ada yang gila hormat, ada yang suka pilih kasih, ada yang tak suka dikritik, ada yang sok gaya dan pamer kuasa. Huh! Rasanya dari sekian banyak pemimpin yang kujumpai sedikit sekali yang punya integritas. Sedih melihat orang-orang yang seperti itu justru menjadi pemimpin. Kalau menurut pengalamanku sih, yang menanggung ketidakbecusan seorang pemimpin adalah puluhan bahkan ratusan orang yang menjadi bawahannya. Dan yah, sangat tidak enak menjadi bawahan yang tidak bisa berbuat banyak selain mengamini kata-kata atasan. Mau protes terhadap atasan? Siap-siap tidak gajian bulan depan atau siap-siap diturunkan jabatannya. Peraturannya adalah (1) atasan tak bisa salah, (2) jika atasan melakukan kesalahan, lihat aturan nomor 1. Hehe. Itu mungkin guyonan biasa, tapi dalam kenyataannya aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri.

Memilih seseorang menjadi pemimpin itu sulit. Betul kata Bu Tuti Nonka yang bilang lebih mudah memilih suami daripada memilih presiden. Hehe. Kalau memilih suami kan bisa pakai acara pedekate, pacaran, berteman dekat, atau apalah namanya. Dan dari situ akan ketahuan bagaimana belangnya orang itu. Kalau tidak cocok, ya sudah. Apakah mau bertaruh mau menghabiskan hidup dengan orang yang hanya membuat hidup kita kacau dan tidak bahagia? No way! Tapi kalau memilih presiden? Kita mesti rajin-rajin mengikuti berita, mesti baca juga pendapat kaum oposisi. Dan alangkah sulitnya mendapatkan berita yang objektif. Dan pas kampanye semua berusaha tampil manis. Padahal para capres dan cawapres itu tetep punya kedodolan masing-masing. Dan kedodolan mereka harus kita tanggung jika mereka menjadi pemimpin. Dooooh!

Tanggal 8 Juli kemarin pemilu pilpres sudah digelar. Dan dengar-dengar Pak BeYe yang dulu pernah bermimpi bisa mengubah air menjadi BBM terpilih lagi. Ya sutra lah ... Aku cuma berharap bapak yang satu itu tidak diam saja ketika ada golongan yang terpinggirkan, semoga pluralitas Indonesia tetap terjaga, semoga dia tak banyak utang, semoga dia tidak merepotkan rakyat (soalnya kampanye terakhirnya membuat jalan seputar Senayan maceeeet! Dan ini sangat ... sangat ... merepotkan masyarakat.)

Sunday, July 05, 2009

Mi Tarik yang Tak Lagi Menarik

Entah aku lupa kapan tepatnya aku suka dengan mi. Yang jelas, aku masih ingat betul harum bau mi rebus buatan Mak'e, pengasuhku sejak kecil. Aroma mi rebus campur telur, suwiran ayam, kubis, daun bawang, dan wortel itu selalu membuatku buru-buru mengambil piring dan segera mengangsurkannya kepada Mak'e ketika mi rebus itu sudah matang. Lalu pyur ... pyur ... tangan Mak'e yang gemuk itu akan menaburkan bawang goreng. Duh, tak sabar aku duduk dan menyantap mi rebus itu sampai ludes.

Ketika Mak'e sudah meninggal dan aku beranjak dewasa, aku yang masih awam dengan bumbu dapur, akhirnya harus puas dengan mi instan. Bagaimana tidak awam? Wong dari lahir ceprot sampai SMP aku tinggal duduk manis di meja makan dan tinggal makan masakan Mak'e yang tak pernah mengecewakan lidahku. Dan begitu dia meninggal, aku kehilangan masakan nikmat hasil racikannya, salah satunya ya mi buatan Mak'e. Jadi, akhirnya untuk memuaskan kerinduanku akan mi, aku berpaling pada mi instan.

Sebenarnya aku lumayan suka dengan mi instan itu. Tetapi belakangan aku sangat menghindarinya. Setidaknya sudah hampir tiga tahun ini aku tak pernah menyentuh mi instan. Sejak dokter menemukan adanya kista cokelat di indung telurku dan aku harus menjalani pengobatan yang cukup menguras tabungan, aku jadi sangat mengurangi apa yang namanya MSG dan semacamnya. Dan itu termasuk mi instan. Uh, awalnya sulit, booo! Dulu biasanya kalau malas ke pasar, aku tinggal membuka lemari persediaan bahan makanan dan plung ... plung ... kucemplungkan mi instan ke dalam panci yang berisi air mendidih itu. Hmmm, aku masih ingat betul bau harumnya lo. Tapi sudahlah, itu masa lalu :)

Aku belum mencoba bermacam-macam mi. Yang kucoba baru seputar mi jawa, mi aceh, mi bangka, mi belitung (aku lupa apa namanya, tapi mi itu kunikmati saat aku liburan ke rumah suamiku di Tanjung Pandan, Belitung Barat), spageti, mi cina. Aku sebenarnya agak bingung dengan istilah mi cina itu. Itu istilahku sendiri dan tak berniat untuk memasukkan unsur SARA. Yang jelas, mi itu kujumpai di restoran cina. Dan kurasa sudah banyak orang yang mengenalnya. Mana yang paling aku sukai? Bingung kalau suruh memilih. Aku suka semua. Tapi belakangan aku suka mi aceh. Bagi orang yang mengenalku mungkin merasa aneh ketika mengetahui aku suka mi aceh. Pasalnya aku kan tidak terlalu suka pedas. Aneh kan? Padahal mi aceh itu cukup menyengat di lidah. Ini gara-gara suamiku sih sebenarnya. Dia itu kan suka sekali menjajal menu baru, dan apa yang dibilang enak oleh suamiku biasanya aku sih setuju-setuju saja. Dan suamikulah yang "mengajariku" menikmati mi aceh. Awalnya terasa aneh di lidah, tetapi lama-lama enak kok!

Nah, salah satu mi yang membuatku penasaran adalah mi tarik. Pertama kali aku mengenal mi tarik ini dari kakakku. Suatu kali sewaktu dia pulang dari Jakarta, dia berkata, "Aku ditraktir makan mi tarik di Jakarta." Mi tarik? Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Minya bikinnya di situ. Ditarik-tarik sampai panjang."
Aku masih tak bisa membayangkan seperti apa mi tarik itu. Dulu waktu masih kecil ibuku punya alat untuk membuat mi. Dan itu tidak ditarik-tarik. Hanya dibanting-banting dan dimasukkan ke alat itu, lalu jadilah mi.
"Rasanya bagaimana?"
"Biasa saja."
Aku tak percaya. Ceritanya membuatku penasaran.

Rasa penasaranku tak langsung terpenuhi ketika aku tinggal di Jakarta. Dan baru Sabtu kemarin, sepulangnya dari JBF, aku dan suamiku menuruti rasa penasaranku. Kami pun melangkahkan kaki ke Plaza Senayan (eh atau Senayan City ya? Pokoknya di seputar Senayan situ deh) dan mencari mi tarik. "Kamu pesen sendiri ya," kata suamiku. "Aku mau pesan yang lain saja."

Well, sejak awal aku mengantri untuk mendapatkan mi tarik, aku agak kecewa. Soalnya tak seperti bayanganku. Kupikir di situ akan terjadi atraksi heboh seperti membanting-banting adonan. E, ternyata tidak. Masnya yang membuat mi itu hanya menarik-narik adonan saja, dan itu tak berlangsung lama. Tidak dibanting-banting. Hmmm jadi cuma begitu ya, pikirku. Lalu bagaimana rasanya? Uh, tak sesuai dengan harapanku. Aku di Jogja biasa makan mi jawa (mi jawa rebus) yang racikannya pakai ayam kampung dan telor bebek. Dan kalau dibandingkan dengan mi tarik, skornya hanya separonya. Selesai makan, aku mendadak merasa geli. Bayangkan, orang-orang di Jakarta ini membayar mahal untuk mi yang kurang enak di lidah. Kasihan kan? Tempat makan boleh bagus, tapi soal rasa? Jangan berharap deh. Hmm, lidahku cukup terlatih membedakan mana mi yang enak dan mana yang tidak.

Thursday, July 02, 2009


Buku Diktat yang Ratusan Ribu Itu ...

Sore aja gimana? Biar siangnya aku bisa tidur sebentar?
Begitu jawaban SMS-ku ke temanku, Adel, untuk mengajakku jalan ke ITC Cempaka Mas. Pagi itu aku masih ngantuuuuk banget. Itu gara-gara malamnya aku sulit tidur karena hidungku mampet dan panasnya Jakarta tak mereda walaupun kipas angin di kamarku masih setia menjalankan tugasnya. Aku harus menebus tidurku yang kurang siang itu kalau tak ingin ambruk lagi karena flu.

Sebenarnya dari tempat tinggal Adel ke ITC cukup dekat--untuk ukuran Jakarta. Hanya naik angkot dua kali. Tapi suaminya rupanya tak mengizinkan istrinya yang sedang hamil anak pertama itu pergi sendiri. Dan aku pikir, tak ada salahnya aku menemani "adikku" ini mumpung aku bisa. Di Jakarta, dialah teman yang sering jalan bareng aku. Dia memang seperti adikku sendiri sejak kami di asrama dulu. Dan pas di Jakarta, kebetulan tempat tinggal kami tak terlalu jauh, jadi kami pun sering main bareng.

Nah, kemarin sore akhirnya kami pun ketemu. Setelah mendapatkan barang yang ia butuhkan di ITC, kami akhirnya pulang dan memilih makan di dekat tempat tinggalnya--Bakmi Golek belakang Arion. Sebenarnya aku pengen makan bebek goreng, tapi apa daya, tenggorokanku masih belum bisa menerima gelontoran makanan berminyak. Dan lagi, kalau pengen ngobrol santai, Bakmi Golek lantai 2 cukup enak karena bebas bau rokok.

Seperti biasa, salah satu pokok pembicaraan "wajib" kami adalah tentang keponakannya, Ayu. "Kemarin untuk buku diktat Ayu habis uang 650 ribu," katanya. Uang sejumlah itu dirasa cukup banyak bagi keluarga Adel. Karena itu Adel dan dua kakaknya mesti iuran untuk membeli buku diktat keponakan tersayang. Beuh ... zaman sekarang duit untuk beli buku sekolah anak SD saja sampai segitu banyak ya? Dulu pas zamanku sekolah, kami masih mendapatkan pinjaman buku-buku diktat dari perpustakaan sekolah. Masing-masing anak dapat satu buku. Kalau tidak, aku masih bisa "melungsur" alias memakai buku kakakku. Walaupun beda empat tahun, beberapa bukunya masih bisa aku pakai. Jadi, lumayan irit. Dengan sampul cokelat baru, jadilah buku jadul itu tak kelihatan usang. Kurasa dengan begitu, orangtuaku tak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membelikan buku diktatku.

Ucapan Adel membuatku teringat pada seorang temanku, Joanna, yang akhir-akhir ini pusing untuk membeli buku untuk anaknya yang naik kelas 4 SD. Sebagai orangtua tunggal, dialah yang kini pontang-panting keliling toko buku untuk beli buku anaknya. "Memangnya tidak bisa beli lewat sekolah?" tanyaku. "Bisa, sih. Tapi selisih harganya bisa sampai ratusan ribu jika dibandingkan kalau aku beli sendiri di toko buku. Masalahnya di toko buku sulit sekali mencari bukunya anakku." Aku sebenarnya agak heran dengan penjelasan temanku. Aku memang tak terlalu banyak tahu soal aturan distribusi buku, tetapi setahuku jika penerbit bisa menjual langsung, katakanlah ke sekolah, mereka bisa memberikan diskon cukup banyak. Aku saja nih ya, kalau mau beli buku terbitan penerbit X, aku kadang menghubungi temanku si A yang bekerja di penerbit tersebut supaya bisa dapat diskon minimal 20%, kadang bisa sampai 40%. Masing-masing penerbit punya kebijakan sendiri-sendiri. (Jadi, teman-teman, begitulah salah satu trik untuk bisa beli buku diskon hihihi.) Nah, mestinya penerbit menjual buku secara langsung ke sekolah, murid bisa mendapatkan harga miring. Tapi sekali lagi aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pendistribusian buku ke sekolah.

Kadang kalau kupikir-pikir agak "mubazir" juga buku-buku diktat itu. Kenapa? Soalnya biasanya buku-buku itu akhirnya akan disingkirkan begitu anak-anak naik kelas. Aku membayangkan buku-buku diktat itu kemasannya lebih menarik, misalnya dikemas dalam bentuk komik, picture book, atau gabungan antara ilmu pengetahuan dan fiksi. Kebetulan aku menerjemahkan buku pengetahuan anak-anak dalam kemasan picture book yang sangat menarik. Wong aku saja seneng bacanya, hehehe. Jadi, kalau buku-buku diktat itu menarik, setelah anak-anak naik kelas, buku-buku itu bisa tetap dibaca-baca lagi untuk menyegarkan ingatan. Tapi yah, semubazir-mubazirnya buku diktat itu, semoga anak-anak tambah pinter aja deh!