Saturday, September 19, 2009

Sepotong "Jakarta Kecil" Menjelang Lebaran

Sabtu pagi, seperti biasa hampir selalu ada SMS dari temanku, Joanna, "Mau ke pasar nggak?" Dia temanku semasa SMP dulu yang sudah lama merantau di Jakarta ini. Rumah kami hanya berjarak dua gang. Memang hampir setiap pagi kami ke pasar bersama. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Wong cuma ke pasar tradisional loh, kok ya selalu berdua. Hihi. Sejarahnya dimulai ketika aku pertama kali tinggal di Jakarta dan masih asing dengan lingkungan sekitar tempat tinggalku, dialah yang mengenalkanku pada pasar tradisional di dekat rumah. Sebenarnya ada pedagang sayuran yang tiap pagi lewat depan rumah, tetapi kata dia, "Mahal itu. Mendingan ke pasar." Dan pasarnya memang tak seberapa jauh dari rumah. Hanya keluar kompleks sedikit.

Pertama kali ke pasar tradisional sendiri, aku berencana membeli ayam dan sayuran untuk masak sup. Pertama kali kudatangi penjual ayam. "Beli seperempat kilo saja ya, Bu," kataku. "Nggak bisa Mbak, belinya mesti satu ekor atau setengahnya." Waduh! Setengah ekor itu banyak banget bagiku. Dan pasti tidak habis nanti. Lagi pula saat itu aku belum punya lemari es. Akhirnya aku urung membeli ayam. Menu hari itu tak jadi sup ayam.

Kebingunganku berbelanja di pasar itu kuceritakan kepada Joanna. Akhirnya, ketika akhir minggu tiba, kami ke pasar bersama. Dia membantuku "beradaptasi" dengan kebiasaan pedagang-pedagang di sini. Dialah yang memperkenalkanku pada beberapa pedagang yang sudah menjadi langganannya. Kalau beli ayam di ibu-ibu yang kiosnya di tengah pasar, "Ayamnya lebih bagus daripada pedagang lainnya," katanya. Dan memang penjual ayam potong itu selalu dikerumuni lebih banyak orang daripada yang lainnya. Kalau mau beli sayur agak murah, datanglah lebih pagi ke pasar karena di pinggir jalan ada seorang ibu-ibu setengah baya yang menjual sayur secara "grosiran". Harganya lebih miring dibandingkan jika kita membeli di dalam pasar.

Dan Sabtu kemarin kami ke pasar lagi. Awalnya aku pikir aku belanja setelah lebaran saja. Tapi kata Joanna, sekitar tiga hari setelah lebaran harga barang-barang di pasar biasanya justru lebih mahal. Masih banyak pedagang yang libur, sehingga oleh pedagang yang ada harga barang justru dinaikkan setinggi langit. Okelah kalau begitu. Aku percaya kata-katanya karena toh dia sudah lama tinggal di sini. Akhirnya aku ke pasar bersamanya untuk membeli sedikit tambahan persediaan sayur.

Ternyata Sodara-sodara, pasarnya puenuuuuuh! Kalau istilah ibuku: "ora iso dipiyak" yang artinya tidak bisa disibakkan. Orang-orang berjubel di lorong pasar sehingga hampir tak ada jalan. Di beberapa titik kami harus berjalan sangat pelan dan berdesak-desakan. Jangan tanya berapa kali aku harus membiarkan kakiku terkena sandal orang lain yang kotor dan didorong-dorong dengan cukup kuat dari belakang saat mencari jalan. Dan ada banyak pedagang musiman--kebanyakan sih pedagang ayam, kelapa, dan baju. Aku cepat-cepat memutuskan sayur apa saja yang hendak kubeli.

Sejenak aku berpisah dengan Joanna karena dia akan mengantri membeli ayam di pedangang langganannya. Ya, dia harus antri cukup lama karena pembeli ayam berjubel banyak sekali! Aku akhirnya menunggunya di tempat yang agak lapang sambil meneruskan belanja sawi. Dan dia lamaaaa sekali. Duh, sudah tak sabar aku. Rasanya aku pengin pulang duluan saja. Dan menyaksikan pasar yang hiruk pikuk tak karuan itu membuatku pusing. Tempat parkir yang biasanya hanya memakan satu lajur, sekarang jadi dua lajur. Itu masih ditambah dengan adanya kios-kios pedagang musiman. Uh, hampir tak ada tempat untuk berdiri. Dan memang rasanya aku seperti orang dodol berdiri begitu saja di keramaian dan orang yang wira-wiri.

Sekilas kudengar percakapan seorang pengendara mobil dengan petugas parkir, "Bang kok penuh begini? Mau parkir di mana, nih? Tau gini saya kan nggak masuk ke sini," kata si supir.
"Memang di depan nggak dikasih tahu kalau penuh, Pak?" tanya petugas parkir.
"Enggak." Nadanya sedikit ketus. "Lain kali dikasih tahu dong, Bang! Jalanan udah sempit begini tetep saja mobil dikasih masuk."

Hmmm ... "Jakarta kecil", pikirku. Lahan yang ada cuma segitu-gitu saja, tetapi orang-orang yang datang semakin banyak karena di situlah roda ekonomi berputar. Tempat memang sudah semakin sempit, jadi, ya mesti mau empet-empetan. Di saat-saat yang hiruk pikuk seperti itu, orang akhirnya hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak heran orang mencari kesempatan di antara kesempitan. Intinya sih, kalau bisa mengambil untung banyak-banyak, kenapa tidak? Kalau bisa memanfaatkan orang lain, kenapa tidak? Saat itulah orang mencari selamat bagi dirinya sendiri.

Lebaran sudah mengintip. Semua orang berbelanja. Semua ingin merayakan lebaran dengan berpesta. Tapi aku tak ingin berlama-lama di pasar. Untung kulihat Joanna sudah mendapatkan ayam potong. Lega rasanya.

Kepada teman-teman yang merayakan Idul Fitri, saya mengucapkan selamat merayakan kemenangan, ya! :)

7 comments:

Ikkyu_san a.k.a imelda on 5:45 PM said...

waahhh aku ngga berani deh ke pasar menjelang Idul Fitri. Ke Carrefour aja ngga berani, bisa antri bayarnya yang lama soalnya hehehhe

edratna on 6:25 AM said...

Walahh....Menik, lha belanja ke pasar kok mau Lebaran, pasti deh penuh sesak. Sebelum ada supermarket, rasanya sengsara sekali, apalagi saat itu anak-anak kecil, dan si mbak masih pulang kampung. Jadi dua minggu sebelumnya saya udah mencicil dulu, untuk beli bahan untuk bumbu, baru 3 hari adalah belanja untuk sayur dan daging.

Makin lama makin pandai, banyak yang menawarkan dagangan di kantor, jadi yang namanya beli daging dsb nya transaksi nya di kantor .,..hahaha

vizon on 7:17 AM said...

Sabtu kemarin, aku terpaksa ke pasar Beringharjo bersama istri, guna menukarkan beberapa baju anak yatim yang kami beli tempo hari yang kurang pas ukurannya. Awalnya kami pikir pasar itu akan penuh sesak dengan orang-orang. Karena terpaksa, maka kamipun mau gak mau harus tetap berangkat. Tapi, ternyata dugaanku salah... Beringharjo sepi! tidak ada kemacetan seperti beberapa hari yang lalu...

Hal itu menjadi diskusi kami sejenak. Kenapa justru satu hari jelang lebaran Beringharjo justru sepi? Entahlah...

Kami juga mohon maaf lahir batin ya Kris... dan terima kasih atas persahabatan indah ini... :D

Q - Kiss on 4:48 PM said...

apalagi yang di daerah yaaaa...sama penuhnya.apalagi kalo ada pasar "tiban" wuih ...macet.ya, mungkin setahun sekali deh, dinikmati saja, kris...

DV on 11:40 PM said...

Yang aku suka dari postinganmu ini adalah caramu "memotret" Jakarta!
Mantep!

Anonymous said...

kmarin sempat k supermarket di makassar, krn antri, kelar belanja sampai jam 23.30..uh... cuapek antri udah gitu belanjaanku kan dikit aja, lha wong cuma cari yg gak ada di parepare :-(

krismariana widyaningsih on 1:46 AM said...

@Mbak Imelda: Iya, ini juga jadi pelajaran buatku. Dulu2 nggak pernah belanja dekat lebaran begini sih Mbak. Taunya makan dan makan aja hihi

@Bu Enny: wah kreatif banget ya ada pedagang yang menjual daging di kantor. Praktis itu Bu...

@Uda Vizon: Wah, Pasar Beringharjo sepi? Kok bisa ya?
Uda, selamat merayakan Idul Fitri ya. Terima kasih sudah menjadi kawan lewat dunia maya ini.

@Q-Kiss: Iya, aku ingat, Pasar Ambarawa kalau lebaran penuuuh banget. Dan bikin macet!

@DV: Bisanya ya cuma motret lewat tulisan Don. Belum punya kamera soalnya :p

@Bro Neo: wah belanjanya sampai tengah malam begitu ya? Tokonya masih buka juga ya?