Antara Akreditasi dan Tukibul
Pas di asrama dulu, kami masing-masing dianugerahi nama unik, sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu nama unik temanku adalah Tukibul. Kenapa diberi nama begitu? Karena dia memang tukang kibul. Saudara sepupunya pun mengakui kelihaiannya dalam kibul mengibul.
Nah, sekarang apa hubungannya antara akreditasi dan tukibul? Ternyata, akreditasi memiliki unsur tukibul. Ceritanya, semalam suamiku yang baru saja pulang langsung mengungkapkan bahwa seorang temannya sedang stres. Teman suamiku adalah dosen di PTS cukup besar di Jakarta. "Memangnya kenapa dia stres?" tanyaku. Aku sebenarnya tidak terlalu kenal dengan temannya itu. Tapi namanya sudah cukup akrab di telingaku.
"Dia dapat surat edaran di kampusnya."
"Lha surat edaran kan sudah biasa to?"
"Isinya itu lo yang enggak biasa."
"Apa isinya?" Aku bertanya-tanya apakah surat edaran itu diselipi telor dadar ya? Hi hi hi.
"Katanya dia enggak boleh ngasih nilai di bawah B. Dan kalau ngasih bimbingan skripsi, dalam 3 bulan harus sudah selesai."
"Kalau mahasiswanya dodol bagaimana?"
"Tauk deh. Kamu tahu sendiri, mahasiswa kan banyak juga yang dodol."
"Lha memang kenapa sih tidak boleh memberi nilai di bawah B dan bimbingan skripsinya harus selesai dalam 3 bulan?"
"Biar penilaian akreditasinya tidak turun."
Horo toyoh, bagaimana itu? (Horo toyoh itu apa ya terjemahannya yang pas dalam bahasa Indonesia?)
Lha kalau begitu caranya, perguruan tinggi apakah masih bisa dipercaya ya? Memang sih, mana ada anak yang tidak senang nilainya A dan B semua? IP-nya selalu 3? Hebat kan? Jadi, tak ada yang namanya mahasiswa yang bodoh.
Ah, sebenarnya bukan mahasiswa bodoh. Tetapi lebih tepatnya, mahasiswa itu dituntut untuk belajar lebih tekun lagi. Misalnya aku nih, aku akan dengan serta merta masuk dalam golongan mahasiswa bodoh kalau untuk mata kuliah kimia. (Lha wong pas ujian kimia di SMA aku selalu keringat dingin, dan sudah seneng banget kalau nilaiku cuma 6.) Eh tapi sebentar, memangnya di Sastra Inggris ada mata kuliah kimia ya? Ha ha ha. Ya enggak, sih. Tapi gampangannya ya begitu deh. Aku memang lemah untuk mata pelajaran tertentu. Jadi jangan heran kalau aku yang pas SMA termasuk anak A1 trus mak bedunduk masuk jurusan Sastra Inggris. Alasan awalnya cuma satu: biar tidak ketemu matematika dan teman-temannya. He he he.
Tapi bagaimanapun, kupikir mahasiswa butuh penilaian yang jujur. Kalau memang dia pantas dapat nilai A, ya kasihlah nilai A. Kalau memang dia hanya pantas dikasih nilai D, ya jangan dikatrol jadi C. Apa bagusnya jika nilai A atau B itu katrolan atau yang lebih parah lagi cuma bohong-bohongan, dan itu dilakukan hanya semata-mata agar universitas yang bersangkutan bisa mendapatkan akreditasi A? Dan sudah bisa ditebak, apa gunanya akreditasi A itu? Yak betul, untuk mendapatkan mahasiswa banyak-banyak. Mahasiswa yang banyak berarti uang yang masuk semakin banyak pula. Akreditasi itu semacam label yang menunjukkan bahwa universitas X itu bagus; nilainya A. Ibarat barang, dia itu kualitas nomer 1 lah. Jadi kalau sampeyan masuk ke situ, nantinya sampeyan jadi pinter, laku di dunia kerja (halah, kaya barang dagangan saja). Begitulah.
Hal itu sebenarnya tak hanya merugikan mahasiswa, tetapi dosen juga ikut mumet. Suami dan kakakku adalah tenaga pengajar alias dosen. Jadi, aku tahulah betapa stresnya mereka kalau para mahasiswanya dapat nilai jelek, padahal bahan yang diujikan sudah pernah disampaikan semua. Kuliah tambahan juga diberikan dengan murah hatinya. E, lha kok nilai mahasiswanya masih jeblok? Piye to?
Dulu pas aku kuliah, kalau semua bahan kuliah dipelajari dengan baik alias bisa dikuasai, nilai A atau B itu gampang didapat. Enggak aneh-aneh lah. Tapi ya memang tidak semua temanku trus langsung dapat A atau B. Ada saja yang dapat C atau D. Apalagi kalau yang ketahuan nyontek, langsung dapat D. Tapi itu kira-kira 13 tahun yang lalu. (Hi hi hi. Ketahuan deh tuanya.) Enggak tahu ya kalau sekarang.
Aku akhirnya hanya berpikir, kalau lembaga pendidikan saja sudah jadi tukibul, bagaimana jadinya bangsa ini ya? Kalau semua ujung-ujungnya duit, bisa hancur semuanya nih. Tinggal tunggu waktu saja.
Wednesday, April 29, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:4:44 PM
|
Category :
akreditasi,
duit,
Jakarta,
kuliah,
universitas
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
9 comments:
wah2 terima kasih atas informasinya bu..jadi nanti kalo saya mau nginterview karyawan baru kudu hati2 kayaknya yah?
Kalau soal nama panggilan jd inget waktu tinggal ngekost di Cisitu Baru Bandung. Waktu itu lg ngetop dan heboh serial silat Heaven Sword Dragon Saber yg didalamnya ada kelompok semi-fiktif Beng Kauw. Rumah dianggap markas Beng Kauw dan penghuni seisi rumah dikasih gelar dan nama anggota Beng Kauw. Yang lucu nggak ada yg mau nerima gelar Kelelawar Hijau. Waktu itu ada teman yg namanya Yulis punya kumis tipis, jadilah dia "dipaksa" buat jd Kelelawar Hjau yg memang berkumis tipis. Hahaha.... Tanya sama Oni deh :P
Soal tipu-tipuan nilai demi akreditasi, mending tanya org yg berkecimpung lsg dibidang ajar mengajar.
Horo tho yoh = Werakadah (kalau Panji Koming bilang).
Kalau dalam KBBI edisi 3 (aku belum punya kalau Kamus yang terbitan Gramedia), aku belum tahu he he he
@ boyin:
Iya, dicek betul Pak, kalau mau wawancara karyawan baru. Jangan2 nilainya katrolan semua... :D
@ Yusahrizal:
Di mana-mana nama unik memang selalu ada. Kalau nama unikmu apa? Hihi..
@ Bayu Probo:
Kata Horo tho yoh memang mantep. Rasanya gimanaaa gitu, bikin kaget2... Hehehe.
Kalau mau milih, aku mau posisi penasehat kanan. :P
Bagaimana yang di tingkat dasar?.
Siswa masuk dengan NUN tinggi, tapi setelah proses KBM berlangsung, diajak ngomong ndak sambung apalagi harus belajar Fisika, tambah parah. Setelah setengah semester baru mengakui kalau NUN-nya 80% hasil contekan, parahnya pelakunya hampir 60 %. Sebagai guru kita hanya bisa terpana tanpa tahu harus bersikap bagaimana.
Lama-lama Indonesia semakin banyak tumbuh tukibul-tukibul muda. Capek deh!
saya pikir tukibul itu hanya ada di sekolah, ternyata di kampus pun ada banyak tukibul, hehe ... barusan saya lihat tayangan telusur di sebuah stasiun TV. demikian rapinya kebocoran UN itu dilakukan. makin anucr deh kalau negeri ini masih banyak tukibul yang berkeliaran.
Horo toyoh itu yang paling pas diucapkan dalam bahasa indonesia sebagai "Nah Loh!" Tapi ya tetep ngaa bisa bener2 pas :)
Btw, aku juga prihatin sama yg namanya katrol-mengatrol nilai :)
Setauku di DeBritto dulu ga ada sistem katrol mengatrol seperti itu, makanya siswanya pintar2 hahahaha!
Eh tapi sik-sik, kok nilaiku pas kuliah kebanyakan A dan B ya? Jangan2 .... Oh......
@ Puspita Wulandari:
Wah, sampai 60% ya yg nyontek? Gawat! Pantesan saja kehancuran bangsa kita sudah mulai kita rasakan ya, Bu!
@ Sawali Tuhusetya:
Iya, Pak... makin byk yg berkeliaran, apalagi yg duduk di DPR itu kayaknya menjamur saja yg tukibul
@ DV:
Horo tho yoh! Nilai-nilaimu A & B? Wah, piye ki? hihihi.
Post a Comment