Saturday, August 08, 2009

Serpihan dari Film 3 Doa 3 Cinta

Menonton film selalu membuat pikiranku berkelana. Begitu pula ketika aku menonton film 3 Doa 3 Cinta ini. Sudah lama aku dan suamiku mengincar film ini untuk kami tonton bersama. Seingatku film ini tayang di bioskop sekitar tahun baru lalu. Tapi rupanya film ini tidak terlalu lama tayangnya dan kami ketinggalan menontonnya. Jadi, akhirnya suamiku kemarin membeli DVD-nya dan kami baru menonton tadi (8/8/09).

Film ini mengangkat kisah kehidupan para santri di pesantren tradisional. Bagi aku seorang nonmuslim, penggambaran kehidupan mereka itu menarik. Aku belum pernah melihat secara langsung kehidupan di dalam pesantren. Dan film itu memperkaya pemahamanku tentang kehidupan teman-teman muslim--terutama yang pernah menjadi santri.

Film ini mengingatkanku tentang keluarga besarku, tentang pengalamanku kemarin sore, dan tentang kejadian akhir-akhir ini. Tiga hal itu rasanya menempel begitu kuat tatkala menyaksikan adegan demi adegan di film itu. Hmmm ... begini ceritanya ... sebenarnya aku sudah lama ingin menuliskan keberagaman di dalam keluarga besarku. Keluarga besarku mayoritas muslim (dan menurut yang kulihat, ada yang abangan dan ada yang tidak). Lalu ada juga yang menganut aliran kepercayaan. Dan ada pula yang Kristen. Keluargaku sendiri beragama Katolik. Oleh karena itu, aku sudah biasa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama denganku. (Dalam tulisan ini aku tidak akan membahas bagaimana keluarga besarku bisa terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan.)

Kemarin sore, aku sengaja menginap di rumah Tante di Pondok Aren. Sebenarnya ini adalah alasan praktis untuk memfasilitasi keinginan suamiku sih. Karena tempat tinggal kami cukup jauh dari tempat berlangsungnya acara itu, kami memilih menginap di rumah Tante yang rumahnya relatif lebih dekat dari Pondok Indah. Kemarin suamiku ingin ikut acara di masjid Pondok Indah. Dia bilang dia ingin ikut acara pengajian di sana. Loh? Rupanya pengajian yang dimaksud berasal dari kata kaji, yang artinya di sana akan diadakan pembahasan suatu topik. Kali ini topik yang diangkat adalah bedah buku terbitan Serambi. Aku lupa apa judul bukunya. Yang jelas, tema yang dibahas kemarin adalah “Agama-agama Ibrahimi: Titik Temu dan Titik Seteru antara Yahudi, Kristen dan Islam”. Pembahasnya adalah Pdt. Dr. Stanley R. Rambitan (Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) dan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Dosen UIN Jakarta). Soal bagaimana pembahasannya, tanya langsung pada suamiku ya! Hehe. Wong aku tidak ikut acaranya :p Tapi dari ceritanya sih, acaranya bagus. Diskusinya bisa mendalam dan masing-masing pihak bisa berdiskusi dengan kepala dingin.

Nah, ceritanya suamiku langsung menuju masjid Pondok Indah sepulangnya dari tempat kerja, sedangkan aku ikut mobil Tante. Tanteku ini muslim. Lalu karena hendak menjemput anaknya yang sekolah di Al-Azhar serta sudah waktunya sholat maghrib, kami pun berhenti di masjid agung. "Tante nanti sholat dulu ya," kata Tante. Dan ketika turun dari mobil, Tante mengajakku. Oh, Tante tentu tidak mengajakku untuk sembahyang bersamanya. Tetapi daripada aku sendirian di dalam mobil, lebih baik aku "mengintil" dia dan aku pun duduk-duduk di undak-undakan depan pintu masjid. Saat itulah aku teringat peristiwa ketika aku dan kakakku menikah. Waktu acara pemberkatan nikah di gereja, om, tante, pakde, budeku yang beragama lain ikut masuk ke dalam gereja dan memberikan doa restu. Aku tak tahu bagaimana pandangan orang lain ketika melihat di dalam gereja ada saudara-saudaraku yang mengenakan pakaian muslim ikut masuk. Bagiku tidak masalah. Dan aku bangga kepada mereka karena kesediaan mereka untuk itu. Lagi pula, seekor burung yang masuk ke kandang ayam, tidak otomatis menjadi ayam, bukan? Begitu pula, orang non-Katolik yang masuk ke dalam gereja tidak akan otomatis membuat mereka menjadi Katolik. Dan kali ini akulah yang ikut Tante ke masjid. Hehehe.

Kembali ke film 3 Doa 3 Cinta tadi. Di film itu digambarkan tentang dua macam kyai. Yang satu aliran fundamentalis garis keras, yang satu lagi Kyai Wahab yang mengajarkan toleransi serta menghargai agama dan budaya lain. Lewat film ini, Nurman Hakim selaku sutradara, penulis skenario, dan produser hendak mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki pendirian seperti Kyai Wahab. Aku sendiri percaya akan hal itu, mengingat kebersamaan seperti yang aku rasakan dalam keluarga besarku.

Belum lama ini Hotel JW Marriot terkena bom lagi. Menyedihkan memang. Aku tak tahu ada berapa banyak orang yang lalu menuding umat Islam berada di balik pengeboman ini. Aku sendiri berpikir kurasa mayoritas umat Islam di Indonesia tak akan suka digebyah uyah, atau disamaratakan sebagai pengikut aliran yang suka mengebom itu. Lagi pula, agama mana sih yang mengatakan membunuh orang lain adalah baik? Jadi bagaimana? Kurasa untuk menyikapi hal-hal yang merusak kesatuan Indonesia, kita semua--apa pun agamanya dan kepercayaan--perlu bergandengan tangan untuk mempererat persaudaraan. Aku percaya, orang yang benar-benar beriman akan lebih bijak dan bisa saling memahami orang yang berbeda. Hmm ... bagaimana menurutmu?

12 comments:

imelda on 12:39 PM said...

well yes, keluargaku meskipun mayoritas kristen, banyak pula yang muslim. Dan kami tidak canggung untuk saling berkunjung, dan mereka juga tetap hadir di gereja waktu pemberkatan nikah.

Dan aku sendiri tidak canggung untuk ikut melaksanakan tata cara doa Buddha. Karena menurutku Tuhan mendengar doa semua orang, apapun caranya. Aku dengan tata cara Buddha tapi isinya katolik. Tidak ada yang tahu kan, apa isi doaku? Apakah itu kitab sutra, apakah itu syahadat atau bapa kami? Tuhan yang Maha Tahu.

Berbahagialah kita yang bisa percaya pada Sang Khalik, dengan IMAN.

EM

EM

utaminingtyazzzz on 3:45 AM said...

postingan yang menarik, mbak.. soalnya terus terang saya hidup di keluarga yang homogen, dalam artian semuanya satu agama. saya kenal dan berinteraksi dengan kebiasaan dan ritual agama lain baru saat kuliah, di mana tempat kost saya ber-Bhinneka :D

DV on 5:12 PM said...

Menyoal agama, aku barangkali agak konvensional (kalau tak mau dibilang fanatik).

Hingga saat ini aku menganut paham kontra-indifference, aku tak percaya setiap agama punya maksud yang sama bukan karena aku menganggap agama lain jelek, tapi karena menurutku orang yang menganggap semua agama itu sama adalah orang yang paling sok tahu kecuali kalau ia telah pernah mempelajari semua agama dengan sama dalamnya :)

Tapi untuk hidup bertoleransi, aku setuju :) Lha arep piye maneh, lha wong papaku wae juga beda agama kok denganku:)

krismariana widyaningsih on 6:40 PM said...

@Imelda: Iya, yg penting adalah hati. Berdoa dengan hati dan penuh iman itu kan yg kadang sulit :) Entah dg cara apa pun, kurasa Tuhan akan tetap menerima


@Utaminingtyazzzz: Terima kasih atas apresiasinya :)


@DV: memang tidak semua agama itu sama. ada titik seteru, tetapi ada jg titik temunya. sebenarnya asyik lo don kalau kita belajar ttg sejarah agama. memperkaya dan membuat kita jadi lebih bijak :)

Riris Ernaeni on 7:47 PM said...

emh..indahnya jika semua menyadari, bahwa apapun agamanya kita semua diciptakan oleh tangan yang sama dan dihembusi oleh nafas yang sama Pula.

aku juga ngalami keindahan keragaman itu Kris. Waktu aku pemberkatan nikah di Gereja, bulik 2 ku, sodara2 sepupuku yg muslim dengan baju muslimnya mengikuti prosesi pemberkatan nikah di Gereja seraya memberikan doa restu.

Nice posting

nh18 on 9:57 PM said...

Mbak Kris ...
Ini tulisan indah sekali ...

Seseorang memang diwajibkan untuk beribadah sesuai dengan keyakinan yang dia anut ...

Dan saya pikir dengan bertoleransi seperti ini tidak akan melemahkan iman/aqidah yang dianut masing-masing

Salam saya

krismariana widyaningsih on 12:07 AM said...

@Riris: kalau Tuhan mau, semua orang bisa dibuat-Nya satu agama atau satu kepercayaan. Dan kalau kita dibuat berbeda, pasti ada hikmahnya :)

@Pak nh18: terima kasih atas apresiasinya, Pak.

vizon on 7:27 PM said...

aih, indah sekali pandanganmu mbak... aku suka... :D

setiap agama memang memiliki perbedaan; keyakinan maupun peribadatan. namun semuanya memiliki satu kesamaan, yakni kebaikan yang universal.

agama tidak perlu dipertentangkan, sudah semestinya dipertemukan, untuk saling memahami dan menghargai... kesalahan interpretasi akan ajaran agamanya oleh pemeluknya, tidak lantas membuat agama tersebut dipandang seperti tafsiran pemeluknya...

terima kasih mbak kris... :D

Anonymous said...

njajal meneh, setelah kemaren mental..

keluargaku juga banyak yg berbeda agama, tapi hubungan kami tetap baik. bahkan, mereka berani mengakui kalau dalam agama mereka ada yang menafsirkan suatu ajaran dengan salah kaprah.
dan, mereka ini ikut melindungi keluargaku waktu kerusuhan 1998..
indahnya kalau semua bisa bersahabat tanpa mempertentangkan perbedaan..

krismariana widyaningsih on 6:05 AM said...

@Uda Vizon: terima kasih apresiasinya, Uda. iya, sebagian orang masih berusaha menjelek-jelekkan agama yg lain. padahal kalau kita belajar lebih banyak, misalnya soal sejarahnya, dll, kita bisa lebih bijak dalam memandang perbedaan

@Nana: persahabatan dalam perbedaan itu memang indah, ya Na.

Anonymous said...

Keluargaku juga seperti keluargamu, semua saling menghargai perbedaan pandangan atas keyakinan orang lain.

krismariana widyaningsih on 6:52 PM said...

@Bu Enny: Wah, asyik sekali ya Bu... :)