Monday, August 10, 2009

Memburu Teroris, Melawan dengan Kata-kata

Akhir-akhir ini hampir setiap malam aku dan suamiku berburu nyamuk. Entah mengapa semakin malam, semakin banyak nyamuk yang datang. Padahal kalau siang bisa dikatakan tempat tinggal kami hampir tak ada nyamuk. Tapi begitu hari mulai gelap, suara denging nyamuk plus gigitannya itu mengganggu sekali. Bekal kami adalah raket listrik untuk menyetrum nyamuk. Dan rasanya kami senang sekali mendengar suara PLETAK ...! diiringi bau nyamuk yang terbakar karena kesetrum. Lebih senang lagi kalau kami dapat nyamuk yang perutnya buncit berisi darah. Hhh, mati lu! Rasakan pembalasanku!

Kalau kupikir-pikir sebenarnya lebih baik mendapatkan nyamuk yang masih kurus. Kenapa? Soalnya, nyamuk kurus itu kan belum sempat menggigitku. Jadi, bisa dikatakan itu tindakan preventif alias lebih baik mencegah gigitan nyamuk daripada mengobati bentol-bentol gatal karena gigitan nyamuk. Dan yang lebih bagus lagi adalah jika kita bisa membasmi sarang nyamuk, yaitu uget-uget atau jentik nyamuk yang masih tidak berdaya itu. Pencegahan itu sebenarnya sudah kulakukan dengan menaburi bak mandi dengan Abate dan memasang kasa nyamuk. Tapi tetap saja masih ada nyamuk nakal yang berhasil menerobos rumah. Huh!

Perburuan nyamuk nakal itu mengingatkanku pada perburuan teroris yang punya hobi mengebom dan mencelakakan orang lain. Hobi yang aneh, ya? Tapi mau bagaimana lagi? Mereka masih saja ada. Biar beberapa kali sudah dilakukan penggrebekan di rumah-rumah yang ternyata menyimpan bom itu, kaum teroris itu masih gentayangan seperti drakula.

Dan Sabtu lalu (8/8/09) aku sempat menyaksikan di televisi acara penggrebekan rumah di Temanggung itu. Tapi aku tidak menyaksikan sampai habis dan aku sering mengganti-ganti channel untuk melihat Bara Patirawajane yang dengan lihainya memasak. Enak bener. Saat melihat acara penggrebekan di Temanggung itu aku sempat berpikir, kok kalau dipikir-pikir, kok rada aneh ya menggrebek sarang teroris dengan persenjataan lengkap? Lah lalu bagaimana?

Begini, menurutku perburuan teroris itu tak selamanya bisa dilakukan dengan mengandalkan senjata. Bagaimanapun alasan mengapa mereka melakukan pengeboman itu sarangnya ada di dalam otak dan hati mereka. Sekarang mari kita bandingkan dua tindakan ini:
1. Apa yang membuat kita langsung menarik tangan saat jari kita terkena panasnya api? Karena kita tak ingin terluka. Itu adalah gerak refleks--gerakan yang tidak membutuhkan perenungan atau pemikiran.
2. Apa yang membuat kita pergi ke bank dan menyisihkan gaji kita untuk ditabung? Karena kita sadar bahwa mungkin ada kebutuhan tak terduga di masa mendatang atau untuk jaminan hari tua kita. Tindakan ini membutuhkan suatu kesadaran dan pemikiran.

Jelas kan apa yang mendasari kita bertindak? Yang satu karena biologis, yang satu lagi karena pertimbangan dan pemikiran.

Nah, sekarang mengapa para teroris itu mengebom? Itu kurasa karena apa yang tersimpan di dalam pikiran mereka mendorong untuk melakukan itu. Sebenarnya yang tersimpan di dalam pikiran manusia bentuknya adalah kata-kata. Kata-kata itu bisa muncul karena pengalaman kita sendiri atau orang lain; karena kita melihat, mendengar, merasakan, atau membaca sesuatu. Jadi, sebenarnya awalnya adalah kata-kata yang bergema di dalam kepala.

Aku tak tahu persis apa yang bercokol di kepala para teroris yang tega melakukan pengeboman itu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aneh juga kenapa mereka sampai tega melakukan hal itu. Coba pikir, saat kita tidak terdesak atau hidup kita tidak berada di ujung tanduk, kita pasti tidak akan melakukan hal-hal yang bisa mencelakakan orang lain, kan? Berbeda dengan orang yang sedang berhadapan dengan maling lalu dia melihat pisau, maka dia mungkin bisa menusukkan pisau itu. Jadi kalau mereka tega mengebom, mungkin mereka merasa keberadaan mereka terdesak, dan karena itu harus menghabisi musuh. Siapa musuhnya? Katanya sih orang kafir. Tentu kafir menurut mereka, ya?

Nah, jadi kupikir kalau kita hendak memberantas teroris, sebenarnya itu bisa dilakukan dengan beradu argumentasi dengan mereka. Atau, dengan kata lain, ubahlah isi kepala mereka. Dan semua itu amunisinya adalah kata-kata--bisa dalam bentuk lisan atau tulisan. Jika isi kepala mereka bisa diubah, kurasa pengeboman itu bisa dikurangi banyak. Rasanya ini seperti memberantas sarang nyamuk, yaitu menghilangkan bibit permusuhan sebelum dia berkembang menjadi pemikiran yang mengerikan dan membuat kita semua celaka. Lebih baik mencegah (dengan kata-kata) daripada mengobati (korban bom).

11 comments:

Q - Kiss on 2:31 AM said...

kalau doktrinnya udah melekat di kepala kayaknya susah mengubah pikiran...apalagi bagi "pengantin"nya.

DV on 4:21 PM said...

Aku suka caramu mengungkapkan hingga pada ujung pertanyaan, "Apa yang bercokol dihati dan otak para teroris?"

Aku sepakat dengan komentarnya Q-Kiss, tampaknya doktrin yang sudah melekat, terlebih dari apa yang kubaca di Majalah TEMPO edisi minggu kemarin, mereka, para teroris itu, sekarang kebanyakan adalah kaum muda (16 - 25 tahun) yang jelas masih mencari jati diri dan istilah kata, otaknya masih gembur, masih subur dan mudah ditanami doktrin apapun :)

edratna on 6:07 AM said...

Pemberitaan di media yang terus menerus juga membuat mereka seperti selebritis...
Yang penting adalah upaya menjaga lingkungan, antara tetangga saling kenal, karena bagaimanapaun selalu ada orang yang berbuat diluar kewajaran, yang pantas dicegah adalah jangan sampai mereka mempengaruhi anak-anak muda yang idealisme nya tinggi untuk berbuat jahat

aldo on 5:02 AM said...

Perbaiki kualitas finansial orang2, tingkatkan kualitas pendidikan. Cuma itu caranya.

Anonymous said...

setuju bisa dilaksanakan dengan beradu argumentasi, tapi prakteknya kok agak sulit ya? apakah ada orang yang mau bergerilya di lapisan akar rumput utk "berhadapan" dengan mereka, sementara mereka melakukan "cuci otak" secara intens ke kelompok kecil krn mempunyai "tujuan" yang jelas.
saya setuju dg bu edratna, kita mesti mengenal dan menjaga lingkungan kita

krismariana widyaningsih on 7:27 PM said...

@Q-Kiss & DV: memang susah kalau doktrin itu sudah nempel kuat di hati dan pikiran. Padahal semua yg menempel itu adalah hal yg sederhana tetapi sekaligus tdk sederhana, yaitu "kata-kata" yang kemudian menjelma menjadi keyakinan. Yg lebih memprihatinkan adalah, di beberapa sekolah yg mengajarkan agama garis keras, anak2 tidak diajari lagu kebangsaan kita loh. alasannya, meletakkan cinta pada bangsa lebih besar pada cinta kpd Tuhan itu dosa. kebayang nggak sih betapa mengerikan ide yg mereka masukkan ke dalam otak bocah2 itu?

@Edratna: Bu, waktu Amrozi dkk dieksekusi, ada sebuah TV swasta yg terus menerus menayangkan berita ttg mereka seolah2 mereka itu pahlawan. Saya sebel banget tuh. Memang kita harus menjaga lingkungan kita. Setuju, Bu!

@Aldo: Ya, pendidikan yg multikultur; yg menghargai pluralisme

@Bro Neo: memang sulit beradu argumentasi sama mereka. Tapi intinya sih kurasa ini "pertempuran ide". Dan kurasa mereka cuci otak tiap hari ke orang2 yg kecil... Mengerikan sebenarnya.

vizon on 8:20 PM said...

fenomena anak muda yang dijadikan "pengantin" itu memang cukup mengejutkan sekaligus memberi peringatan kepada para orangtua yang punya anak remaja. bahwa, keharmonisan dan kehangatan keluarga musti terjalin dengan baik. keterbukaan antara anak dan ortu benar-benar harus terjadi. kegamangan anak remaja, sering kali dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab; entah untuk komersialisme, ataupun untuk idelisme seperti terorisme ini...

thanks kris, ini sebuah pengingat bagiku yang lagi punya anak remaja... :D

Eka Situmorang - Sir on 3:30 AM said...

Setuju soal teroris lawan dgn kata2
tapi gimana dengan nyamuknya?
emang mbak kris ngerti bahasa nyamuk?
hihihihihihi

krismariana widyaningsih on 8:27 PM said...

@Uda Vizon: Iya, Uda. Saya rasa keharmonisan hubungan orang tua dengan anak bisa menjadi salah satu cara untuk melawan ajaran teroris yang merusak itu. Bisa jadi bahan tulisan lain nih, Uda hehehe :)

@Eka: Kalau nyamuk tetep pakai raket listrik aja! Hehehe.

Ikkyu_san a.k.a imelda on 11:33 AM said...

Memang sulit kalau sudah di "cuci otak"nya. Apa juga salah di mata mereka. Tapi aku pikir yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan intelejen Indonesia, untuk menemukan basis2 teroris itu. Cara pengepungan wkatu itu aja kok terlihat "tidak profesional" heheheh. Aku heran ada yang mau mantengin duduk depan tipi :)

Kayaknya musti datengan Mac Gyver, James Bond, Indiana Jones dll ke Indonesia nih


EM

krismariana widyaningsih on 4:39 PM said...

@Imelda: Kalau James Bond datang ke Indonesia, aku bela-belain beli tivi deh! Biar bisa mantengin dia tiap hari hahaha!
Emang kalau melihat sejarah kemunculan teroris itu, terlalu banyak kepentingannya sih. Kayaknya senjata makan tuan deh.