Wednesday, February 18, 2009


Tak Cukup Hanya Perasaan

Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan teman asramaku dulu, Nana. Ngobrol ngalor ngidul. Kangen-kangenan. Kami sudah lama tidak bertemu--seingatku sejak tahun 2001. Atau lebih? Ah, lupa.

Seperti biasa, teman asrama selalu "nyantol di hati". Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, mungkin karena kami dulu serumah. Tiap hari bertemu; mulai dari bangun tidur sampai mau tidur. Ya, kuliah memang bisa beda-beda. Tapi setiap kami pulang kuliah atau beraktivitas, ketemunya ya mereka-mereka itu. Dan pada pertemuan kemarin itu kami bernostalgia. Mengingat teman-teman yang dulu sekamar dan yang beda unit.

Salah satu yang kami bicarakan adalah kekecewaan Nana karena "ditolak" untuk bertemu dengan seorang teman kami --sebut saja--namanya Lila. Entah kenapa Lila tidak mau bertemu Nana lagi. Padahal dulu mereka kadang sering bareng. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Nana, bahwa dulu Lila itu pernah bermasalah dengan pacarnya. Menurut Nana sih, cowoknya itu sikapnya keras banget. Jadi sering memaksakan kehendak. (Yee ... baru pacaran sudah sering maksa.)

Akhirnya mereka pun putus. Dan Nana jadi tumpahan curhat si Lila. Setelah putus, si Lila masih saja menyayangkan putusnya mereka dan pengin balik lagi. Nana, yang kenal betul watak si cowok, berkali-kali mengatakan bahwa keputusan mereka untuk putus itu sudah benar. Tapi ya ... mungkin karena masih sayang atau bagaimana, Lila ngotot ingin balik. Lha, terang saja Nana jadi sewot. "Lha belum jadi suami saja sudah sering maksa gitu, masak mau diterusin?"

Menurutku Nana benar. Setelah putus, kita mungkin ingin balik lagi ke mantan pacar, padahal kita sadar betul kalau mantan cowok kita ini begini, begini, begitu, begitu. Enggak cocoklah gampangnya. Kalau dari awal sudah ada ganjelan yang tidak bisa diselesaikan, jangan pernah percaya bahwa ganjelan itu bisa hilang dengan sendirinya setelah menikah.

Tapi kalau masih sayang?

Hmmm ... menurutku, sayang itu adalah perasaan. Bagaimana pun memilih pasangan hidup itu tidak hanya membutuhkan perasaan, tetapi juga logika. Perasaan sih perlu, tapi kayaknya perasaan bisa pudar. Karena itu, pertimbangan akal sehat sangatlah dibutuhkan. So, sah-sah saja kita pilih-pilih pasangan. Walaupun sudah didorong kanan kiri untuk segera menikah, keputusan ada di tangan kita. Toh, nantinya kita sendiri yang menjalani hidup pernikahan. Orang-orang yang sering bertanya, "Kapan nikah?" itu hanyalah penonton. Mereka tidak benar-benar terlibat dalam hidup pernikahan kita.

Jadi teman-teman, silahkan pilih-pilih dan beranilah mengambil keputusan dengan disertai pertimbangan akal sehat ;)

3 comments:

AndoRyu on 9:52 AM said...

Koq saya jadi merasa tersindir, padahal postingan yang ini cuma tulisan curhat-curhatan doang, hehehehe......

Anonymous said...

Hakikat lelaki memang suka memaksa :)
Lha aku lelaki opo bukan ya aku ndak tahu lha wong aku ndak pernah maksa.

Yo po ora ? :)

krismariana widyaningsih on 6:05 PM said...

@ Yusahrizal:
Aku nggak niat nyindir siapa-siapa lo... hehehe.

@DV:
Lha bojoku ki yo ra tau mekso ki, don. entuk kanca kowe. dan bojoku ki lanang tenan kok...