Tuesday, February 10, 2009

Donat yang (sengaja) Tak Terbeli

Dulu, ketika masih kecil (eh, nggak kecil2 amat ding, SD atau SMP gitu), tante dan om saya yang tinggal di Jakarta suka membawa Dunkin Donat kalau pas lagi ke Madiun--menyambangi kami. Bagiku donat itu enaaaak banget. Beda dengan donat yang biasa ada di warungnya Mbak Siti, depan rumah. Rasanya puas banget kalau makan donat oleh-oleh tante/om. Enaaaak. Yah, namanya anak kecil yang tinggal di kota kecil macam Madiun, makanan yang berbau kota besar kok terasa enak di lidah ya? Atau karena gratisan? Hihihi. Entahlah.

Dan waktu aku akhirnya tinggal di Jogja, aku nyaris melonjak gembira waktu ada gerai Dunkin Donat dibuka di beberapa tempat. Horeee! Aku berniat membeli donat enak itu setidaknya sebulan sekali. Yah, paling tidak semester sekali, deh. Tapi dasar mahasiswa yang harus pintar-pintar-berhemat-supaya-uang-saku-cukup, aku cuma terbengong2 waktu melihat harga donat yang membuatku ngiler itu. Lha harga 1 donat itu bisa untuk makan nasi plus lauk ikan, telor, dan sayur sepuasnya, je. Akhirnya, aku memutuskan untuk "menunda" membeli donat mahal itu. "Nanti deh, kalau sudah kerja."

Dan akhirnya aku lulus kuliah dan bekerja. Gaji cukup dong kalau untuk beli donat?

Cukup sih. Tapi kok rasanya aku tetap sayang ya untuk membeli donat mahal itu? Aku mulai berhitung. Harga dua buah donat itu setara dengan harga bensin untuk seminggu. Ugh! Tidak ... tidak! Nanti saja deh, kalau aku sudah dapat kerjaan sambilan. Kan lumayan tuh pendapatanku; selain gaji bulanan, honor menerjemahkan 1 buku yang berukuran sedang, minimal sama dengan gaji sebulan. Bisa lebih sih, kalau aku mau lebih rajin lagi.

Dan akhirnya aku mendapatkan honor terjemahan plus editing yang lumayan. Horeee! Duitnya dikemanain?

Beberapa kali aku lewat gerai Dunkin Donat--entah saat berbelanja di Mirota Kampus atau pas lagi mampir ke Gramedia. Aku beli donat?

Tidak. Jelas tidak.

Duitku akhirnya masuk ke kasir toko buku karena aku memborong beberapa buku, untuk membeli bakso ayam di depan Gramedia (ya ampun! sudah berbulan-bulan aku tidak mencicipi bakso ayam plus telor dan jeroan ayam itu), dan sisanya tercatat di buku tabungan.

Nah, beberapa waktu lalu aku janjian bertemu dengan teman asramaku dulu, Nana. Kami bertemu di Arion Mall. Yah, walaupun kami berdua tak pernah suka ke mal, tapi adakah tempat lain di Jakarta ini untuk sekadar duduk-duduk tanpa bayar? Ada sih, asal kami rela duduk di pinggir jalan dan merelakan paru-paru kami dipenuhi dengan asap knalpot. Hehehe. Jadi, akhirnya kami memilih nongkrong di Dunkin Donat.

Wah, kesempatan nih, bisa beli donat. Iya, kan?

Tidak. Kami akhirnya cuma beli minum. Karena kami masih kenyang setelah makan di Hok Ben, dan rasanya cuma teh hangat saja yang bisa diterima perut kami. Hehehe.

Aku sebenarnya heran dengan diriku sendiri. Aku ini orang yang tidak gampang menuruti keinginan. Entah kenapa. Aku tak tahu. Aku tahu, aku senang sekali makan donat. Apalagi sekarang ada begitu banyak pilihan donat--selain Dunkin, ada J-Co, dan entah apa lagi namanya, aku tak ingat. Tapi walaupun aku sudah pengiiiiin banget, begitu menjumpai gerai penjual donat itu, aku kadang cuma melirik sedikit, dan lewat begitu saja.

Aku tak tahu sejak kapan hal ini terjadi pada diriku. Kalau kuingat-ingat, pas SD aku juga jarang sekali jajan. Padahal di kantin sekolahku dijual bakso, dan sebenarnya aku suka sekali bakso. Tapi rasanya tak lebih dari sepuluh kali aku makan bakso di kantin SD-ku. Aneh bin ajaib deh.

5 comments:

Anonymous said...

Ternyata pernah tinggal di Madiun ya...?
Saya masih suka Donut.....

Anonymous said...

Itu nggak aneh, Jeng.. malah bangga harusnya.

Aku pengen seperti sampeyan yang bisa menahan keinginan, lha aku ini kadang yang nggak kupengeni aja malah kubeli jhe atas nama emosi ... emosi jiwa hahaha :)

krismariana widyaningsih on 3:06 PM said...

@ Edratna:
Iya, Bu. Saya asli Madiun (kayak brem aja hehehe). Lahir dan besar di Madiun. Saya suka banget makan donat. tapi kalau donat mahal, mikir2 deh belinya.

@DV:
Tapi kalau soal buku kok rasanya aku ya emosi jiwa ya? Hihii. Bener-bener nggak tahan lihat jajaran buku yg menarik. Jadi, jangan sampai deh bawa uang banyak ke toko buku. Bisa memborong deh! Jadi, siasatnya, aku nggak bawa uang banyak kalau ke toko buku. Takut sekalian tokonya aku beli hahaha!

AndoRyu on 5:55 PM said...

Judul tulisannya nggak salah nih? Coba pertimbangkan salah satu judul dibawah ini:

1. Hidup yang tak pernah cukup.- judul serius
2. Hubungan linier antara umur dan level ke-pelit-an. - judul ilmiah
3. Menanti donat enak (dan gratis) - judul jujur

NB. Kuajarin taktik baru kalau mau makan donat tanpa keluar duit pribadi. Ntar tgl 14 januari minta dibelikan donat berbentuk hati sama oni buat hadiah valentine... wakakakak....

krismariana widyaningsih on 3:12 AM said...

@ Yusahrizal:
Hehehe, kayaknya aku milih yang nomor tiga deh. Aku udah bilang oni, tp katanya nggak ada donat yg bentuk hati hehehe.