Wednesday, August 19, 2009


Pak Wahyo: Pemijat Tunanetra yang Ceria

Namanya Pak Wahyo. Aku tidak tahu nama lengkapnya, tapi begitulah ayahku menyebutnya. Perkenalanku dengannya dimulai ketika suamiku (waktu itu masih pacar sih) datang ke rumahku di Madiun dan dia mengeluh badannya pegal-pegal karena capek selama di perjalanan.

"Aku pengin pijit," katanya.
"Wah, pijit ke mana ya? Aku tidak punya tukang pijit langganan," jawabku.
Waktu aku masih kecil, aku memang biasa dipijit oleh tetanggaku. Tetapi setelah sudah agak besar, aku tidak pernah pijit lagi. Lagi pula, waktu aku masih kecil, tukang pijit itu sudah tua. Kalau dulu saja sudah tua, jangan-jangan sekarang mbah pijit itu sudah meninggal.

"Eh, tapi tunggu sebentar, seingatku Bapak punya langganan tukang pijit. Aku tanyakan ya," kataku lagi. Dan benar, Bapak lalu memberiku nomor telepon Pak Wahyo. Aku langsung menelepon dan membuat janji untuk pijit.

Keesokan harinya, pagi-pagi, kami bersepeda mencari rumah Pak Wahyo sesuai dengan ancer-ancer yang sudah diberikan oleh Bapak. Rumah Pak Wahyo terletak di ujung gang yang penghuninya cukup padat. Rumah tanpa halaman itu itu tampak kecil sekali dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain. Aku tak tahu berapa ukuran rumahnya, tetapi begitu kami memasuki rumah itu, rumah itu jadi terasa sangat penuh. Padahal, kami cuma datang berdua. Selain ranjang untuk memijit pasien, di ruangan depan rumah itu hanya ada satu kursi dan meja plastik. Di atasnya ada sebuah tape dan kipas angin tua. Sangat sederhana.

Bayanganku tentang Pak Wahyo sangat berbeda dengan kenyataannya. Kupikir dia orang yang tidak banyak bicara dan kaku, tetapi ternyata tidak lo. Dia sangat ramah dan pandai bercerita! Bahkan menurutku dia pandai melucu. Ada saja yang dia ceritakan.

Sambil memijit, dia bercerita panjang lebar bagaimana dia bisa buta dan akhirnya menjadi tukang pijit seperti sekarang. Rupanya dia tidak terlahir sebagai tuna netra. Waktu masih kecil dia sakit panas dan akhirnya membuat dia menjadi buta. Awalnya dia sangat frustrasi. Dia kesal kenapa hidupnya jadi seperti itu, bahkan dia sempat berusaha untuk bunuh diri. Tetapi teman-temannya datang menghibur sehingga ia mengurungkan niatnya. Suatu kali ia mendapat "penglihatan". Entah bagaimana, ia merasa ada seorang pria mendatanginya lalu mengatakan supaya ia jangan takut dan jangan putus asa; pasti akan ada jalan dan pertolongan. Sim salabim! Sejak "kedatangan lelaki misterius" itu semua pemikiran negatif dalam benak Wahyo kecil itu sirna. Akhirnya ia bersekolah SLB dan kemudian melanjutkan sekolah untuk menjadi pemijat profesional. Katanya, orang buta lebih peka sehingga lebih bisa mendeteksi bagian yang sakit.

Pak Wahyo mengatakan dia tak ingin dikasihani. Maka, dia suka "menjajal" keberanian. Dia bahkan berani lo pergi ke luar kota tanpa teman dengan naik bus! Dia hanya yakin, pasti akan ada orang yang menolong. Benar saja, selama perjalanan hidupnya, ada banyak orang yang menolongnya tanpa disangka-sangka. Misalnya, waktu dia naik bus, ia bertemu dengan temannya semasa SD yang kemudian menolongnya. "Nah, jadi saya ndak pernah takut, Mbak. Tuhan pasti memberi pertolongan. Benar itu!" begitu katanya dengan penuh semangat.

Dalam sehari, Pak Wahyo bisa memijat 3-4 orang. Sekali memijit, dia mendapat uang sekitar Rp 30.000,00. (Aku tak tahu tarifnya sudah naik atau belum.) "Selalu saja ada orang yang datang atau meminta saya datang," tambahnya. Dalam memijit Pak Wahyo tidak berpatokan pada waktu. Tetapi rata-rata 1,5-2 jam. Dia baru selesai memijit jika semua otot si pasien sudah lemas, atau bisa dibilang, dia memijit sampai tuntas. Bahkan jika si pasien tertidur, dia tak membangunkannya. Dia ingin si pasien puas dengan pelayanannya.

Dari obrolan dengannya aku tahu bahwa Pak Wahyo kini sudah menjadi duda. Istrinya meninggal beberapa tahun lalu karena kanker. "Padahal sudah saya pijitin tiap hari lo, Mbak," ujarnya. "Tapi kata dokter sudah stadium lanjut. Jadi ya sudah tidak bisa tertolong lagi." Mataku mendadak berkaca-kaca mendengar ceritanya.

Langganan Pak Wahyo bervariasi, mulai dari orang biasa sampai para pejabat dan pelaku bisnis. Tak jarang ada pelanggannya yang mau mengajaknya ke kota besar dan hendak memfasilitasi Pak Wahyo untuk membuka panti pijat yang lebih besar. "Tapi saya tidak mau, Mbak," katanya. "Saya di sini saja. Lebih bebas. Tidak perlu ikut orang." Dan kulihat hidup Pak Wahyo itu cukup menyenangkan. Jika tak ada pasien, tak jarang dia pergi ke toko kaset untuk membeli kaset-kaset lagu lama kesukaannya. Banyak lo koleksi kasetnya, dan dia hapal semua lagu sekaligus penyanyi aslinya. Dia memang hobi menyanyi dan dulu ada sebuah stasiun radio di mana ia bisa bernyanyi di situ. Di dinding rumahnya juga kulihat ada foto dia sedang bernyanyi di atas panggung.

Sekarang kalau kami pulang ke Madiun, suamiku merasa belum lengkap jika belum dipijit Pak Wahyo. Aku pun dengan senang hati mengantarkannya karena sembari memijit suamiku Pak Wahyo akan banyak bercerita. Dan ceritanya yang lucu-lucu itu menyegarkan hati lo! Tak percaya? Coba saja!

14 comments:

DV on 10:02 PM said...

Pemaparanmu tentang beliau sangat alamiah, Nik.. aku menikmatinya.

Terlebih soal istrinya yang baru saja meninggal, touchy banget!!!

Eka Situmorang-Sir on 3:56 AM said...

Mbak'e.... kata orang pijit itu bikin ketagihan !
Bener bangeeet :D

apalagi kalo dipijit sama orang yang jago bercerita yah...

Riris Ernaeni on 4:14 AM said...

Beliau sangat menikmati dan berhasil memaknai hidup ya, Kris?

membaca artikelmu, aku merasa seperti sedang ada di Madiun :D

Ikkyu_san a.k.a imelda on 11:19 AM said...

wah aku jadi teringat pada Yu Tum, yang juga tuna netra. Pernah aku buat postingan juga. Dan memang setiap perjumpaan, sesungguhnya dengan siapa saja, kita bisa menemukan "cerita kisah hidup" yang bagus dan patut diteladani ya.

Liburan kemarin aku tidak minta dipijat. Tahun lalu, aku memang stress berat sehingga dipijat Yu Tum 2 kali pun tidak menyelesaikan masalah. Untung tahun ini aku benar-benar menikmati liburan shg tidak perlu menjadi pasiennya Yu Tum.

EM

krismariana widyaningsih on 5:46 PM said...

@DV: Makasih apreasiasinya, Don. Menurutku P. Wahyo adalah orang sangat menginspiratif :)

@Eka: Iya, Ka. Suamiku ketagihan sentuhan Pak Wahyo, nih.

@Riris: Betul. Sangat menikmati. Dia orang yg optimis dan selalu positif :)

@Imelda: Wah asyik juga punya tukang pijit langganan di Jkt. Kalau meminjam kata2 Riku, ini namanya "Kereeeen!" Oni belum nemu tukang pijit yg enak di Jkt, Mbak...

p u a k™ on 10:28 PM said...

mengalir banget ceritamu Kris.. sampe merinding segala dengar cerita tukang pijitnya..

Jadi pengen dipijet.. :d

vizon on 7:23 AM said...

aku juga punya langganan tukang pijet di jogja. di samping beliau memang ahli, beliau juga pandai sekali bercerita, persis seperti pak wahyo... cuma sayangnya, beberapa bulan kemarin beliau terkena stroke, sehingga gak bisa lagi memijit...

belajar tentang hidup bisa dari siapa saja dan dari mana saja, amat menyenangkan bila kita bisa mereguk sebanyak pengalaman dari orang-orang yang istimewa... :D

Anonymous said...

wah jadi ingat mbah Roso, tukang pijet di Muntilan... hmmm kapan yach bisa merasakan nyamannya pijetan mbah Roso..

beliau ini juga senang cerita, terutama waktu beliau ikut berjuang dulu, waktu agresi belanda. Ceritanya seru, penuh ekspresi, walau kadang beberapa kali diulang :-)

nice posting Kris

Anonymous said...

di Muntilan ada juga seorang tukang pijit yang asik. namanya Mbah Rosi. suamiku ketagihan tuh..kalo sedang mudik ke muntilan, pasti deh, datang ke mbah Roso itu.

edratna on 6:14 PM said...

Wahh perlu dicatat nih kalau suatu ketika pulang ke Madiun. Kapan ya?

Yang jelas saya kecanduan pijit, dan memang setelah dipijit badan jadi enteng, dan segar lagi..bahkan bisa kerja sampai malam.

Ceritamu enak sekali, dan terlihat indah...terasa seolah saya ikut mengenal pak Wahyo.

krismariana widyaningsih on 8:00 PM said...

@Puak: makasih apreasiasinya ya! :) tp btw sampai merinding ya? ini bukan cerita horor loh! hihihi

@Uda Vizon: Oni belum nemu tukang pijit yg mantep di Jogja, nih. Sayang tukang pijit langganan Uda Vizon keburu kena stroke, ya. Jadi belum bisa mencoba pijitannya.

@Bro Neo: Pak Wahyo ini juga sering mengulang cerita. Tapi tetep lucu deh kalau dia cerita. Hehehe

@Nana: Kaya Oni deh. Ketagihan Pak Wahyo... Selalu. Kalau sampai Madiun, yang diingat cuma Pak Wahyo dan pecel.

@Bu Enny: Dicoba aja, Bu. Tapi saya tidak tahu apakah Pak Wahyo memijit perempuan atau tidak. Tapi silakan ditelpon aja no telepon di foto bagian atas itu.

Tuti Nonka on 10:14 AM said...

Dari ceritamu, kayaknya Kris belum pernah dipijit Pak Wahyo ya? (apa aku yang kelewatan baca?)

Aku sendiri nggak terbiasa dipijit. Setiap kali habis dipijit, badanu malah njarem dan pegel linu. Bahkan kalau cream-bath ke salon, aku selalu bilang "Massagenya pelan-pelaaan aja ya Mbak" ...

Kayaknya lebih senang dielus-elus dari pada dipijit ... hehehe ...

krismariana widyaningsih on 2:08 AM said...

@Tuti Nonka: Saya memang belum pernah dipijit P. Wahyo karena saya memang hampir tak pernah menggunakan jasa tukang pijit ketika sudah besar. Saya cuma senang mengantarkan Oni dipijit Pak Wahyo, sekalian mendengarkan cerita2nya... :)

Anonymous said...

Aku juga senang dipijat sama pemijat tuna netra mbak, langgananku ada namanya pak karyo, lagian kalau sama tuna netra rasanya lebih aman.

Anita