Wednesday, August 08, 2007

Kebutuhan?

Ini benernya mau menanggapi komentarnya Oni Suryaman yang bilang bahwa nggak mungkin kalo kita bisa mengadakan acara kawinan dg sederhana. Ntar usaha katering dan persewaan gedung bisa tutup dong.

Ya, benernya sih usaha2 seperti itu nggak bakal tutup deh. Tapi kalo orang se-Indonesia (ya, betul se-Indonesia) rame2 bikin acara pernikahan yang biasa-biasa aja, usaha katering dan persewaan gedung (plus tetek bengeknya) memang bisa gulung tikar.

Sebenarnya aku bertanya-tanya, kok bisa sih muncul usaha semacam itu? Itu kupikir karena menjawab kebutuhan masyarakat. Dan kebutuhan itu rasa2nya muncul dari budaya. Sejak kecil, yg namanya orang punya hajatan ya mesti repot dan heboh. Tamunya buanyaaak! Dan itu berarti mesti ngasih makan banyak orang. Nah dari situ, muncullah usaha katering. Trus, soal usaha persewaan gedung itu, kan karena orang2 sekarang rumahnya kecil2, dan nggak berhalaman luas. So, karena emang sudah tradisi bahwa jika seseorang yg punya gawe harus gede2an, maka mau nggak mau ya mesti sewa gedung.

Tapi sekarang masalahnya adalah, banyak orang yg kapasitas finansialnya sedang2 saja. Jadi, kalo mau bikin hajatan, mesti utang sana-sini. Kasihan kan?

Tapi ya begitulah kenyataannya. Orang kadang nggak berani berbeda. Untuk berbeda kan kadang butuh "muka tebal". Misalnya nih, kalo soal resepsi pernikahan itu. Kalo enggak mau keluar banyak duit, ya yang sederhana aja. Kalo agar pernikahan itu sah secara agama dan negara, benernya nggak perlu mengeluarkan banyak uang deh. Nggak sampai puluhan juta dikeluarkan.

Kadang membuatku merasa bingung harus berempati atau tidak adalah, ketika seorang temanku yg setelah menikah bingung mau tinggal di mana. Belum punya rumah katanya. Dan untuk mengontrak rumah pun juga masih mikir untuk cari yg murah. Padahal waktu nikah, acaranya gede2an. Undangannya melimpah ruah. Ada acara pertunjukan hiburannya segala. Makanannya juga banyak banget. Wah pokoknya komplit deh! Kok kayaknya nggak seimbang ya?

Kalau melihat begitu sih, aku cuma bisa merasa kasihan. Kasihan karena sepertinya dia cuma mengikuti arus dan permintaan orang lain. Sementara sebenarnya dia sendiri nggak mampu. Kasihan kan?

3 comments:

Merlyna on 1:50 PM said...

emang sih, kawinan di Indonesia itu berdasarkan UUD '45 kali ye.. -- meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi -- (cuih, cuih, sok pake UUD)... makanya kawinan besar-besaran adalah salah satu bentuk penindasan terhadap diri sendiri.

anyway... sorry for my ngelanturisme.

thanks lho untuk singgah di blogku waktu itu. salam kenal juga :)

Anonymous said...

ah bisa aja kok dibuat sederhana. yang perlu dirubah dan didoktrin kan mind-set pihak yang menikah dan orang tua nya :)
contohnya sih gw n swami (hahaha), ada sih ribut2nya dikit sama ortu.. tetep ngasih makan orang2 juga sih tp standarnya yg cukupan bukan mewah/berlebih.. toh, yg penting kehidupan sesudah pesta.. bisa gag ngebuktiin kemandirian sesudah ada ikatan nikah?? itu yg lebih susah... :)

Anonymous said...

Hukum ekonomi mbak. Ada demand, ada supply.

Btw,
soal maksain dalam hajatan gede2an sih, pada umumnya karena kita seringkali gak tahan sama tekanan sekitar. Uhhhh itu dia yang bikin susaaaaah banget. Padahal kalau cuek2 aja sih, mungkin gak masalah.

Cuma gak semua orang khan bisa cuek hehehehe.

Uh pengen deh bisa jadi orang yang cuekan dikit :-p