Thursday, March 15, 2007

Pak Mar

di seantero gloria ini, siapa yang enggak kenal pak mar? pasti kenal dong. kalo inget pak mar, aku inget teh manis yang kuminum tiap pagi. enaaaaak! manisnya pas. dan hangat. kadang memang terlalu panas di lidah sih. tapi aku dasarnya suka minuman yang panas-panas, jadi it's oke. dan teh memang paling enak kalo masih panas. seger!


kemarin sore, aku iseng-iseng nanya ke pak mar.


"pak mar kalo pulang berapa minggu sekali?"
fyi, dia itu rumahnya di kebumen. jadi tiap hari dia memang tidur di kantor.
"dua minggu sekali, mbak."
trus, dari situ mengalirlah cerita bahwa dia benernya berat kalo cuma bisa pulang dua minggu sekali.
"saya akui mbak, kalau saya bukan orang yang sempurna. saya enggak bisa mendampingi keluarga setiap hari. bagi saya, yang sempurna itu bisa kerja dan tiap hari pulang. entah pulang sesore apa, tapi tetap pulang. ketemu anak-anak, ketemu keluarga."


"anaknya pak mar sekarang kelas berapa?" tanyaku lagi.
dia lalu cerita bahwa anaknya sekarang kelas 3 SMEA (smk kali ya kalo sekarang). dia mengatakan bahwa sekolah zaman sekarang ini berat banget. apa-apa butuh duit.
"masak mbak, wajarnya anak sekolah itu kan naik kelas. lha sekarang aja, naik kelas masak membayar to mbak? zaman saya dulu enggak ada bayar-bayaran kaya sekarang. sekarang ini sekolah itu bisnis mbak, bukan tempat belajar mengajar."


sedih juga, mendengar ceritanya. yah, siapa sih yang mau jauh dari keluarga? sebagai seorang kepala keluarga, tentu dia pengen menunjukkan tanggung jawabnya secara utuh. maksudnya, ya kerja, ya bisa mendampingi. tapi apa mau dikata? dia bilang, "ini karena saya enggak punya pilihan lain."


ugh! tambah sedih aku.


aku jadi ingat obrolan beberapa waktu lalu soal kebebasan. kebebasan itu apa? kebebasan itu tidak sekadar bebas untuk ..., bebas dari ..., tetapi juga apakah kamu punya kesempatan? oke, mungkin orang bebas untuk melakukan apa saja. orang juga bisa bebas dari suatu hal yang membelenggunya. tetapi apakah orang itu bisa disebut bebas jika dia tidak punya kesempatan? kaya pak mar tadi loh maksudku. dari dua jenis kebebasan pertama, mungkin dia termasuk golongan manusia bebas, tapi soal kesempatan? dia tidak punya pilihan yang menurutnya lebih baik.


dia memang bisa tetap di kebumen, menggarap sawah. tapi hasilnya tidak seberapa. dan tahu sendiri lah, kebijakan pemerintah sekarang kan enggak menguntungkan petani. mana cukup untuk membiayai anak-anak dan istrinya? padahal kalau dipikir, sebagai seorang office boy di gloria, berapa sih gajinya?


kadang aku merasa aku ini punya utang yang besar sekali dengan orang-orang seperti pak mar. dan sampai sekarang aku masih bingung, mau berbuat apa konkretnya untuk menolong mereka?

3 comments:

noel on 12:07 PM said...

Padahal kayake apapun yang kita lakukan ibarat setitik embun di padang pasir.

Soal kebebasan, lengkap dengan absurditasnya, kupikir pandangan banyak orang selama ini perlu dikritisi. Maksudku, dengan segala yang pernah kulalui, barangkali kita sebenrnya ga pernah mau menjadi orang bebas. Yang berulangkali kita mimpikan (seringngya tanpa sadar) adalah bagaimana caranya utnuk terjerat dalam sebuah sistem.

Panjang lah pokoke. Namanya juga hipotesis. Kapan-kapan nek mood tak teruske maneh. Aku juga yakin bahwa ga da korelasi antara kebebasan dengan perluasan kesempatan.

Bagaimana agar kesempatan, yang untuk kulewati sendiri pun masih terlalu sempit sampai lecet-lecet,menjadi cukup lebar untuk dilewati boeing 747.

noel on 12:13 PM said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 2:15 PM said...

Benar sekali komentar yang di atas, apapun yang kita lakukan adalah setitik embun (bukan fatamorgana) di padang pasir.

Saya terkadang juga berpikir, bagaimana mau menolong orang kalau diri sendiri juga masih perlu ditolong. Ternyata dalam ketidak mampuan kita selalu masih ada celah untuk berbuat baik. Doa menjadi bantuan untuk menemukannya. "Discernment" kalau nggak salah bahasa ngetopnya.