Tuesday, May 26, 2009

Editor Itu Ngapain Aja Sih?

Jujur saja, aku sok tahu ketika melamar kerja menjadi editor di sebuah penerbitan di Jogja. Namanya juga pengacara--pengangguran banyak acara--tiap ada lowongan, ya sabet saja. Iseng-iseng berhadiah adalah moto yang kupegang ketika mengirimkan surat lamaran kerja plus CV. Aku lupa persyaratan apa saja yang diminta untuk jabatan editor itu. Yang jelas, aku diminta untuk menerjemahkan sebagai tes masuk.

"Apakah ada batas waktu untuk menerjemahkan?" tanyaku ketika disodori beberapa teks untuk diterjemahkan.
"Tidak ada. Yang penting, terjemahkan sebaik-baiknya. Dan boleh membawa kamus."
Okelah. Sip! Tesnya gampang, pikirku. Cuma menerjemahkan dan boleh pakai kamus. Cihuy! Kayaknya bisa pulang cepet nih.

Well, ternyata menerjemahkan naskah seuprit itu susaaah. Yang pertama, aku takut salah. Kedua, ternyata biar sudah berbekal kamus, menemukan padanan kata yang pas untuk menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia itu tidak semudah menyeruput teh hangat. Bahasa Inggrisnya sih mudeng, tapi menuliskan terjemahannya itu butuh waktu lo. Dan apalagi waktu itu yang kuterjemahkan adalah naskah renungan, jadi aku mesti membuat terjemahannya cukup enak dibaca. Kalau pas merenung tersandung tatanan kalimat yang njelimet mana enak? Waktu terus berjalan, cacing-cacing di dalam perutku sudah mulai melakukan pemberontakan. Duh!

Akhirnya setelah lima jam bergelut dengan urusan kata dan kalimat, aku menyerahkan hasil terjemahanku. Pasrah deh. Penginnya sih diterima biar tidak tiap hari lontang-lantung tidak jelas, tetapi yah, aku tahu diri. Siapa tahu sainganku lebih bagus hasil tesnya.

Dan syukurlah, aku akhirnya lulus tes dan diterima masuk sebagai editor. Eh sebentar, jadi editor itu ngapain aja sih? Aku tidak tahu apa persisnya tugasku ketika aku masuk untuk pertama kalinya. Tetapi setelah enam tahun duduk di meja dan kursi yang itu-itu saja kini aku mencoba merekonstruksi ulang (halah) apa pekerjaan editor itu.

Yang jelas, editor itu teman sejatinya adalah naskah, kalimat, kamus, ensiklopedi, internet, dan syukur-syukur penulis. Naskah dari penulis favorit biasanya ditunggu-tunggu oleh editor. Biasanya penulis favorit itu sudah jago dalam menulis--kalimatnya sudah bagus, idenya tidak melompat-lompat, dan yang paling asyik adalah jika penulis itu bisa memaparkan sesuatu yang baru dan penting dengan bahasa yang mengalir dan mudah dimengerti. Nah, untuk mengolah naskah, editor membutuhkan kamus, ensiklopedi, dan internet.

Dulu aku banyak memegang naskah terjemahan. Jadi, tidak heran jika tesku waktu itu adalah tes terjemahan. Kadang aku bisa kerja cepat, kadang lama. Kenapa bisa begitu? Kalau kerja cepat itu biasanya naskah aslinya memang mudah dan si penerjemah sudah bagus banget dalam menerjemahkan. Dan sebaliknya, aku kerjaku bisa lambat karena naskahnya memang sulit, dan kadang menemui penerjemah yang membuatku kurus mendadak karena terjemahannya yang buruk dan membuatku mau tak mau harus menerjemahkan ulang. Nangis-nangis deh kalau sudah begitu. Apalagi kalau teksnya mengandung teori tertentu atau butuh pemahaman ekstra, mau tak mau aku mesti banyak belajar dan tanya sana-sini.

Nah, untuk mengantisipasi hal-hal yang seperti di atas, editor mau tidak mau harus terus belajar. Belajar apa? Terutama sih belajar bidang yang memang sering dijumpai dalam pekerjaan. Kalau editor buku-buku rohani, misalnya, kurasa penting untuk belajar teologi, sejarah, dan filsafat. Mungkin yang dipelajari itu tidak langsung dipakai, tetapi ibarat lapangan yang luas, seorang editor mesti tahu batas-batasnya dan pengetahuan yang luas sangat penting untuk mengetahui batasan itu. Bagaimanapun, editor perlu terus belajar untuk menambah wawasan.

Editor memang kesannya selalu berada di belakang meja. Mestinya tidak begitu. Idealnya, editor itu selain jago mengutak-atik naskah, dia juga bisa menjadi seorang luwes dalam menjalin relasi dengan penulis, para outsource. Kenapa begitu? Apakah duduk di belakang meja saja tidak cukup? Kalau kurenungkan perjalananku sebagai editor dulu dan sebagai pekerja lepas sekarang, aku pikir perlu juga seorang editor untuk cukup akrab dengan penulis dan para outsource (desainer grafis, layouter, penerjemah, editor lepas, dll). Walaupun orang-orang itu tidak ikut "ngantor" dengan editor, mereka tetap perlu "diikutsertakan" dan "diuwongke" (bahasa Jawa, artinya dihargai keberadaannya). Uang alias honor saja tidak cukup lo! Bagaimanapun mereka adalah manusia biasa yang membutuhkan perhatian. Bagaimanapun hubungan yang hangat antara editor-penulis-para outsource itu sangat menguntungkan bagi editor kantoran itu sendiri.

Selain itu, editor juga dituntut untuk tahu tentang perkembangan pasar. Sering-sering berdiskusi dengan marketing dan jalan-jalan ke toko buku adalah salah satu cara untuk mengup-date tentang perkembangan buku yang ada sekarang.

Hmmmff ... capek juga menulis sepanjang ini. Rasanya segini dulu deh, kalau ada yang perlu ditanyakan atau memberi masukan, boleh lo.

7 comments:

Anonymous said...

Sepertinya memang itulah yang menjadi tanggungjawab seorang editor, namanya saja editor, tukang edit, bener, harus luas pergaulan nya, tapi menurutku nggak mudah dan nggak sulit jadi editor.Nggak mudahnya kalo emang nggak ngerti, nggak sulitnya kalo sudah terbiasa.
Tulisan kali ini runtut.
Thanks.
Kikis

Ikkyu_san a.k.a imelda on 1:18 AM said...

kadang menemui penerjemah yang membuatku kurus mendadak karena terjemahannya yang buruk dan membuatku mau tak mau harus menerjemahkan ulang. Nangis-nangis deh kalau sudah begitu.

sama aku juga;)) sampe rasanya mending aku aja yang langsung terjemahin hihihi

EM

DV on 3:58 AM said...

Wah, gamblang tenan!
Dadi kapan kowe nulis buku meneh? *halah*

krismariana widyaningsih on 5:09 AM said...

@ Kikis
Awalnya memang gampang2 susah. Tapi lama2 menyenangkan.

@ Mbak Imelda
Iya, Mbak. BT banget klo ketemu penerjemah yg terjemahannya jelek. Aku selalu mengusahakan utk memberi evaluasi kpd penerjemah.

@ DV
Yoh, dongakne ae Don, ben aku ra kakehan ngeblog. Hehehe.

edratna on 2:51 AM said...

Hehehe...aku baru paham benar bagaimana seorang editor bekerja, malah setelah baca novel. Disitu disecritakan perjalanan seorang editor, yang bekerja sejak sebelum novel yang ditulis selesai, diskusi dengan penulisnya, memberikan pertanyaan, dan juga berdebat tentang para tokohnya.
Sangat menarik Kris...bidang kerjaan yang tak pernah kutahu sebelumnya.

krismariana widyaningsih on 3:34 AM said...

@ Edratna
Iya Bu, begitulah salah satu tugas editor: "mengawal" penulis. Jadi, kalau sebuah buku bisa menjadi bagus, bisa jadi itu jasa besar editornya :) Dulu saya editor naskah terjemahan, jadi agak berbeda.

Tuti Nonka on 10:05 AM said...

Editor? Wah, kebetulan saya juga sering mengedit naskah sebelum diterbitkan oleh penerbit milik suami saya. Kalau nemu naskah yang acak adul, kadang saya sampai mukul meja saking gemesnya ... hehehe ... Habis, pusing banget baca kalimat yang jempalitan, dan alur pikiran yang tumpang tindih. Ada satu penulis yang sudah top banget, tapi kalau lihat naskah aslinya ... wadoooh, puyeng!