Sunday, March 08, 2009

Review Seputar Java Jazz Festival 2009 (7/3/2009)

Minggu kemarin (7/3/2009), sejak pagi aku sudah membayangkan bahwa nanti sore sampai malam aku akan memanjakan mata dan telingaku untuk menikmati musik-musik jazz yang membuatku takjub. Wah, bakal tertakjub-takjub nih! Dan siang itu, pukul 11.30 aku dan suami meluncur ke JHCC untuk datang ke Java Jazz Festival 2009.

Begitu menyusuri area Senayan, kami sudah disapa oleh beberapa bapak-bapak setengah baya, "Tiketnya, Bos." Kami menggeleng sambil memanis-maniskan muka. "Atau kelebihan tiket ya? Nanti saya bayar." Sekali lagi kami menggeleng dan terus melangkah. Ternyata sepanjang jalan itu banyak calo! Dan di serambi JHCC itu calo-calo itu menjajakan karcisnya. Bahkan mereka menjualnya di depan panitia lo. Rata-rata mereka mematok harga 500 ribu.

Akhirnya kami pun masuk pukul 14.00. Dan untuuuung banget, roti sobek plus air minum kami tidak disita. He he he. Makasih ya Mbak. Mungkin karena dua benda itu agak mojok di dalam tas. Atau mbaknya kasihan melihat tampangku yang ndeso ini? Ha ha ha! Entahlah. Dua benda itu pertolongan pertama kalau haus dan lapar je. Kalau beli di tempat pertunjukan kan mahal. Teh aja 10 ribu, nasi goreng 40 ribu. Huh!


Jadwal pertunjukan yang dijual

Memasuki ruangan, hidungku yang sensitif terhadap bau rokok ini sudah mulai mencium tanda-tanda kehadiran rokok di ruangan ber-AC itu. Para pengunjung belum banyak sih. Tapi di loby sudah ada penyanyi yang pentas. Tapi ya baru satu itu. Para penyanyi yang lain rupanya masih jam 3-an mulai manggungnya. Kami lalu datang ke bagian informasi untuk menanyakan jadwal pertunjukan. Dan ternyata, brosur yang selembar itu DIJUAL! Bukan, bukan bagian informasi yang menjualnya, tetapi AXIS yang sekalian jualan kartu perdana seharga 6 ribu. Dan ada pula majalah MUSIC yang diedarkan plus jadwal pertunjukan. Harganya? 20 ribu. Rupanya itu adalah kekecewaan tahap pertama. Brosur setengah halaman A4 saja kok dijual. Padahal dengan harga tiket Java Jazz yang cukup mahal, mestinya brosur semacam itu bisa dibagikan gratis. Walaupun awam di bidang cetak-mencetak, aku tahu semakin banyak brosur yang dicetak akan semakin murah. Apalagi ada sponsornya.


Pertunjukan yang kami tonton

Pertama-tama kami menonton pertunjukan Gamelan Shokbreker, pukul 15.00. Penonton tidak terlalu berjubel dan duduk lesehan. Wah, boleh juga nih. Rupanya itu musik gamelan bernuansa Sunda. Musiknya mantap. Pemain kendangnya jago. Gamelan Shokbreker adalah kolaborasi musik antara Patrick Shaw Iversen and Ismet Ruchimat (Norwegia dan Indonesia). Setelah dari situ kami menonton Jakarta Broadway Singers. Tapi sayang kami cuma kebagian buntutnya. Bagus sih. Dan gaya mereka yang centil-centil itu lumayan menghibur. Menjelang akhir pertunjukan tampil Barry Likumahua, anak Benny Likumahua. Wah, permainan basnya boleh juga.

Setelah dari situ, kami muter-muter lagi dan menunggu penampilan Tom Scott jam 6. Karena masih agak lama, kami niatnya mau ketemu teman yang nonton Slank. Tapi biuuuuh... aku nggak tahan dengan suaranya. Kenceeeeng banget. (Lah iya lah, namanya juga konser!). Tapi yang agak aneh, kok enggak ada kesan jazzy-nya ya? Lha ini mah, mending mereka konser di stadion terbuka saja. He he he.

Akhirnya kami duduk-duduk di lantai atas. Dan aku sempat mampir di toilet. Rupanya, dari tiga ruang toilet, cuma 1 yang bisa ditutup pintunya!

Setengah jam sebelum Tom Scott tampil kami sudah ngantri. Dan ampuuun, antriannya sangat tidak rapi. Tapi untung kami berdiri agak depan, jadi pas begitu pintu dibuka, langsung dapat duduk. Dan penampilan Tom Scott sangat prima! Jazz banget. Aduh, baru sekali ini menonton Tom Scott. Rasanya seperti terbius.

Karena mau nonton Tompi, kami terpaksa tidak selesai menonton Tom Scott. Dan aku menyesal, meninggalkan Tom Scott. Soalnya yang menonton Tompi berjubel buanget! Wah, padahal Tompi adalah salah 1 artis yang sudah kutunggu-tunggu. Sakin berjubelnya penonton, panitia pun kewalahan. Bahkan pas aku mencoba ikut berdesak-desakan, aku mendengar percakapan panitia: "Kalau sudah nggak muat, penontonnya distop dong, jangan boleh masuk!" Panitia rupanya tidak bisa memprediksi jumlah penonton yg membludak. (Alangkah bodohnya panitia! Tompi gitu loh! Masak nggak ngerti kalau fans-nya banyak?)

Selanjutnya, kami menonton Tohpati. Wah, sumpah! Ini keren abis. Dasarnya aku suka banget sama permainan gitar. Apalagi baru kali ini menyaksikan Tohpati tampil live. Permainan gitarnya tidak diragukan lagi deh. Bikin hatiku ikut menari-nari. (Dan kenapa ya, setiap pemain gitar, terutama yang klasik, tuh tampak cakep di mataku? Hihihi.)

Terakhir kami menonton Ivan Lins. Yang terakhir ini memang dewanya penyanyi jazz. Sepertinya aku sudah tak sanggup berkata-kata lagi saat menyaksikannya. Nyanyinya bagus buanget! Dan pas dia nyanyi dia memainkan alat musik kecil entah apa namanya, yg menyempurnakan penampilannya. Rasanya tidak ada kata yg cukup untuk menggambarkan penampilannya. Tema lagu-lagu yang dia bawakan juga tidak norak: tentang kampung halamannya, tentang pantai, dll. Bagus kan? Nggak kaya d' Massiv yang melolong-lolong karena patah hati. Cuih!


Kesan terhadap panitia

Para pemusik dan penyanyi yang kemarin kutonton memang bagus-bagus. Tapi aduh, kok rasanya aku sangat tidak puas dengan kerja panitianya ya? Begini, kemarin itu penonton membludak! Yang aku herankan, kenapa tiket terus dijual ya? Padahal mereka seharusnya tahu dong, berapa kapasitas ruangan. Masak sih nonton jazz mahal kok kayak nonton band biasa di stadion? Desek-desekan nggak karuan. Mau masuk ke ruangan saja dorongan-dorongan. Dulu pas nonton jazz di Jogja rapi banget. Penuh sih, tapi nggak desek-desekan.

Trus lagi, sebagian sound systemnya jelek! Yang aku heran, Tohpati dan Ivan Lins memakai ruangan yg sama. Tapi kenapa sound-nya Tohpati tidak sejernih Ivan Lins? Trus, panggung di loby, sama sekali tidak bagus soundnya. Ada 3 panggung lagi. Lha buat apa? Masak ketiganya mau dipakai? Mau denger bareng-bareng? Ya nggak bisa lah!

Selain itu, penonton masih suka buang sampah sembarangan! Padahal di bagian depan ada stand "ZERO WASTE". Zero Waste dari Hongkong! Yang paling parah sampah di dekat food hall. Segunung! Malu nggak sih pasang stand ZERO WASTE tapi sampahnya berceceran?

Yang paling parah adalah ROKOK DI MANA-MANA. Kupikir sopir angkutan umum dan orang-orang kecil saja yang nggak tahu aturan soal rokok. Orang-orang yang mampu beli tiket Java Jazz itu juga sangat tidak tahu aturan. Sudah tahu ruangan ber-AC, orang diperbolehkan merokok. Security dan polisi yang ada di situ tidak menindak para perokok yang tidak tahu aturan itu. Mereka seharusnya tahu dong, di ruangan ber-AC kan tidak boleh merokok. Dan orang-orang itu merokok seenaknya. Apakah warga Jakarta memang kesadarannya sangat rendah ya--termasuk aparat yg seharusnya bisa menindak mereka?

Yang terakhir, masak sih nonton jazz aku ditawarin beli asuransi, pasang indovision, kartu kredit, internet. Mbok yang lebih elegan dikit, napa sih? Jangan cuma cari untung dong ....

6 comments:

Anonymous said...

huhuhu, mbaaaak... orang Indonesia gitu lho.. udah disediain tempat sampah masih aja nyampah sembarangan. aku juga sedih n gemesssss bag=nget. padahal yang masuk JJF khan harusnya orang ekonomi mampu ya (JJF gitu lhoo)..
ternyata kemampuan ekonomi ga berbanding lurus dengan kesadaran n empati :(

Anonymous said...

Sek, sek...
satu hal yang nge pop up di pikiranku, berarti kowe ngeliat aku ngganteng banget pasti karena aku maen gitar klasik juga?

Hahahahahahaa....

krismariana widyaningsih on 4:56 AM said...

@ utaminingtyazzz
kemarin nonton juga mbak? kalau aku sih yg sangat mengganggu jumlah penonton yg membludak. mana enak nonton jazz kok desek2an? trus, rokoknya parah!!!!!!!!!!

sampah yg paling banyak terasa di kamar mandi. kuotor!

memang sama aja, orang mampu dan nggak mampu, sama2 kurang kesadarannya.

@ DV
Huuu! Kowe kan ra tau main gitar neng ngarepku... ye :p

Anonymous said...

Wahh..membayangkan menonton dengan nikmat, ternyata pakai desek2an...mungkin karena panitia kasihan, udah antri capek2 kalau ga dibolehkan masuk....

hehehe.....
Mudah2an panitia belajar untuk lain kali

Anonymous said...

Mbak Kris penggemar berat musik jazz rupanya ya? Saya kemarin pengin banget nonton, tapi sayang nggak ada kesempatan ke Jakarta ... uhuk .. uhuk ...

krismariana widyaningsih on 10:11 PM said...

@ edratna:
Iya Bu, kesan saya panitia kurang profesional kerjanya. Semoga lain waktu lebih baik lagi. Tapi saya jadi mikir2 untuk nonton Java Jazz tahun depan. Masih trauma kali ya? hahaha. Mau seneng-seneng tapi dapat sesuatu yg pahit.

@ Tutinonka:
Iya Bu, saya penggemar musik jazz. Jazz tuh baru asyik kalo pas live. Makanya kemarin saya nggak ikut kopdar bareng Mbak Imelda di Jogja. karena udah beli tiket Java Jazz. Kabarnya sih Jakjazz lebih asyik. Kapan2 nonton jazz di Jakarta, Bu!