Pengennya Apa?
Iya, pengennya apa sih? Bingung kan, ujug2 tanya "Pengen apa?". Tapi sebenarnya apa sih yang sedang diomongkan?
Begini, kemarin sore aku sudah mancal sepeda motorku dan siap pulang. Tapi aku harus bersabar sebentar karena ada mobil yang akan lewat. Rupanya penumpang mobil itu baru saja mampir dari kantor sebelah, alias Mirota Bakery. Cari luar jendela mereka terlihat sebuah kardus kecil wadah kue. Lalu, si penumpang satu mencomot sebuah kue dan memasukkannya ke mulut. Nyam! Enak pasti. Roti yang dijual di Mirota memang enak, tetapi cukup mahal untuk ukuran kantongku. Untuk satu roti yg ukuran sedang, harganya hampir setara dengan jatah makan siangku. Padahal kalo makan kue saja, mana kenyang? Aku berpikir, wah enaknya makan kue sore-sore begini. Apalagi ndak usah pake mancal motor menembus angin sore yg dingin. Pasti seneng ya?
Kadang aku suka mengamati orang-orang yang ada di dalam mobil. Atau orang-orang yang bersliweran di jalan raya. Ada yang tertawa dengan kawan sebelahnya. Ada yg merengut. Ada yang tanpa ekspresi. Tapi kalau melihat orang yang tertawa, aku jadi ikut merasa senang. Lha, tapi kalau aku sendirian naik motor, aku kan ndak bisa tertawa. Maksudku, kalo aku tertawa sendiri, bisa-bisa dikira orang ndak waras nanti.
Nah, kupikir-pikir, kita ini sebenarnya kan cuma pengen seneng. Hidup senang. Bahagia. Kalau bisa, semuanya lancar. Pekerjaan lancar. Cari jodoh juga lancar. Kita pengen bisa tertawa lepas. Kita pengen bisa tersenyum tanpa ada yang disembunyikan di belakang. Lalu ketika melihat orang yang tertawa lepas dengan memakai baju bagus, mobil keluaran terbaru, kita berpikir, "Wah kayaknya enak ya kalau punya barang2 bagus. Aku pasti bahagia."
Tapi apa bener begitu?
Tadi pagi, aku baca artikel yang mengatakan bahwa pendorong yang paling sehat dalam hidup ini adalah Tuhan. Maksudnya, jadikanlah Tuhan itu sebagai gembala kita. Kita cukup mengarahkan hidup demi dan semata-mata hanya untuk Dia.
Wah, kok kayaknya hidup ini jadi paradoks ya? Lalu, sebenarnya aku ini pengen apa sih? Apa sih yang jadi pendorong terbesarku? Apa coba?
(Padahal aku baru saja merasa agak-agak jealous dengan temanku yang kariernya cemerlang kaya bintang di atas langit sono .... Hehehe. Kenapa rasanya itu terasa penting, ya? Tapi apakah itu memang penting? Apakah nanti aku bisa membanggakan diri di hadapan Tuhan bahwa aku sudah bekerja di ...., gajiku sudah segini lo, Tuhan. Apa ada gunanya ya?)
Thursday, January 31, 2008
Monday, January 28, 2008
Membela Tuhan?
Beberapa waktu yang lalu, aku membuka sebuah blog. Isinya sempat membuatku bergidik. Gimana nggak merinding, kalau yang ditulis di situ isinya memojokkan iman. Di situ tertulis beberapa hal yang mendiskreditkan kepercayaanku.
Aku sempat berpikir, "Wah kok kayaknya semakin banyak saja ya, orang yang fundamentalis. Fanatik. Dan saking fanatiknya, mereka akhirnya menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain. Lagi pula, di negara ini, sepertinya jarang banget keadilan ditegakkan. Salah-salah kita yang ndak tau apa-apa ini malah kena hukuman."
Aku masih memelototi blog itu. Lalu, aku tergelitik dengan sebuah tampilan komentar yang sepertinya ditulis oleh orang beragama X (kalau dilihat dari namanya). Dan sepertinya dia orang beragama X beneran menilik dari isi komentarnya. Tapi yang justru membuatku geli campur sebel adalah, dia menulis komentar yang isinya balas menjelek-jelekkan.
Lha terus, apa bedanya antara si pemberi komentar dengan si penulis artikel?
Di situ aku tidak menemukan kasih. Merasakannya barang secuil pun tidak. Padahal, jika dilihat sekilas, keduanya menganut agama tertentu. Lha, kok ternyata yang ada malah perang mulut eh, perang tulisan ding! Debat kusir. Duh, capek deh!
Jika ditelusuri lebih jauh, apakah mereka enggak pernah belajari untuk berbuat kasih ya? Untuk saling mengasihi musuh. Untuk menghormati orang yang memiliki pendapat atau keyakinan berbeda. Apakah mereka mau membela Tuhan? Kalau itu maksudnya, kayaknya percuma deh. Soalnya Tuhan itu ibarat samudra raya, dan kita cuma titik-titik air. Kalau mau membela Dia, apakah bisa? Tuhan kurasa tidak perlu dibela. Dia sudah jauh lebih berkuasa daripada kita. Kalau Dia mau, Dia bisa langsung menghukum orang yang justru berbuat merendahkan sesamanya. PR besar kita adalah hidup selaras dengan kehendak-Nya. Hidup saling mengasihi. Toh, kita ini kan sodara satu sama lain.
Bagiku, ini adalah kegelisahan yang kurasakan akhir-akhir ini. Aku percaya bahwa di Indonesia tercinta ini orangnya baik-baik. Aku percaya, bahwa hampir semua dari kita percaya akan adanya Tuhan. Tapi kok bisa dibilang tidak terjadi perubahan yang positif di masyarakat ya? Orang masih saja cuek dengan lingkungan dan sesama, boros, tidak empati, dan sebagainya. Intinya sih, orang tidak lagi tumbuh dalam takut akan Tuhan. Tuhan cuma ada pada hari-hari besar keagamaan atau saat kita berdoa, melakukan ritual keagamaan. Selanjutnya? Taruh saja Tuhan di sudut meja tempat kita meletakkan Kitab Suci atau buku doa kita.
Yah, kata orang kalau menginginkan perubahan, kita sendiri dulu yang mesti berubah. Jadi, hari ini, aku mungkin perlu "kaca besar" untuk bercermin, apa saja yang perlu dibenahi dari diriku, sehingga aku nggak cuma bisa nulis dan mengeluh terus, hehehe.
Btw, yuk kita introspeksi bareng-bareng :D
Beberapa waktu yang lalu, aku membuka sebuah blog. Isinya sempat membuatku bergidik. Gimana nggak merinding, kalau yang ditulis di situ isinya memojokkan iman. Di situ tertulis beberapa hal yang mendiskreditkan kepercayaanku.
Aku sempat berpikir, "Wah kok kayaknya semakin banyak saja ya, orang yang fundamentalis. Fanatik. Dan saking fanatiknya, mereka akhirnya menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain. Lagi pula, di negara ini, sepertinya jarang banget keadilan ditegakkan. Salah-salah kita yang ndak tau apa-apa ini malah kena hukuman."
Aku masih memelototi blog itu. Lalu, aku tergelitik dengan sebuah tampilan komentar yang sepertinya ditulis oleh orang beragama X (kalau dilihat dari namanya). Dan sepertinya dia orang beragama X beneran menilik dari isi komentarnya. Tapi yang justru membuatku geli campur sebel adalah, dia menulis komentar yang isinya balas menjelek-jelekkan.
Lha terus, apa bedanya antara si pemberi komentar dengan si penulis artikel?
Di situ aku tidak menemukan kasih. Merasakannya barang secuil pun tidak. Padahal, jika dilihat sekilas, keduanya menganut agama tertentu. Lha, kok ternyata yang ada malah perang mulut eh, perang tulisan ding! Debat kusir. Duh, capek deh!
Jika ditelusuri lebih jauh, apakah mereka enggak pernah belajari untuk berbuat kasih ya? Untuk saling mengasihi musuh. Untuk menghormati orang yang memiliki pendapat atau keyakinan berbeda. Apakah mereka mau membela Tuhan? Kalau itu maksudnya, kayaknya percuma deh. Soalnya Tuhan itu ibarat samudra raya, dan kita cuma titik-titik air. Kalau mau membela Dia, apakah bisa? Tuhan kurasa tidak perlu dibela. Dia sudah jauh lebih berkuasa daripada kita. Kalau Dia mau, Dia bisa langsung menghukum orang yang justru berbuat merendahkan sesamanya. PR besar kita adalah hidup selaras dengan kehendak-Nya. Hidup saling mengasihi. Toh, kita ini kan sodara satu sama lain.
Bagiku, ini adalah kegelisahan yang kurasakan akhir-akhir ini. Aku percaya bahwa di Indonesia tercinta ini orangnya baik-baik. Aku percaya, bahwa hampir semua dari kita percaya akan adanya Tuhan. Tapi kok bisa dibilang tidak terjadi perubahan yang positif di masyarakat ya? Orang masih saja cuek dengan lingkungan dan sesama, boros, tidak empati, dan sebagainya. Intinya sih, orang tidak lagi tumbuh dalam takut akan Tuhan. Tuhan cuma ada pada hari-hari besar keagamaan atau saat kita berdoa, melakukan ritual keagamaan. Selanjutnya? Taruh saja Tuhan di sudut meja tempat kita meletakkan Kitab Suci atau buku doa kita.
Yah, kata orang kalau menginginkan perubahan, kita sendiri dulu yang mesti berubah. Jadi, hari ini, aku mungkin perlu "kaca besar" untuk bercermin, apa saja yang perlu dibenahi dari diriku, sehingga aku nggak cuma bisa nulis dan mengeluh terus, hehehe.
Btw, yuk kita introspeksi bareng-bareng :D
Wednesday, January 23, 2008
Fotonya "Jupe"
Beberapa waktu lalu aku mendapat sebuah suvenir pernikahan. Bentuknya kalender meja. Seperti biasa, di suvenir itu terpasang foto kedua mempelai. Yah, seperti layaknya para temanten lain yang sengaja foto prewedding, di foto itu mereka berdandan ala pangeran dan putri. Mungkin mau meniru dongeng-dongeng ala Cinderella, gitu lah.
Nah, karena aku sudah punya kalender meja, akhirnya kalender itu kuberikan ke temanku. So far, kalender itu jadi salah satu "penghias" meja kerja.
Tapi, ketika beberapa teman mampir, keluarlah komentar macam-macam. Kebanyakan sih menyayangkan baju mempelai wanita. Hehehe, memang rada kurang bahan sih bagian atasnya. Jadi belahan dadanya cukup terlihat. Dan dasar temen-temenku rada kreatif saat melontarkan "pujian", lalu keluarlah ucapan yang sebenarnya bentuknya tidak lagi berupa pujian, tapi ... justru menyayangkan dan mempertanyakan kenapa dia mau berfoto dengan baju seperti itu.
Wah, ini jadi pelajaran penting nih buatku dan cewek-cewek lain, dan juga para pasangan yang mau mejeng untuk prewedding. Ati-ati kalau pakai baju. Bagaimanapun kita masih orang timur, jadi sebagian orang masih belum bisa menerima saat melihat orang yang memakai baju yang bahannya "kurang". Lagi pula, kalo itu buat suvenir ... kan yang nerima nggak cuma orang muda saja. Tapi juga orang-orang yang sudah tua. Kesannya jadi kurang sopan.
Jadi? Intinya hati-hati kalau mau mejeng di dalam foto hehehe. Tentunya nggak ada yang mau jadi bahan ejekan, bukan? :D
Beberapa waktu lalu aku mendapat sebuah suvenir pernikahan. Bentuknya kalender meja. Seperti biasa, di suvenir itu terpasang foto kedua mempelai. Yah, seperti layaknya para temanten lain yang sengaja foto prewedding, di foto itu mereka berdandan ala pangeran dan putri. Mungkin mau meniru dongeng-dongeng ala Cinderella, gitu lah.
Nah, karena aku sudah punya kalender meja, akhirnya kalender itu kuberikan ke temanku. So far, kalender itu jadi salah satu "penghias" meja kerja.
Tapi, ketika beberapa teman mampir, keluarlah komentar macam-macam. Kebanyakan sih menyayangkan baju mempelai wanita. Hehehe, memang rada kurang bahan sih bagian atasnya. Jadi belahan dadanya cukup terlihat. Dan dasar temen-temenku rada kreatif saat melontarkan "pujian", lalu keluarlah ucapan yang sebenarnya bentuknya tidak lagi berupa pujian, tapi ... justru menyayangkan dan mempertanyakan kenapa dia mau berfoto dengan baju seperti itu.
Wah, ini jadi pelajaran penting nih buatku dan cewek-cewek lain, dan juga para pasangan yang mau mejeng untuk prewedding. Ati-ati kalau pakai baju. Bagaimanapun kita masih orang timur, jadi sebagian orang masih belum bisa menerima saat melihat orang yang memakai baju yang bahannya "kurang". Lagi pula, kalo itu buat suvenir ... kan yang nerima nggak cuma orang muda saja. Tapi juga orang-orang yang sudah tua. Kesannya jadi kurang sopan.
Jadi? Intinya hati-hati kalau mau mejeng di dalam foto hehehe. Tentunya nggak ada yang mau jadi bahan ejekan, bukan? :D
Subscribe to:
Posts (Atom)