Thursday, October 25, 2007

Resep Pacaran Ala Suster Ben

A= Aku
S= Kakak sepupuku

A: Mbak, dua minggu lagi N mau nikah lo.
S: Oya? Sama cowok yang dulu pernah diajak ke sini itu ya?
A: Bukan. Temen gerejanya di Klaten.
S: Owww ... Jadi laen lagi ya?
A: Iya ...

Temanku N mau menikah. Bukan, bukan dengan cowok yang jadi pacarnya waktu dia masih di asrama dulu. Bukan. Dia mau menikah dengan cowok teman gerejanya di Klaten.

Prosesnya dia ketemu dengan cowok itu aku tahu. Cuma sekelumit sih. Tapi, tahulah. Dulu dia sempat pacaran dengan seorang cowok. Trus, karena satu dan lain hal, mereka akhirnya putus. Dia cukup terluka karena peristiwa itu. Tidak menyenangkan memang. Tapi, kurasa memang ada baiknya putus, karena kalau diteruskan cuma saling menyakiti. Capek lahir batin.
Temanku itu sudah pacaran berkali-kali sebelum ketemu dengan calon suaminya sekarang. Beberapa kali pula dia patah hati, jatuh cinta lagi, dan patah hati lagi. Capek deeeh ....

Melihat hal itu, aku jadi ingat nasihat Sr. Ben--ibu asramaku dulu. Dia dulu sering berkoar-koar kepada kami anak-anak asrama yg bandel-bandel ini untuk tidak buru-buru pacaran. Kalau pacaran nanti saja kalau sudah semester 5. Mendengar nasihat itu kami biasanya justru mencibir, "Yeee, Suster kuno ah! Masak pacaran nunggu sampai kita mau lulus kuliah? Kalau sebelum semester 5 ada cowok yang pas di hati, apa salahnya pacaran?" Masak nolak rejeki sih? Hehehe.

Tapi semakin hari, aku jadi bisa memahami nasihat Sr. Ben itu. Aku kini mengerti bahwa nasihatnya itu bukan untuk menghalangi kami untuk merasakan kebahagiaan, tetapi justru membantu kami agar tidak merasakan sakit hati yang tidak perlu. Temanku pernah bilang, risikonya orang pacaran itu ada dua: kawin atau putus. Kalau putus, berarti patah hati. Dan patah hati itu sakit.

Ketika kuliah, rasanya dunia kerja itu sudah deket banget. Rasanya lulus itu cuma beberapa hari lagi, trus nanti kerja, habis kerja, nanti nikah. Nah, sudah deket kan? So, apa salahnya pacaran sejak awal duduk di bangku kuliah?

Masalahnya, waktu itu relatif. Dan perjalanan dari kita kuliah sampai siap menikah itu bisa panjang, bisa pendek. Bisa panjang, karena untuk menikah itu dibutuhkan kedewasaan. Itu butuh waktu dan pengalaman juga kan?

Sekarang aku bisa mengatakan bahwa si X yang dulu kutaksir setengah mati dan membuatku serta merta mengatakan, "Aku mau deh menikah sama dia", sekarang tidak lagi masuk hitungan. Tidak, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa dia bukan cowok baik-baik. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku menjadi tahu bahwa minat dan tujuan hidup kami berbeda. Cara pandang terhadap hidup dan masa depan kami juga sangat berbeda. Kalau diteruskan, rasanya malah saling menyakiti. Masak kita menikah malah nggak bahagia? Enggak lucu dong.

Dan kini aku berpendapat bahwa memilih pasangan hidup adalah soal mencari sahabat jiwa. Mungkin bisa dibilang, ini soal mendapatkan orang yang memiliki tingkat spiritualitas sama. Tidak hanya seagama, lo. Tapi lebih pada bagaimana kita bersama pasangan kita dapat sama-sama bertumbuh secara rohani. Ini penting kurasa.

Sr. Ben memang memiliki patokan semester 5 untuk boleh pacaran. Tetapi yang penting adalah kematangan pribadi. Bisa jadi, ketika semester 5 orang belum dewasa betul. Karena itu, kupikir tidak perlulah buru-buru pacaran dan mengucapkan janji setia. Kita mesti menelaah diri betul, benar-benar mengenal diri kita, dan kita pun perlu berpikir panjang saat memilih seseorang sebagai pasangan hidup.

1 comments:

Oni Suryaman on 5:18 PM said...

Orang tua kita mungkin memang kolot melarang kita pacaran sewaktu masih muda. Mungkin mereka sendiri gak tau alasannya kenapa mesti melakukan itu. Kebiasaan kolot seperti ini kadang memang ada kebenarannya yang tersembunyi.