Sortir Waktu
Kadang aku mikir, waktu yang sudah aku habiskan sepanjang hidup ini, sebagian besar habis untuk apa ya? Selain habis buat tidur, hal signifikan apa ya yang sudah kulakukan?
Beberapa waktu lalu, ketika sedang persekutuan doa di kantor, seorang temen bilang: "Kalau orang itu sudah divonis mati karena suatu penyakit, biasanya dia akan berhati-hati dengan tindakannya. Dia bakal menyortir tindakannya--melakukan hal yang baik dan berguna bagi orang-orang di sekitarnya." Kalimat itu dia ucapkan setelah dia bercerita tentang seorang wanita yang menderita tumor otak dan dokter sudah mengatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Wanita itu lalu meminta sang dokter merahasiakan penyakitnya itu kepada keluarganya. Maka, wanita itu pun mulai membuat surat kepada masing-masing anaknya dan memberikan nasihat terbaik. Dia juga melakukan hal-hal yang berguna dan tidak membuang waktu begitu saja.
Kalimat yang diucapkan temanku itu terngiang-ngiang di benakku. Sampai sekarang.
Memang aku tidak tahu sampai kapan aku dapat beraktivitas di dunia ini. Dengan kesehatan yang cukup seperti ini. Dengan teman-teman dan orang-orang dekat yang membantuku. Dengan kesegaran pikiran yang kumiliki seperti saat ini. Dengan banyak hal yang menolongku, yang kadang tidak aku sadari.
Rasanya memang tak perlu menunggu aku divonis penyakit maut untuk menyortir waktu, untuk melakukan kebaikan dan memberi arti bagi banyak orang. Tapi kadang memang keinginan manusiawi kita susah untuk diajak kompromi. Pas ketemu temen yang nyebelin dan berkelakuan minus, mulut ini rasanya gatel kalau enggak ngrasani (jadi apa bedanya kita sama dia ya? sama-sama minus kelakukannya, hehehe). Pas punya banyak uang, kita hambur-hamburin sesuka hati, enggak ingat sodara2 yg sedang kesusahan dan ogah untuk berbagi. Dan seterusnya ... dan seterusnya.
Aku jadi inget kata-kata Bunda Teresa: Yesterday is gone. Tomorrow has not yet come. We only have today. Let us begin. Kita cuma punya waktu "saat ini", bukan nanti. Bukan tadi. Bukan besok. Bukan kemarin. Tetapi kini, dan di sini. Tak ada jaminan yang mengatakan bahwa usia kita masih panjang. Jadi, lakukan yang terbaik--sekarang!
Wednesday, August 29, 2007
Wednesday, August 08, 2007
Kebutuhan?
Ini benernya mau menanggapi komentarnya Oni Suryaman yang bilang bahwa nggak mungkin kalo kita bisa mengadakan acara kawinan dg sederhana. Ntar usaha katering dan persewaan gedung bisa tutup dong.
Ya, benernya sih usaha2 seperti itu nggak bakal tutup deh. Tapi kalo orang se-Indonesia (ya, betul se-Indonesia) rame2 bikin acara pernikahan yang biasa-biasa aja, usaha katering dan persewaan gedung (plus tetek bengeknya) memang bisa gulung tikar.
Sebenarnya aku bertanya-tanya, kok bisa sih muncul usaha semacam itu? Itu kupikir karena menjawab kebutuhan masyarakat. Dan kebutuhan itu rasa2nya muncul dari budaya. Sejak kecil, yg namanya orang punya hajatan ya mesti repot dan heboh. Tamunya buanyaaak! Dan itu berarti mesti ngasih makan banyak orang. Nah dari situ, muncullah usaha katering. Trus, soal usaha persewaan gedung itu, kan karena orang2 sekarang rumahnya kecil2, dan nggak berhalaman luas. So, karena emang sudah tradisi bahwa jika seseorang yg punya gawe harus gede2an, maka mau nggak mau ya mesti sewa gedung.
Tapi sekarang masalahnya adalah, banyak orang yg kapasitas finansialnya sedang2 saja. Jadi, kalo mau bikin hajatan, mesti utang sana-sini. Kasihan kan?
Tapi ya begitulah kenyataannya. Orang kadang nggak berani berbeda. Untuk berbeda kan kadang butuh "muka tebal". Misalnya nih, kalo soal resepsi pernikahan itu. Kalo enggak mau keluar banyak duit, ya yang sederhana aja. Kalo agar pernikahan itu sah secara agama dan negara, benernya nggak perlu mengeluarkan banyak uang deh. Nggak sampai puluhan juta dikeluarkan.
Kadang membuatku merasa bingung harus berempati atau tidak adalah, ketika seorang temanku yg setelah menikah bingung mau tinggal di mana. Belum punya rumah katanya. Dan untuk mengontrak rumah pun juga masih mikir untuk cari yg murah. Padahal waktu nikah, acaranya gede2an. Undangannya melimpah ruah. Ada acara pertunjukan hiburannya segala. Makanannya juga banyak banget. Wah pokoknya komplit deh! Kok kayaknya nggak seimbang ya?
Kalau melihat begitu sih, aku cuma bisa merasa kasihan. Kasihan karena sepertinya dia cuma mengikuti arus dan permintaan orang lain. Sementara sebenarnya dia sendiri nggak mampu. Kasihan kan?
Ini benernya mau menanggapi komentarnya Oni Suryaman yang bilang bahwa nggak mungkin kalo kita bisa mengadakan acara kawinan dg sederhana. Ntar usaha katering dan persewaan gedung bisa tutup dong.
Ya, benernya sih usaha2 seperti itu nggak bakal tutup deh. Tapi kalo orang se-Indonesia (ya, betul se-Indonesia) rame2 bikin acara pernikahan yang biasa-biasa aja, usaha katering dan persewaan gedung (plus tetek bengeknya) memang bisa gulung tikar.
Sebenarnya aku bertanya-tanya, kok bisa sih muncul usaha semacam itu? Itu kupikir karena menjawab kebutuhan masyarakat. Dan kebutuhan itu rasa2nya muncul dari budaya. Sejak kecil, yg namanya orang punya hajatan ya mesti repot dan heboh. Tamunya buanyaaak! Dan itu berarti mesti ngasih makan banyak orang. Nah dari situ, muncullah usaha katering. Trus, soal usaha persewaan gedung itu, kan karena orang2 sekarang rumahnya kecil2, dan nggak berhalaman luas. So, karena emang sudah tradisi bahwa jika seseorang yg punya gawe harus gede2an, maka mau nggak mau ya mesti sewa gedung.
Tapi sekarang masalahnya adalah, banyak orang yg kapasitas finansialnya sedang2 saja. Jadi, kalo mau bikin hajatan, mesti utang sana-sini. Kasihan kan?
Tapi ya begitulah kenyataannya. Orang kadang nggak berani berbeda. Untuk berbeda kan kadang butuh "muka tebal". Misalnya nih, kalo soal resepsi pernikahan itu. Kalo enggak mau keluar banyak duit, ya yang sederhana aja. Kalo agar pernikahan itu sah secara agama dan negara, benernya nggak perlu mengeluarkan banyak uang deh. Nggak sampai puluhan juta dikeluarkan.
Kadang membuatku merasa bingung harus berempati atau tidak adalah, ketika seorang temanku yg setelah menikah bingung mau tinggal di mana. Belum punya rumah katanya. Dan untuk mengontrak rumah pun juga masih mikir untuk cari yg murah. Padahal waktu nikah, acaranya gede2an. Undangannya melimpah ruah. Ada acara pertunjukan hiburannya segala. Makanannya juga banyak banget. Wah pokoknya komplit deh! Kok kayaknya nggak seimbang ya?
Kalau melihat begitu sih, aku cuma bisa merasa kasihan. Kasihan karena sepertinya dia cuma mengikuti arus dan permintaan orang lain. Sementara sebenarnya dia sendiri nggak mampu. Kasihan kan?
Subscribe to:
Posts (Atom)